Share

3. Keluar dari rumah

Selesai memandikan Kiran, mereka diam di dalam kamar sang putri. Pintu akses ke Kamar Naima sudah pun dikunci. Tak lama kemudian, terdengar lagi suara ketukan, kali ini dari pintu kamar Kiran sendiri. Helmi terus memanggil nama Kiran dan Naima.

"Naima, Sayang … keluar ya? Kita bicara sebentar." Tak terdengar lagi kekalutan dari suara Helmi. Pria itu terdengar tenang dan sabar.

Namun, Naima hanya diam, tak berniat untuk merespon panggilan itu. Kiran tampak bingung dengan diamnya sang bunda. Sedangkan Nara hanya bisa menghela napas berat, dia tau ini sangat sulit untuk diterima. Hingga terdengar lagi panggilan dari Helmi.

"Kiran … Cantik … keluar dong … ajak Bunda juga ya, Sayang ….!" Kali ini bujukkan itu dilakukan pada sang putri, yang langsung mendapat perhatian dari gadis kecil itu.

"Ayah …." Wajah mungil itu menoleh pada sang bunda. "Ayah, Bunda. Kenapa Bunda gak bukain pintu?" Pertanyaan polos Kiran lontarkan.

"Nai, sebaiknya kamu buka pintu. Ada Kiran di sini, tidak baik membiarkan dia tau pertengkaran kalian." Nara berbisik memberi pengertian.

Helaan napas panjang Naima hembuskan. Sahabatnya itu benar, sebaiknya dia mengalah demi putri kecilnya. Dengan tetap berusaha tersenyum dan terlihat baik-baik saja, Naima bangun membukakan pintu.

"Sayang … hahh, syukurlah kamu mau buka pintu." Tampak kelegaan dari wajah pria itu, tapi tak mendapat tatapan lembut dari Naima. Belum mendapat respon sang istri, suara yang sangat dia kenal berseru memanggilnya.

"Ayah …." Kiran berlari, langsung melompat dalam dekapan Helmi.

"Haii, Cantik ...! Wahhh, kamu wangi sekali, cantik ayah sudah mandi ya?" Helmi mencium kedua pipi gembul putri kecilnya. Terpaksa harus menunda keinginan untuk berbicara pada Naima.

"Udah, dong," balas Kiran lucu. "Ayah … main yuk!"

"Main?" Helmi melirik sejenak pada Naima. Namun, istrinya itu selalu menghindari tatapan matanya. "Mau main apa, Sayang?" tanyanya kemudian pada Kiran.

"Emm … main masak-masakan ya?"

"Boleh …." Helmi tersenyum dan mencium gemas, membuat gadis kecil itu tertawa geli. "Sayang, Abang ajak Kiram main dulu, nanti setelah makan malam, bisa kita bicara?" Helmi beralih pada sang istri.

Hanya anggukan kecil Naima berikan, kemudian membiarkan ayah dan anak itu berlalu dari hadapannya. Nara yang melihat dari kejauhan, perlahan mendekati Naima setelah kepergian Helmi.

"Nai … kamu oke?"

"Apa aku terlihat baik, Ra?"

"Maafkan aku. Sebaiknya kamu memang harus segera membicarakan ini dengan suamimu."

"Haruskah sekarang?"

Nara tak bisa berkata apa-apa lagi. Sahabatnya itu tampak enggan untuk membahas masalahnya sekarang.

***

Saat makan malam, Naima, Kiran dan Nara hanya makan bertiga, Helmi entah ada di mana. Ucapannya yang ingin berbicara dan menjelaskan pada Naima pun batal begitu saja.

Naima tidak mau ambil pusing, biarlah suaminya itu pergi. Terpenting kini, dia harus mengisi perutnya walaupun tidak berselera makan sekarang. Calon bayinya harus mendapatkan nutrisi yang cukup.

"Naima …." Melihat sang sahabat makan dalam keadaan termenung, Nara merasa sangat khawatir.

Kerlingan mata Nara membuat Naima sadar. Dia harus terlihat baik-baik saja di hadapan putrinya.

Setelah makan malam, mereka pun tidur di kamar Kiran. Naima sengaja, jika nanti Helmi ingin tidur bisa menggunakan kamar mereka. Ukuran tempat tidur yang besar cukup untuk ketiganya berbaring bersama. Setelah Kiran tidur, Naima mengajak Nara mengobrol di sofa kamar itu, sedikit jauh dari posisi ranjang putrinya.

