Share

Tinggal Bersama

Beberapa orang berpeci dan berjas berdiri tegap di depan pintu. Wajah mereka sangat dingin. Bak aparat yang sedang menangkap pelaku kriminal. Tak ada senyum, tanya tatapan penuh kebencian dan merendahkan.

Jelas Emilio terkejut dan tak suka dengan tatapan itu.

"Siapa kalian dan mau apa kalian?" tanya dengan wajah dingin juga.

Salah seorang dari mereka, muncul dari belakang. Wajahnya agak lebih teduh dan bersahabat. Lelaki itu sempat melengkungkan sedikit senyuman.

"Permisi, kami mendapat informasi, telah terjadi perzinahan di sini. Bapak tahu kamu punya aturan, dan bapak atas perbuatan bapak tersebut, akan mendapatkan hukuman dari kami.”

‘Oh Shit!’ maki Emilio dalam hati. Panik jelaslah panik. Mereka tampak serius, dan Emilio yakin, namanya dan reputasinya akan hancur dalam sekejab.

“Kami ingin masuk!” kata salah seorang dari orang itu. wajahnya cukup tegang dan datar. Intonasinya pun tegas.

Emilio diam, lelaki itu bingung dengan situasi, kepalanya agak sedikit lola. Jelas, di dalam ada perempuan bersamanya tadi. Jika pun dia bilang mereka tidak melakukan tuduhan itu, barang tentu mereka tidak akan percaya.

“Permisi, Pak.” Seseorang ingin merebos masuk.

Cepat-cepat Emilio menahannya. “Tu-tunggu. Oke.” Emilio mengembuskan napas panjang. “Se-sebenarnya… .”

“Lambat!” ujar salah dari lima orang itu. Benar-benar tak sabar menunggu Emilio.

Lelaki itu masuk, dan menemukan seorang perempuan duduk di tepi ranjang. Perempuan itu menundukkan wajahnya ke bawah.

“Bener laporan yang kita terima. Mereka memang berzina di sini,” katanya  dengan nada tegas.

“Ti-tidak...,” sangkal Emilio.

Sedangkan perempuan yang duduk di tepi ranjang itu sedang terisak.

“Kita dijebak,” ujar Emilio lagi.

“Bohong!”

“Beneran, coba lihat! Nggak ada yang terjadi. Kita cuma dijebak,” ujar Emilio.

Tetap saja ucapan lelaki itu tidak diterima oleh kelima lelaki itu. Mereka masih kekeuh dengan informasi yang mereka terima.

“Oke, saya mau negoisasi,” kata Emelio. “Perempuan di depan saya ini katanya masih perawan. Mari kita periksa di rumah sakit, jika memang terbukti masih perawan. Artinya kita nggak brebohong. Kita hanya dijebak. Pak.”

“Ribet,” sanggah salah satu dari mereka.

“Saya harus gimana?” tanya Emilio frustasi. Perempuan di depannya tidak menolong sama sekali. Luisa hanya menangis, dan membuat Emilio benar-benar geram.

“Nikah atau kalian akan kami arak keliling kota ini!”

“Dam shit!” maki Emilio.

Mendengar kalimat itu. Luisa yang tadinya hanya terisak. Menangis kencang, meraung-raung. Kepala perempua itu menggeleng-geleng. Dia tidak mau orang tuanya tahu, pacarnya tahu, teman-teman kantornya. Semua orang tiba-tiba muncul dalam benak, mengolok-ngolok dirinya. Luisa tidak siap.

“No! Ini gila! Saya tidak akan melakukan itu!” kata Emilio tegas. Jelas dia tidak akan menikah dengan perempuan yang baru saja dia kenal. Ini lebih dramatis dari pada cerita dongeng, dimana seorang pangeran bertemu dengan seorang putri dalam satu malam bisa jatuh cinta. Oh no! Ini nyata dan dia belum sampai semalam lagi, hanya dalam hitungan jam, menikah?

