Selesai memandikan Kiran, mereka diam di dalam kamar sang putri. Pintu akses ke Kamar Naima sudah pun dikunci. Tak lama kemudian, terdengar lagi suara ketukan, kali ini dari pintu kamar Kiran sendiri. Helmi terus memanggil nama Kiran dan Naima.
"Naima, Sayang … keluar ya? Kita bicara sebentar." Tak terdengar lagi kekalutan dari suara Helmi. Pria itu terdengar tenang dan sabar.Namun, Naima hanya diam, tak berniat untuk merespon panggilan itu. Kiran tampak bingung dengan diamnya sang bunda. Sedangkan Nara hanya bisa menghela napas berat, dia tau ini sangat sulit untuk diterima. Hingga terdengar lagi panggilan dari Helmi."Kiran … Cantik … keluar dong … ajak Bunda juga ya, Sayang ….!" Kali ini bujukkan itu dilakukan pada sang putri, yang langsung mendapat perhatian dari gadis kecil itu."Ayah …." Wajah mungil itu menoleh pada sang bunda. "Ayah, Bunda. Kenapa Bunda gak bukain pintu?" Pertanyaan polos Kiran lontarkan."Nai, sebaiknya kamu buka pintu. Ada Kiran di sini, tidak baik membiarkan dia tau pertengkaran kalian." Nara berbisik memberi pengertian.Helaan napas panjang Naima hembuskan. Sahabatnya itu benar, sebaiknya dia mengalah demi putri kecilnya. Dengan tetap berusaha tersenyum dan terlihat baik-baik saja, Naima bangun membukakan pintu."Sayang … hahh, syukurlah kamu mau buka pintu." Tampak kelegaan dari wajah pria itu, tapi tak mendapat tatapan lembut dari Naima. Belum mendapat respon sang istri, suara yang sangat dia kenal berseru memanggilnya."Ayah …." Kiran berlari, langsung melompat dalam dekapan Helmi."Haii, Cantik ...! Wahhh, kamu wangi sekali, cantik ayah sudah mandi ya?" Helmi mencium kedua pipi gembul putri kecilnya. Terpaksa harus menunda keinginan untuk berbicara pada Naima."Udah, dong," balas Kiran lucu. "Ayah … main yuk!""Main?" Helmi melirik sejenak pada Naima. Namun, istrinya itu selalu menghindari tatapan matanya. "Mau main apa, Sayang?" tanyanya kemudian pada Kiran."Emm … main masak-masakan ya?""Boleh …." Helmi tersenyum dan mencium gemas, membuat gadis kecil itu tertawa geli. "Sayang, Abang ajak Kiram main dulu, nanti setelah makan malam, bisa kita bicara?" Helmi beralih pada sang istri.Hanya anggukan kecil Naima berikan, kemudian membiarkan ayah dan anak itu berlalu dari hadapannya. Nara yang melihat dari kejauhan, perlahan mendekati Naima setelah kepergian Helmi."Nai … kamu oke?""Apa aku terlihat baik, Ra?""Maafkan aku. Sebaiknya kamu memang harus segera membicarakan ini dengan suamimu.""Haruskah sekarang?"Nara tak bisa berkata apa-apa lagi. Sahabatnya itu tampak enggan untuk membahas masalahnya sekarang.***Saat makan malam, Naima, Kiran dan Nara hanya makan bertiga, Helmi entah ada di mana. Ucapannya yang ingin berbicara dan menjelaskan pada Naima pun batal begitu saja.Naima tidak mau ambil pusing, biarlah suaminya itu pergi. Terpenting kini, dia harus mengisi perutnya walaupun tidak berselera makan sekarang. Calon bayinya harus mendapatkan nutrisi yang cukup."Naima …." Melihat sang sahabat makan dalam keadaan termenung, Nara merasa sangat khawatir.Kerlingan mata Nara membuat Naima sadar. Dia harus terlihat baik-baik saja di hadapan putrinya.Setelah makan malam, mereka pun tidur di kamar Kiran. Naima sengaja, jika nanti Helmi ingin tidur bisa menggunakan kamar mereka. Ukuran tempat tidur yang besar cukup untuk ketiganya berbaring bersama. Setelah Kiran tidur, Naima mengajak Nara mengobrol di sofa kamar itu, sedikit jauh dari posisi ranjang putrinya.Naima pun menceritakan tentang pengakuan sang suami. Nara yang tak bisa berkata apa-apa membekap mulut. Mulanya dia pikir telepon yang diterima Naima tadi siang hanyalah dari orang iseng yang iri akan kebahagiaan rumah tangga sahabatnya itu."Sekarang suami kamu di mana, Nai?" tanya Nara dengan