Share

Pantaskah Cemburu?

Luisa memandangi pantulan wajahnya yang pucat pasi pada cermin bulat di depannya itu. Kedua tangannya mencengkeram erat pada sisi wastafel.

“Kayak nyata,” ujarnya dengan penuh keyakinan. Luisa membiarkan rambutnya tergerai. Kantung matanya agak lebam, bibirnya pucat tanpa lipstick.

“Mall, kangen,” ujarnya.

Kelopak matanya langsung memerah. Setiap kali mengingat kekasihnya, air matanya tidak bisa tahan untuk tidak jatuh. Emilio memang bukan seperti yang dia bayangkan. Lelaki ini bahkan tidak berani macam-macam dengannya. Namun, cintanya, kekasih hatinya, Luisa merasa sudah menodai cintanya dengan Mallory.

“Mall, bisakah kamu selamatkan aku dari keadaan seperti ini? Aku hanya pengen hidup dengan kamu. Mall,” ujarnya dengan perasaan penuh luka.

“Sha, lo oke?” tanya Emilio khawatir.

Hampir satu jam Luisa di kamar mandi, dan perempuan itu tidak keluar sama sekali.

Luisa terperanjat. Perempuan itu membasuh wajahnya, lalu mengelapnya dengan handuk kecil. Luisa memutar tubuh, membuka pintu. “Aku oke, kok. Aku mau mandi bentar,” ujarnya.

“Oke. Take you’r time, Sha!”

Luisa melengkungkan senyuman. Perempuan itu kembali menutup pintu kamar mandi. Lalu melakukan kegiatannya.

***

Luisa melingkari ujung telunjuknya pada mulut gelas. Perempuan itu cukup banyak termenung selepas mimpi tadi malam.

Emilio datang menghampiri Lusia. Duduk di samping perempuan itu. Dapur yang disulap menjadi seperti mini bar itu memang cocok dihuni dua orang. Meja bar-nya tidak terlalu besar. Pun, hanya tersedia dua kursi di sana. Emilio menempatinya.

“Mall itu siapa?”

Luisa menoleh.

“Bukan urusanmu! Kamu menguping mimpiku?”

Emilio mendecakkan lidah dengan sebal.

“Lo mengigau dan mengulang-gulang namanya. Kekasih lo, ya?”

“Iya,” jawab Luisa sebal. Perempuan itu sudah mengikat rambutnya. Menyatukannya menjadi satu, hingga leher jenjang milik Luisa ter-ekspose dengan sempurna.

Emilio menoleh. Lelaki itu meneguk salivanya. Namun, cepat-cepat dialihkan pandangan itu ke tempat lain.

“Apa agenda lo hari ini, Sha?” tanya Emilio.

Perempuan itu menggeleng.

“Lo bisa jalan-jalan kalau mau,” tawarnya.

Luisa menggeleng. “Nothing.”

Emilio menghela napas panjang.  “Lo seorang pengangguran? Gue lihat lo nggak bekerja, Sha.”

Luisa menatap Emilio dengan tatapan tajam. “Enak banget. Aku kerja. Aku lagi cuti. Lagi butuh pemulihan ini.”

“Lo sakit?”

“Sakitlah. Sakit tiba-tiba tidur seranjang dengamu dan nikah denganmu. Aku sakit tahu!”

Emilio tergelak. “Itu namanya anugerah, Sha.”

“Bacot!”

Sepertinya Luisa lebih garang pasca mimpi tadi pagi pagi. Emilio pastikan Luisa yang dia temukan saat di kamar waktu itu, agak sedikit berbeda. Ya, Luisa yang ini lebih sedikit ada nyawanya. Nggak seperti Luisa yang ditemuinya di hotel. Perempuan itu menangis histeris takut keperawanannya hilang.

Emilio agak kagum sih, hari gini ada perempuan yang begitu mempertahankan marwahnya. Emilio tahu sendiri, mencari perempuan perawan itu cukup sulit. Sekarang Emilio tahu, Luisa salah satu yang langka itu.

