Helmi bersikap selayaknya pria sejati. Tentu saja dia harus bertanggung jawab. Walaupun apa yang dia lakukan adalah karena ketidaksengajaan. Namun, sebagai laki-laki dia tidak akan pernah sembarangan menanggapi masalah.
Sherra mengusap air matanya, dia akhirnya sedikit tenang, lalu dia beringsut, berniat untuk membersihkan dirinya ke kamar mandi. Baru saja dia berdiri di samping ranjang, wanita itu pun kembali terduduk. “Auw!” Ringgisan kecil keluar dari bibirnya.Sherra menahan rasa sakit di pangkal pahanya. Kejadian semalam sangat meninggalkan bekas di tubuh bagian bawahnya."Sher, kamu baik-baik saja?" Melihat wanita itu kesulitan untuk berdiri, Helmi pun merasa kasihan. Dia pun teringat akan kejadian malam pertama dengan istrinya. Naima juga kesulitan berjalan karena merasa nyeri akibat ulahnya.“Ini pertama kali bagiku, Mas. Wajar jika aku merasakan sakit." Sherra tak melihat kearah pria itu, hatinya masih kesal dengan kejadian buruk yang menimpanya semalam. Dia pun memunguti bajunya di lantai. Menarik lagi selimut itu dan membalutkan ke seluruh tubuhnya."Kalau begitu, izinkan aku mengantarmu ke kamar mandi," tawar Helmi sembari turun dari ranjang dan berdiri di hadapan wanita itu."Tidak perlu, aku bisa jalan sendiri," tolak Sherra.Namun, Helmi bersikukuh untuk tetap menggendongnya. Pria itu pun melayani Sherra layaknya dia melayani sang istri. Kejadian yang sama yang pernah dialami bersama Naima dulu. Mengantarkan ke kamar mandi, setelah malam pertama mereka.Untuk sesaat, Helmi mengingat kenangan manis itu. Cintanya begitu besar pada Naima. Walau saat ini dia bersama dengan wanita lain, Helmi masih mengingat istrinya. Dan dia sadar, bahwa ini adalah suatu kesalahan, sangat besar.***Seetelah kejadian malam itu, Helmi terpaksa harus menjalani pernikahan keduanya secara diam-diam. Walaupun ini sangat berat untuknya, tapi ini bentuk pertanggungjawaban yang sudah seharusnya dia lakukan.Kini, Helmi termenung memandangi langit-langit kamar, mengembalikan lamunannya dari masa lalu. Sesekali dia melirik sang istri yang sudah tertidur di ranjang. Detik kemudian dia bangkit, dan menghampiri Naima. Dia ikut berbaring di samping istrinya itu. Memeluk Naima yang telah tertidur pulas."Maafkan abang, Sayang. Kejadian itu tiba-tiba saja terjadi. Abang harus bertanggung jawab sebagai laki-laki. Jika kamu tahu apa yang sebenarnya, mungkin kamu bisa memahaminya."Pria itu membelai rambut Naima lembut. Dengan hati-hati dia mengecup kening istrinya. Dia sangat menyesal, penghianat yang awalnya terjadi karena ketidaksengajaan. Kini benar-benar menjadi salah.Pernikahan kilat yang dia jalani dengan Sherra. Perlahan menumbuhkan rasa cinta di hatinya. Cinta yang lain, kepada wanita berbeda."Abang juga minta maaf. Maaf, karena abang telah jatuh cinta pada wanita itu. Abang telah membagi cinta kita. Kamu dan Sherra adalah wanita yang sangat penting bagi Abang sekarang."Satu hati untuk dua cinta. Helmi membaginya dengan adil selama ini. Tidak ada yang dilebihkan dan tidak ada yang dikurangkan. Setidaknya itu yang dia pikirkan dari sudut pandangnya.