Share

Kamu Mimpi Burukku

Emilio menaikkan satu alisnya, lelaki itu tidak habis pikir, antara polos atau memang bodoh perempuan di sampingnya ini. Kepalanya tak henti-henti menggeleng. Lelaki itu menggulung lengan kemeja hingga ke siku, menampilkan lengannya yang padat dan sedikit berurat.

“Hanya gara-gara ini lo ke situ?” tanya tak habis pikir.

Luisa mengangguk. Perempuan itu mengambil ponselnya. Tadi, dia menunjukkan chat yang dikirim oleh Merry.

“Dia sahabatku, aku sering menjemputnya saat dia mabuk,” jawab Luisa jujur.

“Lo nggak takut ke club. Tapi, lo takut tinggal sendirian di rumah. Aneh!”

“Beda, Il,” sanggah Luisa. Perempuan itu membenarkan posisi duduknya, celana panjang yang dia kenakan cukup longgar, Luisa tak biasa mengenakan pakaian ketat atau pendek, walaupun di rumah.

“Tetap aja aneh,” ujarnya. Emilio mengambil ponsel Luisa lagi, lelaki itu menyalin nomor Merry, lalu membuat pelacakan pada nomor tersebut. Kening Emilio mengerut seketika, dia tahu Luisa tidak berbohong. Namun, nomor yang menurut Luisa itu sahabatnya, jelas nomor itu tidak akurat.

“Ini beneran nomor sahabat lo?” tanya Emilio memastikan.

“Beneran.” Luisa yakin seratus persen.

“Aneh nomornya.”

“Kok aneh?”

Emilio menunjukkan pada Luisa. “Nomor ini udah nggak digunakan. Kapan dia ngechat?”

“Kemarin. Petangnya kami masih chat, emang nomor barunya sih. Dia bilang itu nomor barunya, kita juga telponan kok. Malamnya, chat ini datang,” beritahu Luisa jujur.

Emilio mendecakkan lidahnya. “Kayaknya ada yang nggak beres dengan sahabat lo ini.”

“Kamu berpikir dia sengaja ngejebak aku?”

Lelaki itu mengedikkan bahunya. Dia meletakkan ponsel di meja, lalu menyesap kopi miliknya. “Agak manis, entar kurangin dikit gulanya! Sama kopinya dimasakin dulu jangan campur kayak gini. Ampasnya kerasa banget,” komentar Emilio.

Luisa memutar kedua bola matanya dengan malas. Masih syukur-syukur dia membuatkan kopi untuk Emilio. Banyak permintaan pula.

“Gue lupa tanya sesuatu… .” Emilio baru teringat sesuatu yang penting. “Lo ketemu sama si Merry-Merry ini?”

Luisa menggeleng. “Cuma ada seorang lelaki muda yang menyuruhku menunggu. Lalu dia mengasih aku segelas air gitu, aku nggak tahu itu air apa. Kan, aku ngos-ngosan nih sampai club. Aku langsung minum. Aku pikir air putih. Setelah itu… .”

“Setelah itu lo pening, tatapan lo kabur, dan lo nggak sadar apa pun?”

Luisa mengangguk.

“Itu lo dikasih bir, dicampur dengan obat tidur.”

“Makanya aku nggak ingat apa-apa?”

Emilio mengangguk. “Gue heran sih, hubungan gue sama lo itu apa coba. Tujuan mereka ngejebak elo itu untuk apa? Secara ya, gue kagak kenal dengan lo, dan sahabat lo itu juga kagak kenal gue. Lantas kenapa bisa sekamar gitu. otak gue belum sampe ke sana. capek gue mikir.

“Kamu punya musuh?”

Emilio tertawa jemawa. Jelas dia punya musuh, tidak hanya satu. Cukup banyak. Semua orang ingin menjatuhkan bisnisnya. Siapa sih yang tidak mengenal Emilio. Pemilik perusahaan terkenal, termasuk dalam sepuluh orang terkaya di Indonesia. Kekayaannya saja uh, banyak banget pokoknya.

“Punya, banyak juga.”

“Kamu kriminal?”

Lelaki itu tertawa keras. “Menurutmu?”

Luisa tidak bisa menebak. Menurutnya hanya orang-orang jahat yang punya banyak musuh.

