Pertanyaan Rinjani sedikit membuat dada Naima bergetar. Jawaban yang tepat harus segera dia berikan. Jika tidak, mamanya bisa curiga.
"Masih di luar kota, Ma," jawab Naima menahan kegugupannya."Oo, ya udah masuk dulu. Mama mau cerita banyak sama kamu." Jani mengajak mereka masuk. "Nara, ayo masuk. Kita sarapan sama-sama.""Iya, Tante," jawab Nara sedikit sungkan, karena memang jarang datang. Mengingat keberadaan seseorang di rumah itu membuatnya sedikit canggung.Naima yang melihat sikap sahabatnya, tersenyum geli. Dia tau Nara pasti sedang mencemaskan sesuatu.Tiba-tiba tangan Nara ditarik Kiran agar cepat masuk kedalam. "Tante … ayo masuk! Kiran mau ketemu Om Ganteng!" ajak gadis kecil itu tidak sabar disertai sikap centilnya."I–iya, Sayang …."Naima dan Rinjani menggeleng bersamaan. Melihat tingkah lucu Kiran adalah hiburan tersendiri bagi mereka. Gadis kecil itu memang selalu bersemangat, apalagi jika dengan kehadiran Nara di rumah itu. Kiran akan semakin bersemangat mempertemukan Tante Nara-nya dengan Om Ganteng-nya."Ayo, kita juga masuk, Sayang. Kamu harus cerita sama mama."Tiba-tiba Naima merasa cemas, mampukah dia merahasiakan hal ini?***Om ... Om ganteng!" Teriakan Kiran memecah keheningan di ruang keluarga.Nara yang kepayahan, terpaksa ikut berlari menuruti kaki kecil gadis itu. Sesampainya di dekat tangga, langkahnya terhenti."Tante … ayo! Itu Om gantengnya lagi turun."Namun, Nara hanya terpaku menatap ke arah sosok yang selama ini dia hindari. Ketika tatapan mereka bertemu, Nara langsung membuang muka."Iiihhh … Tante gak asyik." Gadis kecil itu melepas genggaman tangannya dari Nara, lantas berlari menghampiri pria yang menuruni anak tangga.Sakti membentangkan tangan menyongsong sang keponakan yang berlari padanya. "Kiran …!""Ehh, Kiran, hati-hati." Teriak Nara melihat tingkah gadis kecil nan lincah itu."Kyaaa … hahaha!"Tubuh Kiran diangkat, Sakti melambungkannya di udara. Membuat gadis itu teriak kegirangan, kemudian meletakkan gadis itu di bahunya. Dia pun mengalihkan pandangan pada Nara yang masih terpaku, lalu mulai mendekat dan tersenyum."Selamat pagi, Nona Nara," sapa Sakti lirih saat mereka berhadapan, tetapi Nara tetap diam."Tante … Om ganteng manggil. Kenapa diam aja," ucap Kiran dengan gaya lucunya."Ahhh, i–iya, selamat pagi," jawab Nara tergagap, lalu menunduk.Sakti tersenyum. "Sudah lama kita tidak ketemu, Nona Nara. Apa kabar?""Baik."Suasana pagi di kediaman Sanjaya, terasa berbeda dengan kehadiran Naima, Kiran juga Nara. Mereka sarapan pagi dibarengi dengan obrolan yang menyenangkan. Walau saat ini hati Naima hancur berkeping-keping, dan berharap tidak ada yang bisa menyadarinya.Tanpa Naima tahu, ponsel yang disimpan dalam tas menyala. Layarnya terus menunjukan ada sebuah panggilan masuk, banyak kali. Helmi terus menelpon, karena dia tiba-tiba menghilang dari rumah tanpa memberi kabar.