sedikit berbisik.Naima tampak berusaha menahan tangisan agar tidak bersuara. "Bang Helmi tadi mengirim pesan dan dia berada di kantor sekarang. Entah itu benar atau tidak. Bi Siti juga bilang, tadi saat berangkat Bang Helmi terlihat marah dan wajahnya kusut."Dengan lembut Nara menyapu sisa air mata yang tertinggal di pipi Naima. "Sudah, tenanglah. Mungkin memang ada masalah di kantor.""Aku sudah berusaha tenang, Ra. Tapi mengingat sikap Bang Helmi yang sangat perhatian selama ini semakin membuatku sakit. Ternyata perhatian seperti itu tidak hanya untukku, tapi pada wanita lain juga."Nara mendekat dan membawa Naima dalam pelukannya. Ia menyibakkan rambut panjang milik Naima dan mengelus punggung dengan lembut. "Sssttt, sabar … semua pasti ada jalan keluarnya. Aku akan selalu ada untuk membantumu."Naima membekap mulut agar tidak bersuara. Dia ingin menangis sekeras-kerasnya. Tetapi Kiran mungkin saja bisa terbangun. Hanya gerakan bahunya naik turun karena isakan yang tertahan.Nara kasihan melihat kondisi sahabatnya yang seperti ini. Dia berusaha untuk menenangkan. Kondisi psikologis Naima tidak bisa terganggu. Mengingat kehamilannya yang tidak terlalu kuat dari trimester pertama.***Pagi-pagi sekali Naima mengajak Kiran dan Nara keluar dari rumah. Bahkan sarapan pagi belum disiapkan, mereka sudah diperjalanan. Naima memutuskan untuk mengunjungi keluarganya agar bisa menjernihkan pikiran yang terus mengganggu. Semalaman ia tidak bisa tidur, karena terus memikirkan Helmi yang belum pulang hingga lewat tengah malam. Saat menjelang subuh Naima baru mendengar suara mobil suaminya, dia pun merasa lega Helmi akhirnya pulang ke rumah.Ketika mereka sampai di kediaman Sanjaya, sambutan hangat tentu saja datang dari penghuni rumah itu. Sudah hampir dua Minggu Naima tidak datang berkunjung. Biasanya Naima selalu rutin datang paling tidak dua kali dalam seminggu. Pekerjaan di butik selalu menyita waktunya, sehingga mamanya-lah yang selalu datang ke butik untuk menemuinya.Jika bukan karena masalah yang dihadapi sekarang, Naima tidak akan punya waktu datang ke rumah keluarganya. Untuk saat ini pekerjaan di butik ia serahkan pada Maharani sehingga dia bisa menenangkan diri sejenak."Waaahhh … cucu oma datang …!" Rinjani membentang tangan menyambut cucunya."Oma!" Kiran berlari dengan riang dan memeluk omanya.Wanita paruh baya itu mencium sang cucu yang menggemaskan. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Naima yang berjalan perlahan menaiki anak tangga.Rinjani mengerutkan keningnya. "Tumben datang sepagi ini, Sayang?" tanyanya lembut seraya mengelus perut Naima yang membesar."Nai kangen, Mama sama Papa. Jadi pagi-pagi sekali buru-buru ke sini," jawabnya dengan senyuman tulus. Walau sedikit dia paksakan karena kondisi hatinya.Perasaan seorang ibu tidak dapat dibohongi begitu saja. Suara Naima terdengar bergetar saat berbicara. Raut wajahnya juga tampak tidak baik-baik saja, terlihat kelelahan. Apalagi Naima datang tanpa diantar oleh suaminya, membuat hati seorang ibu bertanya-tanya. Biasanya, saat Naima ingin datang, Helmi selalu menemani.Rinjani lantas menghilangkan pikiran negatifnya. Jika ada masalah Naima pasti akan bercerita lebih dulu padanya."Suami kamu mana, Sayang?"Pertanyaan Rinjani sedikit membuat dada Naima bergetar. Jawaban yang tepat harus segera dia berikan. Jika tidak, mamanya bisa curiga."Masih di luar kota, Ma," jawab Naima menahan kegugupannya."Oo, ya udah masuk dulu. Mama mau cerita banyak sama kamu." Jani mengajak mereka masuk. "Nara, ayo masuk. Kita sarapan sama-sama.""Iya, Tante," jawab Nara sedikit sungkan, karena memang jarang datang. Mengingat keberadaan seseorang di rumah itu membuatnya sedikit canggung.Naima yang melihat sikap sahabatnya, tersenyum geli. Dia tau Nara pasti sedang mencemaskan sesuatu. Tiba-tiba tangan Nara ditarik Kiran agar cepat masuk kedalam. "Tante … ayo masuk! Kiran mau ketemu Om Ganteng!" ajak gadis kecil itu tidak sabar disertai sikap centilnya."I–iya, Sayang …."Naima dan Rinjani menggeleng bersamaan. Melihat tingkah lucu Kiran adalah hiburan tersendiri bagi mereka. Gadis kecil itu memang selalu bersemangat, apalagi jika dengan kehadiran Nara di rumah itu. Kiran akan semakin bersemangat mempertemu
