Share

Permintaan sulit

Beberapa menit kemudian Adam sampai di kamarnya untuk membawakan istrinya sarapan pagi, Adam mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar. Ia tak menemukan Hawa tidur di atas ranjang mereka. Hatinya mulai gelisah dan khawatir kalau Hawa sampai meninggalkannya, apa mungkin ini hanya pikiran bodohnya yang terlalu takut kehilangan wanita itu.

Tangannya cekatan menaruh Sandwich dan susu yang dia bawa tadi di atas nakas lalu berinisiatif mencari Hawa di kamar mandi. Adam menarik nafas panjang saat berada di balik pintu, ia baru saja ingin mengetuknya tapi Hawa sudah lebih dulu membuka pintu.

Hawa yang hanya berbalut kimuno di atas lutut dan handuk yang di gelung di atas kepalanya menandakan dia baru saja membersihkan dirinya di dalam sana. Ia cukup kaget melihat suaminya yang mematung di hadapannya, ia tahu betul ekspresi suaminya yang tampak cemas memikirkan sesuatu yang mengganggu pikirannya.

"Ternyata kau mandi ya, sayang. Aku pikir kau tadi pergi meninggalkanku sendiri di sini," pekik Adam menghambur ke pelukan istrinya yang tersenyum. Hawa tidak habis pikir apa ia harus sekhawatir ini jika tidak ada di kamar padahal mana mungkin dia berani pergi tanpa seizin suaminya.

"Astaga, Adam! Kenapa kau khawatir padahal aku tidak pergi kemanapun. Lihatlah aku baru saja mandi!" tawa Hawa terdengar renyah di telinga Adam. Wanita itu menutup mulutnya menahan tawa, Adam sangat menggemaskan jika tampak khawatir.

"Sayang, kau jangan menertawaiku! Aku hanya takut saja kau pergi tanpa izinku," keluh Adam melepaskan pelukannya lalu mencubit pipi istrinya yang tampak pucat baru saja terkena guyuran air.

"Itu tidak mungkin Adam. Aku mana berani keluar rumah tanpa izinmu. Pergi tanpa pamit sama saja aku mengundang kutukan Allah." Tatapan mata istrinya mulai sayu, ia tahu betul aturan agama bagaimana ia harus menghargai suaminya. Adam tersenyum mendengar jawaban itu, hasratnya yang membara tidak menyurutkan semangatnya untuk mencium puncak kepala istrinya.

Adam menuntun Hawa untuk duduk di tepi ranjang, ia menyodorkan Sandwich lalu memaksa Hawa membuka mulutnya, wanita itu menurut saja memakannya kemudian mengunyah perlahan.

"Seharusnya menyiapkan sarapan pagi adalah tugasku Adam. Aku merasa bersalah tadi pagi aku sempat tertidur dan merepotkanmu membuat sarapan ini. Aku merasa istri yang tidak berguna untukmu," kata Hawa lirih. Ia menghembuskan nafas berat, tidak terima di hari pertama kebersamaan mereka Hawa malah ketiduran. Jujur saja, badannya terasa sakit dan pegal-pegal setelah pergelutannya yang panjang. Ia benar-benar kehabisan tenaga meladeni Adam yang terus saja memangsanya.

Setidaknya Hawa bersyukur ada sosok pria yang mau menerima gadis yatim piatu dan rela menikahinya walaupun tanpa persetujuan ibunya. Pengorbanan yang Hawa lakukan tidak seberapa di banding Adam. Ia mendapat amukan Helsi dan terus saja memintanya untuk menceraikannya. Kisah cinta mereka cukup sulit dan susah menemukan titik terang. Ia tahu betul bagaimana Helsi membencinya, kehadiran dirinya sama saja mengorek luka lama ibu mertuanya itu.

"Ssssstt! Kau jangan bicara seperti itu Hawa. Istri bukan budak yang harus mengerjakan segalanya. Tapi dia pendamping hidup seorang pria yang berhak mendapat perlindungan dan kebahagian. Aku tidak ingin selalu merepotkanmu, makanan secuil ini aku juga bisa memasaknya." Adam menjelaskan secara rinci tidak mau istrinya terlalu banyak memikirkan hal yang tidak penting.

Mata Hawa berkaca-kaca ia ingin terus bahagia seperti sekarang berada di samping Adam. Semoga saja harapannya itu bisa terkabulkan. "Terima kasih, Adam. Kau selalu membuatku menjadi wanita paling bahagia di dunia ini." Ia beranjak dari tempat duduknya, bergegas memakai pakaian. Beberapa menit kemudian ponsel Adam berbunyi nyaring di saku celananya. Dia merogoh benda mungil itu lalu memastikan siapa nama penelpon yang tertulis di layar ponselnya.