***Di sisi lain, tempat Helmi berada, di rumahnya. Dia sedang gelisah memikirkan istri yang pergi begitu saja. Tanpa pamit, tanpa pesan. Sebagai seorang suami yang mencintai istrinya, tentu saja dia sangat khawatir.Helmi baru pulang jam 03.30 dini hari tadi, karena harus lembur menyelesaikan masalah di kantor. Dia berharap bisa berbicara dengan Naima sesampainya di rumah. Meluruskan masalah yang dia buat sendiri. Niat Hatinya ingin beristirahat sebentar, tetapi begitu bangun Helmi tidak lagi mendapati Naima, dan putrinya.Pria itu pun memutuskan untuk menelpon Nara. Pada panggilan kedua, Nara baru mengangkat teleponnya."Halo, Nara. Naima dan Kiran ada sama kamu? Kalian di mana? Kenapa Naima tidak mengangkat telepon?"Helmi seperti diburu, pertanyaannya bertubi-tubi. Namun, tidak ada jawaban."Halo! Nara!""I–iya, ada sama aku. Aku sedang di rumah Tante Jani."Tanpa salam, Helmi pun mematikan panggilan. Dia melempar ponselnya ke kasur begitu saja. Amarahnya serasa naik ke ubun-ubun, dia khawatir mertuanya tahu akan perbuatannya pada Naima."Aarrgghhhh, sial!" Helmi mengamuk sendiri.Apa yang harus dia lakukan? Mengatakan yang sebenarnya pada keluarganya dan keluarga Naima, atau membuat istrinya itu tetap diam untuk sementara waktu? Hingga dia siap untuk berkata jujur pada semua orang.***Saat Nara menerima telepon dari Helmi tadi, Naima juga berada di sampingnya. Tentu saja Naima yang meminta Nara mengatakan kepada Helmi di mana dia berada sekarang."Nai, bagaimana sekarang?" Nara bertanya sedikit berbisik, takut jika pembicaraan mereka terdengar dari luar kamar.Naima membuang napas kasar. "Biarkan saja dulu, Ra. Aku sengaja membiarkan Bang Helmi tahu kalau aku di sini. Aku yakin, sekarang dia sedang mengamuk, takut aku akan mengatakan soal perbuatannya pada Mama dan Papa."Terlihat sekali kekecewaan yang besar dari wajah Naima. Belum pernah dia menanggung beban seberat ini. Kehidupannya selama ini sangat lancar. Kepercayaan pada suami sangat besar. Sehingga dia pun hampir tidak percaya bahwa ini bisa terjadi pada pernikahannya."Lalu, kamu akan mengatakan masalah ini pada keluarga kalian?""Tidak sekarang. Walau ini sangat sakit, Ra. Bagaimanapun juga, aku yang terlebih dahulu memiliki Bang Helmi. Wanita jalang itu tidak berhak sama sekali. Aku akan meminta Bang Helmi untuk meninggalkan wanita itu," jawab Naima sangat lirih. Air matanya mulai berlinang."Kamu bisa, memaafkan suamimu begitu saja? Setelah pengkhianatan yang dia lakukan?"Sulit, sungguh pertanyaan yang sulit sebenarnya. Jika Naima menjawab bisa, maka kata maaf itu mustahil datang dari dalam hatinya. Jika dia menjawab tidak, maka dirinya sendiri akan meragukan, seberapa besar cintanya kepada sang suami."Entahlah, aku mungkin belum bisa memaafkannya, jika dia mau meninggalkan wanita itu. Tapi, perjalanan kami tidak mudah, Ra. Sampai akhirnya kami menikah, dan mempunyai anak. Kamu tau sendiri, kan?"Akhirnya cairan bening Naima kembali jatuh membasahi pipi. Nara pun menarik tubuh Naima yang berperut bulat itu ke dekapannya. Lalu mengelus punggung wanita yang sedang bersedih itu dengan lembut."Aku mengerti, Nai. Bilang saja jika kamu butuh bantuanku. Kamu yang sabar, ya." Nara pun berlinangan air mata, dia ikut merasakan kesedihan yang sahabatnya rasakan.Naima melerai pelukan mereka. "Terima kasih, Ra. Kamu adalah sahabat terbaik yang aku punya, Maharani juga."Dengan lembut, Nara mengusap air mata Naima, bergantian kiri dan kanan. Lalu mengusap air matanya sendiri. "Sama-sama, Sayang. Aku dan Rani tidak akan meninggalkan kamu sendiri. Kami akan selalu ada untuk kamu.""Iya, tapi aku minta satu