Share

Bab 5

"Apa anda sudah buat janji dengan beliau?" Tanya resepsionis ramah.

"Iya, janjinya hari ini."

"Kalau begitu bisa tunggu sebentar? Tuan Harell sedang rapat saat ini."

"Oh baiklah."

Niela beralih ke kursi tunggu yang tersedia. Jam yang melingkar di lengan rampingnya menujukkan pukul 10 lebih 12 menit.

"Sial, aku terlambat." Gumamnya merutuki diri sendiri.

Niela kehilangan insomnianya tadi malam. Untuk pertama kalinya dia bisa tidur nyanyak sampai hampir pukul 8 pagi. Penyebab dirinya terlambat, di tambah kemacetan jalan kota.

"Ugh kok jadi gugup begini yah?"

Niela jadi ingat pengalaman dulu sewaktu melamar di perusahaan Kindly yang sudah berstatus sebagai suaminya sekarang. Bedanya kali ini dia duduk sendiri tanpa ramai-ramai menunggu antrian masuk. Tapi hawa dingin waktu itu seolah mengikutinya ke tempat sekarang. Niela juga tak menyangka perusahaan milik Harell semegah ini. Sudah hampir 1 jam Niela menunggu. Kegugupan pun semakin bertambah.

'Apa aku pulang saja? Gedung ini lebih megah dari yang kukira. Aku juga merasa kurang pantas'

Drrt..drrt..drrt

Getaran ponsel mengalihkan atensi Niela. Nama 'Kak Harell' tercantum di layar. Setelah menggeser bulatan hijau terdengar suara panik dari seberang sana.

"Hallo Niel kamu di mana sekarang?"

"Niel di lantai bawah kak. Maaf Niel terlambat." Ucapnya sedikit takut.

"Kenapa tidak menelpon? Ya ampun. Tunggu di sana, jangan pergi ke manapun!" ucap Harell mengakhiri panggilan.

Beberapa menit kemudian Harell datang menghampiri Niela yang sedang duduk tertunduk.

"Niel." Sapanya.

"Eh? kak Harell cepat sekali." Katanya mendongak lalu berdiri.

"Sudah lama menunggunya?"

"Ti.. tidak kok."

"Benarkah? Kata sekertarisku kau sudah menunggu sekitar 1 jam."

"Hehehe... Salah Niel datangnya kesiangan." Cengirnya merasa tertangkap basah sementara sembunyi.

Harell ikut tersenyum. Padahal tadi niatnya mau marah sebab mengira Niela batal datang. Tapi siapa yang masih mau marah setelah disuguhi wajah manis seperti ini?

"Baiklah. Ayo ikuti aku."

Mereka berjalan berdampingan sembari lanjut mengobrol. Si resepsionis jadi paham kalau Niela bukan tamu sembarangan sebab tuannya rela turun demi menyambut. Hal yang sangat jarang terjadi. Hem, dia harus menandai Niela agar di waktu berikutnya lebih sopan lagi.

"Baca-baca saja dulu." Kata Harell sembari menyerahkan beberapa lembar kertas. "Aku sudah minta sekertarisku merekap seluruh point penting tugasmu di sana. Jadi untuk hari ini hanya kusus belajar."

"Oke." Jawab Niela antusias lalu mulai membaca. "Umn omong-omong sekertarismu yang wanita cantik di depan itu kan?"

"Yap. Tunggu kupanggilkan biar kalian saling kenal." Ucap Harell lalu menghubungi si sekertaris lewat panggilan telepon.

Niela senang sebab Emeli (nama sekertaris Harell) merupakan gadis yang ramah dan mudah diajak bicara. Berbeda dengan tampilannya yang terkesan wanita tak acuh. Semua pertanyaan Niela di jawab lugas dan kelihatannya Emeli dekat dengan Harell. Bisa ditebak dari caranya berbicara santai namun tetap masih ber-etika.

Setelah semakin lama mengobrol ternyata Emeli sepupuan dengan Harell, masih saudara. Pantas saja. Niela baru sadar juga kalau mereka memiliki mata yang mirip dan hidung mancung. 'Ugh keturunan berlian'. Emeli memberi arahan apa saja yang boleh dan tidak boleh Niela lakukan. Totalitas di ajari. Untungnya wanita itu cepat tanggap jadi tidak ada kendala sejauh ini.