“Lo akan tahu siapa gue kelak. Permintaan gue, lo jangan terlalu pikiran tentang pernikahan kita ini. Seperti janji gue semalam. Gue nggak bakal macam-macam selagi elo nggak izinin. Gue bakal temukan siapa dalang yang melakukan ini ke kita, gue bakal selidiki juga sahabt elo ini.”

Luisa mengangguk. Dia menyerahkan semuanya pada Emilio.

***

Satu hari menjadi istri Emilio, dan ini malam kedua mereka tinggal satu apartemen. Lelaki itu tetap memilih tidur di sofa. Luisa agak kasihan sih, dia melihat Emilio menepuk-nepuk punggung saat bangun dari sofa. Sofa panjang itu tidak muat menampung tubuh Emilio yang tinggingnya saja lebih dari 185 cm. Lelaki itu tidur agak melengkung.

Bisa saja Luisa membiarkan lelaki itu tidur di kamar, seranjang dengannya. Namun, Luisa takut.

Malam makin larut dan Luisa belum mampu memejamkan matanya. Perempuan itu mengambil gawai di nakas, membuka sosial media miliknya. Satu-satunya akun yang dia follow hanya kekasihnya. Marllory.

Lelaki campuran dengan darah Belanda lebih kental dari pada darah Jawa. Hidung Mallory sangat mancung, wajahnya tampan, putih bersih, lenganya ditumbuhi bulu-bulu halus pirang, tubuh lelaki itu porposional, tegap dan bentuk tubuh yang terlatih dengan alat-alat besi. Otot-ototnya cukup indah. Paling senang Luisa menyandarkan kepala pada lengan berotot lelaki itu.

Luisa mendesah, wajah pacarnya tergambar jelas di depan mata.

Luisa menatap postingan yang baru empat jam lalu di posting sang kekasih di media sosialnya. Foto mereka sedang makan siang di sebuah restoran bergaya Jepang—tepat di hari sebelum kejadian dia dijebak.

Hati Luisa tiba-tiba pedih. Membayangkan kebahagiaannya siang itu. Makan siang romantis dengan lelaki yang telah menghuni hatinya beberapa tahun belakangan ini. Calon suaminya.

@mallory : [Ratuku]

Caption itu sederhana. Namun, cukup dalam Luisa maknai. Mallory memang memperlakukannya layaknya seorang ratu. Kasih sayang lelaki itu tulus. Bahkan tak pernah sekalipun Mallory mengatakan kalimat kasar padanya. Banyak mengalah dan selalu ada untuk Luisa. Siapa yang tidak klepek-klepek diperlakukan seperti itu.

Air mata Luisa kembali jatuh. Perempuan itu membirkan dia kembali menangis. Ingin Luisa adukan pada sang kekasih. Ingin Luisa beritahu dan minta untuk diselamatkan dari kondisi ini. Namun, dia takut.

Luisa membiarkan ponsel itu menyala, lalu dia mengambil bantal dan menutup wajahnya. menangis sejadinya di sana.

Tanpa Luisa sadari, seseorang sedang duduk di sampingnya. Lelaki itu iba dengan Luisa. Nalurinya mengatakan dia harus memeluk Luisa. Tangannya terangkat, merangkul bahu Luisa, lalu menarik tubuh perempuan itu. memeluknya.

Luisa mengangkat wajahnya. lelaki itu sedang menatapnya, hingga jarak wajah keduanya cukup dekat.

Luisa berusaha melepaskan diri dari dekapan Emilio. Namun, lelaki itu menahannya. “Nangis aja! Gue di sini,” katanya.

Kalimat sederhaan yang entah bagaimana mampu membuat tangis Luisa berhenti.

“Di-dia pacarku,” ujarnya sembari menunjuk gambar lelaki itu.

“Tampan,” sahut Emilio.

Bukan respon itu sih yang Luisa harapkan.

“Tapi, lebih ganteng gue lagi," sambung Emilio dengan agak cengil.

Gubrak. Tentu membuat Luisa sebal.

“Gue bercanda,” tambahnya. “Lo harus tahu, kita nikah siri, gue ngebebasin lo ngejalani hubungan dengan dia. Terserah kalian. Toh, akhirnya kita juga bakal pisah kan?”

