Share

3. Keluar dari rumah

Penulis: MamGemoy
last update Terakhir Diperbarui: 2023-04-03 15:29:45

Selesai memandikan Kiran, mereka diam di dalam kamar sang putri. Pintu akses ke Kamar Naima sudah pun dikunci. Tak lama kemudian, terdengar lagi suara ketukan, kali ini dari pintu kamar Kiran sendiri. Helmi terus memanggil nama Kiran dan Naima.

"Naima, Sayang … keluar ya? Kita bicara sebentar." Tak terdengar lagi kekalutan dari suara Helmi. Pria itu terdengar tenang dan sabar.

Namun, Naima hanya diam, tak berniat untuk merespon panggilan itu. Kiran tampak bingung dengan diamnya sang bunda. Sedangkan Nara hanya bisa menghela napas berat, dia tau ini sangat sulit untuk diterima. Hingga terdengar lagi panggilan dari Helmi.

"Kiran … Cantik … keluar dong … ajak Bunda juga ya, Sayang ….!" Kali ini bujukkan itu dilakukan pada sang putri, yang langsung mendapat perhatian dari gadis kecil itu.

"Ayah …." Wajah mungil itu menoleh pada sang bunda. "Ayah, Bunda. Kenapa Bunda gak bukain pintu?" Pertanyaan polos Kiran lontarkan.

"Nai, sebaiknya kamu buka pintu. Ada Kiran di sini, tidak baik membiarkan dia tau pertengkaran kalian." Nara berbisik memberi pengertian.

Helaan napas panjang Naima hembuskan. Sahabatnya itu benar, sebaiknya dia mengalah demi putri kecilnya. Dengan tetap berusaha tersenyum dan terlihat baik-baik saja, Naima bangun membukakan pintu.

"Sayang … hahh, syukurlah kamu mau buka pintu." Tampak kelegaan dari wajah pria itu, tapi tak mendapat tatapan lembut dari Naima. Belum mendapat respon sang istri, suara yang sangat dia kenal berseru memanggilnya.

"Ayah …." Kiran berlari, langsung melompat dalam dekapan Helmi.

"Haii, Cantik ...! Wahhh, kamu wangi sekali, cantik ayah sudah mandi ya?" Helmi mencium kedua pipi gembul putri kecilnya. Terpaksa harus menunda keinginan untuk berbicara pada Naima.

"Udah, dong," balas Kiran lucu. "Ayah … main yuk!"

"Main?" Helmi melirik sejenak pada Naima. Namun, istrinya itu selalu menghindari tatapan matanya. "Mau main apa, Sayang?" tanyanya kemudian pada Kiran.

"Emm … main masak-masakan ya?"

"Boleh …." Helmi tersenyum dan mencium gemas, membuat gadis kecil itu tertawa geli. "Sayang, Abang ajak Kiram main dulu, nanti setelah makan malam, bisa kita bicara?" Helmi beralih pada sang istri.

Hanya anggukan kecil Naima berikan, kemudian membiarkan ayah dan anak itu berlalu dari hadapannya. Nara yang melihat dari kejauhan, perlahan mendekati Naima setelah kepergian Helmi.

"Nai … kamu oke?"

"Apa aku terlihat baik, Ra?"

"Maafkan aku. Sebaiknya kamu memang harus segera membicarakan ini dengan suamimu."

"Haruskah sekarang?"

Nara tak bisa berkata apa-apa lagi. Sahabatnya itu tampak enggan untuk membahas masalahnya sekarang.

***

Saat makan malam, Naima, Kiran dan Nara hanya makan bertiga, Helmi entah ada di mana. Ucapannya yang ingin berbicara dan menjelaskan pada Naima pun batal begitu saja.

Naima tidak mau ambil pusing, biarlah suaminya itu pergi. Terpenting kini, dia harus mengisi perutnya walaupun tidak berselera makan sekarang. Calon bayinya harus mendapatkan nutrisi yang cukup.

"Naima …." Melihat sang sahabat makan dalam keadaan termenung, Nara merasa sangat khawatir.

Kerlingan mata Nara membuat Naima sadar. Dia harus terlihat baik-baik saja di hadapan putrinya.

