Mata yang minus satu membuat pandanganku kabur ketika melihat sesuatu dari jarak jauh. Namun ketika sosok itu semakin mendekat aku mulai menyadari sesuatu.
Dia bukan Arya tapi Ben. Sial, aku mengumpat dalam hati.
Ben berhenti tepat di depanku yang berdiri di pinggiran teras, lalu membuka helm serta maskernya. "Ngapain di sini? Nunggu orang?"
Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang. Karena sejak melihat penampakan motor Yamaha NMAX jantungku berdendang keras. "Tidak kok."
"Oh, aku bawa nasi goreng. Mau?" tanya Ben sambil berdiri dari atas motor.
Karena kelamaan nunggu jawabanku Ben akhirnya menimpali, "tenang aja aku bawa dua bungkus." Dia raih dua bungkus nasi goreng di motornya lalu ia bawa ke teras kamar kostku.
Namun, kini ia yang tersentak melihat satu kotak pizza di atas meja. "Wah ada pizza ini."
"Iya itu buat kamu, sebagai gantinya sudah kasih makan aku tadi malam dan tadi pagi."
"Ya, sudah begini saja, kita tukeran makanan. Dua nasi goreng dengan pizza. Bagaimana?"
"Bawa semua aja Ben. Anggap aja ucapan terimakasih," jawabku singkat.
Tak habis pikir aku bagaimana bisa seseorang dengan percaya diri menukar nasi goreng yang harganya kurang dari dua puluh ribu dengan pizza di atas seratus ribu. Sungguh jika dipikir-pikir Ben terlalu blak-blakan. Terlebih lagi dengan orang baru kenal.
Beda dengan Arya setiap tutur katanya manis dan sopan, sungguh aku masih tidak percaya Arya seorang penipu.
"Perutku tidak muat makan sebanyak ini Yollanda." Ben menatapku samar-samar. "Ya sudah aku makan dulu ya, laper. Bolehkan aku makan pizzanya?"
Aku tersenyum tipis dan mengangguk. Selama lima belas menit Ben makan sendiri sedangkan aku diam, jual mahal tak menyentuh seluruh makanan yang ada.
Dua kali menelan ludah menahan diri untuk tidak dengan tergoda dengan nasi goreng yang dibawah Ben. "Kamu beli dimana nasi goreng ini?" tanyaku basa basi.
"Di ujung jalan sana, deket kok. Dari gerbang belok kiri, lurus, jalan kaki cuma lima sepuluh menit. Yang jual pake gerobak warna biru, mangkal samping bakso."
Aku mengangguk, lain kali aku akan beli sendiri nasi goreng itu.
"Makanlah, siapa yang mau makan ini?" gerutu Ben.
Aku terdiam sambil menatap dua bungkus nasi goreng itu sambil menelan ludah, aku persis bocah yang ngiler lihat teman makan. Sebenarnya ingin segera aku raih dan kulahap sampai habis tapi tidak bisa aku sudah bertekad tidak akan mudah tergoda dengan kebaikan laki-laki manapun.
Benteng pertahanan itu hanya bertahan sepuluh menit. Dan aku tidak tahan hasrat makanku benar-benar meronta-ronta, akhirnya aku ambil satu bungkus nasi goreng. Dan barter tidak masuk akal pun terealisasi.
Kurang setengah jam, aku sudah menghabiskan satu bungkus nasi goreng sedangkan Ben habis tiga potong pizza. Sebenarnya aku mau nambah tapi gengsiku besar. Apa kata Ben jika melihat wanita makan dua bungkus nasi goreng sekaligus.
"Kamu nggak apa-apa kan?" tanya Ben sambil melirikku.
Aku menggeleng, sedikit heran dengan pertanyaan Ben. Pria itu tidak bertanya mengapa aku mau bunuh diri waktu itu tapi justru bertanya keadaanku. "Kamu kerja dimana?" tanyaku berusaha mengalihkan pertanyaan Ben.
"Aku tukang kopi. Baru buka usaha cafe kecil-kecilan dua bulan di jalan Supratman. Namanya Kopiku, mampir aja kalau ada waktu."
Alisku mengkerut, jalan yang disebutkan Ben adalah jalan yang sama dengan kantorku. "Oh ya, sama toko roti Amanda sebelah mana?"
"Lurus sekitar seratus meter. Kamu pegawai BCA?"
"Ya. Bagaimana kamu tahu?"
"Malam itu aku melihat tanda pengenal mu." Ben tersenyum tipis ke arahku. Sontak aku buang muka, jika mengingat hal itu aku menjadi sangat ciut.
“Apakah pacarmu tentara belum kemari? Lama aku tidak melihatnya? Apakah dia tidak marah jika aku berada di sini?” Suara Ben terdengar pelan sangat hati-hati, dengan tatapan sorotan mata penuh memandang ke arahku. Sontak pertanyaan itu seperti cambuk yang menjerat leherku, menimbulkan sesak napas luar biasa. Aku bingung harus menjawab pertanyaan Ben seperti apa.