Pukul 12 lebih 50 menit, Harell mengajak Niela makan siang. Sedikit terlambat tapi dia menghargai kegiatan belajar-mengajar ke-2 wanita itu yang tampak serius. Harell memilih resto yang jaraknya dekat dari pada kantin di kantor. Alasannya dia bosan makanan di sana.

Niela hanya diam terpaku pada buku menu. Dia tak paham nama-nama makanan yang tercetak, dan dia melongo melihat harga setiap makanan.

'Yang benar saja. Makanan termurahnya bisa ku gunakan untuk makan seminggu'

Sayangnya dia terlanjur ikut. Mau keluar pun jadi malu. Harell terkekeh melihat reaksi Niela. Bukan memandang rendah tapi sungguh reaksinya menggemaskan.

"Aku yang traktir. Hitung-hitung perayaan asisten baru." Suaranya mengintrupsi Niela.

"Loh, bukannya kalau perayaan begitu harusnya Niel yang bayar yah?" Tanya Niel dengan dahi berkerut. Bukankah dia yang harus berterimakasih pada Harell karena sudah di berikan kerja?

"Oke kamu yang bayar."

Jantung Niela mungkin sudah loncat dari tempatnya. Tidak hanya jatah seminggu lagi, mungkin sebulan. Itupun kalau Harell hanya memesan 1 menu, belum minumannya. Tapi lagi-lagi Niela mencelupkan badannya ke dalam masalah. Bagaimana bisa di tolak?

"Hah? Oh oke." Ucapnya pelan tak bersemangat.

Wajahnya tiba-tiba berubah murung. Habis sudah tabungannya. Dia bingung nanti mau berangkat kerja bayar bus pakai apa. Sebab Niela tidak berani memakai kendaraan Kindly meski ada 11 mobil terparkir di garasi. Mungkin dia harus jalan kaki setidaknya sebulan sampai turun gaji.

"HA..HA..HA..HA" Harel tertawa terbahak-bahak. Suaranya begitu keras. Untung saja mereka berada di ruangan privat.

"Maaf Niel aku bercanda." Ucapnya di sela-sela menahan tawa.

"Ini tetap jadi tanggunganku kok. Pesan saja semaumu, aku yang bayar." Lanjutnya mulai tenang.

Niela tidak menimpali ucapan Harell. Dia hanya menatap tak berekspresi lalu menunduk. Baru sekian detik, tetesan air jatuh di buku menu. Hal itu tidak luput dari penglihatan Harell. Dia belum mengerti apa yang salah. Namun panik juga akhirnya.

"Niel? Hei." Katanya sembari meraih tangan Niela.

"Ni.. Niel mau ini saja." Lirihnya tetap menunduk dengan air mata yang semakin banyak berjatuhan. Isakannya pun ikut terdengar.

Sumpah Harell menyesal mengerjainya. Bukan ini yang dia harapkan. Harell sampai mengggeser kursi agar bisa lebih dekat. Diusapnya pucuk kepala Niela lembut.

"Niel... Aku minta maaf kalau salah bicara. Lihat aku Niel." Bujuk Harell selembut mungkin.

Niela mengangkat wajahnya yang basah dan merah. Dia mengigit bibir bawah agar tidak mengeluarkan suara tangisan. Harell tak bisa menahan. Tangan kekarnya menarik Niela ke dalam pelukan sekedar menenangkan. Pria itu pun mulai mengira-ngira, bukan kejadian barusan inti masalahnya.

Niela semakin terisak. Semakin nyaman meluapkan segala rasa. Tangisan itu seakan mengangkat semua bebannya. Jika di tanya malah kian menjadi.

"Niel kenapa? Aku kan sudah minta maaf."

Jujur ini pertama kalinya Harell menghadapi bocah tantrum. Yah sebut saja bocah. Pelayan sampai mundur lagi saat menerima kode Harell. Dia pikir mungkin acara lamaran hingga membuat si wanita terharu.

"Sudah?" Tanya Harell ketika Niela benar-benar tenang.

Niela mengangguk sembari menyeka ingus dengan berlembar-lembar tisu.

"Mau cerita?" Tanya Harell lagi berharap di respon.