Setelah makan malam, mereka pun tidur di kamar Kiran. Naima sengaja, jika nanti Helmi ingin tidur bisa menggunakan kamar mereka. Ukuran tempat tidur yang besar cukup untuk ketiganya berbaring bersama. Setelah Kiran tidur, Naima mengajak Nara mengobrol di sofa kamar itu, sedikit jauh dari posisi ranjang putrinya.

Naima pun menceritakan tentang pengakuan sang suami. Nara yang tak bisa berkata apa-apa membekap mulut. Mulanya dia pikir telepon yang diterima Naima tadi siang hanyalah dari orang iseng yang iri akan kebahagiaan rumah tangga sahabatnya itu.

"Sekarang suami kamu di mana, Nai?" tanya Nara dengan sedikit berbisik.

Naima tampak berusaha menahan tangisan agar tidak bersuara. "Bang Helmi tadi mengirim pesan dan dia berada di kantor sekarang. Entah itu benar atau tidak. Bi Siti juga bilang, tadi saat berangkat Bang Helmi terlihat marah dan wajahnya kusut."

Dengan lembut Nara menyapu sisa air mata yang tertinggal di pipi Naima. "Sudah, tenanglah. Mungkin memang ada masalah di kantor."

"Aku sudah berusaha tenang, Ra. Tapi mengingat sikap Bang Helmi yang sangat perhatian selama ini semakin membuatku sakit. Ternyata perhatian seperti itu tidak hanya untukku, tapi pada wanita lain juga."

Nara mendekat dan membawa Naima dalam pelukannya. Ia menyibakkan rambut panjang milik Naima dan mengelus punggung dengan lembut. "Sssttt, sabar … semua pasti ada jalan keluarnya. Aku akan selalu ada untuk membantumu."

Naima membekap mulut agar tidak bersuara. Dia ingin menangis sekeras-kerasnya. Tetapi Kiran mungkin saja bisa terbangun. Hanya gerakan bahunya naik turun karena isakan yang tertahan.

Nara kasihan melihat kondisi sahabatnya yang seperti ini. Dia berusaha untuk menenangkan. Kondisi psikologis Naima tidak bisa terganggu. Mengingat kehamilannya yang tidak terlalu kuat dari trimester pertama.

***

Pagi-pagi sekali Naima mengajak Kiran dan Nara keluar dari rumah. Bahkan sarapan pagi belum disiapkan, mereka sudah diperjalanan. Naima memutuskan untuk mengunjungi keluarganya agar bisa menjernihkan pikiran yang terus mengganggu. Semalaman ia tidak bisa tidur, karena terus memikirkan Helmi yang belum pulang hingga lewat tengah malam. Saat menjelang subuh Naima baru mendengar suara mobil suaminya, dia pun merasa lega Helmi akhirnya pulang ke rumah.

Ketika mereka sampai di kediaman Sanjaya, sambutan hangat tentu saja datang dari penghuni rumah itu. Sudah hampir dua Minggu Naima tidak datang berkunjung. Biasanya Naima selalu rutin datang paling tidak dua kali dalam seminggu. Pekerjaan di butik selalu menyita waktunya, sehingga mamanya-lah yang selalu datang ke butik untuk menemuinya.

Jika bukan karena masalah yang dihadapi sekarang, Naima tidak akan punya waktu datang ke rumah keluarganya. Untuk saat ini pekerjaan di butik ia serahkan pada Maharani sehingga dia bisa menenangkan diri sejenak.

"Waaahhh … cucu oma datang …!" Rinjani membentang tangan menyambut cucunya.

"Oma!" Kiran berlari dengan riang dan memeluk omanya.

Wanita paruh baya itu mencium sang cucu yang menggemaskan. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Naima yang berjalan perlahan menaiki anak tangga.

Rinjani mengerutkan keningnya. "Tumben datang sepagi ini, Sayang?" tanyanya lembut seraya mengelus perut Naima yang membesar.

"Nai kangen, Mama sama Papa. Jadi pagi-pagi sekali buru-buru ke sini," jawabnya dengan senyuman tulus. Walau sedikit dia paksakan karena kondisi hatinya.

