Dari jam ke hari aku terus menunggu kedatangan Arya namun tak kunjung pria itu menunjukan batang hidungnya. Dan baru aku sadari setelah beberapa hari kemudian jika BPKB (Buku Kepemilikan Kendaraan Bermotor) di laci lemari hilang.
Entah sejak kapan benda itu hilang.
Yang jelas semua surat-surat berharga telah aku satukan salam map dan aku simpan dalam laci lemari.
Aku tidak mungkin lupa!
Kamar kostku hanya seluas lima kali lima, hanya ruang tidur dan kamar mandi. Dan furniture pun terbatas, satu tempat tidur, satu lemari kayu ukuran sedang, meja dan kursi hanya itu. Barang-barang pribadiku pun terhitung sedikit, aku hanya punya sesuatu yang benar-benar aku butuhkan. Aku bukan tipikal orang gemar belanja.
Dan seluruh kamar sudah aku bongkar dan BPKB tidak aku temukan. Dan aku menduga Arya telah mengambilnya ketika aku pergi membeli jus waktu itu.
Aku yakin seratus persen.
Dan fakta yang memperkuat duganku itu, ketika beberapa hari lalu aku datang ke rumah dinas yang selama ini tempat ia mengaku tinggal. Aku nekat bertanya pada petugas di sana, dan tak satu orang pun mengenal Arya Kusuma. Bahkan aku sempat sodorkan foto wajah Arya tidak satupun orang yang mengenal.
Justru salah seorang tentara usia nyaris lima puluh tahun yang aku temui di rumah dinas itu mengatakan hal tak terduga. “Pesan saya Mbak, jangan mudah percaya. Baju tentara bisa dibeli di mana saja.”
Dia kembali mengamati foto Arya yang sedang berpose lengkap dengan baju dinas. “Ini lucu ini. Sejak tentara pake baret (topi) begini.” Pria itu memperlihatkan foto Arya tepat di wajahnya yang sudah di zoom. Dan aku masih tidak mengerti apa yang tentara itu bicarakan.
“Logo baret itu pasti di sebelah kanan, ini kok kiri. Terus ini tambah lucu baret warna merah tapi lambangnya burung garuda. Sebenarnya pacar Mbak itu Angkatan Laut apa Angkatan Darat?”
Dengan polosnya aku menjawab, “Angkatan Laut.” Ya selama ini Arya memang mengaku TNI AL.
Tentara tua itu tertawa terpingkal-pingkal sedangkan aku hanya melolong seperti anak SD yang tidak mengerti penjelasan guru.
Selama ini aku tidak tahu tentang aturan seragam tentara, apalagi mengamati logo yang dikenakan Arya. Yang aku tahu dia seorang tentara, karena selama ini dia sering menjemputku dengan seragam lengkap dia juga sering cerita tentang tugas-tugasnya. Sungguh aku ragu harus percaya kepada siapa.
“Mbak ada foto lain?” tanya Pak Tentara itu kembali. Dan aku dengan sukarela mencari koleksi foto Arya yang lain.
Dan lagi-lagi Pak Tentara itu tertawa. “Ngak bener ini kalo tentara, name tag di kiri. Di mana-mana ya sebelah kanan. Yang tadi bener Mbak, name tag sebelah kanan kok ini bisa kiri? Pacar Mbak ini tugas di mana?"
“Saya kurang paham Pak. Dia bilang tugasnya pindah-pindah.” Aku hanya bisa menggeleng dengan memasang wajah bodoh, benar-benar tolol.
“Banyak sekarang orang ngaku polisi atau tentara Mbak, pesan saya hati-hati saja. Karena tentara dididik disiplin, apa yang mereka pakai ada aturanya. Tidak sembarangan, sepatu saja sudah ada aturan khususnya Mbak.” Suara Pak Tentara itu merendah, dari sorot matanya pun terlihat iba, mungkin karena melihat dua bola mataku merah berkaca-kaca.
Tak lama kemudian aku pamit pulang dengan Pak Tentara ramah itu, karena sudah tak tahan menanggung malu.
*
Kenal dua bulan dan pacaran selama setahun, aku tidak tahu persis susuk beluk Arya. Yang aku tahu dia seorang tentara usia dua puluh sembilan tahun, jika bicara sangat manis dan romantis. Dan selama aku kenal Arya tidak pernah ditugaskan di luar kota, apalagi luar pulau.
Lagi-lagi batin dan logikaku berdebat.
Aku ingat betul Arya pernah bilang jika ayahnya seorang Jendral, jadi dia mendapatkan perlakuan khusus, salah satunya dia boleh memilih dimana tempat ia dinas. Itulah yang membuatku percaya jika Arya tidak perlu dinas luar pulau.
Dan hal itu aku sadari itu dusta, setelah Arya menghilang selama ini.
Setelah mengetahui semua fakta itu, hidupku menjadi benang kusut. Aku bingung menentukan arah hidupku, aku harus bagaimana dengan janin yang terus tumbuh dalam perutku. Tak dipungkiri hal itu lah yang membuatku memutuskan aku memilih langkah bunuh diri malam itu.
