Share

Bab 6. Uang ditukar Nikah

Ben tertawa.

Aku melihat giginya berjejer rapi lalu pandangannya ke arah barat tepatnya di lantai dua. “Beberapa kali aku melihatnya, dari sana.” Ben mengangkat dagu ke arah barat. 

Aku berdesis, “kamu mata-matain aku?”

“Jangan terlalu percaya diri. Aku hanya menebak. Aku di sini baru dua bulan. Melihat pacarmu itu baru dua kali.” 

Aku buang muka, emosiku tersulut tapi aku tidak mampu marah. “Aku sudah putus.” Suaraku ketus. 

*

Dua minggu berlalu, aku dan Ben menjadi saling kenal. 

Tapi tidak pernah bertanya mengapa aku hendak bunuh diri. Aneh, pria itu tidak penasaran mengapa aku hendak bunuh diri di malam itu. Tapi dalam lubuk hati aku juga tidak berharap dia ingin tahu. 

Dan sejak saat itu pula aku berteman dengan Ben, tidak terlalu akrab hanya saja sering saling sapa. Beberapa kali bertemu di jalan saat hendak berangkat kerja, dia menawarkan diri untuk mengantarku. 

Awalnya aku menolak.

Aku memilih jalan kaki toh sejak motorku hilang dibawa Arya aku selalu berangkat kerja dengan jalan kaki melewati jembatan tempat yang nyaris aku bunuh diri. Tapi tambah hari fisikku payah, badan mudah capek dan letih padahal hari masih pagi. 

Ben juga bebal, meskipun beberapa kali aku menolak, tetap menawarkan diri mengantarku. Akhirnya aku menerima tawaran Ben, berangkat kerja bareng. Pikirku juga tidak merepotkan dia, karena kantor dan cafe Ben, satu arah. 

Dan selama dua minggu aku benar-benar kalut dengan janin yang kukandung, aku belum menemukan solusi.  

Belum lagi kondisi fisikku semakin hari makin payah sedangkan janin semakin bertumbuh. Bahkan aku juga belum berani untuk ke dokter. Pasti dokter akan bertanya perihal suami, aku tak bisa membayangkan harus aku jawab apa. 

Aku berharap janin dalam rahimku ini tiba-tiba lenyap dari tubuhku, kadang aku juga sengaja makan pedas atau makan nanas; yang konon katanya bisa menggugurkan kandungan. Padahal beberapa kali makan itu sedikit pun tidak timbul reaksi.

Namun, setelah aku pikir matang akan aku menggugurkan kandungan ini sebelum usianya empat bulan. Sebelum malaikat meniupkan ruh padanya.  

Aku pun telah memikirkan bagaimana cara paling tepat menggugurkan kandungan ini. 

Dari pada aku menelan pil penggugur kandungan yang entah manjur atau tidak lebih baik aku bertindak cepat. Janin ini harus segera diangkat, sebelum tumbuh besar. Aku tahu ini salah, tapi aku harus bagaimana jika Arya satu bulan lebih menghilang. Aku tidak kuat jika menanggung ini sendirian. 

Aku berjanji jika masalah ini tuntas aku tidak akan mengulangi dosa yang sama. 

Dan satu-satunya orang yang bisa membantuku ialah Ben.

Karena dia satu-satunya orang yang tahu kondisiku saat ini. Meskipun pria itu tidak pernah bertanya tentang kehamilanku. Aku yakin dia bisa membantuku mencari dokter yang bisa membantuku menggugurkan kandungan ini. 

Dia pria muda sekaligus pengusaha, aku yakin jika dia punya relasi banyak.

Dan tepat malam minggu aku sengaja memesan pizza, aku tunggu Ben di teras. Dan seperti dugaanku, dia sampai kost di jam sembilan lewat lima belas menit. Seperti biasanya. Langsung aku tawarkan pizza sekaligus minuman, setelah dia sedikit santai baru aku bicara. 

“Ben, kamu bisa membantuku mencari dokter yang bisa membantuku aborsi?” tanyaku dengan wajah tertunduk, sedikitpun aku tidak berani menampakkan wajah. Aku malu luar biasa. 