hal sama kamu.""Minta apa?" tanya Nara lembut."Jangan katakan dulu masalah ini pada Rani. Kamu tau sendiri kan, bagaimana sifatnya?"Nara terpejam sesaat, tentu saja dia sangat mengerti dengan sifat teman mereka itu. Terlalu berbahaya jika Maharani sampai tahu. Setidaknya, jangan sekarang. Tunggu saat yang tepat, dimana Naima sudah siap untuk mengungkapkan semuanya."Iya, aku tahu. Baiklah, aku akan menyimpan rahasia ini untuk sementara. Dan sebaiknya kita keluar, nanti Tante Jani bisa curiga."*** "Kamu meragukan dirimu sekarang, Fian? Apakah tekadmu hanya akan sampai di sini?" Naima bertanya melengkungkan alisnya. Tatapannya mengharapkan jawaban yang tak ingin ada keraguan. Bukankah hatinya kini bisa terbuka karena kegigihan pria dihadapannya."Tidak, bukan begitu, Ima. Apa aku tidak terlalu jahat jika nantinya memisahkan kebersamaan ayah dan anak? Aku tidak akan mundur, aku sungguh ingin hubungan kita berhasil, dan kamu akan aku jadikan wanita paling bahagia di dunia ini." Alfian tak ingin Naima salah sangka dengan perkataannya.Naima tersenyum simpul menanggapi hal ini. "Dokter Alfian, kamu meragukan keberhasilan hubungan kita karena Helmi?""Aku memikirkan anak-anak, Sayang." Dia mengungkapkan isi hatinya.Naima menghela napasnya sejenak, dia mengerti jalan pikiran kekasihnya saat ini. "Fian, nggak ada yang perlu kamu khawatirkan. Anak-anak tidak akan kekurangan kasih sayang dari ayahnya. Malahan mereka akan sangat beruntung mendapatkan kasih sayang yang melimpah dari s
***Sementara itu di rumah sakit.Bara dan Andita masih berusaha mayakinkan Helmi untuk mendapatkan pengobatan secara intensif. Setelah dokter menyampaikan hasil tes hari ini. Helmi menjadi keras kepala. Dokter mengatakan bahwa Helmi terlalu banyak mengkonsumsi alkohol, ditambah lagi dengan pola makannya yang tidak teratur dan istirahat yang sangat sedikit. Sehingga kini dia mengalamai perlemakan pada hati. Helmi masih harus melakukan beberapa tes lagi setelah ini, untuk mendeteksi apakah ada gejala lain lagi pada hatinya. Perlemakan pada hati akan semakin parah jika tidak mendapatkan penanganan yang benar. Andita juga meminta Helmi untuk tinggal lagi bersamanya. Tinggal sendirian di rumah itu hanya akan memperparah kondisi Helmi. Tidak ada yang memperhatikannya secara intens."Helmi baik-baik saja, Ma. Ayolah ... Helmi hanya mau tinggal sendiri saja." Pria itu memohon lagi. Wanita kesayangannya itu masih memaksanya untuk pindah kembali ke rumah utama."Setelah apa yang terjadi sama
***Kembali dari rumah sakit Naima langsung bersih-bersih dan merebahkan diri di kasur. Efek lelah karena begadang semalaman, Naima ingin istirahat dengan tenang. Setelah kondisi Helmi dia sampaikan kepada keluarganya, mereka pun ikut lega mendengar hal itu . Sepuluh menit setelah berbaring, ponselnya berbunyi. Benda itu lupa dia bawa kemarin. Tentu banyak panggilan yang masuk.Semalam ketika Mamanya memberitahu bahwa Helmi berada di UGD, mereka semua bergegas ke rumah sakit. Hingga Naima lupa memberitahu Alfian tentang hal ini. Dia merasa bersalah kepada kekasihnya itu.Permukaan kasur dirabanya. Benar saja, ponsel Naima berbunyi karena panggilan masuk dari Alfian."Halo." Terdengar helaan napas dari pria itu. "Akhirnya kamu jawab