Share

4. Wanita itu tidak berhak

Pertanyaan Rinjani sedikit membuat dada Naima bergetar. Jawaban yang tepat harus segera dia berikan. Jika tidak, mamanya bisa curiga.

"Masih di luar kota, Ma," jawab Naima menahan kegugupannya.

"Oo, ya udah masuk dulu. Mama mau cerita banyak sama kamu." Jani mengajak mereka masuk. "Nara, ayo masuk. Kita sarapan sama-sama."

"Iya, Tante," jawab Nara sedikit sungkan, karena memang jarang datang. Mengingat keberadaan seseorang di rumah itu membuatnya sedikit canggung.

Naima yang melihat sikap sahabatnya, tersenyum geli. Dia tau Nara pasti sedang mencemaskan sesuatu.

Tiba-tiba tangan Nara ditarik Kiran agar cepat masuk kedalam. "Tante … ayo masuk! Kiran mau ketemu Om Ganteng!" ajak gadis kecil itu tidak sabar disertai sikap centilnya.

"I–iya, Sayang …."

Naima dan Rinjani menggeleng bersamaan. Melihat tingkah lucu Kiran adalah hiburan tersendiri bagi mereka. Gadis kecil itu memang selalu bersemangat, apalagi jika dengan kehadiran Nara di rumah itu. Kiran akan semakin bersemangat mempertemukan Tante Nara-nya dengan Om Ganteng-nya.

"Ayo, kita juga masuk, Sayang. Kamu harus cerita sama mama."

Tiba-tiba Naima merasa cemas, mampukah dia merahasiakan hal ini?

***

Om ... Om ganteng!" Teriakan Kiran memecah keheningan di ruang keluarga.

Nara yang kepayahan, terpaksa ikut berlari menuruti kaki kecil gadis itu. Sesampainya di dekat tangga, langkahnya terhenti.

"Tante … ayo! Itu Om gantengnya lagi turun."

Namun, Nara hanya terpaku menatap ke arah sosok yang selama ini dia hindari. Ketika tatapan mereka bertemu, Nara langsung membuang muka.

"Iiihhh … Tante gak asyik." Gadis kecil itu melepas genggaman tangannya dari Nara, lantas berlari menghampiri pria yang menuruni anak tangga.

Sakti membentangkan tangan menyongsong sang keponakan yang berlari padanya. "Kiran …!"

"Ehh, Kiran, hati-hati." Teriak Nara melihat tingkah gadis kecil nan lincah itu.

"Kyaaa … hahaha!"

Tubuh Kiran diangkat, Sakti melambungkannya di udara. Membuat gadis itu teriak kegirangan, kemudian meletakkan gadis itu di bahunya. Dia pun mengalihkan pandangan pada Nara yang masih terpaku, lalu mulai mendekat dan tersenyum.

"Selamat pagi, Nona Nara," sapa Sakti lirih saat mereka berhadapan, tetapi Nara tetap diam.

"Tante … Om ganteng manggil. Kenapa diam aja," ucap Kiran dengan gaya lucunya.

"Ahhh, i–iya, selamat pagi," jawab Nara tergagap, lalu menunduk.

Sakti tersenyum. "Sudah lama kita tidak ketemu, Nona Nara. Apa kabar?"

"Baik."

Suasana pagi di kediaman Sanjaya, terasa berbeda dengan kehadiran Naima, Kiran juga Nara. Mereka sarapan pagi dibarengi dengan obrolan yang menyenangkan. Walau saat ini hati Naima hancur berkeping-keping, dan berharap tidak ada yang bisa menyadarinya.

Tanpa Naima tahu, ponsel yang disimpan dalam tas menyala. Layarnya terus menunjukan ada sebuah panggilan masuk, banyak kali. Helmi terus menelpon, karena dia tiba-tiba menghilang dari rumah tanpa memberi kabar.

***

Di sisi lain, tempat Helmi berada, di rumahnya. Dia sedang gelisah memikirkan istri yang pergi begitu saja. Tanpa pamit, tanpa pesan. Sebagai seorang suami yang mencintai istrinya, tentu saja dia sangat khawatir.

Helmi baru pulang jam 03.30 dini hari tadi, karena harus lembur menyelesaikan masalah di kantor. Dia berharap bisa berbicara dengan Naima sesampainya di rumah. Meluruskan masalah yang dia buat sendiri. Niat Hatinya ingin beristirahat sebentar, tetapi begitu bangun Helmi tidak lagi mendapati Naima, dan putrinya.

Pria itu pun memutuskan untuk menelpon Nara. Pada panggilan kedua, Nara baru mengangkat teleponnya.