Emilio menggeleng. Lelaki itu menyambar kemeja yang berserakan di lantai, mengenakannya dengan santai. “Saya tidak mau,” putusnya tegas.

“Baik, kalau begitu kalian akan kami arak. Telanjangi mereka!” perintah seseorang yang cukup tegas sedari tadi.

Saat beberapa orang itu mendekat. Emilio mencegahnya. “Oke. Saya mau menikah.”

Luisa menoleh. Perempuan itu tidak setuju. Namun, dia tidak siap jika harus diarak.

“Gak! Gak mau nikah!” tolak Luisa.

Emilio menatap Luisa dengan tatapan tajam. “Lo pikir gue mau nikah dengan lo? Lo nggak dengar apa kata mereka tadi? Atau lo pengen diarak. Viral dan nama lo terkenal seantero dunia? Lo mau terkenal kayak gitu? Atau lo sengaja ngejebak gue biar ikutan viral?”

“Jangan menuduhku!”

“Kalau gitu, jangan banyak protes! Gue juga kagak punya pilihan, Luisa!!”

Luisa kembali menangis. Kalimat yang keluar dari mulut Emilio cukup kasar. Luisa tidak bisa membayangkan menikah dengan lelaki itu seperti itu. Bisa-bisa dia makan hati mengulam jantung setiap harinya.

“Nikah atau kita arak nih?” desak mereka.

“Nikah! cepat lakukan!” perintah Emilio. Lelaki itu memakai celananya. Kembali rapi. Sedangkan Luisa memang sudah mengenakan pakaiannya sedari tadi.

Salah satu menjadi wali hakim, dan dua orang menjadi saksi. Pernikahan siri itu dilaksanakan.

Pernikahan telah usai. Kini tinggal Luisa dan Emilio yang saling diam. Luisa duduk di tepi ranjang, sedangkan Emilio duduk di dekat jendela. Tatapan lelaki itu menawang ke luar sana.

Luisa masih menangis.

Emilio sampai heran, sebanyak apa stok air matanya, hingga Luisa tidak henti-hentinya mengeluarkan air mata. Emilio rasa jika ditambung mungkin sudah satu ember penuh.

Luisa meremas jemarinya. Marah, kesal, sedih, semuanya bercampur jadi satu. Luisa bingung mengatakan kondisinya dengan sang pacar. Sedangkan mereka sedang menyiapkan sebuah pernikahan. Semuanya hancur. Terjebak dalam sebuah pernikahan siri dengan orang asing. Lelaki itu sangat asing dan cukup arrogant di matanya.

Sebuah penyelasan akhirnya merayap di dalam dada. Menyesal menerima sebuah chat yang dia terima tadi malam. Dirinya yang ceroboh datang seorang diri demi menyelamatkan sahabatnya. Bukan sang sahabat yang dia  temui, malah menerima segelas minuman dari orang asing, dan di tempat ini dia berakhir.

Terdengar Luisa menarik napas panjang, lalu mengembuskan dengan singkat.

Emilio menoleh. “Kita bisa bercerai jika lo mau. Kita cuma nikah siri, nggak ada yang tahu. Nggak terdaftar dalam Negra. Cuma kita yang tahu. Cukup gampang buat cerai,” ujarnya dengan nada yang lebih lembut dari tadi.

Luisa memilih bergeming.

"Kita akan ke rumah sakit, mengecek kebenaran atas diri lo. Gue yakin sih lo nggak bohong dan lo emang nggak gue apa-apain sama sekali. Beneran nggak sakit kan?” tanya Emilio lagi memastikan.

Emilio sih memang belum pernah tidur dengan perempuan mana pun. Menurut beberapa teman wanitanya di kantor, jika mereka habis melakukan hubungan suami istri untuk pertama kalinya akan terasa nyeri dan sakit pada daerah kewanitaan. Hal itu yang sedari tadi Emilio ingin pastikan pada Luisa.

Luisa menggeleng.