***Pagi hari, Naima terbagun dalam dekapan suaminya. Masih nyaman seperti biasanya. Hanya saja kali ini dia tidak mau berlama-lama memandang wajah sang suami yang masih tertidur. Setiap dia melihat ke arah Helmi, dia teringat bagaimana perhatian yang sama juga pasti diberikan pada wanita itu—madunya.Mengingat mempunyai seorang madu, Naima membuang napas berat. Semakin diingat semakin besar rasa sakit di hatinya. Bahkan dalam tidur sekali pun, bayangan Helmi bermesraan dengan wanita lain menghantuinya.Ketika melihat Naima telah bangkit. "Sayang, kamu sudah bangun?" tanya Helmi dengan suara serak."Emm ….""Kamu mau ke mana?" Helmi pun bangun saat melihat istrinya beranjak pergi. Kebiasaan saat pagi hari tidak lagi Naima lakukan. Yaitu membelai pipinya dan memberikan morning kiss."Mau mandi," jawab Naima dingin. "Tidak perlu memperdulikan aku, Bang. Urus segera masalah yang telah Abang buat!" tegasnya kemudian.Helmi terdiam, lidahnya seakan kelu. Dari mana dia harus memulai jika seperti ini?"Sayang …," panggil Helmi dan Naima pun berhenti di ambang pintu kamar mandi. "Abang akan menceritakan semuanya, tapi kamu dan Kiran pulang ke rumah dulu ya?"Naima menoleh ke belakang, tanpa membalikkan badan. "Aku masih butuh waktu sendiri, Bang. Jika mau menunggu, sebaiknya Abang pulang sendiri. Ketika aku siap untuk mendengarkan, aku akan pulang."Ketegasan Naima membuat Helmi pasrah. Sisi seorang Naima yang sangat dia kagumi selama ini. Wanita itu tidak pernah ada di bawah kendalinya. Mereka selalu memutuskan segala sesuatu secara bersama. Jarang terjadi perdebatan di antara mereka. Inilah alasan kenapa Helmi sangat ingin mendapatkan hati Naima kembali. Namun, apakah mungkin jika masalahnya besar seperti ini, Naima bisa kembali seperti dulu?Setelah mengantar kepergian Helmi di depan pintu, Naima kembali masuk. Dengan cepat dia merubah ekspresi wajahnya yang semula terlihat kaku menjadi ceria."Ayo, Sayang. Kita masuk!" ajak Naima pada Kiran yang masih melambaikan tangan pada ayahnya."Iya, Bunda.""Hari ini, Kiran mau ngapain, Sayang?" Naima tersenyum."Emmm … mau main seharian sama, Om Ganteng dan Tante Nara," jawab gadis kecil itu melompat-lompat."Benarkah? Tapi, Om ganteng dan Tante Nara kan harus kerja …."“Yaah ... terus Kiran main sama siapa, Bunda?” rengek gadis kecil itu memasang wajah putus asanya.“Kan, ada Bunda, main sama Bunda ya?”Kiran pun mengangguk pasrah.Di ruang tengah, Rinjani sedang asyik menonton acara televisi kesukaannya. Naima dan Kiran pun menghampiri. Mereka mengobrol layaknya seorang ibu dan anak yang merasakan kerinduan, bercanda bersama tanpa ada pertanyaan seputar Helmi. Naima pun enggan membahas suaminya itu saat Jani bertanya. Dia selalu mengalihkan pembicaraan tanpa membuat mamanya curiga.***Sore hari, Nara dan Sakti pulang kerja bersamaan. Namun, mereka datang dengan mengendarai mobil yang berbeda. Keduanya saling tatap saat sama-sama keluar dari mobil yang terparkir di halaman rumah besar itu.“Hay, Nona. Baru pulang juga?” tanya Sakti, nada bicaranya sedikit menggoda.“Ah, em ... iya.” Nara tampak sedikit gugup saat Sakti menyapanya. Dia lantas melangkahkan kakinya menuju pintu masuk. “Permisi, saya masuk dulu.” Dia bergegas masuk setelah Naima membuka pintu sebelum dia mengetuk. Kebetulan saat itu Naima sedang berada di ruang tamu dan mendengar suara deru mobil dari luar.Sakti yang melihat gerak-gerik Nara pun tersenyum kecil. Dia lantas mengikuti wanita itu masuk ke dalam rumahnya dan langsung menuju kamar.“Ra, sini dulu!” Naima mengajak Nara untuk duduk di sebelahnya.