Share

5. Sedikit curiga

Naima pun menyurutkan air matanya. Lalu ke kamar mandi untuk mencuci muka. Setelah mengganti pakaian mereka keluar dari kamar. Naima mengantar sahabatnya hingga ke depan pintu rumah.

Hari ini Naima bisa sedikit tenang. Helmi tidak lagi mengganggunya melalui panggilan telepon. Paling tidak hari ini dia bisa memikirkan langkah apa selanjutnya yang akan dia ambil. Naima mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. Berharap dia bisa mendapatkan bantuan dari orang itu.

Akan tetapi, pada malam harinya, Helmi tiba-tiba datang. Tidak mengejutkan bagi Naima. Helmi jenis orang yang tidak akan melepaskan apa yang dia punya, dan akan mengejar apa pun yang dia inginkan.

Naima mendatangi Helmi di teras pintu masuk. "Kenapa datang ke sini, Bang?"

"Sayang, ikut Abang pulang ya, kita bicarakan baik-baik," bujuk Helmi dengan wajah memelas.

"Baik-baik yang bagaimana maksud, Abang?" Naima membuang muka.

"Sayang …."

Ucapan Helmi tiba-tiba terhenti. Rinjani tiba-tiba keluar menghampiri mereka. "Helmi … kamu datang mau jemput Naima dan Kiran?"

Helmi dan Naima saling pandang sesaat. Mengisyaratkan agar tidak saling salah tingkah, dan menjaga perkataan masing-masing. Mereka pun mengubah posisi dan saling merangkul.

"Iya Ma."

Wanita paruh baya itu langsung menangkap ada sesuatu antara keduanya, ada yang janggal. Mata seorang ibu bisa menebak. "Kata Naima, kamu di luar kota?"

"Hmm, iya ... ini Helmi ke sini langsung dari bandara," jawabnya sedikit ragu dan melirik istrinya sesaat, wanita itu tersenyum. Walau tidak terlihat, tapi Helmi tahu itu hanya sandiwara.

"Boleh mama mengatakan sesuatu, Helmi?"

Helmi sudah mulai berdebar. "Iya, Ma. Apa?"

"Sebaiknya Naima dan Kiran untuk sementara waktu tinggal di sini." Wajah pucat sekilas terlihat dari pria itu.

Rinjani Sanjaya, mama mertua baik hati, tapi sangat pandai membaca ekspresi lawan bicaranya. Hal inilah yang membuat Helmi sedikit was-was jika bertemu dengan sang mama mertua.

Segala pikiran aneh mulai berputar-putar di kepala Helmi setelah mendengar ucapan sang mertua. Menghadapi kemarahan Naima saja dia masih kebingungan, bagaimana dengan reaksi keluarga istrinya ini? Sikap egoisnya sendirilah yang membawanya ke dalam jurang.

Naima tak kalah terlihat kaget dengan pernyataan mamanya barusan.

"Kenapa wajah kamu menjadi tegang seperti itu? Apa mama salah bicara?" Rinjani melirik putri serta menantu laki-lakinya.

"Ahh, tidak ada yang salah, Ma." Helmi tampak gugup.

“Mama hanya ingin tinggal lebih lama dengan Naima dan kiran, apakah boleh?”

“Boleh, Ma. Tentu saja, jika Naima tidak keberatan. Sebab beberapa hari ini, Naima sangat manja dengan Helmi, Ma,” jawab Helmi yang merasa hampir ketahuan.

"Benarkah, Nai?" Jani pun tersenyum, sejenak mengamati wajah putrinya yang juga tersenyum. "Sebaiknya kita masuk, jangan mengobrol di sini!" ajak Rinjani pada keduanya.

"Iya, Ma." Helmi pun merangkul pundak Naima dan mengajak istrinya itu masuk.

Naima yang sedari tadi sudah menahan diri, menekan emosinya. Terpaksa harus ikut bersandiwara. Dia hanya tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Demi imej suami di mata keluarga, Naima harus tetap diam untuk sementara waktu.

***

Naima masih sibuk menata makanan di meja makan. Helmi belum makan apa pun sedari pagi. Sebagai seorang istri tentu saja dia meraaa kasihan. Masalah rumah tangga dan pekerjaan membuat Helmi lupa menjaga diri sendiri. Selama ini Naima yang selalu mengingatkannya melalui telepon. Walau dia berada di luar kota sekali pun, Naima tidak pernah absen memberi perhatian kepada sang suami.

Walau hatinya sedang sangat marah pada Helmi, tapi Naima tidak akan lupa kewajibannya sebagai istri. Paling tidak di depan keluarganya dia harus bersikap seperti biasa.