“Bagus! Hapusin air mata lo! Kita periksa, dan setelah itu gue antar lo pulang.

Gadis itu beranjak dari duduknya, dan memilih mengikuti Emilio dari belakang.

***

Sunyi.

Tidak ada pembicaraan apa pun dari keduanya. Saling diam dengan pikiran masing-masing. Emilio mengemudi dengan tenang.

Dalam keheningan, suara getar muncul dari benda pipih di dalam tas Luis. Perempuan itu mengeluarkan ponsel dan memegangnya dengan gemetar. Nama yang tertera di layar ponsel itu membuatnya takut.

“Angkat aja!”

“Papaku,” beritahunya.

“Angkat aja!”

Emilio sengaja mengecilkan musik di mobilnya.

“Ya, Dad,” sapa Luisa saat sambungan telpon itu terhubung.

“Sa, lagi dimana? Kenapa nggak pulang, Nak? Kamu nginap di mana?” tanya lelaki paruh baya itu dengan khawatir.

Luisa butuh jeda untuk menjawab deretan pertanyaan tersebut. Perempuan itu menarik napas dalam, setelahnya mengembuskan. ‘Maafin aku, Dad,’ ujarnya dalam hati.

“Aku nginap di rumah teman, Dad. So, sorry udah bikin kalian khawatir, aku lagi di jalan pulang. Kita jumpa di rumah, ya.”

“Oh Baby. Syukurlah kamu baik-baik saja.”

“Ya, aku pulang.”

“Darling. Papa dan mama mau ke luar negeri lagi,” ujar lelaki itu dengan suara agak berat. “Sorry, kamu memang harus pergi. Ini mendadak, Nak. Menginaplah lagi ke rumah temanmu, ya!”

Kepala Luisa menggeleng. Usianya memang sudah tidak muda lagi. Namun, perempuan itu takut jika tinggal sendirian. Dia selalu menumpang ke rumah tetangga atau menginap di rumah saudaranya jika kedua orang tuanya harus ke luar negeri.

Namun, saat ini dia tidak tahu harus kemana. Saudara kandung ibunya sudah pindah kota. Tetangga mereka sedang mudik. Teman? Dia cuma punya satu teman yang sudah dia anggap seperti keluarga sendiri. Namun, gara-gara perempuan itu juga dia terjebak di dalam kamar hotel semalam.

Luisa memijat keningnya. Pening. Masalah datang silih berganti.

“Dad, please! Aku takut tinggal sendirian.”

“Sayang, please! Kamu punya sahabat kan? Kamu nginap bersama mereka lagi, ya! Ini beneran urusan yang sangat penting. Sorry, Darling!”

Luisa mencebikkan bibirnya. Mau merajuk seperti apa pun, keputusan orang tuanya sudah bulat.

“Oke.”

Hanya kalimat itu yang akhirnya keluar dari mulut Luisa.

Panggilan itu terputus. Luisa memasukkan ponsel ke dalam tas.

Emilio jelas mendengar pembicaraan antara anak dan ayah tadi.

“Mau tinggal di apartemenku?” tawar Emilio.

Luisa menjelingkan matanya. “NGGAK!”

"Kita suami istri sekarang."

“Kita cuma nikah siri, Il!” Pertegas Luisa. “Aku nggak mau, orang juga nggak tahu kalo kia udah nikah. Aku nggak mau kita digrebek lagi. Aku trauma,” akunya.

Emilio mengangguk, membenarkan ucapan Luisa barusan. Namun, dia tidak membenarkan sepenuhnya. “Benar kita cuma nikah siri, tapi kita sah, dan ada buktinya. Lagian kamu mau tinggal dimana selama orang tuamu ke luar negeri?”

Luisa diam.

“Nggak ada pilihan, kan?”

Luisa masih diam.

“Ya udah, tinggal denganku buat sementara!”

Luisa mengepal jemarinya. “Aaarrghhh! Ini gilaaaaa!” pekiknya frustasi.

