Home / Rumah Tangga / Pernikahan Sepuluh Juta / Bab 6. Uang ditukar Nikah

Share

Bab 6. Uang ditukar Nikah

Author: Zedanzee
last update Last Updated: 2022-08-29 20:59:50

Ben tertawa.

Aku melihat giginya berjejer rapi lalu pandangannya ke arah barat tepatnya di lantai dua. “Beberapa kali aku melihatnya, dari sana.” Ben mengangkat dagu ke arah barat. 

Aku berdesis, “kamu mata-matain aku?”

“Jangan terlalu percaya diri. Aku hanya menebak. Aku di sini baru dua bulan. Melihat pacarmu itu baru dua kali.” 

Aku buang muka, emosiku tersulut tapi aku tidak mampu marah. “Aku sudah putus.” Suaraku ketus. 

*

Dua minggu berlalu, aku dan Ben menjadi saling kenal. 

Tapi tidak pernah bertanya mengapa aku hendak bunuh diri. Aneh, pria itu tidak penasaran mengapa aku hendak bunuh diri di malam itu. Tapi dalam lubuk hati aku juga tidak berharap dia ingin tahu. 

Dan sejak saat itu pula aku berteman dengan Ben, tidak terlalu akrab hanya saja sering saling sapa. Beberapa kali bertemu di jalan saat hendak berangkat kerja, dia menawarkan diri untuk mengantarku. 

Awalnya aku menolak.

Aku memilih jalan kaki toh sejak motorku hilang dibawa Arya aku selalu berangkat kerja dengan jalan kaki melewati jembatan tempat yang nyaris aku bunuh diri. Tapi tambah hari fisikku payah, badan mudah capek dan letih padahal hari masih pagi. 

Ben juga bebal, meskipun beberapa kali aku menolak, tetap menawarkan diri mengantarku. Akhirnya aku menerima tawaran Ben, berangkat kerja bareng. Pikirku juga tidak merepotkan dia, karena kantor dan cafe Ben, satu arah. 

Dan selama dua minggu aku benar-benar kalut dengan janin yang kukandung, aku belum menemukan solusi.  

Belum lagi kondisi fisikku semakin hari makin payah sedangkan janin semakin bertumbuh. Bahkan aku juga belum berani untuk ke dokter. Pasti dokter akan bertanya perihal suami, aku tak bisa membayangkan harus aku jawab apa. 

Aku berharap janin dalam rahimku ini tiba-tiba lenyap dari tubuhku, kadang aku juga sengaja makan pedas atau makan nanas; yang konon katanya bisa menggugurkan kandungan. Padahal beberapa kali makan itu sedikit pun tidak timbul reaksi.

Namun, setelah aku pikir matang akan aku menggugurkan kandungan ini sebelum usianya empat bulan. Sebelum malaikat meniupkan ruh padanya.  

Aku pun telah memikirkan bagaimana cara paling tepat menggugurkan kandungan ini. 

Dari pada aku menelan pil penggugur kandungan yang entah manjur atau tidak lebih baik aku bertindak cepat. Janin ini harus segera diangkat, sebelum tumbuh besar. Aku tahu ini salah, tapi aku harus bagaimana jika Arya satu bulan lebih menghilang. Aku tidak kuat jika menanggung ini sendirian. 

Aku berjanji jika masalah ini tuntas aku tidak akan mengulangi dosa yang sama. 

Dan satu-satunya orang yang bisa membantuku ialah Ben.

Karena dia satu-satunya orang yang tahu kondisiku saat ini. Meskipun pria itu tidak pernah bertanya tentang kehamilanku. Aku yakin dia bisa membantuku mencari dokter yang bisa membantuku menggugurkan kandungan ini. 

Dia pria muda sekaligus pengusaha, aku yakin jika dia punya relasi banyak.

Dan tepat malam minggu aku sengaja memesan pizza, aku tunggu Ben di teras. Dan seperti dugaanku, dia sampai kost di jam sembilan lewat lima belas menit. Seperti biasanya. Langsung aku tawarkan pizza sekaligus minuman, setelah dia sedikit santai baru aku bicara. 