Naima pun menceritakan tentang pengakuan sang suami. Nara yang tak bisa berkata apa-apa membekap mulut. Mulanya dia pikir telepon yang diterima Naima tadi siang hanyalah dari orang iseng yang iri akan kebahagiaan rumah tangga sahabatnya itu.

"Sekarang suami kamu di mana, Nai?" tanya Nara dengan sedikit berbisik.

Naima tampak berusaha menahan tangisan agar tidak bersuara. "Bang Helmi tadi mengirim pesan dan dia berada di kantor sekarang. Entah itu benar atau tidak. Bi Siti juga bilang, tadi saat berangkat Bang Helmi terlihat marah dan wajahnya kusut."

Dengan lembut Nara menyapu sisa air mata yang tertinggal di pipi Naima. "Sudah, tenanglah. Mungkin memang ada masalah di kantor."

"Aku sudah berusaha tenang, Ra. Tapi mengingat sikap Bang Helmi yang sangat perhatian selama ini semakin membuatku sakit. Ternyata perhatian seperti itu tidak hanya untukku, tapi pada wanita lain juga."

Nara mendekat dan membawa Naima dalam pelukannya. Ia menyibakkan rambut panjang milik Naima dan mengelus punggung dengan lembut. "Sssttt, sabar … semua pasti ada jalan keluarnya. Aku akan selalu ada untuk membantumu."

Naima membekap mulut agar tidak bersuara. Dia ingin menangis sekeras-kerasnya. Tetapi Kiran mungkin saja bisa terbangun. Hanya gerakan bahunya naik turun karena isakan yang tertahan.

Nara kasihan melihat kondisi sahabatnya yang seperti ini. Dia berusaha untuk menenangkan. Kondisi psikologis Naima tidak bisa terganggu. Mengingat kehamilannya yang tidak terlalu kuat dari trimester pertama.

***

Pagi-pagi sekali Naima mengajak Kiran dan Nara keluar dari rumah. Bahkan sarapan pagi belum disiapkan, mereka sudah diperjalanan. Naima memutuskan untuk mengunjungi keluarganya agar bisa menjernihkan pikiran yang terus mengganggu. Semalaman ia tidak bisa tidur, karena terus memikirkan Helmi yang belum pulang hingga lewat tengah malam. Saat menjelang subuh Naima baru mendengar suara mobil suaminya, dia pun merasa lega Helmi akhirnya pulang ke rumah.

Ketika mereka sampai di kediaman Sanjaya, sambutan hangat tentu saja datang dari penghuni rumah itu. Sudah hampir dua Minggu Naima tidak datang berkunjung. Biasanya Naima selalu rutin datang paling tidak dua kali dalam seminggu. Pekerjaan di butik selalu menyita waktunya, sehingga mamanya-lah yang selalu datang ke butik untuk menemuinya.

Jika bukan karena masalah yang dihadapi sekarang, Naima tidak akan punya waktu datang ke rumah keluarganya. Untuk saat ini pekerjaan di butik ia serahkan pada Maharani sehingga dia bisa menenangkan diri sejenak.

"Waaahhh … cucu oma datang …!" Rinjani membentang tangan menyambut cucunya.

"Oma!" Kiran berlari dengan riang dan memeluk omanya.

Wanita paruh baya itu mencium sang cucu yang menggemaskan. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Naima yang berjalan perlahan menaiki anak tangga.

Rinjani mengerutkan keningnya. "Tumben datang sepagi ini, Sayang?" tanyanya lembut seraya mengelus perut Naima yang membesar.

"Nai kangen, Mama sama Papa. Jadi pagi-pagi sekali buru-buru ke sini," jawabnya dengan senyuman tulus. Walau sedikit dia paksakan karena kondisi hatinya.

Perasaan seorang ibu tidak dapat dibohongi begitu saja. Suara Naima terdengar bergetar saat berbicara. Raut wajahnya juga tampak tidak baik-baik saja, terlihat kelelahan. Apalagi Naima datang tanpa diantar oleh suaminya, membuat hati seorang ibu bertanya-tanya. Biasanya, saat Naima ingin datang, Helmi selalu menemani.

Rinjani lantas menghilangkan pikiran negatifnya. Jika ada masalah Naima pasti akan bercerita lebih dulu padanya.

"Suami kamu mana, Sayang?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status