Nyatanya, menemukan Arya tak ada hasil. Bunuh diri pun gagal. Entah aku harus bagaimana melanjutkan hidup yang terasa suram?
Dari pandangan mata Arya persis seorang tentara. Sosok yang kharismatik dengan otot-otot kuat melekat di kulit coklatnya, tingginya pun lebih 175 cm dan dengan gaya rambut selalu rapi. Yang aku sukai adalah bau tubuhnya selalu wangi dan segar. Teringat bagaimana pertama aku mengenal Arya. Saat itu aku dan Sintia ngopi di cafe, sedangkan Arya duduk di barisan tak jauh dariku. Sempat aku curi pandang karena dari sekian orang, hanya satu orang dengan baju seragam tentara lengkap, ngopi sendirian di cafe. Dan ternyata hal yang sama juga terjadi pada Arya, dia curi pandang padaku. Dan beberapa kali pandangan kami bertemu. Ketika aku hendak pulang dia menghampiriku di parkiran. “Mbak,” seru Arya setengah berlari menghapiriku. “Ya, ada apa Pak?” Naluri spontan memanggil seorang tentara “Pak” sebagai bentuk rasa hormat meskipun aku tahu sosok itu masih muda. “Jangan panggil saya Pak. Saya belum berkeluarga…perkenalkan saya Arya.” Dengan sopan dia mengulurkan tangan. Aku ragu-ragu t
Mata yang minus satu membuat pandanganku kabur ketika melihat sesuatu dari jarak jauh. Namun ketika sosok itu semakin mendekat aku mulai menyadari sesuatu. Dia bukan Arya tapi Ben. Sial, aku mengumpat dalam hati.Ben berhenti tepat di depanku yang berdiri di pinggiran teras, lalu membuka helm serta maskernya. "Ngapain di sini? Nunggu orang?"Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang. Karena sejak melihat penampakan motor Yamaha NMAX jantungku berdendang keras. "Tidak kok." "Oh, aku bawa nasi goreng. Mau?" tanya Ben sambil berdiri dari atas motor.Karena kelamaan nunggu jawabanku Ben akhirnya menimpali, "tenang aja aku bawa dua bungkus." Dia raih dua bungkus nasi goreng di motornya lalu ia bawa ke teras kamar kostku. Namun, kini ia yang tersentak melihat satu kotak pizza di atas meja. "Wah ada pizza ini." "Iya itu buat kamu, sebagai gantinya sudah kasih makan aku tadi malam dan tadi pagi." "Ya, sudah begini saja, kita tukeran makanan. Dua nasi goreng dengan pizza. Bagai
Ben tertawa.Aku melihat giginya berjejer rapi lalu pandangannya ke arah barat tepatnya di lantai dua. “Beberapa kali aku melihatnya, dari sana.” Ben mengangkat dagu ke arah barat. Aku berdesis, “kamu mata-matain aku?”“Jangan terlalu percaya diri. Aku hanya menebak. Aku di sini baru dua bulan. Melihat pacarmu itu baru dua kali.” Aku buang muka, emosiku tersulut tapi aku tidak mampu marah. “Aku sudah putus.” Suaraku ketus. *Dua minggu berlalu, aku dan Ben menjadi saling kenal. Tapi tidak pernah bertanya mengapa aku hendak bunuh diri. Aneh, pria itu tidak penasaran mengapa aku hendak bunuh diri di malam itu. Tapi dalam lubuk hati aku juga tidak berharap dia ingin tahu. Dan sejak saat itu pula aku berteman dengan Ben, tidak terlalu akrab hanya saja sering saling sapa. Beberapa kali bertemu di jalan saat hendak berangkat kerja, dia menawarkan diri untuk mengantarku. Awalnya aku menolak.Aku memilih jalan kaki toh sejak motorku hilang dibawa Arya aku selalu berangkat kerja dengan j
Benang kusut semakin ruwet. Semalaman aku mengalami insomnia, isi kepalaku terus berputar memikirkan “aku harus bagaimana?” Keputusan apa yang harus aku pilih? Mempermainkan ikatan suci hanya untuk menutupi aib? Atau aku benar-benar menggugurkan janinku sendiri? Namun, setiap kali berpikir menggugurkan janinku sendiri entah mengapa ucapan Ben, "aku bukanlah bagian dari pembunuh," selalu menghantui pikiranku. Sialnya hati kecilku membenarkan ucapan Ben, jika aku menggugurkan janin ini aku bagian dari pembunuh. Tidak! Aku bukan pembunuh! Setelah semalaman suntuk aku berfikir, akhirnya aku memberanikan diri mengambil keputusan. Aku akan menerima tawaran Ben. Uang sepuluh juta barter dengan status perkawinan selama satu tahun. Aku masih punya tabungan sebelas juta. Biar bagaimanapun kehadiran bakal manusia kecil ini aku yang mempersilahkan. Aku tak ingin menambah dosa dengan membunuh calon manusia kecil dalam rahimku ini. Jika ada sosok yang harus aku hukum dalam hal ini, Arya-l