Perasaan seorang ibu tidak dapat dibohongi begitu saja. Suara Naima terdengar bergetar saat berbicara. Raut wajahnya juga tampak tidak baik-baik saja, terlihat kelelahan. Apalagi Naima datang tanpa diantar oleh suaminya, membuat hati seorang ibu bertanya-tanya. Biasanya, saat Naima ingin datang, Helmi selalu menemani.

Rinjani lantas menghilangkan pikiran negatifnya. Jika ada masalah Naima pasti akan bercerita lebih dulu padanya.

"Suami kamu mana, Sayang?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
cara penyelesaian masalah di novel. seakan2 hebat dan bisa selesaikan sendiri. g usah sok2an nyet
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Pernikahan Tak Sempurna    117. Tak ada yang benar-benar sempurna

    *** "Kamu meragukan dirimu sekarang, Fian? Apakah tekadmu hanya akan sampai di sini?" Naima bertanya melengkungkan alisnya. Tatapannya mengharapkan jawaban yang tak ingin ada keraguan. Bukankah hatinya kini bisa terbuka karena kegigihan pria dihadapannya."Tidak, bukan begitu, Ima. Apa aku tidak terlalu jahat jika nantinya memisahkan kebersamaan ayah dan anak? Aku tidak akan mundur, aku sungguh ingin hubungan kita berhasil, dan kamu akan aku jadikan wanita paling bahagia di dunia ini." Alfian tak ingin Naima salah sangka dengan perkataannya.Naima tersenyum simpul menanggapi hal ini. "Dokter Alfian, kamu meragukan keberhasilan hubungan kita karena Helmi?""Aku memikirkan anak-anak, Sayang." Dia mengungkapkan isi hatinya.Naima menghela napasnya sejenak, dia mengerti jalan pikiran kekasihnya saat ini. "Fian, nggak ada yang perlu kamu khawatirkan. Anak-anak tidak akan kekurangan kasih sayang dari ayahnya. Malahan mereka akan sangat beruntung mendapatkan kasih sayang yang melimpah dari s

  • Pernikahan Tak Sempurna    116. Jika dia hadir

    ***Sementara itu di rumah sakit.Bara dan Andita masih berusaha mayakinkan Helmi untuk mendapatkan pengobatan secara intensif. Setelah dokter menyampaikan hasil tes hari ini. Helmi menjadi keras kepala. Dokter mengatakan bahwa Helmi terlalu banyak mengkonsumsi alkohol, ditambah lagi dengan pola makannya yang tidak teratur dan istirahat yang sangat sedikit. Sehingga kini dia mengalamai perlemakan pada hati. Helmi masih harus melakukan beberapa tes lagi setelah ini, untuk mendeteksi apakah ada gejala lain lagi pada hatinya. Perlemakan pada hati akan semakin parah jika tidak mendapatkan penanganan yang benar. Andita juga meminta Helmi untuk tinggal lagi bersamanya. Tinggal sendirian di rumah itu hanya akan memperparah kondisi Helmi. Tidak ada yang memperhatikannya secara intens."Helmi baik-baik saja, Ma. Ayolah ... Helmi hanya mau tinggal sendiri saja." Pria itu memohon lagi. Wanita kesayangannya itu masih memaksanya untuk pindah kembali ke rumah utama."Setelah apa yang terjadi sama

  • Pernikahan Tak Sempurna    115. Hanya demi Naima

    ***Kembali dari rumah sakit Naima langsung bersih-bersih dan merebahkan diri di kasur. Efek lelah karena begadang semalaman, Naima ingin istirahat dengan tenang. Setelah kondisi Helmi dia sampaikan kepada keluarganya, mereka pun ikut lega mendengar hal itu . Sepuluh menit setelah berbaring, ponselnya berbunyi. Benda itu lupa dia bawa kemarin. Tentu banyak panggilan yang masuk.Semalam ketika Mamanya memberitahu bahwa Helmi berada di UGD, mereka semua bergegas ke rumah sakit. Hingga Naima lupa memberitahu Alfian tentang hal ini. Dia merasa bersalah kepada kekasihnya itu.Permukaan kasur dirabanya. Benar saja, ponsel Naima berbunyi karena panggilan masuk dari Alfian."Halo." Terdengar helaan napas dari pria itu. "Akhirnya kamu jawab juga, Sayang."Naima paham kenapa Alfian berkata seperti itu, dia pun langsung menjelaskan. "Fian? Maaf semalam aku di rumah sakit, lupa bawa ponsel. Aku juga minta maaf lupa kasih tau mama untuk ngabarin kamu." "Iya, aku udah tau kok. Semalam waktu aku