"Halo, Nara. Naima dan Kiran ada sama kamu? Kalian di mana? Kenapa Naima tidak mengangkat telepon?"

Helmi seperti diburu, pertanyaannya bertubi-tubi. Namun, tidak ada jawaban.

"Halo! Nara!"

"I–iya, ada sama aku. Aku sedang di rumah Tante Jani."

Tanpa salam, Helmi pun mematikan panggilan. Dia melempar ponselnya ke kasur begitu saja. Amarahnya serasa naik ke ubun-ubun, dia khawatir mertuanya tahu akan perbuatannya pada Naima.

"Aarrgghhhh, sial!" Helmi mengamuk sendiri.

Apa yang harus dia lakukan? Mengatakan yang sebenarnya pada keluarganya dan keluarga Naima, atau membuat istrinya itu tetap diam untuk sementara waktu? Hingga dia siap untuk berkata jujur pada semua orang.

***

Saat Nara menerima telepon dari Helmi tadi, Naima juga berada di sampingnya. Tentu saja Naima yang meminta Nara mengatakan kepada Helmi di mana dia berada sekarang.

"Nai, bagaimana sekarang?" Nara bertanya sedikit berbisik, takut jika pembicaraan mereka terdengar dari luar kamar.

Naima membuang napas kasar. "Biarkan saja dulu, Ra. Aku sengaja membiarkan Bang Helmi tahu kalau aku di sini. Aku yakin, sekarang dia sedang mengamuk, takut aku akan mengatakan soal perbuatannya pada Mama dan Papa."

Terlihat sekali kekecewaan yang besar dari wajah Naima. Belum pernah dia menanggung beban seberat ini. Kehidupannya selama ini sangat lancar. Kepercayaan pada suami sangat besar. Sehingga dia pun hampir tidak percaya bahwa ini bisa terjadi pada pernikahannya.

"Lalu, kamu akan mengatakan masalah ini pada keluarga kalian?"

"Tidak sekarang. Walau ini sangat sakit, Ra. Bagaimanapun juga, aku yang terlebih dahulu memiliki Bang Helmi. Wanita jalang itu tidak berhak sama sekali. Aku akan meminta Bang Helmi untuk meninggalkan wanita itu," jawab Naima sangat lirih. Air matanya mulai berlinang.

"Kamu bisa, memaafkan suamimu begitu saja? Setelah pengkhianatan yang dia lakukan?"

Sulit, sungguh pertanyaan yang sulit sebenarnya. Jika Naima menjawab bisa, maka kata maaf itu mustahil datang dari dalam hatinya. Jika dia menjawab tidak, maka dirinya sendiri akan meragukan, seberapa besar cintanya kepada sang suami.

"Entahlah, aku mungkin belum bisa memaafkannya, jika dia mau meninggalkan wanita itu. Tapi, perjalanan kami tidak mudah, Ra. Sampai akhirnya kami menikah, dan mempunyai anak. Kamu tau sendiri, kan?"

Akhirnya cairan bening Naima kembali jatuh membasahi pipi. Nara pun menarik tubuh Naima yang berperut bulat itu ke dekapannya. Lalu mengelus punggung wanita yang sedang bersedih itu dengan lembut.

"Aku mengerti, Nai. Bilang saja jika kamu butuh bantuanku. Kamu yang sabar, ya." Nara pun berlinangan air mata, dia ikut merasakan kesedihan yang sahabatnya rasakan.

Naima melerai pelukan mereka. "Terima kasih, Ra. Kamu adalah sahabat terbaik yang aku punya, Maharani juga."

Dengan lembut, Nara mengusap air mata Naima, bergantian kiri dan kanan. Lalu mengusap air matanya sendiri. "Sama-sama, Sayang. Aku dan Rani tidak akan meninggalkan kamu sendiri. Kami akan selalu ada untuk kamu."

"Iya, tapi aku minta satu hal sama kamu."

"Minta apa?" tanya Nara lembut.

"Jangan katakan dulu masalah ini pada Rani. Kamu tau sendiri kan, bagaimana sifatnya?"

Nara terpejam sesaat, tentu saja dia sangat mengerti dengan sifat teman mereka itu. Terlalu berbahaya jika Maharani sampai tahu. Setidaknya, jangan sekarang. Tunggu saat yang tepat, dimana Naima sudah siap untuk mengungkapkan semuanya.

"Iya, aku tahu. Baiklah, aku akan menyimpan rahasia ini untuk sementara. Dan sebaiknya kita keluar, nanti Tante Jani bisa curiga."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status