“Ada apa, Nai?” tanya Nara penasaran, dia pun mendudukkan tubuhnya dan memerhatikan raut wajah Naima.Meskipun ini begitu menyakitkan, Naima tak sanggup jika menahannya seorang diri, setidaknya sahabatnya tahu dan bisa menjadi tempatnya berkeluh kesah. Itu sudah sangat cukup baginya.Naima mendekat dan berbisik pada Nara. “Bang Helmi semalam jujur sama aku, ternyata, dia benar-benar sudah menikah dengan wanita itu,” ungkap Naima dengan raut wajahnya yang pilu.“Apa?” Nara terkejut dan tak sengaja Meninggikan suaranya. Dia pun segera menutup mulut yang tadi sempat terbuka.“Ra, jangan keras-keras,” bisik Naima lagi.“Maaf. Itu tadi, aku nggak salah dengar, kan?”“Itu semua benar, Ra. Dan sekarang, aku tak tau lagi harus bagaimana mengambil sikap. Harapanku untuk memisahkan dia dengan wanita itu sepertinya akan sulit. Aku juga belum tau apa alasan Bang Helmi, yang jelas apa pun itu, aku sudah tidak bisa lagi memercayainya.”*** "Kamu meragukan dirimu sekarang, Fian? Apakah tekadmu hanya akan sampai di sini?" Naima bertanya melengkungkan alisnya. Tatapannya mengharapkan jawaban yang tak ingin ada keraguan. Bukankah hatinya kini bisa terbuka karena kegigihan pria dihadapannya."Tidak, bukan begitu, Ima. Apa aku tidak terlalu jahat jika nantinya memisahkan kebersamaan ayah dan anak? Aku tidak akan mundur, aku sungguh ingin hubungan kita berhasil, dan kamu akan aku jadikan wanita paling bahagia di dunia ini." Alfian tak ingin Naima salah sangka dengan perkataannya.Naima tersenyum simpul menanggapi hal ini. "Dokter Alfian, kamu meragukan keberhasilan hubungan kita karena Helmi?""Aku memikirkan anak-anak, Sayang." Dia mengungkapkan isi hatinya.Naima menghela napasnya sejenak, dia mengerti jalan pikiran kekasihnya saat ini. "Fian, nggak ada yang perlu kamu khawatirkan. Anak-anak tidak akan kekurangan kasih sayang dari ayahnya. Malahan mereka akan sangat beruntung mendapatkan kasih sayang yang melimpah dari s
***Sementara itu di rumah sakit.Bara dan Andita masih berusaha mayakinkan Helmi untuk mendapatkan pengobatan secara intensif. Setelah dokter menyampaikan hasil tes hari ini. Helmi menjadi keras kepala. Dokter mengatakan bahwa Helmi terlalu banyak mengkonsumsi alkohol, ditambah lagi dengan pola makannya yang tidak teratur dan istirahat yang sangat sedikit. Sehingga kini dia mengalamai perlemakan pada hati. Helmi masih harus melakukan beberapa tes lagi setelah ini, untuk mendeteksi apakah ada gejala lain lagi pada hatinya. Perlemakan pada hati akan semakin parah jika tidak mendapatkan penanganan yang benar. Andita juga meminta Helmi untuk tinggal lagi bersamanya. Tinggal sendirian di rumah itu hanya akan memperparah kondisi Helmi. Tidak ada yang memperhatikannya secara intens."Helmi baik-baik saja, Ma. Ayolah ... Helmi hanya mau tinggal sendiri saja." Pria itu memohon lagi. Wanita kesayangannya itu masih memaksanya untuk pindah kembali ke rumah utama."Setelah apa yang terjadi sama
***Kembali dari rumah sakit Naima langsung bersih-bersih dan merebahkan diri di kasur. Efek lelah karena begadang semalaman, Naima ingin istirahat dengan tenang. Setelah kondisi Helmi dia sampaikan kepada keluarganya, mereka pun ikut lega mendengar hal itu . Sepuluh menit setelah berbaring, ponselnya berbunyi. Benda itu lupa dia bawa kemarin. Tentu banyak panggilan yang masuk.Semalam ketika Mamanya memberitahu bahwa Helmi berada di UGD, mereka semua bergegas ke rumah sakit. Hingga Naima lupa memberitahu Alfian tentang hal ini. Dia merasa bersalah kepada kekasihnya itu.Permukaan kasur