Luisa mengangguk.

“Jangan menyiksa diri dengan nangis kayak gini terus. Gue nggak suka ngelihat cewek nangis. Itu kelemahan gue. So, lo bisa bersikap biasa aja. Jangan jadiin ini beban. Boleh?”

Luisa diam. Tawaran Emilio tidak terlalu berat. setidaknya jika lelaki itu bisa menepati janjinya.

Tanpa Luisa ketahui, Emilio juga sedang berpikir keras, mami dan papinya kerap datang ke apartemen itu. Dia bingung harus bagaimana memberitahunya.

Tangan Emilio masih menepuk-nepuk pundak Luisa, membuat perempuan itu akhirnya benar-benar tenang. Setelah tenang, dibantu Emilio membaringkan gadis itu. “Tidurlah!” ujarnya.

“Kamu tidur di luar lagi?”

Emilio menaikkan satu alisnya, menggoda Luisa. “Kamu berharap kita tidur seranjang?”

“Bu-bukan.”

Emilio tersenyum. “Badanku sakit-sakit sih, Sha.”

“Kalau kita tidur seranjang, kita nggak bakal aneh-aneh, kan?”

Emilio kembali tersenyum. Ah, sepertinya dia punya bahan untuk mengusik Luisa. “Kamu pengen yang lebih?”

“Iiillllll.”

Emilio tersenyum lagi. “Oke, aku tidur di sini, ya. Kita batesin sama bantal.”

“Oke.”

Lelaki itu beranjak dari duduknya, mengambil bantal dan selimut di luar, lalu menyusunnya di kasur. Kasur super king itu masih cukup luas untuk mereka berdua.

“Selamat tidur, Sha.”

Luisa mengangguk. Perempuan itu memiringkan tubuhnya, dan sengaja membelakangi Emilio. Sedangkan lelaki itu memiringkan tubuhnya sembari menatap punggung Luisa. Ingin disentuhnya, tapi lelaki itu mengurungkannya. Emilio bisa tidur dengan nyenyak malam ini.

***

Ah, sial!

Sebuah pesan chat membangunkan tidur nyenyak lelaki itu. Layar ponselnya menyala.

Emilio mengambil ponselnya, lalu membuka chat tersebut.

08xxxxxxxxxxx : Gimana rasanya dipermalukan? Uh, malu banget pasti. Seorang Emilio, CEO terkenal diarak, ditelanjangi, duh malu ah.

Emilio mengepalkan jemarinya, lelaki itu membuat panggilan telpon. Sialnya panggilan itu langsung ditolak.

Emilio : Rencana lo kayak bocah. Nggak mempan sama gue. Banci!

Di Seberang sana lelaki itu menatap perempuan yang sedang berjongkok di antara kedua pahanya. Lelaki itu mendorong kepala perempuan itu agak menjauh. Dia duduk tanpa sehelai busana pun.

Tangannya mengepal.

08xxxxxxxxxxx: Emilio si mesum bangsat! Reputasi lo hancur.

Emilio : Yakin? Kayaknya rencana lho kurang matang deh. Ada berita yang menaikkan berita gue? Lo lagi di planet mana sih? Dasar banci!

Lelaki itu masih mengepalkan jemarinya. Dia membuka lini masa, tidak ada satu pun berita yang naik tentang Emilio—musuhnya. Bodohnya dia malah tidak mengecek sama sekali berita tersebut. percaya seratus persen dengan anak buahnya adalah sebuah kebodohan hakiki.

“Sial!” makinya.

“Ada masalah?” tanya perempuan penghibur yang siap memuaskan hasratnya itu. bahkan pekerjaan perempuan itu dari seminggu ini hanya menghangatkan ranjangnya.

“Bodoh!” makinya.

Tatapannya tajam. Tangannya masih meremas ponsel.

“Ke sini!” panggilnya pada perempuan itu.

Perempuan itu menurut, dia mendekat. Dengan gerakan cepat lelaki itu mencengkram leher gadis itu. “Lo tahu kalo gue nggak suka sesuatu yang gagal.”

“Ma-maaf, aku salah a-apa?”