Tapi aku merasa ada hal yang aneh kurasakan dari pertanyaan Ben. Tak ingin aku semakin penasaran aku langsung tanyakan, “kamu tahu dari mana dia sering kemari?”
Ben tertawa.Aku melihat giginya berjejer rapi lalu pandangannya ke arah barat tepatnya di lantai dua. “Beberapa kali aku melihatnya, dari sana.” Ben mengangkat dagu ke arah barat. Aku berdesis, “kamu mata-matain aku?”“Jangan terlalu percaya diri. Aku hanya menebak. Aku di sini baru dua bulan. Melihat pacarmu itu baru dua kali.” Aku buang muka, emosiku tersulut tapi aku tidak mampu marah. “Aku sudah putus.” Suaraku ketus. *Dua minggu berlalu, aku dan Ben menjadi saling kenal. Tapi tidak pernah bertanya mengapa aku hendak bunuh diri. Aneh, pria itu tidak penasaran mengapa aku hendak bunuh diri di malam itu. Tapi dalam lubuk hati aku juga tidak berharap dia ingin tahu. Dan sejak saat itu pula aku berteman dengan Ben, tidak terlalu akrab hanya saja sering saling sapa. Beberapa kali bertemu di jalan saat hendak berangkat kerja, dia menawarkan diri untuk mengantarku. Awalnya aku menolak.Aku memilih jalan kaki toh sejak motorku hilang dibawa Arya aku selalu berangkat kerja dengan j
Benang kusut semakin ruwet. Semalaman aku mengalami insomnia, isi kepalaku terus berputar memikirkan “aku harus bagaimana?” Keputusan apa yang harus aku pilih? Mempermainkan ikatan suci hanya untuk menutupi aib? Atau aku benar-benar menggugurkan janinku sendiri? Namun, setiap kali berpikir menggugurkan janinku sendiri entah mengapa ucapan Ben, "aku bukanlah bagian dari pembunuh," selalu menghantui pikiranku. Sialnya hati kecilku membenarkan ucapan Ben, jika aku menggugurkan janin ini aku bagian dari pembunuh. Tidak! Aku bukan pembunuh! Setelah semalaman suntuk aku berfikir, akhirnya aku memberanikan diri mengambil keputusan. Aku akan menerima tawaran Ben. Uang sepuluh juta barter dengan status perkawinan selama satu tahun. Aku masih punya tabungan sebelas juta. Biar bagaimanapun kehadiran bakal manusia kecil ini aku yang mempersilahkan. Aku tak ingin menambah dosa dengan membunuh calon manusia kecil dalam rahimku ini. Jika ada sosok yang harus aku hukum dalam hal ini, Arya-l
“Ya sudah nanti kita bicara…ayo masuk dulu. Makan dulu. Pasti Nak Yollanda capek habis motoran jauh.” Mama Eva merangkul pundakku, membimbingku masuk. Syukurlah Mama Eva tidak bereaksi berlebihan yang membuatku semakin gugup. Aku duduk di ruang tamu sendirian, sedangkan Ben mengikuti ibunya entah ke mana aku tidak tahu. Di ruang tamu itu aku lihat pigura besar dengan gambar Ben di tengah diapit Mama Eva dan disebelahnya seorang pria aku yakin itu ayah Ben. Rumah Ben tampak besar, tidak ada apa-apanya dengan rumah Kakek atau orang tuaku dulu di Malang. Halaman plesteran terbuka luas tanpa pagar, dan di samping rumah tampak pohon mangga dan rambutan menjulang tinggi. Suasananya pun tenang khas hawa perdesaan. Ruang tamunya dua kali lebih luas dari kamar kostku. Terdapat sebuah kursi kayu jati dengan ukiran dan pahatan indah berbentuk bunga. Dan tepat di tengah aku duduk terdapat bantalan empuk berlapis kain beludru berwarna merah maron. Yang membuatku sedikit terkesima ialah aq
"Sejak mengenal Yollanda.” Ben terdiam sesaat dengan mata menatap wajahku. “Ben berkeinginan menikah,” jawaban Ben menggema di seluruh ruangan. Bahkan gema itu mampu menembus tulang rusukku, masuk kedalam hatiku. Jantungku berdendang keras mendengar betapa serius Ben menjiwai sandiwara ini. Sorot matanya tidak menggambarkan kebohongan. Dia seperti laki-laki dengan tekad kuat untuk menikah tanpa basa basi. Ayah Anjas tersenyum tipis sambil menatapku. “Apakah kamu juga memiliki keinginan yang sama dengan Ben?” Aku lancarkan sandiwara Ben dengan mengangguk kepala dua kali. “Iya Om.” Bedanya aku menjawab sambil menundukan pandanganku. Sejak suasana ruang makan itu hening, seisi ruangan sibuk menikmati makanan. Hanya aku yang tak bisa fokus dengan sepiring makanan di hadapanku. Pikiranku terus melayang entah kemana arahnya. Sampai akhirnya pria yang aku takuti itu kembali menatapku dengan tajam. "Yollanda, kerja di mana? Lulusan sekolah dimana?" Dadaku hangat, aku semakin ragu dan