juga, Sayang."Naima paham kenapa Alfian berkata seperti itu, dia pun langsung menjelaskan. "Fian? Maaf semalam aku di rumah sakit, lupa bawa ponsel. Aku juga minta maaf lupa kasih tau mama untuk ngabarin kamu." "Iya, aku udah tau kok. Semalam waktu aku
***Beberapa hari kemudian.Ketika jam makan siang, Rafka--sekretaris Helmi merasa sedikit khawatir, melihat sang bos tampak tidak sehat. Meskipun tau sedang tidak baik-baik saja, Helmi tetap memaksakan dirinya untuk pergi rapat dengan klien. Sore harinya, Andita ditelepon oleh sekretaris Rafka untuk mengabarkan tentang kondisi sang putra. Helmi menolak dibawa ke rumah sakit, sehingga sang sekretaris pun terpaksa mengantar pulang ke rumah. Andita dan Bara pun bergegas ke rumah Helmi untuk memastikan keadaannya.Saat masuk ke dalam rumah, Andita di sambut oleh ART. “Helmi udah pulang kan, Bi?”“Iya, Nyonya, Tuan Helmi udah naik ke kamarnya, baru lima belas menit yang lalu,” jawab sang ART menjelaskan. “Tuan Helmi kelihatannya tidak sehat, Nyonya. Tapi saat saya tanya, katanya nggak apa-apa.”“Iya udah, saya langsung naik aja.”“Baik, Nyonya, Tuan.”Pintu kamar Helmi langsung dibuka. Sang putra terlihat tengah berbaring di tempat tidur. Andita dan Bara langsung menghampiri. Saat mereka
Hari ini hari pertama Naima dan Alfian sebagai sepasang kekasih. Berita bahagia ini tak ingin disimpan lebih lama, Alfian bermaksud untuk mengatakan secara langsung kepada kedua orang tua Naima. Alfian pun mengantar Naima pulang kerja, sekalian bertemu dengan orangtua kekasihnya itu.Sebenarnya Naima masih mau merahasiakan ini dulu. Tetapi Alfian membujuknya untuk segera mempublikasikan kepada orang terdekat. Alfian ingin segera membagi kebahagiaannya dengan semua, yang pada akhirnya Naima pun menyetujui. Ketika Naima memasuki rumah, semua orang sedang berkumpul di ruangan keluarga. Mama, Papa, serta anak-anaknya ada di sana. Sedangkan Sakti dan Nara masih belum pulang dari bulan madu. Naima merasa sedikit gugup saat harus mengatakannya secara langsung. Begitupun Alfian, dia juga merasa sedikit gugup. "Naima, ada Alfian di sini, kenapa nggak kamu suruh duduk? Malah berdiri dua-duanya?" tanya Rinjani."Ini, Ma, Pa … Alfian mau ngomong sesuatu." Mata Naima beralih pada Kiran dan Arthu
"Kalau kamu tidak dengar, ya sudah? Bukan aku yang rugi." Naima memanyunkan bibirnya. Mengalihkan pandangannya ke arah lain. Wajahnya telah memerah, sedikit merasa malu dengan ucapannya sendiri."Aku dengar, aku dengar. Kamu nggak usah ulangi. Akhirnya, kamu menyukaiku? Kamu benar-benar menyukaiku?" tanya Alfian penuh semangat, dan menarik Naima hingga berhadapan dengannya. Mereka pun saling pandang, menatap dalam mata masing-masing. Debaran jantung mereka saling berpacu, terbawa suasana hati yang sangat tak bisa dikendalikan. Terukir senyuman bahagia dari wajah mereka. Entah kenapa Naima tiba-tiba mengatakan hal itu. Dia sudah berpikir lama tentang perasaannya. Awalnya Naima tak mau lagi memikirkan kehidupan percintaan. Gagal satu kali sudah cukup, dia tak akan mengulanginya lagi. Namun, seiring berjalannya waktu. Perhatian yang Alfian tunjukkan semakin membuatnya berpikir, kenapa dia tidak mencobanya saja. Perasaan sukanya pada Alfian adalah nyata. Jika Naima menolak, bukannya aka