“Ya sudah nanti kita bicara…ayo masuk dulu. Makan dulu. Pasti Nak Yollanda capek habis motoran jauh.” Mama Eva merangkul pundakku, membimbingku masuk. Syukurlah Mama Eva tidak bereaksi berlebihan yang membuatku semakin gugup. Aku duduk di ruang tamu sendirian, sedangkan Ben mengikuti ibunya entah ke mana aku tidak tahu. Di ruang tamu itu aku lihat pigura besar dengan gambar Ben di tengah diapit Mama Eva dan disebelahnya seorang pria aku yakin itu ayah Ben. Rumah Ben tampak besar, tidak ada apa-apanya dengan rumah Kakek atau orang tuaku dulu di Malang. Halaman plesteran terbuka luas tanpa pagar, dan di samping rumah tampak pohon mangga dan rambutan menjulang tinggi. Suasananya pun tenang khas hawa perdesaan. Ruang tamunya dua kali lebih luas dari kamar kostku. Terdapat sebuah kursi kayu jati dengan ukiran dan pahatan indah berbentuk bunga. Dan tepat di tengah aku duduk terdapat bantalan empuk berlapis kain beludru berwarna merah maron. Yang membuatku sedikit terkesima ialah aq
"Sejak mengenal Yollanda.” Ben terdiam sesaat dengan mata menatap wajahku. “Ben berkeinginan menikah,” jawaban Ben menggema di seluruh ruangan. Bahkan gema itu mampu menembus tulang rusukku, masuk kedalam hatiku. Jantungku berdendang keras mendengar betapa serius Ben menjiwai sandiwara ini. Sorot matanya tidak menggambarkan kebohongan. Dia seperti laki-laki dengan tekad kuat untuk menikah tanpa basa basi. Ayah Anjas tersenyum tipis sambil menatapku. “Apakah kamu juga memiliki keinginan yang sama dengan Ben?” Aku lancarkan sandiwara Ben dengan mengangguk kepala dua kali. “Iya Om.” Bedanya aku menjawab sambil menundukan pandanganku. Sejak suasana ruang makan itu hening, seisi ruangan sibuk menikmati makanan. Hanya aku yang tak bisa fokus dengan sepiring makanan di hadapanku. Pikiranku terus melayang entah kemana arahnya. Sampai akhirnya pria yang aku takuti itu kembali menatapku dengan tajam. "Yollanda, kerja di mana? Lulusan sekolah dimana?" Dadaku hangat, aku semakin ragu dan
Sebagai orang tua, pemimpin masyarakat dan terpelajar, Ayah Anjas tidak hanya menduga-duga. Kasus asusila di masyarakat sering dia jumpai, dari orang-orang yang berumur belia hingga lanjut usia. Dan yang sering terjadi ialah kasus wanita hamil diluar nikah. Dan perselingkuhan. Dari banyaknya pengalaman itu, hanya dengan melihat sorot mata dan gestur tubuh Yollanda, pria itu bisa meraba ada hal yang tidak beres. Ketakutan dan cemas. Terlebih lagi tingkah anaknya yang sering berulah, Ayah Anjas bisa membaca situasi yang sebenarnya terjadi di ruang meja makan. Ayah Anjas tahu dan cukup mengerti Ben adalah fotocopy dirinya. Sama-sama pembangkang dan keras kepala. Akan tetapi jika Ayah Anjas harus mendidik putranya seperti istrinya, dia angkat tangan. Tidak mampu. Bagaimana bisa seorang kepala keluarga lemah lembut? Yang paling dibenci Ayah Anjas ialah, keinginannya selalu bertolak belakang dengan anaknya. Sejak Ben kecil.Termasuk menolak dipanggil dengan sebutan “Eliezer” nama yang
Aku berharap Ben menolongku, sungguh bibirku tidak bisa bergerak. Dan dalam hitungan detik serangan migren menyerang, perutku mulai terasa kaku. Haruskan aku jujur jika aku tengah hamil? “Bukankah ini terlalu dini untuk ditanyakan Ayah?” tanya Mama Eva dengan suara sangat lembut, aku yakin wanita paruh baya itu sedang merayu suaminya. “Tidak, aku hanya ingin tahu yang sebenarnya.” Ayah Anjas terdiam sesaat lalu melanjutkan ucapannya. “Eliezer, masih masa merintis. Bahkan, kadang masih bergantung pada kita. Lalu dia ingin menikah dalam waktu dekat. Dia pikir berumah tangga itu gampang?” Ayah Anjas terdiam, lalu kembali bergumam, “Anak zaman sekarang kalo mau nikah cepet-cepet, pasti ada alasannya.” Ben mengangkat wajah, memandangku lalu ke arah ayahnya. “Iya Ayah, mohon maaf seribu maaf Yollanda tengah hamil anak Ben.” Petir menyambar tubuhku untuk kedua kalinya, kali ini bukan hanya sakit kepala tapi nyaris pingsan. Dalam hitungan detik warah Ayah Anjas berubah merah. Matanya nya