Naima pun menyurutkan air matanya. Lalu ke kamar mandi untuk mencuci muka. Setelah mengganti pakaian mereka keluar dari kamar. Naima mengantar sahabatnya hingga ke depan pintu rumah. Hari ini Naima bisa sedikit tenang. Helmi tidak lagi mengganggunya melalui panggilan telepon. Paling tidak hari ini dia bisa memikirkan langkah apa selanjutnya yang akan dia ambil. Naima mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. Berharap dia bisa mendapatkan bantuan dari orang itu.Akan tetapi, pada malam harinya, Helmi tiba-tiba datang. Tidak mengejutkan bagi Naima. Helmi jenis orang yang tidak akan melepaskan apa yang dia punya, dan akan mengejar apa pun yang dia inginkan.Naima mendatangi Helmi di teras pintu masuk. "Kenapa datang ke sini, Bang?" "Sayang, ikut Abang pulang ya, kita bicarakan baik-baik," bujuk Helmi dengan wajah memelas."Baik-baik yang bagaimana maksud, Abang?" Naima membuang muka."Sayang …." Ucapan Helmi tiba-tiba terhenti. Rinjani tiba-tiba keluar menghampiri mereka. "Helmi
Lirikan mata Naima yang tajam, membuat nyali Helmi semakin ciut. Tidak hanya sekedar kecewa, kemarahan tertahan tampak jelas dari mata dan wajah istrinya itu."Abang, akan jelaskan.""Ya! Memang seharusnya seperti itu!" Naima melepaskan genggaman tangan suaminya."Abang minta maaf … abang memang telah menikah lagi, tanpa sepengetahuan kamu." Pengakuan Helmi yang jelas akhirnya terucap.Seketika jantung Naima langsung berdesir hebat. Seakan jatuh dari ketinggian, pengakuan suaminya itu sangat menyakitkan."Jadi?" Suara Naima sedikit serak, menahan tangisan yang hampir pecah, berusaha menahan agar Helmi tidak melihat sisi lemahnya."Abang minta tolong, agar kamu mau merahasiakan dulu dari keluarga kita."Tatapan Naima sinis pada sang suami. "Alasannya?""Abang belum siap …."Naima lantas membuang muka. Pernyataan Helmi mengakui kesalahan saja masih belum bisa dia terima. Sekarang malah harus menerima permintaan yang sangat tidak bisa dimaafkan."Belum siap? Oo … mudah sekali ya? Abang t
Helmi bersikap selayaknya pria sejati. Tentu saja dia harus bertanggung jawab. Walaupun apa yang dia lakukan adalah karena ketidaksengajaan. Namun, sebagai laki-laki dia tidak akan pernah sembarangan menanggapi masalah.Sherra mengusap air matanya, dia akhirnya sedikit tenang, lalu dia beringsut, berniat untuk membersihkan dirinya ke kamar mandi. Baru saja dia berdiri di samping ranjang, wanita itu pun kembali terduduk. “Auw!” Ringgisan kecil keluar dari bibirnya.Sherra menahan rasa sakit di pangkal pahanya. Kejadian semalam sangat meninggalkan bekas di tubuh bagian bawahnya. "Sher, kamu baik-baik saja?" Melihat wanita itu kesulitan untuk berdiri, Helmi pun merasa kasihan. Dia pun teringat akan kejadian malam pertama dengan istrinya. Naima juga kesulitan berjalan karena merasa nyeri akibat ulahnya.“Ini pertama kali bagiku, Mas. Wajar jika aku merasakan sakit." Sherra tak melihat kearah pria itu, hatinya masih kesal dengan kejadian buruk yang menimpanya semalam. Dia pun memunguti ba