Lelaki itu meludah pada wajah gadis itu. lalu menarik paksa wajah perempuan itu mendekat. Lidahnya menjilati bekas udahnya tadi. “Gue paling benci direndahkan. Lo bodoh! Lo gagal!”

“Lu-luisa? Gagal?”

Lelaki itu tersenyum.

“Kegagalan gue adalah tanggung jawab elo sepenuhnya. So, sekarang lo puasin gue sampai gue lupa berita kegagalan ini, Budak!”

***

“Morning!” sapa lelaki yang duduk di tepi jendela. Kemejanya terbuka bagian atasnya, hanya terkancing satu di bawah.

Luisa membuka matanya. Perempuan itu sempat menggeliat, menemukan dirinya juga hanya mengenakan kemeja putih kebesaran milik sang kekasih.

“Morning,” sapanya balik. Perempuan itu belum mau bangun. Tadi malam benar-benar indah. alunan musik dan wine yang mereka nikmati, membuat keduanya mabuk berdua. Mabuk dengan gairah cinta, dan berakhir di ranjang.

Luisa lega, keperawananya dia berikan pada kekasihnya, lelaki yang sebentar lagi akan bergelar suami.

“Morning kiss,” ujar Luisa manja.

Lelaki itu terkekeh. berjalan ke arah ranjang, lalu mengecup bibir Luisa.

“Harum,” puji Luisa.

Lelaki itu terkekeh.

“Mau mandi bersama?” tawar lelaki itu.

Luisa mengangguk manja. Dia menjulurkan tangannya, lalu lelaki itu menggendongnya, dan membawa ke kamar mandi.

Berendam berdua dengan aroma mawar memenuhi kamar mandi itu. Luisa menggosok tubuh Mallory, sedangkan lelaki itu mengusap-usap lembut tubuhnya. Luisa tersenyum, gigi-gigi putihnya tersusun rapi.

“Aku kira, aku lagi mimpi, Bi,” ujar Luisa.

“Mimpi?”

Perempuan itu mengangguk. “Aku pikir, aku lagi sedang banyak masalah, pikiranku agak kacau akhir-akhir ini,” adunya.

“Kamu bisa berbagi denganku, Sha.”

Luisa tersenyum.

“Aku mencintaimu, Mall.”

“Aku lebih mencintaimu, Luisa.”

Luisa memutar tubuhnya, keduanya saling bertatapan, lalu keduanya menautkan bibir. Bercumbu dan mengulang lagi kegiatan mereka tadi malam.

Usai bercinta, keduanya sarapan bersama. Tiba-tiba ponsel Mallory bergetar, seseorang tampak sedang menelpon lelaki itu.

“Kamu nggak mengangkatnya?” tanya Luisa.

“Bukan seseorang yang penting.”

“Sungguh?”

Lelaki itu mengangguk.

Panggilan itu tidak hanya sekali. Berkali-kali sehingga Luisa ikut penasaran. Dia menyambar ponsel itu dan melihat nama yang tertera di layar. Emilio.

Luisa melemparkan ponsel itu dengan sembarang. Kepalanya menggeleng. “Nggak mungkin! Nggak mungkin!”

“Sha, bangun, Sha!”

“Nggak mungkin! Ini cuma mimpi!” ujar Luisa. Kepala perempuan itu masih menggeleng. Keringat mulai membanjiri tubuhnya. “No, ini nggak nyata, Mall!”

“Luisa, bangun!” Emilio berusaha mengguncang tubuh perempuan itu.

“Nggak—”

Luisa terjaga.

Wajah pertama kali yang dia lihat adalah wajah Emilio. Perempuan itu memundurkan kepalanya.

“Kamu mimpi buruk?” tanya Emilio.

Luisa butuh waktu untuk menyadarkan dirinya. Perempuan itu mengamati sekeliling kamar. Perempuan itu mengembuskan napas panjang. Sungguh saat tadilah dia bermimpi. Jika bisa memilih, Luisa akan memilih berada di alam mimpi selamanya, bersama kekasihanya.

“Minum dulu! Kayaknya kamu habis mimpi buruk.”

Luisa menerima gelas itu, meneguknya dengan cepat, lalu menyerahkan kembali ke Emilio. “Kamu mimpi buruku, Il.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status