Luisa tak ada pilihan lain. Mereka menikah siri, dan mereka sah menurut agama. Luisa membuang nafas berat, setelah itu kepalanya mengangguk pelan. “Oke.”

Setelah memeriksa kondisi Luisa ke dokter. Perempuan itu jujur dan Emilio juga benar. Perempuan itu masih dalam keadaan perawan. Keduanya sama-sama lega. Setelahnya Emilio menemani Luisa mengambil barang-barang di rumah perempuan itu. Tentu Emilio hanya menunggu di depan pagar. Kedua orang tua Luisa telah berangkat satu yang lalu ke bandara. Mereka tidak bertemu.

Keduanya tiba di apartemen. Luisa tertegun melihat dalam aparteme milik Emilio. Apartemen itu cukup besar, bersih dan rapi. Bahkan semua barang di situ tersusun dengan rapi dan tepat. Luisa terkagum.

Sampai di Apartemen, mereka masuk bersama, Luisa hanya menjinjing tas yang berisi beberapa potong pakaian, mereka tadi sempat ke Mall sebentar sebelum kembali ke Apartemen Emilio.

Luisa menatap Apartemenya, ia kagum, bersih dan rapi, ada mini bar di dapur. Emilio mengajaknya ke kamar.

“Gue cuma punya satu kamar,” ujar Emilio.

Ingin rasanya Luisa memaki. Satu kamar? Artinya mereka akan sekamar? Luisa jadi ragu dengan tawaran Emilio. Jangan-jangan dia akan kembali dijebak di sini.

“Satu kamar?”

Emilio mengangguk. "Iya. Kita sekamar," jawab Emilio santai

“No, kamu menjebakku ini! Aku nggak mau.”

Emilio mendecakkan lidahnya. “Gue nggak bakal macem-macem.”

“Masa?”

Emilio memindai tubuh Luisa dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Lo bukan my type.”

“Sungguh?”

Emilio mengangguk. “Janji nggak bakal macem-macem.”

“Beneran, ya? Omongan kamu bisa aku pegang? Atau….” Perempuan itu mengeluarkan ponselnya. “Ulangi lagi! aku mau rekam!” perintah Luisa.

“Gue nggak bakal macem-macem sama elo, Luisa.”

“Oke bagus.” Luisa menyimpan rekaman itu, lalu menyimpan ponselnya.

“Beresin barang lo gih!”

Luisa mengangguk. Gadis itu masuk ke kamar yang ditunjukkan Emilio. Lelaki itu juga memindahkan sebagian pakaiannya, dan memberikan ruang untuk Luisa.

Dalam kamar, usia mengemasi barang-barangnya. Tidak terlalu banyak. Luisa hanya membawa pakaian tidur, dan beberapa baju kerja. Serta laptop untuk dia bawa ke kantor, serta beberapa buah novel yang belum sempat dia tamatkan.

Perempuan itu duduk di tepi ranjang. Tatapannya menerawang lulus ke depan. Diam dalan sunyi. Perlahan air matanya menganak sungai, jatuh perlahan tanpa bisa dia cegah. Ironis memang. Siapa dia, dan dimana dia sekarang. Menikah dengan seseorang yang bahkan namanya saja tida pernah dia kenal. Hati Luisa kalut. Bukan pernikahan seperti ini yang dia idam-idamkan. Perempuan itu punya wedding dream yang ingin dia wujudkan dengan sang kekasih. Namun, kandas.

Diam-diam, Emilio menatap dari sudut pintu, tampak Luisa sesekali  mengusap air mata. Lelaki itu tidak tahan melihatnya seperti itu. Kaki Emilio melangkah maju, memperpendek jarak keduanya, lalu sebuah sapu tangan keluar dari saku celananya. “Jangan nangis terus!”

Luisa menoleh. Tatapan keduanya terserobok.

Desiran darah mengalih begitu saja. Keduanya sama-sama merasakan perasaan ganjil.