“Ben, kamu bisa membantuku mencari dokter yang bisa membantuku aborsi?” tanyaku dengan wajah tertunduk, sedikitpun aku tidak berani menampakkan wajah. Aku malu luar biasa. 

Reaksi Ben diluar dugaanku, dia meletakan setengah potong pizza ditangan lalu menelan paksa. Kemudian dia minum dari botol yang aku sudah sediakan. “Kamu serius?”

Aku mengangguk pelan. 

“Sudah kamu pikir matang-matang?”

“Ya,” jawabku singkat.

“Pacarmu sudah tahu kamu hamil?” tanya Ben dengan nada suara sangat tenang.

Aku justru tersentak, Ben akan bertanya hal itu. 

Tiba-tiba dua bola mataku terasa panas, aku tutup wajah dengan telapak tangan sambil berkata, “karena hal itu Ben aku minta tolong carikan dokter yang bisa membantuku. Hingga saat ini dia tidak bisa aku hubungi.” 

Kini aku sudah tersedu-sedu, sungguh aku sudah tidak punya kekuatan apapun jika ditanya soal Arya. “Jujur aku belum putus tapi dia yang meninggalkan aku hampir dua bulan.”

Ben tidak langsung menjawab, dia justru menatapku sejenak lalu meraih kembali botol air mineral. “Dasar brengsek. Pria macam apa itu pacarmu!”

“Tolong ya Ben, cari dokter yang bisa bantu aku,” jawabku iba. Sungguh aku merasa sudah tidak punya harga diri sebagai seorang perempuan. 

“Kamu sudah gila?” Ben menatapku tajam.

“Terus aku harus gimana Ben?” suaraku sedikit meninggi melihat respon Ben yang tidak senang dengan pilihanku.

Ben berdiri berjalan mondar mandir di hadapanku, yang membuat aku semakin pusing. Lalu ia menatapku kembali dan berkata, “kamu punya uang sepuluh juta?”

“Buat apa?” Sungguh aku semakin dibuat gemas dengan tingkah Ben. 

“Begini, aku harus melunasi pinjaman online. Paling telat minggu ini, kalau tidak bunganya bertambah, belum lagi debt collector datang terus ke cafe. Aku malu kalau sampai ada yang tahu. Aku siap tanggung jawab asal kamu kasih aku sepuluh juta.”

“Kamu gila Ben.” Sengaja aku potong pembicaraan Ben. 

“Kita sama-sama gila. Kamu bingung siapa yang tanggung jawab atas calon bayi itu, aku butuh uang yang mendesak. Kita bisa cerai setelah bayi itu lahir.”

Aku menatap Ben dengan emosi yang bergejolak, dadaku kembang kempis menahan amarah yang nyaris meledak. Bibirku bergetar menahan untuk tidak mengumpat kasar, duga prasangka kini bukan semata ilusi tapi fakta. 

Pria manapun sama. Manipulatif. 

Termasuk Ben, memanfaatkan wanita yang tengah tidak berdaya. 

Sungguh aku ingin sekali menghantam wajah Ben dengan pizza di sampingku. 

“Kamu kurang waras Ben! Aku tidak bisa!” Hanya kalimat itu yang mampu keluar dari bibirku, lalu aku buang muka. Bicara dengan Ben tentang masalahku bukan memberi solusi justru membuat kepalaku meledak. 

“Terus aku harus bagaimana? Membantumu mencari dokter yang bisa…” Ben terdiam wajahnya sangat resah. “Aku tidak bisa! Aku bukan bagian dari pembunuh.” Suara Ben terdengar lemas putus asa. 

Dan kalimat Ben yang terakhir justru menikamku. “Pembunuh”. Kali ini pria itu menamparku keras, secara tidak langsung dia mengatakan aku seorang pembunuh. Aku diam sudah tak bernafsu untuk bicara apa pun. 

"Kamu pikirkan matang-matang, aku tunggu jawabanmu besok. Yang jelas kita sama-sama untung Yollanda. Toh kita nikah hanya untuk status saja, setelah anakmu lahir kita pisah. Aku juga tidak akan melakukan hal gila ini kalo bukan karena diburu debt collector." Ben berdiri dan meninggalkan aku sendirian di teras. 