  • Pernikahan Tak Sempurna    114. Rumah sakit

    ***Beberapa hari kemudian.Ketika jam makan siang, Rafka--sekretaris Helmi merasa sedikit khawatir, melihat sang bos tampak tidak sehat. Meskipun tau sedang tidak baik-baik saja, Helmi tetap memaksakan dirinya untuk pergi rapat dengan klien. Sore harinya, Andita ditelepon oleh sekretaris Rafka untuk mengabarkan tentang kondisi sang putra. Helmi menolak dibawa ke rumah sakit, sehingga sang sekretaris pun terpaksa mengantar pulang ke rumah. Andita dan Bara pun bergegas ke rumah Helmi untuk memastikan keadaannya.Saat masuk ke dalam rumah, Andita di sambut oleh ART. “Helmi udah pulang kan, Bi?”“Iya, Nyonya, Tuan Helmi udah naik ke kamarnya, baru lima belas menit yang lalu,” jawab sang ART menjelaskan. “Tuan Helmi kelihatannya tidak sehat, Nyonya. Tapi saat saya tanya, katanya nggak apa-apa.”“Iya udah, saya langsung naik aja.”“Baik, Nyonya, Tuan.”Pintu kamar Helmi langsung dibuka. Sang putra terlihat tengah berbaring di tempat tidur. Andita dan Bara langsung menghampiri. Saat mereka

  • Pernikahan Tak Sempurna    113. Menyedihkan

    Hari ini hari pertama Naima dan Alfian sebagai sepasang kekasih. Berita bahagia ini tak ingin disimpan lebih lama, Alfian bermaksud untuk mengatakan secara langsung kepada kedua orang tua Naima. Alfian pun mengantar Naima pulang kerja, sekalian bertemu dengan orangtua kekasihnya itu.Sebenarnya Naima masih mau merahasiakan ini dulu. Tetapi Alfian membujuknya untuk segera mempublikasikan kepada orang terdekat. Alfian ingin segera membagi kebahagiaannya dengan semua, yang pada akhirnya Naima pun menyetujui. Ketika Naima memasuki rumah, semua orang sedang berkumpul di ruangan keluarga. Mama, Papa, serta anak-anaknya ada di sana. Sedangkan Sakti dan Nara masih belum pulang dari bulan madu. Naima merasa sedikit gugup saat harus mengatakannya secara langsung. Begitupun Alfian, dia juga merasa sedikit gugup. "Naima, ada Alfian di sini, kenapa nggak kamu suruh duduk? Malah berdiri dua-duanya?" tanya Rinjani."Ini, Ma, Pa … Alfian mau ngomong sesuatu." Mata Naima beralih pada Kiran dan Arthu

  • Pernikahan Tak Sempurna    112. Alfian

    "Kalau kamu tidak dengar, ya sudah? Bukan aku yang rugi." Naima memanyunkan bibirnya. Mengalihkan pandangannya ke arah lain. Wajahnya telah memerah, sedikit merasa malu dengan ucapannya sendiri."Aku dengar, aku dengar. Kamu nggak usah ulangi. Akhirnya, kamu menyukaiku? Kamu benar-benar menyukaiku?" tanya Alfian penuh semangat, dan menarik Naima hingga berhadapan dengannya. Mereka pun saling pandang, menatap dalam mata masing-masing. Debaran jantung mereka saling berpacu, terbawa suasana hati yang sangat tak bisa dikendalikan. Terukir senyuman bahagia dari wajah mereka. Entah kenapa Naima tiba-tiba mengatakan hal itu. Dia sudah berpikir lama tentang perasaannya. Awalnya Naima tak mau lagi memikirkan kehidupan percintaan. Gagal satu kali sudah cukup, dia tak akan mengulanginya lagi. Namun, seiring berjalannya waktu. Perhatian yang Alfian tunjukkan semakin membuatnya berpikir, kenapa dia tidak mencobanya saja. Perasaan sukanya pada Alfian adalah nyata. Jika Naima menolak, bukannya aka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status