Ketika memasuki halaman rumah papanya. Maudy yang pulang karena dihubungi lagi oleh Marcel mengenai William yang sakit. Sampai di sana, dia melihat papanya terbaring lemah di atas ranjang. Menyaksikan pria tua itu tidak berdaya untuk sekarang. Infus dipasang di tangan kirinya. Maudy duduk di sebelah dan memegang tangan kanan papanya. “Dokter bilang Papa sakit apa?” Tanya Maudy ke Marcel yang sudah mengurusnya. “Papa selalu memaksakan diri.” “Kakak kenapa nggak ambil alih perusahaan sih? Mau sampai kapan kakak bakalan gini terus? Di rumah dan nggak pernah ada usaha sama sekali. Nggak mau bantuin papa buat urus perusahaan.” Dia beranikan diri untuk memarahi kakaknya karena selama ini sang kakak memang agak santai soal masa depan. Mengingat perusahaan butuh penerus dan pastinya yang paling diandalkan adalah Marcel. “Kali ini Mama ke pihaknya Maudy, Marcel. Mama nggak bisa biarin Papa kamu terus sakit begini.” Maudy tidak pernah ingin dibela oleh Ana. Dia hanya kasihan melihat Wil
Di ruangannya yang begitu dingin karena pendingin ruangan yang bertiup sejak tadi. “Tuan, ada tamu,” ucap sekretarisnya. “Suruh masuk!” Leon berdiri setelah dia mendapatkan kabar kalau ada tamu yang berkunjung. Mengambil kembali jasnya dan mengenakannya. Saat dia melihat siapa yang datang. Leon hanya tersenyum. “Papa ada urusan apa kemari?” Tanya Leon pada Erland yang baru saja masuk. Sekarang ada mereka berdua di ruangan ini tanpa ada orang lain lagi yang mendengar pembicaraan mereka berdua nantinya. Erland duduk setelah Leon mempersilakan. “Papa tidak ada maksud apa pun, Leon. Hanya memberitahu kalau mungkin Regan akan memberontak ke kamu.” Leon menuangkan air untuk papanya dan mendorongnya lebih dekat dengan Erland. Mendengar ucapan itu, dia mendongakan kepalanya dan duduk sejajar sekarang. “Anak kecil itu tidak tahu apa-apa.” “Papa takut ini akan merusak nama baikmu.” “Aku tidak melakukan apa pun.” “Fotomu beberapa tahun lalu yang sedang di kelab malam, memangku seorang
“Pa, aku bakalan gabung sama perusahaan.” Erland yang sedang sibuk dengan tabletnya tiba-tiba menoleh ke anak keduanya. Dia membuka kacamata dan meletakkan tablet itu di atas meja. “Kamu terlambat untuk mengatakan itu, Regan.” Marsha muncul. “Nggak ada yang terlambat kalau kamu peduli sama anakmu.” “Dari awal aku peduli dan memanjakan dia. Sekarang, dia tidak berguna sama sekali. Aku pikir, dengan cara memanjakan dia dan meninggalkan Leon. Dia bakalan lebih maju. Justru Leon yang lebih maju dibandingkan dengan dia.” “Membandingkan kedua anakmu itu saja sudah salah, Pa.” “Tidak ada yang salah, Ma. Kamu memanjakan dia dan sekarang lihat hasilnya. Dia meninggalkan proyek setengah jadi dan membiarkan Leon mengerjakan sisanya. Dia kabur begitu saja. Bahkan Leon waktu itu bersyukur tidak ngamuk di sana.” “Dia sebagai seorang kakak seharusnya membimbing adiknya.” “Tanyakan pada Regan. Apakah Leon diam selama Regan di sana?” Regan diam ketika Erland sendiri tahu bahwa anak pertamanya
“Nes,” Vanesa yang sedang bermain ponsel seketika menoleh. “Apa?” “Aku bingung terhadap Leon. Dia sekarang memberikan kebebasan untukku. Waktu itu dia melarangku main ke kafenya Regan. Sekarang, dia memberikan aku kebebasan ke sana. Dan beberapa kali dia juga membelikan kue untukku.” “Tanpa sebab?” “Dia tahu aku menyukai kue di sana. Terus dia memperbolehkanku. Waktu aku bilang kerjain skripsi di sana, dia nggak bolehin. Tapi beberapa waktu lalu dia bilang boleh ke sana. Itu mencurigakan nggak sih?” Vanesa memutar tubuhnya dan sekarang sedang tengkurap di sebelahnya. Di kamarnya Vanesa, mereka berdua sedang berbincang. “Hmmm, bisa dibilang mencurigakan. Tapi bisa dibilang juga kalau dia sudah mulai tertarik.” “Kami sekarang sudah sekamar. Setahun sebelumnya, kami tidur di kamar terpisah.” “Hah?” tanya Vanesa dengan heran melihat Maudy. “Ya, kami berdua pisah kamar. Dan seperti yang kamu bilang, aku berusaha menggodanya dan membiarkan dia menyentuhku.” “Bagaimana responsnya?”
Usai pembicaraan tentang warisan. Seluruh perusahaan dimenangkan oleh Leon karena berasal dari istri pertama. Memang sikap Erlan tidak pernah adil dia dapatkan. Tapi sikap Erland pada Leon kali ini berbeda sekali dan bisa berpihak padanya. Dia pun akhirnya mengerti kenapa selama ini dia berjuang mati-matian untuk perusahaan yang akhirnya bisa dia dapatkan juga. Sesuai dengan apa yang diucapkan oleh Erland barusan. Bahwa apa pun yang keluar dari rekeningnya Erland pasti akan diawasi juga oleh orang perusahaannya Leon. Karena sudah masuk ke warisan yang menyeluruh. Kafe yang dibuat oleh Regan itu juga hasil dari keuntungan perusahaan yang kemudian diberikan oleh papanya untuk Regan. “Regan, kalau kamu siap untuk menikah. Papa harap bisa mencarikan kamu istri seperti istrinya kakak kamu.” “Aku sudah punya kandidat sendiri, Pa.” Dia membenci Regan sekaligus melihat adinya mencari pembelaan pada Regan kali ini. Tapi sayangnya tidak mendapatkan itu semua. Regan tidak dapat dibela oleh
“Tuan, ada makan malam bersama keluarga,” baru saja Leon melepaskan jasnya. Dia baru saja tiba di kantor setelah rapat di luar. Lalu sekretarisnya mengatakan itu kepadanya. “Sama papa?” “Benar, Tuan. Ada adik Anda juga.” Leon berhenti sejenak setelah mendengar ucapan serketarisnya kalau Regan hadir di makan malam mereka nanti. “Oke, konfirmasi ke papa kalau aku akan datang.” “Baik,” ucap sekretarisnya. Tidak biasanya kalau sampai Leon datang ke acara makan malam dan juga dihadiri oleh Regan sendiri. Orang yang sudah sejak lama sekali membuat hatinya kesal. Karena merasa bahwa adiknya itu tidak berguna sama sekali. Pekerjaan yang diselesaikan oleh Leon lebih awal dari biasanya. Dia menutup berkas yang baru saja selesai dibacanya dan sudah memberika tanda di sana, ada beberapa hal yang perlu direvisi oleh bawahannya. Leon mengambil jasnya dan mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. Mencoba menghubungi Maudy dan memberitahukan istrinya bahwa dia akan pulang lebih larut malam ini