Dadaku gemuruh, kepalaku nyaris meledak. Ben benar-benar gila, mempertaruhkan harga diriku untuk kepentinganya sendiri! Bangsat!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Sepuluh Juta   Bab 23. USG Pertama

    Tapi aku tidak lupa jika yang tidak suka denganku ialah ayah mertuaku. Tapi sikapnya yang diam dan tak komentar itu jauh lebih baik dari pada dia berucap tapi menyakitkan.Jam dua siang beberes kelar, termasuk mengambil tempat tidur, lemari dan beberapa meja di gudang kemudian di tata di kamar. Barulah sore hari Mama Eva kembali cerewet, memaksa Ben untuk mengantar USG ke dokter.Kami hanya bisa pasrah dengan permintaan itu. Bukan itu saja permintaan Mama Eva, dia memaksa Ben untuk ikut masuk kedalam ruangan periksa. Sebenarnya Ben sudah menolak dengan banyak alasan tapi Mama Eva kekeh memaksa. Aku berbaring di tempat tidur sedangkan seorang bidan berdiri di sampingku, bersebelahan dengan Mama Eva. Jarinya mulai membuka kemejaku. Sedangkan mataku justru menatap Ben, kwatir pria itu berfikir hal yang tidak-tidak setelah melihat kulit perutku.Sebuah alat untuk memeriksa dekat jantung telah melekat di perutku. Dan suara jantung anakku mulai terdengar dengan ritme stabil. Kulihat Mam

  • Pernikahan Sepuluh Juta   Bab 22. Ibu Mertua Impian

    Genap dua hari aku di rumah mertua. Aku melihat serta merasakan suatu hal yang bertolak belakang. Yang pertama Mama Eva yang sangat perhatian dan Ayah Anjas yang terlampau culas. Pria itu sedikit pun tidak mau bertegur sapa denganku, bahkan duduk di ruangan yang sama dia menolak. Aku tak ambil pusing. Tidak aku pikirkan. Toh ini hanya sementara. Mama Eva sendiri mengatakan jika suaminya butuh waktu menerima kenyataan. Aku hanya perlu bersikap baik, selebihnya Ayah Anjas sendiri menyembuhkan rasa kecewa itu.Tepat di hari ketiga aku di rumah itu, aku dan Ben memutuskan untuk segera kembali ke kota. Cuti kerjaku tinggal dua hari, sedangkan Ben perlu mengurus cafe. Namun, rencana tidak sesuai harapan setelah kami dipanggil Mama Eva di ruang tamu. “Setelah menikah kalian mau tinggal dimana?” tanya Mama Eva membuka percakapan. Aku diam. Dan Ben menjawab, “di kost Ma.”“Kost?” Dahi Mama Eva mengkerut. Aku sendiri hanya bisa tersenyum tipis. “Kost suami istri. Kan ngak masalah, kami mas

  • Pernikahan Sepuluh Juta   Bab 21. Susu Ibu Hamil

    “Terus kapan kamu tahu jika ayahmu kandung meninggal?” tanya Ben, sepertinya dia mulai tidak sabar mendengar puncak ceritaku yang bertele-tele. “Umur lima belas tahun. Ketika aku terus-terusan bertanya mengapa ibu harus sembunyi setiap kali ke makam yang tidak aku kenal orangnya. Saat itu ibu mengatakan sejujurnya padaku siapa sebenarnya ayah kandungku. Dan aku juga harus berjanji untuk tidak mengatakan hal ini pada siapa pun. Kenyataan itu menjadikan bibit kebencian pada Sasmitha.” Setiap kali mengingat dan menyebut nama pria aku tak bisa menahan senyum sinisku. “Hal itu yang membuatmu tidak mengundang dia?” Ben memandangku dengan kedua alis berkerut. “Banyak hal. Sejak aku tahu dia bukan ayah kandungku, dia juga yang menjauhkan aku dengan Kakek. Aku semakin tidak berempati pada pria itu. Terlebih lagi kenyataan di depan mata, bagaimana pria itu memperlakukan aku dengan dua anak kembarnya cukup tumpang tindih.”“Jika aku yang mendapatkan prestasi aku tidak mendapatkan pujian. Tapi

