"Terimakasih." Ucap Niela pada suster yang baru merawat tangan dan wajah Kindly. Suster itu tersenyum ramah lalu pergi. Kini mereka berada di rumah sakit untuk mendapat penanganan."Sakit?" Tanya Kindly meraih telapak tangan Niela yang sudah lebih dulu di perban.Niela menghela dan membuang nafas kasar. Rasanya ingin marah mengingat aksi nekat Kindly, tapi di lain sisi dia juga senang melihat bagaimana sang suami tidak mau meninggalkannya begitu saja. Artinya sudah ada perkembangan baik dalam hubungan mereka. Dari pihak Kindly kususnya."Bukan aku, tapi lukamu yang paling parah. Apa kau tidak merasa panas?" Kening Niela mengernyit ngilu melihat luka bakar yang mulai melepuh. Dia pernah mendapat luka bakar ketika menggoreng ikan. Dan rasa panasnya sangat menyengat semalaman. Padahal besarnya tak seberapa jika dibandingkan dengan yang dimiliki Kindly sekarang. Apa lagi tangan itu belum pulih dari bekas luka kemarin.Sekali lagi Kindly menarik Niela ke dalam dekapannya. Merasakan hembus
"Kau membodohiku yah?" Pekik Niela. Dia mulai sadar ketika Kindly tertawa saat di pukul bantal. Sepertinya dia dan bantal akan jadi 1 kubu jika dalam mode menyerang."Eh, tidak. Penyakit itu sungguhan ada." Sahut Kindly belum menyerah. Dia menangkap ke-2 tangan sang istri agar berhenti gerak liar."Aku tidak percaya." Seru Niela jengkel. "Kau pergi saja ke kamarmu! Sana, sana!!" Usirnya persis anak kecil merajuk."Oke oke. Aku tidak akan bicara lagi." Ucap Kindly mengangkat ke-2 tangan. "Kita damai yah?" Katanya. Lalu merebahkan diri dan mengatur nafas.Niela pun ikut berbaring. Dada mereka kembang kempis sesuai kecepatan nafas. Hening sejenak sembari menatap langit-langit kamar."Oh yah Kin, satpam di depan bertambah orang yah?" Tanya Niela mengingat orang asing yang dilihatnya sedari pulang dari rumah sakit."Hm. Supaya tidak ada perampokan lagi. Kalau yang lain berpatroli atau aku suruh sesuatu, maka yang lainnya bisa tetap tinggal di tempat untuk berjaga. Sekaligus bisa gantian tu
Kindly bangun hati-hati agar tidak membangunkan Niela. Di menuju balkon lalu mengangkat panggilan itu."Hallo Niel?" Sapa Harell dengan suara seraknya."..."Kindly diam. Dia ingin tahu apa yang akan dikatakan Harell selama mengira Niela yang menjawab pangilannya."Sayang?" Ucap Harell lagi.Tangan Kindly terkepal mendengar suara pria itu. Setiap urat menonjol di balik kulit menunjukkan seberapa tinggi amarahnya. Wajahnya datar bermata tajam. "Untuk apa kau menghubungi istriku?"Tut..tut..tutPanggilan di putus sepihak. Kindly menatap geram layar posel yang berganti wallpaper kelinci tidur. Dia mengurung niat menghancurkan benda itu dan mulai mengutak-atik dengan jari-jari lihainya. Tak ada pesan dan panggilan dari nomor Harell. Berarti pria itu baru menghubungi Niela hari ini setelah perkelahian mereka kapan hari. Kindly merasa ada yang aneh. 'Apa aku melewatkan sesuatu?'"Kin" panggil Niela yang berdiri di belakang punggung Kindly. Badan kekar itu pun segera berbalik. Mata Niela jat
Nyatanya Kindly tidak pulang malam itu. Tak ada berita apa pun. Kini, warna hitam membentuk setengah lingkaran di bawah mata Niela. Wanita itu sulit tidur setelah terbangun tengah malam. Dia masih betah berbaring di sofa dekat jendela dengan tirai yang dibiarkan terbuka. Segala pertanyaan muncul dalam benakanya. Apa Kindly baik-baik saja? Dia tidak kecelakaan kan? Apa ada masalah di kantor mendadak? Atau... dia tidak sedang selingkuh kan?Tok..tok..tok.."Niel, ini ada telepon dari tuan Kindly." Ucap seorang pelayan di balik pintu.Seketika Niela berdiri tegap. Terlalu senang karena akhirnya Kindly memberi kabar juga pagi ini. Hal yang ditunggu semalaman. Dia berpikiran positif, mungkin saja sang suami sangat sibuk jadi terlambat mengabari. Wanita itu berlari kecil persis balita riang yang merindukan kepulangan orangtuanya.Ceklek"Ini katanya tuan mau bicara." Pelayan itu menyerahkan ponselnya."Iya, terimakasih."Setelah mengangguk sopan, si pelayan menjauh untuk memberikan ruang ba
