Share

6. Kemarahan

Lirikan mata Naima yang tajam, membuat nyali Helmi semakin ciut. Tidak hanya sekedar kecewa, kemarahan tertahan tampak jelas dari mata dan wajah istrinya itu.

"Abang, akan jelaskan."

"Ya! Memang seharusnya seperti itu!" Naima melepaskan genggaman tangan suaminya.

"Abang minta maaf … abang memang telah menikah lagi, tanpa sepengetahuan kamu." Pengakuan Helmi yang jelas akhirnya terucap.

Seketika jantung Naima langsung berdesir hebat. Seakan jatuh dari ketinggian, pengakuan suaminya itu sangat menyakitkan.

"Jadi?" Suara Naima sedikit serak, menahan tangisan yang hampir pecah, berusaha menahan agar Helmi tidak melihat sisi lemahnya.

"Abang minta tolong, agar kamu mau merahasiakan dulu dari keluarga kita."

Tatapan Naima sinis pada sang suami. "Alasannya?"

"Abang belum siap …."

Naima lantas membuang muka. Pernyataan Helmi mengakui kesalahan saja masih belum bisa dia terima. Sekarang malah harus menerima permintaan yang sangat tidak bisa dimaafkan.

"Belum siap? Oo … mudah sekali ya? Abang telah menjadi penghianat, tapi belum siap dengan konsekuensinya?"

Hati wanita mana yang tidak hancur mendapat pengakuan sang suami yang begitu egois.

"Selama ini, aku percaya penuh sama, Abang. Tidak ada sedikit pun kecurigaan. Hanya malam itu, ya ... malam itu ketika Abang tidak memberi kabar. Aku memang sempat berpikir negatif, tapi aku menepisnya, Bang. Aku harus mempercayai suamiku. Bahkan saat wanita itu, menelpon dan memberitahu tentang kalian, aku juga menepisnya. Tapi nyatanya? Aku salah selama ini!"

Amarah mulai menguasai dirinya, Naima menekankan setiap kata yang dia ucapkan. Dadanya kian terasa sesak, sebelah tangannya menekan dada, dan sebelah lagi menahan bobot tubuhnya di kasur.

Melihat kondisi itu, membuat Helmi sedikit panik. "Sayang, kamu kenapa?" Lalu merangkul istrinya itu.

"Lepas, Bang! Aneh jika kamu bertanya aku kenapa?!" Tekan Naima dengan nada diginnya.

"Sayang …."

Naima menatap suaminya dengan tajam. Helmi bergidik, ternyata Naima akan semarah ini, dan dia pun melepaskan.

Kepala terasa sangat pusing, Naima membaringkan tubuhnya, membelakangi Helmi. Perdebatan ini membuatnya sangat lelah. Terlebih lagi dengan kondisi kehamilan yang semakin berat.

"Sayang, kamu memerlukan sesuatu?" Helmi benar-benar terlihat khawatir.

"Tidak perlu, biarkan aku sendiri, aku ingin tidur. Lakukan apa pun yang kamu mau, jangan ganggu aku." Suara wanita itu sedikit bergetar, dia menahan air mata seraya mengelus perutnya.

Terbesit rasa kasihan, Helmi hanya bisa memandangi istrinya dari belakang. Kemudian dia mendekat dan mengecup kening Naima dan mengelus perut wanita itu.

"Istirahatlah, Sayang. Abang minta maaf. Abang berjanji akan menyelesaikan masalah ini. Beri Abang waktu."

Naima terdiam, dia memejamkan matanya. Pernyataan Helmi berhasil membuatnya meneteskan air mata. Naima menangis dalam diamnya.

Helmi lantas membaringkan tubuhnya di sofa, membiarkan Naima istirahat sendiri di tempat tidur. Apa yang bisa dia lakukan? Walaupun ada, Naima pasti akan menolaknya. Dia pun merasa sangat lelah, belum lagi dia memikirkan perbuatan Sherra yang telah lancang mengungkap hubungan mereka.

Helmi mengingat kembali, bagaimana keegoisan hari itu menguasai dirinya. Dimana keinginannya untuk menikahi Sherra sangat besar, sehingga dia lupa, perbuatannya itu bisa menyakiti Naima. Helmi hanyalah laki-laki biasa yang mempunyai keinginan lebih.

"Andai aku tidak bertemu dengan Sherra. Andai aku tidak tertarik padanya. Andai aku bisa mengendalikan rasa penasaranku. Kenapa aku sangat lemah dari godaan? Hingga harus berkhianat seperti ini. Rumah tanggaku yang harmonis, masihkan bisa dipertahankan?" Helmi mempertanyakan semua itu dalam hati.