dirabanya. Benar saja, ponsel Naima berbunyi karena panggilan masuk dari Alfian."Halo." Terdengar helaan napas dari pria itu. "Akhirnya kamu jawab juga, Sayang."Naima paham kenapa Alfian berkata seperti itu, dia pun langsung menjelaskan. "Fian? Maaf semalam aku di rumah sakit, lupa bawa ponsel. Aku juga minta maaf lupa kasih tau mama untuk ngabarin kamu." "Iya, aku udah tau kok. Semalam waktu aku
***Beberapa hari kemudian.Ketika jam makan siang, Rafka--sekretaris Helmi merasa sedikit khawatir, melihat sang bos tampak tidak sehat. Meskipun tau sedang tidak baik-baik saja, Helmi tetap memaksakan dirinya untuk pergi rapat dengan klien. Sore harinya, Andita ditelepon oleh sekretaris Rafka untuk mengabarkan tentang kondisi sang putra. Helmi menolak dibawa ke rumah sakit, sehingga sang sekretaris pun terpaksa mengantar pulang ke rumah. Andita dan Bara pun bergegas ke rumah Helmi untuk memastikan keadaannya.Saat masuk ke dalam rumah, Andita di sambut oleh ART. “Helmi udah pulang kan, Bi?”“Iya, Nyonya, Tuan Helmi udah naik ke kamarnya, baru lima belas menit yang lalu,” jawab sang ART menjelaskan. “Tuan Helmi kelihatannya tidak sehat, Nyonya. Tapi saat saya tanya, katanya nggak apa-apa.”“Iya udah, saya langsung naik aja.”“Baik, Nyonya, Tuan.”Pintu kamar Helmi langsung dibuka. Sang putra terlihat tengah berbaring di tempat tidur. Andita dan Bara langsung menghampiri. Saat mereka
Hari ini hari pertama Naima dan Alfian sebagai sepasang kekasih. Berita bahagia ini tak ingin disimpan lebih lama, Alfian bermaksud untuk mengatakan secara langsung kepada kedua orang tua Naima. Alfian pun mengantar Naima pulang kerja, sekalian bertemu dengan orangtua kekasihnya itu.Sebenarnya Naima masih mau merahasiakan ini dulu. Tetapi Alfian membujuknya untuk segera mempublikasikan kepada orang terdekat. Alfian ingin segera membagi kebahagiaannya dengan semua, yang pada akhirnya Naima pun menyetujui. Ketika Naima memasuki rumah, semua orang sedang berkumpul di ruangan keluarga. Mama, Papa, serta anak-anaknya ada di sana. Sedangkan Sakti dan Nara masih belum pulang dari bulan madu. Naima merasa sedikit gugup saat harus mengatakannya secara langsung. Begitupun Alfian, dia juga merasa sedikit gugup. "Naima, ada Alfian di sini, kenapa nggak kamu suruh duduk? Malah berdiri dua-duanya?" tanya Rinjani."Ini, Ma, Pa … Alfian mau ngomong sesuatu." Mata Naima beralih pada Kiran dan Arthu
"Kalau kamu tidak dengar, ya sudah? Bukan aku yang rugi." Naima memanyunkan bibirnya. Mengalihkan pandangannya ke arah lain. Wajahnya telah memerah, sedikit merasa malu dengan ucapannya sendiri."Aku dengar, aku dengar. Kamu nggak usah ulangi. Akhirnya, kamu menyukaiku? Kamu benar-benar menyukaiku?" tanya Alfian penuh semangat, dan menarik Naima hingga berhadapan dengannya. Mereka pun saling pandang, menatap dalam mata masing-masing. Debaran jantung mereka saling berpacu, terbawa suasana hati yang sangat tak bisa dikendalikan. Terukir senyuman bahagia dari wajah mereka. Entah kenapa Naima tiba-tiba mengatakan hal itu. Dia sudah berpikir lama tentang perasaannya. Awalnya Naima tak mau lagi memikirkan kehidupan percintaan. Gagal satu kali sudah cukup, dia tak akan mengulanginya lagi. Namun, seiring berjalannya waktu. Perhatian yang Alfian tunjukkan semakin membuatnya berpikir, kenapa dia tidak mencobanya saja. Perasaan sukanya pada Alfian adalah nyata. Jika Naima menolak, bukannya aka