Emilio memutuskan menatap ke tempat lain.

“Kita belum makan. sekarang lo bisa mandi, segerin tubuh lho, setelah itu kita makan. Gue pesen makanan dulu.”

“I-iya,” jawab Luisa tergugup.

Debaran jantung Luisa menggila tiba-tiba. Perasaan aneh itu muncul dan tidak mudah diusir begitu saja.

Emilio keluar dari kamar, sedangkan Luisa melakukan aktivitas yang diperintahkan lelaki itu padanya.

***

Luisa membaringkan tubuhnya, sudah setengah jam dia menyalakan layar ponselnya, lalu mematikannya lagi. Dia mengulang-ngulang terus kegiatannya itu, hingga akhirnya sebuah ingatan mengembalikanya pada malam kemarin. Sebuah chat masuk dari seseorang yang dia kenal. Sahabatnya.

Merry : Luisa, tolong ke club fancy, sabahatmu sedang mabuk berat, saya gak tau mau antar dia pulang kemana, bisa kamu kemari?

Chat itu dikirim dari ponsel Merry, sahabatnya.

Luisa langsung mengiyakan permintaan itu. Perempuan itu mengambil jaket, dan tas selempang. Bahkan dia hanya mengenakan baju kaus kebesaran dan celana jins panjang. Niatnya hanya menjemput Merry. Luisa tahu, sang sahabt sedang dalam masalah yang cukup berat. Minuman adalah temannya dan perempuan itu akan menghabiskan berbotol-botol minuman hanya untuk mengusir depresinya. Setelah itu, Luisa yang akan kerepotan menjemput Merry. Hal ini tidak hanya terjadi malam kemarin. Sebelum-sebelumnya sering, dan Luisa sudah biasa.

Hanya saja. Nasibnya naas kemarin.

“Luisa bodoh!” makinya pada dirinya sendiri.

 ***

Pagi tiba, semalam Luisa tinggal di apartemen Emilio. Perempuan itu mengecek sekitar, tidak ditemukan lelaki itu di sampingnya. Luisa mendudukkan tubuhnya, lalu keluar dari kamar. Tatapn Luisa jatuh pada sosok lelaki yang tidur membungkuk di sofa. Luisa mendekat, ditatapnya wajah tampan Emilio. Luisa pastikan lelaki itu sangat-sangat tampan. Bak artis Turki yang sering dia lihat di televisi. Kadang nih, Luisa geram sendiri dan pengen dipersunting oleh lelaki seperti itu, dan… saat ini, wujud dari impannya itu ada di depannya, menjadi suaminya.

Puas mengamati lelaki itu, Luisa sedikit membenarkan selimut Emilio. Gerakan perempuan itu membuat Emilio terjaga.

“Maaf, aku nggak sengaja,” ujar Luisa salah tingkah.

“Gimana tidur lho? Nyenyak?” tanyanya.

Luisa mengangguk pelan. Lelaki itu ternyata sedikit perhatian.

“Lo bangun-bangun udah ngelihatin gue. Gue emang setampan itu, ya?”

Luisa mengurungkan untuk memuji Emilio, toh lelaki itu kembali membuatnya kesal.

“Gue mau kopi. Buatin!”

“Aku bukan pembantumu!”

“Tapi, lo istri gue sekarang!”

“Istri juga bukan pembantu, Il.”

Emilio mengembuskan napas sebal. “Oke, Luisa yang baik hati, boleh buatin gue kopi? Please!”

Luisa tersenyum. “Okay.”

Perempuan itu bergegas meninggalkan ruang tamu, menuju dapur. Tak perlu lama. Perempuan itu mengangsur secangkir kopi panas untuk Emilio.

“Duduk!” perintah Emilio.

Luisa menurut.

Lelaki itu memandangi wajah Luisa. Sedangkan Luisa hanya menundukkan kepala.

“Lo perempuan baik-baik. Polos banget. Kok bisa lo ke club?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status