"Halo, Pa." Adam berbicara lembut mendengarkan suara pria paruh baya itu.

"Mamamu memintamu ke rumah sakit, Nak. Ia mau kau datang sendiri kemari tanpa membawa Hawa. Mamamu juga ingin kau menuruti permintaannya tadi malam. Papa lihat Mamamu masih shock setelah kejadian kemarin." Suaranya terdengar di seberang, menjelaskan pada Adam keinginan Helsi yang cukup merepotkan baginya. Ibunya hanya ingin satu permintaan dari Adam. Menceraikan Hawa.

"Baiklah, Adam akan segera datang kesana." Adam menutup telepon. Ia terdiam sesaat berpikir keras atas permintaan ibunya. Dan Adam sudah mengambil keputusan terberat.

****

Adam sudah sampai di rumah sakit, ia bergegas naik ke atas menggunakan lift masuk ke kamar inap ibunya. Perlahan ia mendorong pintu dan melihat Helsi terbaring di atas ranjang, sedangkan papanya setia duduk di sampingnya. Pasangan yang terlihat romantis itu sudah bertahun-tahun bersama dan tak ada yang tahu kapan mereka terpisah.

"Ma, Adam sudah datang," ujar Adam duduk di kursi di samping ranjang ibunya. Ia meremas jari yang kulitnya sudah mulai berkeriput. Perlahan mata Helsi yang terpejam akhirnya terbuka lebar, dia tersenyum mengayunkan kedua tangannya memeluk anak semata wayangnya. Adam  membungkukkan badan memeluk wanita paruh baya itu.

Helsi kegirangan karena tak melihat Hawa di manapun, itu berarti Adam lebih memilihnya dan berniat meninggalkan Hawa yang sudah menghancurkan kebahagian mereka. "Aku tahu Adam kau pasti lebih memilih Mama di banding wanita pembawa sial itu. Kau mau, kan menceraikannya demi Mama? Kabulkanlah perintah Ibu yang melahirkanmu ini." Mata Helsi berkaca-kaca ia cukup takut kehilangan anaknya karena menikahi wanita pembawa sial. Mereka melepaskan pelukan yang menyesakkan dada.

"Adam anak Mama sampai kapanpun. Tidak seorangpun bisa menggantikan posisi Mama dan Adam akan selalu menuruti perintah Mama kecuali menceraikan Hawa. Aku sudah menikahinya, aku sudah berikrar atas nama Allah untuk selalu melindunginya. Kami baru saja menikah, mana mungkin aku menceraikannya. Kak Radit melepas saudara satu-satunya demi aku, Ma dan aku yang memintanya untuk menikahkan kami. Aku sangat mencintai Hawa dan Mama tahu benar itu. Aku hanya mau menikah satu kali dalam hidupku." Andai saja Adam pria yang lemah mungkin tangisnya sudah pecah sekarang karena sulit memilih antara istri dan ibunya.

"Kau lebih memilihnya? Adam, dengarkan Mama! Dia wanita pembawa sial. Orang tuanya meninggal dan saudara satu-satu Mama tewas dalam kecelakaan itu. Kau tahu kan betapa takutnya Mama kehilanganmu juga. Mama punya banyak stok wanita untukmu yang 10x lebih baik dari wanita itu. Percaya sama Mama, dia akan selalu merepotkanmu," cerocos Helsi tidak berhenti meyakinkan anaknya agar merubah haluan meninggalkan Hawa.

"Semua sudah takdir Ma. Itu bukan salah Hawa, ia tidak tahu apa-apa. Adam tidak percaya Mama masih saja mempercayai takhayul seperti itu." Adam merasa geram, seandainya bukan ibunya yang di hadapannya ini, mungkin saja ia akan menghajarnya habis-habisan karena menghina istrinya.

"Adam! Entah apa yang ada di pikiranmu saat ini sampai-sampai kau membantah Mama. Hawa akan menyusahkanmu saja," seru Helsi membuang muka. Ia sangat kecewa atas keputusan Adam.

"Apapun yang terjadi Adam tidak akan meninggalkannya. Dia gadis yang baik dan butuh perlindunganku. Hawa masuklah ke sini dan minta restu pada Mama," teriak Adam meminta Hawa masuk ke dalam. Helsi terkejut tidak menyangka Adam akan senekat ini meminta wanita yang di bencinya untuk menemuinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status