Ekor mata Helmi sibuk melihat Naima terus bergerak mengambilkannya makanan. "Terima kasih, Sayang," ucapnya tersenyum melihat wajah sang istri.

"Tidak usah bersandiwara, mama dan yang lainnya tidak ada di sini." Naima mendelik dengan ketus.

Helmi tampak mencari kesempatan untuk menyentuh tangan Naima. Namun, wanita itu terus menghindar, bahkan tidak mau melihat ke arahnya.

"Sayang …."

"Dimakan dulu, Bang. Setelah itu, baru kita bicara." Naima duduk di depan sang suami, menatapnya tajam.

Pria itu menghela napas panjang. Dia harus mencari cara untuk membujuk Naima. Sementara dia mengalah, dan menuruti kemauan sang istri.

Semua orang sedang berkumpul di ruang keluarga, bersantai dan menemani Kiran bermain. Radit dan Rinjani sangat senang, kehadiran cucu yang menggemaskan, dapat menghibur mereka.

Setelah kesenangan kecil itu, Helmi dan Naima berjalan beriringan dari ruang keluarga. Senyuman di wajah Naima cukup membantu menyembunyikan rasa sedihnya saat ini. Akan tetapi, berbeda dari Helmi yang tidak pandai mengendalikan dirinya.

"Sudah selesai makan, Bro?" tanya Sakti yang kebetulan turun dari tangga.

"Emmm, iya. Gue ke kamar dulu, Bro. Gue capek, mau istirahat," ucap Helmi menghindar.

Sakti sadar dengan wajah Helmi yang sedikit berbeda. Pikirnya, mungkin memang karena kelelahan. "Iya, sana istirahat. Nai, jangan lupa pijitin suami kamu."

"Hiissss, iya bang … aku tau," jawab Naima asal.

"Diihh, jutek. Dia kenapa, Hel?" tanya Sakti kemudian pada Helmi.

Helmi tersenyum. "Biasalah, Sak. Naima minta dimanja …," ucap Helmi yang langsung mendapat lirikan mata tajam Naima.

"Ya, udah sana."

Helmi menuntun lengan istrinya, memberi perhatian seperti biasa pada sang istri. Namun, tangannya ditepis secara kasar, dan Sakti melihat hal itu, yang lantas menimbulkan pertanyaan dipikirkannya. Sakti pun menghampiri papa, mama dan Kiran berkumpul. Menanyakan tentang keanehan tersebut.

"Ma," panggil Sakti dan mamanya menoleh. "Naima dan Helmi lagi berantem?"

"Mama gak tau, tadi mereka baik-baik saja," jawab Jani melihat pada Sakti yang berdiri di sebelahnya.

Sakti kemudian duduk di samping mamanya. "Mama perhatiin gak? Mata Naima sedikit kelihatan bengkak."

Radit yang sedang asyik bermain dengan Kiran sesekali melirik, ikut mendengarkan obrolan putra dan istrinya.

"Mama dan papa juga sedikit curiga. Tapi Naima tidak langsung cerita. Biasanya jika ada masalah, sekecil apapun dia pasti cerita sama mama," terang Jani mulai tampak serius.

Naima memang selalu mendapat perhatian khusus dari mereka semua. Semua itu dikarenakan Naima adalah anugrah yang dikirim Tuhan untuk mereka.

Sakti terlihat berpikir. "Aku harus cari tau, Ma. Masalah kecil ataupun besar, kita tidak boleh mengabaikannya."

Rinjani mengangguk membenarkan ucapan Sakti. "Sebaiknya begitu."

Dalam keluarga Sanjaya. Memberi perhatian kepada setiap anggota itu hal yang utama. Bukan karena mereka suka ikut campur, tapi lebih ke saling menyayangi sesama.

Saat semua orang asyik bercanda di lantai bawah. Meladeni tingkah Kiran yang makin hari semakin menggemaskan. Lain hal dengan Helmi dan Naima di kamar yang sedang bersitegang.

"Kenapa diam, Bang? Bukankah Abang harus menjelaskan semuanya?" Naima mengelus perut buncitnya.

Helmi yang duduk di sebelah Naima, meraih tangan dan menggenggam. "Sayang, abang minta maaf."

"Apakah sebuah kata maaf sangat penting untuk sekarang?"

Nada bicara Naima dingin, membuat Helmi kehabisan akal. Dia memandang wajah Naima yang tidak mau melihat ke arahnya. Dia mulai merasa bersalah, Naima terlihat pucat dan matanya membengkak. Helmi yakin jika istrinya ini pasti habis menangis karena ulahnya.

"Sayang, Abang tau ini salah," ucapnya lirih.

"Lalu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status