Share

Bab 2. Skenario Hebat Arya

Satu jam berlalu, Ben hanya omong kosong. Dia tidak akan kemari. Lagipula untuk apa dia kemari? Untuk menertawakan diriku yang gagal bunuh diri? Aku tersenyum kecut sambil menutup wajah dengan bantal. 

Kuraba perutku yang masih rata, sedangkan pikiranku berlayar tanpa arah. Membayangkan tubuhku  beberapa bulan yang akan datang dengan perut buncit. Sedangkan orang-orang akan bertanya siapa bapak dari anakku.  

Sebagian akan mencibir aku sebagai wanita tak bermartabat, wanita murahan. 

Mungkin sebagian orang yang mengenal diriku akan menyangkut pautkan pekerjaanku sebagai pegawai bank ternama. Dan aku yang bergelar sarjana tapi berotak udang, atau malah tidak berotak. 

Sungguh ngeri sekali jika aku membayangkan semua itu. Harus bagaimana aku menghadapi semuanya sendirian. 

Suara ketukan pintu membuat lamunan itu bubar. Aku bangun membuka pintu, ternyata aku salah besar, Ben datang dengan membawa makanan. 

“Aku beli makanan, ini untuk kamu. Katanya coklat bisa mengatasi gangguan mood.” Wajah Ben terlihat begitu tenang, matanya masih teduh seperti beberapa jam lalu. Aku melihat dari guratan wajahnya, dia seperti orang baik. 

Tapi aku masih ingat jika aku pernah terperosok dengan orang yang kusangka baik. 

Bisa saja Ben dengan Arya orang yang sama. Manipulatif.

“Aku kenyang. Mungkin bisa kamu makan sendiri,” jawabku terus terang menolak.

“Terima saja aku beli dua. Satu untukmu, satu lagi untukku.” ucap Ben sambil menyerahkan satu bungkus nasi goreng dan satu gelas coklat panas diserahkan aku. Entah mengapa aku tak bisa menolaknya. 

"Ini nomorku, jika butuh bantuan kamu bisa hubungi aku." Ben tersenyum nyengir sambil menyerahkan sepotong kertas. "Dari pada buruh diri, kamu bisa minta bantuan aku?" 

Sontak aku melotot, tersinggung dengan ucapan Ben. Dan pria itu sadar jika aku tidak suka dengan ucapannya. 

"Bercanda…” Ben kembali tersenyum sambil mengusap kepalanya. “Ya sudah aku balik kamarku sendiri." Kemudian dia berlari meninggalkan aku.

Aku langsung menutup pintu tanpa berkata apa pun. Ucapan "terima kasih" pun tidak aku ucapkan. Aku benar-benar stres, mendapatkan perlakuan baik dari pria yang baru aku kenal justru membuat aku terngiang-ingan dengan Arya.

Dan keesok harinya ketika mataku masih terlelap, terdengar ketukan pintu. Dengan otak setengah sadar aku berdiri membuka pintu. Ben datang kembali. 

“Ini jam berapa? Kamu masih tidur?” Ben berbicara kepadaku seolah-olah dia sudah mengenalku sepuluh tahun lalu. Padahal baru semalam kami saling kenal.

“Ada apa?” jawabku sengit.

“Cuma mau kasih sarapan.” Ben menyodorkan satu kotak makanan dari styrofoam, entah apa isinya. “Kalo butuh sesuatu kamu bisa hubungi aku.” 

“Aku tidak meminta makanan.”

“Anggap saja Jumat berkah.” Ben tersenyum lebar, sedikit pun tidak tersinggung dengan ucapanku.

Aku menghela nafas panjang. “Ini hari Sabtu.”

Kini Ben tertawa keras sambil mengusap rambutnya yang sebahu. “Oh aku salah ya. Ku pikir ini hari Jumat.” 

Aku hanya tersenyum tipis tidak terpancing dengan lelucon Ben. 

“Terima saja. Oke.” Ben menyerahkan salah satu bingkisan yang dia bawa. Lalu pergi entah ke mana tidak tahu. Dan tidak mau tahu. Aku tidak peduli.

Sebenarnya makanan yang Ben berikan tadi malam tidak aku sentuh sama sekali. Hanya coklat panas yang aku nikmat sampai habis. 

Namun, bubur ayam dari Ben pagi ini cukup menggugah selera. Aku makan dikit demi sedikit sambil menahan perut yang mual luar biasa. 

Dua minggu belakangan ini aku merasakan perut dan separuh badanku tidak beres, aku yakin ini bukan karena aku sakit tapi hormon hamil muda. Seandainya aku memiliki keberanian ke dokter mungkin yang aku rasakan saat ini ada solusi. 

Hari ini aku jauh lebih lega, tidak terlalu stres seperti kemarin. Setidaknya aku tidak memikirkan soal bunuh diri lagi. Kalau dipikir-pikir aku bodoh sekali, sampai kepikiran hal semacam itu. Ada rasa syukur Ben datang saat yang tepat kalo tidak. Mungkin hari ini telah gemar kabar soal pegawai bank terbaik di Indonesia mati bunuh dini.

Setengah hari lebih aku berdiam diri di dalam kamar kost berdoa, berharap Arya datang. Lalu menjelaskan mengapa ia menghilang selama ini. Karena aku sudah kesulitan menanggung beban ini sendirian.  

Sejak dua minggu lalu, aku mengetahui ada seonggok daging hidup di tubuhku melalui testpack. Sedangkan Arya sudah satu tiga Minggu tidak bisa dihubungi, W******p selalu ceklis satu. Aku telepon provider juga tidak nyambung.

Aku sebenarnya tidak percaya Arya pergi dariku. 

Dia seorang prajurit negara, seorang tentara angkatan laut tak mungkin jika akan sejahat ini padaku. Dan selama satu tahun pacaran aku tidak pernah bermasalah dengannya.

Beberapa bulan lalu Arya meminjam uang, sebesar lima belas juta. Uang tabungan hasil jerih payahku selama ini aku percayakan pada Arya, karena dia bilang sendiri jika aku adalah calon istrinya. Dan Arya juga berjanji bulan ini akan dikembalikan. Nyatanya zonk. Bohong, justru dia lenyap dari muka bumi. 

Sialnya terakhir ketemu Arya, keparat itu membawa motorku Yamaha NMAX yang aku beli cash enam bulan lalu, meskipun motor bekas. Akan tetapi harganya masih di atas dua puluh juta. Entah mengapa waktu itu aku percaya semua kata-katanya. 

Dia datang tepat hari Minggu; terakhir dia menemuiku, datang ke kost siang hari dengan ojek online. 

“Tumben tidak kasih kabar kalau mau ke sini? Kenapa musti pake ojek online. Kan bisa aku jemput.” Aku sedikit heran mengapa dia tidak membawa mobil seperti biasanya.  

“Mobilku trouble sayang, sekarang di bengkel deket sini. Padahal aku mau jemput kamu, jalan-jalan. Eh mogok. Dan baru setengah jam lalu aku dapat panggilan komandan kudu cepet sampai di kantor. Aku pinjem motormu dulu ya.” 

Kalimat itu masih sangat jelas di kepalaku hingga saat itu. Sedikit pun waktu itu aku tidak menaruh curiga apa pun. Aku serahkan kunci motor beserta STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan), dan sebelum pergi kami masih mesra. 

Bahkan sempat melakukan hubungan haram selama tiga menit lima detik, aku menduga saat itulah aku hamil karena Arya tidak menggunakan alat kontrasepsi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status