Emilio menuangkan vodka. “Mau vodka di pagi hari?” tawarnya.

Utara menggeleng.

“Nggak.”

“Ya, sudah.” Emilio meneguk liquid itu dengan satu kali tegukan. Lalu, dia kembali melihat Luisa. “Beneran free hari ini?”

“Nggak ada agenda apa pun,” jawab Luisa mulai sebal. Kan, tadi dia udah jawab. Masih juga Emilio tanya lagi. Lelaki tampan di sampingnya ini nggak amnesia, kan?

Emilio menompang dagunya dengan telapak tangan. “Kalau begitu, dengarkan gue, Sha!”

Luisa menoleh. Tatapan mereka bertemu sesaat.

“Gue udah mikirin ini dari kemarin. Mau ngajak diskusi cuma belum ketemu waktu yang tepat. Pertama, kita bisa aja sembunyiin hubungan kita dari orang lain. Namun, nggak pada orang tua kita. Jadi, gue berpikir, lo bakal gue bawa buat kenal nyokak dan bokap gue. Begitu pula saat entar bo-nyok lo balik. Ajak gue jumpai mereka.”

“Il, cuma siri, sementara. Ini berlebihan,” tolak Luisa tidak setuju.

Emilio menggeleng. “Nggak berlebihan, Sha. Siri itu sah secara agama. Segala hale lo udah jadi tanggung jawab gue sekarang. So. Mulai sekarang lo harus izin gue terlebih dahulu.”

Luisa menggeleng. Dia tidak sepakat. Ini berlebihan, dia hanya setuju nikah siri untuk menutupi malu dari pada diarak oleh orang-orang kemarin. Luisa tahunya Emilio akan bersepakat bercerai diwaktu yang tepat. Tapi, ini?

Oh tidak. Emilio sepertinya mulai ingkar janji. Bak para caleg yang setelah duduk di kursi empuk lupa dengan janji-janjinya.

Luisa mendecakkan lidah.

“No, ini berlebihan.”

“Sha. Dengerin dulu!”

Luisa hendak beranjak dari mini bar itu. Namun, cepat-cepat lengannya dicegat Emilio.

“Keluaga gue baik kok. Pada dasarnya mereka akan nerima dengan siapa gue nikah. Lo tenang aja! Selama lo dalam pelindugan gue. Lo aman.”

Luisa menghela napas panjang. Perempuan itu melihat keseriusan terbit dari mata Emilio.

“Gue serius. Sha.”

“Oke. Aku setuju. Kalau mereka minta kita cerai. Maka ceraikan aku, Il!”

Emilio diam. Lelaki itu tidak langsung menjawabnya.

Setelah beberapa saat, Emilio baru membuka suaranya. “Sha, besok gue mulai masuk kerja,” beritahunya.

“Aku juga kerja, Il.”

“Oke, gue nggak larang lo kerja. Entar baliknya ke apartemen gue lagi!”

Luisa mengangguk. Toh orang tuanya belum kembali dari luar negeri. Dia belum berani pulang ke rumah sendirian.

Sebuah chat masuk ke ponsel Luisa. Perempuan itu membukanya dengan cepat.

Baby : Bi, kamu masih libur, kan? Jumpa tempat biasanya, aku kangen banget sama kamu.

Luisa membaca chat itu dengan dada bergemuruh. Tangannya juga gemetaran.

“Dari pacar lo?”

Luisa mengangguk. “Il, kayaknya aku punya agenda hari ini. Mallory ngajak ketemuan.”

Emilio mengangguk kecewa. Demi apa pun, Emilio merasa ada yang tidak beres dengan perasaannya. Kenapa dia bisa kesal saat mendengar Luisa ingin bertemu pacar gadis itu. Bukankah dia dan Luisa tidak punya hubungan apa pun? Hanya sebatas nikah siri yang terpaksa, atau diam-diam sebuah perasaan cinta menyelinap di dada Emilio. Dia sedang patah hati sekarang? Pantaskah Emilio cemburu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status