Keluh kesah Naima, membuat Nara sangat terenyuh.“Naima, sebaiknya kamu bicarakan berdua sama suami kamu, biar semuanya jelas. Kalau kamu di sini terus, masalahnya akan semakin berlarut-larut,” ujar Nara yang ikut merasakan penderitaan sahabatnya itu.“Iya, Ra. Beberapa hari lagi aku akan pulang. Tapi, aku akan menitipkan Kiran dulu di sini. Aku nggak mau dia nanti melihatku dan Bang Helmi berseteru,” ucapnya sambil menahan air mata yang mulai membendung. “Naima, yang sabar, ya. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik buat kamu. Semoga ada jalan keluar untuk rumah tangga kamu dan Bang Helmi.” “Iya, Ra. Terima kasih, ya.” Keduanya pun beranjak dari duduknya dan segera menuju kamar. “Eh, iya, Kiran mana?” tanya Nara kemudian.“Kiran lagi di taman belakang sama omanya. Yuk, ke sana,” ajak Naima menggandeng tangan Nara. Mereka pun menuju taman belakang, dimana Kiran sedang asyik bermain. “Tante Cantik ...!” teriak Kiran dari kejauhan berlari sambil membawa bola kecil di tangannya.“Hay,
Asap kendaraan mengebul mencemari jalan raya kota, suara klakson bersahutan memekakkan telinga. Naima yang sedang berada di dalam mobil itu tengah melamun, melihat orang yang lalu lalang sibuk dengan urusan mereka di awal pagi ini.Pikiran Naima mulai kalut. Tak dapat dibayangkan sebelumnya, rumah tangga yang dia banggakan selama ini ternyata hanya drama. Perhatian suaminya, ternyata juga hanya sandiwara penuh kepalsuan. Buliran hangat lagi-lagi menetes dari pelupuk matanya, tak sanggup lagi dia bendung. Tak terasa, Naima hanyut dalam lamunannya hingga sampai rumah pun dia tidak menyadarinya. “Non ... sudah sampai,” panggil sang sopir yang menengok ke belakang, ke arah Naima. Naima tidak menjawab, pandangannya kosong terfokus pada jendela mobil yang mengarah ke jalan.“Non Naima ....” Lagi-lagi sopir itu menegur dan sedikit meninggikan nada suaranya. “Ah, iya, Pak. Ada apa?” Naima terkejut, lalu menoleh.“Sudah sampai rumah, Non.” “Astaga, maaf ya, Pak. Tadi saya sedikit ngantuk,
Wanita yang perutnya telah membesar itu, menunduk perlahan dan berjongkok mengambil selembar foto yang dekat dengan kakinya. Kemudian dia bangkit dan melihat foto itu sambil mengangkat sebelah sudut bibirnya. Naima melihat sesuatu yang tidak asing baginya. Pemandangan yang selalu dia lakukan saat mengantar kepergian suaminya. Mencium tangan suami dan setelah itu mendapat kecupan hangat di keningnya. Naima kembali menjatuhkan foto itu dan Helmi hanya diam tanpa kata. "Dan ada hal yang paling mengejutkan. Wanita itu ada di kota ini bukan? Tidak jauh, sekitar lima kilometer dari sini." Naima bertepuk tangan dengan wajah sinisnya di depan wajah Helmi. "Hebat, sangat hebat."Tidak terbayangkan bagaimana rasanya jadi Naima. Membuka kedok suami dengan cara yang sangat tidak biasa. Sangat menyakitkan, tentu saja itu sangat sakit. Naima berusaha tegar, berusaha bersikap tenang. Dia tidak ingin terlihat lemah di mata sang suami. Naima bukan wanita yang tidak mudah dijatuhkan.Naima menekan d
"Sayang ...."Naima terlihat seperti tidak peduli akan pengkhianatan sang suami. Padahal, sebagai wanita normal pada umumnya, harusnya dia akan sangat kecewa dan sangat marah jika suaminya memiliki wanita lain di luaran sana.Namun, itu hanya yang terlihat di depan saja, tidak di dalam batinnya yang sangat tersiksa. Itu adalah cara Naima untuk memperlihatkan ketidak sukaannya pada pernikahan kedua suaminya. Dia sengaja menyepelekan ucapan Helmi. "Apa perkataan aku ada yang salah?"Naima berusaha menahan amarahnya, sepertinya hatinya sudah mulai kuat untuk merasakan kesedihan yang berlarut-larut. Sehingga dia lelah untuk menangis, dan memilih untuk sedikit menekan suaminya.Helmi memejamkan mata sejenak. "Sayang, kenapa kamu bicara seperti itu? Abang akan pulang kesini, oke .... Nanti kita bicarakan lagi, Abang buru-buru mau ke kantor." Helmi mengecup kening Naima. Pria itu pun bersiap-siap dan segera berangkat. Saat dia berpamitan, Naima bahkan tidak berniat mengantarkannya ke depan