  • Pernikahan Sepuluh Juta   Bab 20. Rencana Rati

    Ben berada di sampingku dengan tubuh menghadapku, dan sengaja di tengah-tengah aku letakan sebuah guling ukuran sedang. Aku anggap itu adalah pembatas tubuh kami. Beberapa kali Ben tersenyum kadang juga mengerutkan kening mendengar ceritaku. Cerita itu yang aku rangkai berdasarkan cerita ibu, cerita kakek dan juga beberapa kejadian tidak menyenangkan yang pernah aku alami di masa lalu.“Ini sudah jam setengah satu, kamu tak ngatuk Ben?” tanyaku mengalihkan perhatian. “Tidak.”Aku menghela nafas panjang. Butuh energi yang kuat untuk aku menceritakan kenangan buruk itu.“Lanjutkan! Terlanjur penasaran,” ucap Ben.Aku diam sesaat dan tersenyum nyengir. “Tapi aku lapar.”“Kamu mau makan apa?”“Terserah,” jawabku. Ben lantas bangun lalu keluar kamar dan kembali dengan membawa air mineral, satu toples kripik pisang dan biskuit coklat. “Tidak ada makanan padat yang enak di makan malam hari. Makanlah cemilan.” Ben meletakan semua makanan dan minuman di pangkuanku. Aku tersenyum girang.

  • Pernikahan Sepuluh Juta   Bab 19. Sasmitha

    Tiga hari berlalu Sasmitha benar-benar menepati janjinya Ia kini datang bukan hanya membawa dua bungkus bakso, tapi si kembar; Roni dan Ronal ikut serta berjalan mengapit dirinya. “Maaf Dek Rati aku sengaja membawa mereka untuk kuperkenalkan padamu dan Yollanda.” Sasmita tersenyum malu-malu sambil melepas mengusap dua kelapa dua bocah yang berada di kanan kiri. Sasmitha tidak langsung membombardir Rati dengan pertanyaan seputar lamaranya kemarin. Dia justru ikut bermain dengan Si Kembar dan Yollanda. Sedangkan Rati duduk mengamati. Pandangannya terhadap Sasmitha sedikit berubah, Sasmitha tidak terlalu buruk. Pekerjaan Sasmitha juga jelas, meskipun sekelas tukang bakso dengan karyawan satu orang. Pasti suatu saat sukses bisa menghidupi empat orang. “Dek Rati bagaimana dengan lamaran Akang kemarin?” Akhirnya setelah tiga puluh menit bertamu Sasmitha bertanya. “Ada syarat jika memang Ak

  • Pernikahan Sepuluh Juta   Bab 18. Rati

    Rati hidup dengan suaminya di rumah pemberian orang tuanya. Ayahnya sudah meninggal sejak usianya tujuh belas tahun. Sedangkan ibunya meninggal setelah Rati menikah selama satu tahun. Ketika usia pernikahan menginjak enam belas bulan Rati positif hamil dan melahirkan seorang anak perempuan yang dia beri nama Yollanda Kartika. Rati berharap anaknya seperti memiliki sifat seperti namanya; Yollanda yang berarti kuat. Dan nama Kartika berasal dari nama pahlawan perempuan yang dia kagumi; Dewi Sartika. Ketika Yollanda usia satu tahun, wabah demam berdarah terjadi di desa tempat ia dilahirkan. Puluhan anak-anak dan orang tua terbaring lemah di rumah sakit. Bahkan tidak sedikit yang meninggal, dan salah satu orang yang menjadi korban ialah ayah Yollanda. Sejak saat itu Rati menjadi seorang janda muda satu anak. Enam bulan menjadi janda seorang pria berkumis tebal datang ke rumah dengan menenteng dua bungkus bakso.Sasmitha siapa yang tak kenal dengan pedagang bakso itu. Termasuk Rati

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status