Reaksi Ben diluar dugaanku, dia meletakan setengah potong pizza ditangan lalu menelan paksa. Kemudian dia minum dari botol yang aku sudah sediakan. “Kamu serius?”

Aku mengangguk pelan. 

“Sudah kamu pikir matang-matang?”

“Ya,” jawabku singkat.

“Pacarmu sudah tahu kamu hamil?” tanya Ben dengan nada suara sangat tenang.

Aku justru tersentak, Ben akan bertanya hal itu. 

Tiba-tiba dua bola mataku terasa panas, aku tutup wajah dengan telapak tangan sambil berkata, “karena hal itu Ben aku minta tolong carikan dokter yang bisa membantuku. Hingga saat ini dia tidak bisa aku hubungi.” 

Kini aku sudah tersedu-sedu, sungguh aku sudah tidak punya kekuatan apapun jika ditanya soal Arya. “Jujur aku belum putus tapi dia yang meninggalkan aku hampir dua bulan.”

Ben tidak langsung menjawab, dia justru menatapku sejenak lalu meraih kembali botol air mineral. “Dasar brengsek. Pria macam apa itu pacarmu!”

“Tolong ya Ben, cari dokter yang bisa bantu aku,” jawabku iba. Sungguh aku merasa sudah tidak punya harga diri sebagai seorang perempuan. 

“Kamu sudah gila?” Ben menatapku tajam.

“Terus aku harus gimana Ben?” suaraku sedikit meninggi melihat respon Ben yang tidak senang dengan pilihanku.

Ben berdiri berjalan mondar mandir di hadapanku, yang membuat aku semakin pusing. Lalu ia menatapku kembali dan berkata, “kamu punya uang sepuluh juta?”

“Buat apa?” Sungguh aku semakin dibuat gemas dengan tingkah Ben. 

“Begini, aku harus melunasi pinjaman online. Paling telat minggu ini, kalau tidak bunganya bertambah, belum lagi debt collector datang terus ke cafe. Aku malu kalau sampai ada yang tahu. Aku siap tanggung jawab asal kamu kasih aku sepuluh juta.”

“Kamu gila Ben.” Sengaja aku potong pembicaraan Ben. 

“Kita sama-sama gila. Kamu bingung siapa yang tanggung jawab atas calon bayi itu, aku butuh uang yang mendesak. Kita bisa cerai setelah bayi itu lahir.”

Aku menatap Ben dengan emosi yang bergejolak, dadaku kembang kempis menahan amarah yang nyaris meledak. Bibirku bergetar menahan untuk tidak mengumpat kasar, duga prasangka kini bukan semata ilusi tapi fakta. 

Pria manapun sama. Manipulatif. 

Termasuk Ben, memanfaatkan wanita yang tengah tidak berdaya. 

Sungguh aku ingin sekali menghantam wajah Ben dengan pizza di sampingku. 

“Kamu kurang waras Ben! Aku tidak bisa!” Hanya kalimat itu yang mampu keluar dari bibirku, lalu aku buang muka. Bicara dengan Ben tentang masalahku bukan memberi solusi justru membuat kepalaku meledak. 

“Terus aku harus bagaimana? Membantumu mencari dokter yang bisa…” Ben terdiam wajahnya sangat resah. “Aku tidak bisa! Aku bukan bagian dari pembunuh.” Suara Ben terdengar lemas putus asa. 

Dan kalimat Ben yang terakhir justru menikamku. “Pembunuh”. Kali ini pria itu menamparku keras, secara tidak langsung dia mengatakan aku seorang pembunuh. Aku diam sudah tak bernafsu untuk bicara apa pun. 

"Kamu pikirkan matang-matang, aku tunggu jawabanmu besok. Yang jelas kita sama-sama untung Yollanda. Toh kita nikah hanya untuk status saja, setelah anakmu lahir kita pisah. Aku juga tidak akan melakukan hal gila ini kalo bukan karena diburu debt collector." Ben berdiri dan meninggalkan aku sendirian di teras. 

Dadaku gemuruh, kepalaku nyaris meledak. Ben benar-benar gila, mempertaruhkan harga diriku untuk kepentinganya sendiri! Bangsat!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status