Jeri melirik kaca depan mobil untuk melihat keadaan tuannya di belakang. Sebab pria itu belum turun meski mereka sudah sampai depan pintu utama. Kegusaran terlihat jelas di balik wajah kerasnya. Tampak masih mempertimbangkan sesuatu sebelum membuka pintu. Masalah perusahaan yang datang bertubi-tubi membuatnya lelah fisik dan batin. Mau tak mau Kindly memilih bermalam di kantor agar bisa menuntaskan masalah secepatnya. Belum lagi bayang-bayang orang ke-3 yang cukup menganggu. Ini sungguh menyebalkan.Setelah menenangkan diri, Kindly keluar dari mobil langsung menuju ke kamarnya. Badan yang gerah menghipnotisnya untuk segera mandi membersihkan diri. Dia berendam cukup lama sembari menikmati alunan musik yang menenangkan pikiran dan menyejukkan suasana, meski ada saja hal yang mengganggu kedamaian hatinya. Dia fokus melakukan aktifitas hingga lupa satu hal. Pria itu turun untuk mengisi perutnya yang lapar. Wajar saja, ini memang sudah waktunya makan malam. Tak mendapati Niela di sana, di
Pertanyaan Harell memutar otak Kindly berpikir keras. Musuh mana? Saingan bisnis Kindly? Rasanya mustahil mereka bisa tahu nomor Niela. Apa lagi Kindly melarang istrinya kemana-mana kecuali keluar bersamanya. Bukan karena serakah atau ingin mengekang, namun mengingat kecelakaan yang pernah dialami sang istri, Kindly tidak mau kejadian itu terulang lagi. Setidaknya jika keluar bersama, dia bisa melindungi Niela kalau-kalau ada hal buruk terjadi. Tapi ada yang tidak beres di sini. Terlalu banyak teka-teki aneh yang sulit dijawab.Kalau memang si pengganggu bukan Harell lalu kenapa nomor itu diberi namanya? Apa Niela yang melakukannya? Tidak mungkin, sebab nomor Harell asli saja di hapus, kenapa dia harus membuat yang palsu?Jika benar orang luar, sudah pasti tujuannya adalah menghancurkan rumah tangga mereka dengan jalan memancing kecemburuan Kindly. Artinya orang ini tahu bahwa Kindly mudah terbakar. Dia mengenal baik Kindly dan Niela. Dari caranya memilih Harell sebagai target jeba
3 jam sebelum kebakaran.Sehabis makan, Niela duduk termenung di jendela ruang depan. Wajahnya bertumpu pada lengan yang terlipat di tepi jendela. Pipi tembemnya menggembung saat di tindih miring sebelah. Bibirnya pun mengerucut lucu. Pemandangan halaman depan tampak asrih di sela-sela tenggelamnya matahari yang membiaskan cahaya oranye. Indah dan tenang. Namun ingatan tentang sang suami membuyarkan ketenangan Niela. Entah kenapa dia tiba-tiba gelisah. Ada rasa ingin kembali tapi mengingat sikap Kindly yang kasar tanpa alasan jelas membuatnya enggan pulang."Aku tidak merasa salah." Gumamnya. Seberapa keraspun dia berpikir, tak ada kesalahan pada dirinya yang ditemukan. Kecuali mengenai perdebatan kecil mereka. Tapi bukankah itu hanya candaan? Niela juga tidak pernah sungguhan marah saat merajuk. Dia hanya mengikuti permainan sang suami yang suka menggodanya. Dan ketika malam mereka akan bicara baik-baik lalu tidur berpelukan. Tak ada masalah selama ini. Jadi Niela rasa bukan itu int
Kindly diikuti rombongannya dalam perjalanan menjemput Niela. Pria itu memanggil bodyguard sewaan sekaligus untuk mengantisipasi segala hal buruk."Nama aslinya Prili, dia hanya anak angkat tidak resmi. Itu sebabnya namanya tidak terdaftar dalam kartu keluarga mereka." Ucap seorang hacker yang duduk di sebelah Kindly.Kindly mendengus kesal. Pantas saja dia tidak mencium hubungan si pencuri dengan pelayan sialannya itu. Kindly bersumpah akan menguliti Lili jika sampai menyakiti Niela. Dia berharap wanita terbakar itu adalah orang lain. Meski degub jantung mengetuk keras di balik dada. Tapi Kindly menolak menerima berita tak jelas itu.'Niel masih hidup, istriku pasti baik-baik saja.' Batinnya menutupi rasa takut kehilangan.Sesampainya di sana, api sudah padam. Para petugas damkar berhasil menghentikan kobaran si jago merah. Kerumunan warga juga bubar. Kini sepi, tidak seperti saat terekam di layar televisi. Apa lagi mereka tiba lewat tengah malam, jadi banyak yang sudah terlelap. Sel