Sebagai orang tua, pemimpin masyarakat dan terpelajar, Ayah Anjas tidak hanya menduga-duga. Kasus asusila di masyarakat sering dia jumpai, dari orang-orang yang berumur belia hingga lanjut usia. Dan yang sering terjadi ialah kasus wanita hamil diluar nikah. Dan perselingkuhan. Dari banyaknya pengalaman itu, hanya dengan melihat sorot mata dan gestur tubuh Yollanda, pria itu bisa meraba ada hal yang tidak beres. Ketakutan dan cemas. Terlebih lagi tingkah anaknya yang sering berulah, Ayah Anjas bisa membaca situasi yang sebenarnya terjadi di ruang meja makan. Ayah Anjas tahu dan cukup mengerti Ben adalah fotocopy dirinya. Sama-sama pembangkang dan keras kepala. Akan tetapi jika Ayah Anjas harus mendidik putranya seperti istrinya, dia angkat tangan. Tidak mampu. Bagaimana bisa seorang kepala keluarga lemah lembut? Yang paling dibenci Ayah Anjas ialah, keinginannya selalu bertolak belakang dengan anaknya. Sejak Ben kecil.Termasuk menolak dipanggil dengan sebutan “Eliezer” nama yang
Aku berharap Ben menolongku, sungguh bibirku tidak bisa bergerak. Dan dalam hitungan detik serangan migren menyerang, perutku mulai terasa kaku. Haruskan aku jujur jika aku tengah hamil? “Bukankah ini terlalu dini untuk ditanyakan Ayah?” tanya Mama Eva dengan suara sangat lembut, aku yakin wanita paruh baya itu sedang merayu suaminya. “Tidak, aku hanya ingin tahu yang sebenarnya.” Ayah Anjas terdiam sesaat lalu melanjutkan ucapannya. “Eliezer, masih masa merintis. Bahkan, kadang masih bergantung pada kita. Lalu dia ingin menikah dalam waktu dekat. Dia pikir berumah tangga itu gampang?” Ayah Anjas terdiam, lalu kembali bergumam, “Anak zaman sekarang kalo mau nikah cepet-cepet, pasti ada alasannya.” Ben mengangkat wajah, memandangku lalu ke arah ayahnya. “Iya Ayah, mohon maaf seribu maaf Yollanda tengah hamil anak Ben.” Petir menyambar tubuhku untuk kedua kalinya, kali ini bukan hanya sakit kepala tapi nyaris pingsan. Dalam hitungan detik warah Ayah Anjas berubah merah. Matanya nya
Aku menarik tanganku dengan kasar, akan tetapi cekaman pria itu terlalu kuat. “Ben!” Aku kembali teriak kencang.“Di sana hujan, lihat kamu basah! Siapa yang mau macam-macam sama kamu?” Ben melepas genggamannya. Dan aku kembali menjauh dari Ben. “Jika kamu macam-macam aku beneran potong jari kelingkingmu!” Gerahamku mengigit kuat-kuat, kedua tanganku bertumpuk di dada dengan tubuh gemetar. Kini aku tidak lagi merasakan kedinginan tapi juga ketakutan luar biasa. “Ya ampun, aku tidak macam-macam. Cuma kamu sini…disitu basah,” jawab Ben. Aku terdiam, dan Ben masih memandang diriku yang berdiri yang berjarak dua meter.Kilat menyambar kembali bersama dengan suara petir menggelegar. Aku semakin ketakutan. Ben kemudian mudur beberapa langkah. “Berteduhlah!” Aku kemudian berpindah tempat hingga air hujan tidak membasahi tubuhku. Aku melirik Ben sekilas, pria itu masih tampak memperhatikan aku. Lalu Ben melepas jaketnya dan dilempar tepat mengenai wajahku. Aku sedikit tersinggung, namun
Dua hari sebelum lamaran aku mengalami masalah. Aku terus muntah-muntah dan mengalami sakit kepala luar biasa. Padahal besok pagi aku harus berangkat ke Malang untuk mempersiapkan acara lamaran. Malam itu tepat pukul sembilan malam ketika aku masih jongkok di kamar mandi, suara ketukan pintu memaksaku untuk menerima tamu dengan kondisi kepayahan. “Kamu sakit?” tanya ketika pertama kali melihatku di balik pintu. “Tidak.”“Pucat sekali?” Ben terus memandangku. Mungkin dia heran dengan tampilan rambutku mirip singa jantan dengan kulit bibir kering. “Aku…” Rasa mual kembali menderaku. Aku tak tahan kemudian meninggalkan Ben yang berdiri di ambang pintu untuk segera masuk kamar mandi. Aku muntah untuk sekian kali. Saking habisnya seluruh isi perutku kini yang keluar hanya air dan lendir menjijikan. Ben masuk ke dalam kamar, menghampiri yang berada di dalam kamar mandi. “Kamu sakit?”Sungguh aku didera kejengkelan berlipat, padahal sudah peringatkan batas dia bertamu hanya di teras.“