"Habisnya uang Niel tinggal sedikit. Ka- kalau di pakai buat bayar nanti habis." Katanya sesegukan.

"Maaf, aku hanya main-main tadi."

"Kalau uang Niel habis kan tidak bisa naik bus."

'Naik bus?' batin Harell heran.

"Oh aku baru ingat. Dulu aku pernah berjanji akan membelikanmu motor kalau lulus dengan IPK 3,7 ke atas kan?"

"Hah?" Niela loading sejenak mengingat janji yang pernah di buat itu.

"Aku lihat tadi traskripmu IPK 3,76 berarti kamu berhak dapat hadiah itu."

"Ta.. tapikan waktu itu kita hanya bermain." sanggah Niela. Dia ingat mereka pernah taruhan di hari wisuda Harell. Seniornya waktu itu bilang kalau dia yakin Niela akan berhasil dan mereka akan bertemu lagi.

"Aku tidak mau berhutang janji jadi setuju atau tidak kamu harus terima. Mungkin minggu ini." Ucap Harell tak mau di bantah.

"Jangan, tidak usah kak. Niel tahu kok kak Harel orang yang bertanggung jawab. Tidak perlu sampai seperti ini." Tolak Niela. Dia rasa tindakan Harell berlebihan. Dia bahkan lupa janji itu jika tidak diingatkan.

"Jadi tidak mau motor?"

"Ti... Pokoknya tidak usah."

"Oke kuganti mobil saja."

Niela menganga mendengar penuturan sang senior. Mudah sekali kalimat itu keluar dari mulut Harell. Orang kaya memang ajaib.

"Kok malah di ganti yang lebih mahal?" Heran Niela mulai kesal.

"Katanya tadi tidak mau motor."

"Tapi Niel tidak minta mobil."

"Jadi mau apa? Jet pribadi?"

Niela menyerah. Semakin ke sini, semakin ke sana. Dia lupa sifat Harell yang pantang menyerah. Semua ucapannya memang selalu direalisasikan.

"Pilih salah 1 atau..."

"Motor... Motor. Niel mau motor saja." Putus Niela.

Perdebatan ini tidak akan punya titik akhir jika tidak ada yang mengalah. Sementara Harell tersenyum bangga atas kemenangannya.

Makan siang pun lebih merosot lagi hampir sore. Setelahnya mereka baru kembali ke kantor lalu mengerjakan tugas masing-masing. Meski sibuk, Niela merasa benar-benar hidup. Dia lebih senang seperti ini dari pada diam di mansion. Terlalu menikmati waktu, Niela tidak sadar waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam. Dia pun minta ijin pulang.

"Jangan salahkan aku. Tadi aku sudah memperingatkanmu tapi aku-nya malah di usir karena mengganggu." Kesal Harell mengingat kelancangan asistennya tadi.

Lagi-lagi senyuman manis Niela mengalahkan pertahanan Harell. Ah, wanita itu benar-benar bahaya baginya.

Namun sayang. Kebahagiaan itu akan lenyap jika sudah memasuki mansion bak nerakanya.

"Dari mana?" Suara dingin itu masuk ke indra pendengaran Niela yang baru tiba.

"Kerja." Jawab Niela. Moodnya tiba-tiba berubah suram.

"Sampai jam begini?"

"Apa pedulimu?"

Raut wajah Kindly semakin masam. Dia mendekati Niela yang setia bertahan pada posisinya.

"Kita menikah. Kau tahu apa artinya?" Tekan Kindly dengan suara dalamnya.

"Apa kau pernah bertingkah sebagai suamiku?"

Plak

Tamparan keras kembali menyapa wajah Niela. Tamparan yang berhasil membuatnya oleng dan kembali ke dunia nyata. Tangan gemetarnya memegang sisi wajah yang perih. Kali ini dia menatap Kindly.

"Berhenti bertingkah!" Peringat Kindly.

'Dia tidak peduli saat aku nyaris meregang nyawa di rumah sakit. Dia bahkan tidak menanyaiku sepulangnya. Tapi, kenapa di saat aku tidak berharap dia malah bertanya?' batinnya yang tak sanggup di ungkapkan.

"U.. uangku tidak cukup lagi untuk bayar rumah sakit. Bo.. bolekah aku sehat sebentar saja Kin?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status