***

Sekitar lima bulan yang lalu. Helmi sedang mengurus bisnisnya di luar kota. Di kota Surabaya, Helmi bertemu dengan Sherra saat menghadiri perjamuan bisnis di sebuah hotel. Wanita itu mengingatkannya pada sang istri yang saat itu jauh darinya. Hampir dari gerak tubuh dan wajah wanita itu sedikit mirip dengan Naima. Hal itu membuat Helmi penasaran. Bagaimana bisa dua orang yang berbeda terlihat sama di matanya.

Perjamuan makan malam yang dihadiri adalah sebuah acara amal yang melelang pakaian. Dan Sherra adalah salah satu modelnya. Entah ini kebetulan atau bukan, salah seorang temannya memperkenalkan mereka.

"Setelah berkenalan, aku rasa kalian bisa mulai lebih akrab," ucap teman bisnis Helmi yang dia balas dengan senyuman. Begitupun Sherra yang berdiri di sebelah rekannya itu.

Dua hari setelah perkenalan mereka, Helmi merasa mulai nyaman. Awalnya dia hanya merasa penasaran, lama kelamaan Helmi mulai tertarik untuk mengenal Sherra lebih dekat. Ada sedikit rasa sayang saat dia melihat wajah cantik Sherra. Kelembutan wanita itu membuat Helmi tergoda.

Entah, setan apa yang merasukinya malam itu. Saat dia terbangun pagi harinya, Sherra terbaring di ranjangnya dalam keadaan tanpa busana. Helmi mengusap kasar wajahnya. Merutuki diri yang telah melakukan kesalahan besar. Bahkan dia tidak ingat apa yang dia lakukan tadi malam.

"Apa yang telah aku lakukan? Kenapa wanita ini bisa ada di sini?" gumamnya saat melihat tubuh putih dan mulus Sherra terbungkus selimut.

Pria itu lebih terkejut lagi ketika melihat ada noda darah di atas sprei. Helmi pun merasa sangat bersalah. Tanpa sadar dia telah menodai kehormatan seorang wanita. Seharusnya dia tidak minum-minum tadi malam.

Ketika wanita itu terbagun, segera dia menarik selimut menutupi tubuhnya, dengan wajah ketakutan dan tubuhnya meringkuk.

"Bajingan kamu! Aku tidak menyangka, kamu bejad, Mas!" bentak Sherra, lalu menangkup wajahnya, dan terisak.

"Sherra, maafkan aku." Lirih Helmi menatap kasihan. "Aku akan bertanggung jawab."

Mendengar pernyataan Helmi, wanita itu mengangkat wajah, emosi mulai tak terkendali. "Tanggung jawab? Bagaimana kamu akan tanggung jawab, hah? Kamu pikir segampang itu?" Air matanya sudah tidak dapat terbendung lagi, Sherra meratapi nasibnya yang malang.

Helmi mendekat, menghampiri Sherra yang berada di sisi lain ranjang. "Aku janji akan menikahimu, Sherra. Tolong jangan seperti ini.”

"Jangan seperti ini gimana maksud kamu? Dasar lelaki nggak punya perasaan! Kamu udah hancurin semua mimpiku. Sekarang kamu melarang aku menangis? Pria macam apa sih kamu?" Sherra terus histeris dan memukuli tubuh Helmi dengan tenaganya yang lemah.

Tangan wanita itu di genggaman Helmi. "Sherra, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak sadar, aku terlalu mabuk tadi malam." Dia berusaha merengkuh tubuh Sherra, berniat ingin memeluknya. Namun, wanita itu mendorong dengan kasar.

"Jangan sentuh! Aku sudah terlalu jijik dengan diriku sendiri. Aku nggak bisa jaga mahkotaku. Aku memang bodoh, nggak seharusnya aku mengantarmu semalam." Sherra terus mengumpat, menyalahkan dirinya.

"Sherra, bersabarlah. Tunggu sampai urusan pekerjaan kita selesai. Dan aku juga minta tolong, jangan ceritakan hal ini kepada siapa pun,” ucap Helmi yang langsung dibalas amukan dari Sherra.

“Hah, kamu gila? Kamu pikir, aku akan memalukan diriku sendiri dengan menyebar aib kotor ini?”

"Bukan begitu maksudku, Sher. Aku hanya tidak ingin nama kita jelek di depan para kolega."

"Aku wanita, Mas. Aku yang harusnya malu. Walaupun orang menganggap aku wanita murahan karena pekerjaan yang aku lakukan. Tapi aku sangat menjaga harga diriku. Dan semuanya hancur! Aaarrgghhh …." Shera menjambak rambutnya, lagi-lagi dia menangis.

"Sher, jangan seperti ini."

Sherra menatap tajam ke arah pria itu, dan menarik napas panjang. "Mas, benarkah kamu akan bertanggung jawab? Berjanjilah, kamu tidak akan meninggalkanku,” tutur Sherra dengan mengiba.

"Aku janji, Sherra. Aku sudah mengatakannya tadi, aku akan bertanggung jawab."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status