Share

Bab 4. Arya Kembali

Dari pandangan mata Arya persis seorang tentara. Sosok yang kharismatik dengan otot-otot kuat melekat di kulit coklatnya, tingginya pun lebih 175 cm dan dengan gaya rambut selalu rapi. Yang aku sukai adalah bau tubuhnya selalu wangi dan segar. Teringat bagaimana pertama aku mengenal Arya.  

Saat itu aku dan Sintia ngopi di cafe, sedangkan Arya duduk di barisan tak jauh dariku. Sempat aku curi pandang karena dari sekian orang, hanya satu orang dengan baju seragam tentara lengkap, ngopi sendirian di cafe. 

Dan ternyata hal yang sama juga terjadi pada Arya, dia curi pandang padaku. Dan beberapa kali pandangan kami bertemu. Ketika aku hendak pulang dia menghampiriku di parkiran. 

“Mbak,” seru Arya setengah berlari menghapiriku. 

“Ya, ada apa Pak?” Naluri spontan memanggil seorang tentara “Pak” sebagai bentuk rasa hormat meskipun aku tahu sosok itu masih muda.

“Jangan panggil saya Pak. Saya belum berkeluarga…perkenalkan saya Arya.” Dengan sopan dia mengulurkan tangan.

Aku ragu-ragu tapi tetap jabat tangan. “Saya Yollanda. Ada apa?”

“Saya ingin kenalan dan berteman jika Mbak Yollanda mengizinkan.” Sungguh pria yang gentleman. Wanita mana yang tak tersipu dengan pria yang mengajak kenalan dengan cara seperti itu? Apalagi seorang tentara. 

Aku tak bisa menolak kenalan itu dan akhirnya kita tukeran kontak. Jika boleh jujur, aku memang sudah tertarik sejak pertama kali melihat Arya di cafe. Sungguh dia tampan menawan. Dia idamanku selama ini.

Dua bulan kenal, Arya sering mengajakku nonton bioskop atau sekedar jalan-jalan. Akhirnya dia menyatakan cinta dan kami pun sepakat untuk menjalin hubungan bernama pacaran. 

Tiga bulan pacaran dia berani menciumku, enam bulan berlalu dia mulai merangkulku dan aku tanpa penolakan. Dan titik dimana aku bodoh berotak udang, sembilan bulan pacaran melakukan hubungan haram. Sungguh, aku sendiri malu jika mengingat mengapa aku bisa semudah itu. 

Kini aku sadar mengapa Arya selalu berkelit jika aku bertanya tentang keluarganya. Padahal sejak awal hubungan dia menyatakan akan serius membawa aku ke pelaminan. Namun, sekalipun aku tidak pernah berniat untuk memperkenalkan aku dengan keluarganya.

Dan aku sendiri beberapa kali mengajak Arya pulang kampung ke rumah Kakek di Malang, dia selalu menolak dengan seribu alasan. Dan ketika dia sudah menghilang kini aku sadar jika semua yang dilakukan Arya adalah skenario yang dia buat. 

Arya menjadi sutradara sekaligus aktor utama dan aku sebagai peran pembantu, yang membuat seluruh karangan Arya menjadi dramatis dan menguntungkan. 

Kini aku pun binggung harus berbuat apa dengan cabang bayi dalam perutku ini. Dan segala hal yang Arya lakukan menimbulkan kebencian terhadap diriku sendiri dan cabang bayi yang tak berdosa. 

Pernah terfikirkan aku untuk menggugurkan kandungan ini tapi aku menyadari jika kehadirannya juga karena aku yang mempersilahkan. Tapi di sisi lain aku juga takut perutku membesar, tak bisa aku pikirkan bagaimana pandangan orang mengenai diriku. 

Seharian penuh aku di dalam kamar kost, hanya keluar ketika sore itu pun ke depan bertemu dengan kurir yang mengantar makanan yang aku pesan di online. Dan ketika malam tiba, aku mulai merasa sesak dan semakin penat kemudian aku memutuskan untuk duduk di teras.

Memandang langit, pintu gerbang atau halaman kost yang lumayan luas. Separuh terisi motor dan mobil penghuni kost. 

Kost yang aku tinggali ini terdiri dari dua puluh rumah kost, terdiri dari penghuni pria dan wanita. Lantai bawah khusus wanita sedangkan lantai bawah untuk pria. Siapa pun boleh berkunjung dengan syarat tidak boleh menginap. 

Itu syarat mutlak yang diberikan Bu Suny untuk semua penghuni kost. Jika ketahuan ada yang berkunjung lalu menginap berarti siap-siap angkat kaki untuk selama-lamanya dari kost Bu Suny. 

Dan ketentuan itu yang membuat kost ini tenang dan tidak bising, meskipun semua penghuni kamar kost nyaris punya karakter yang sama. Cuek, tidak peduli dengan urusan sesama penghuni kost. 

Oleh sebab itu aku betah tinggal di kamar kost ini. 

Aku menatap ke lantai dua, ujung barat mencari sosok Ben, tak nampak sedikit pun. Justru yang ada sunyi senyap. 

Dari peristiwa di jembatan hingga tadi pagi dia mengantarkan makanan, aku belum mengatakan “terima kasih.” 

Bukan aku tidak mau mengucapkan itu tapi entah kenapa aku merasa berat untuk mengucapkan hal itu, aku tidak mau menaruh harapan atau mudah terpengaruh dengan pria. Tidak akan! 

Hanya saja sepertinya aku harus mengganti makanan yang diberikan Ben untukku, aku tidak ingin pria itu mengasihi dan ujung-ujungnya hanya akan memanfaatkan aku seperti Arya.

Segera aku pesan pizza. Dan akan aku antar ke kamarnya sebagai bentuk ganti makanan yang dia berikan padaku. Jika aku ganti bentuk uang aku yakin pria itu tidak akan terima dan bisa saja malah tersinggung. 

Satu jam berlalu, seorang kurir telah sampai pintu gerbang membawa pizza ukuran medium. Dan segera aku naik lantai dua untuk mengantar pizza itu, akan tetapi aku ketuk berkali-kali Ben tidak nampak. Justru tetangga sebelah kamar Ben yang keluar memberitahuku jika Ben biasanya akan pulang kerja di atas jam sembilan. 

Oleh sebab itu aku memutuskan untuk kembali turun dan menunggu Ben di teras kamarku sendiri.

Namun, sosok yang aku tunggu tak kunjung datang hingga pukul setengah sepuluh. Ketika ngantuk dan letih di badan menyerangku sosok dengan sepedah motor Yamaha NMAX melewati gerbang.  

Aku tercengang, Arya akhirnya datang padaku. Membawa motor kesayanganku. 

“Arya…”Aku berdiri dengan mulut melolong menatap Arya dengan helm hitam bermasker memutar stir ke arahku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status