"Selamat pagi Bu, pasti Ibu istrinya Pak Bagas ya?" sapaan terdengar saat Saras menginjak lantai dapur.
Saras melihat seorang wanita paruh baya yang tengah memasak. Sepertinya, itu ART yang dikatakan Pak Bagas kemarin. Kebetulan kemarin Saras tiba dirumah ini menjelang malam, jadi Saras belum sempat bertemu ART yang di maksud Pak Bagas. "Pagi juga, iya, saya Saras." Saras membalas sapaan dari wanita paruh baya dan bersalaman. "Saya Bi Minah, panggil begitu saja, Bu." kata ART bernama Minah tersebut. Saras mengangguk, "Iya Bi Minah, tapi jangan panggil Bu dong. Saya kan masih muda, masa di panggil Ibu sih?" Bi Minah tertawa, "Loh, kan memang Bu Saras sudah menikah sama Pak Bagas." "Iya sih, Bi. Tapi kedengeran tua banget jadinya." "Haduh, malah tidak apa-apa. Sebutan Ibu itu bagi Bi Minah terdengar berwibawa." Saras membalas dengan tawa kecil, "Iya deh, Bi. Terserah Bi Minah aja." "Tapi Bu Saras tidak tersinggung kan?" "Jelas enggak dong, Bi. Ngapain Saras tersinggung." "Ternyata Bu Saras ini orangnya baik ya, ramah juga." "Bi Minah bisa aja sih, kadang juga bisa galak kok Bi." canda Saras. "Tapi saya yakin, banyak sifat ramahnya dari pada galak." Saras tertawa mendengar kalimat Bi Minah. "Oh iya, Bu Saras mau apa? Bi Minah buatkan." tawar Bi Minah. "Eh, enggak usah Bi. Saras cuma mau minum aja. Kebetulan air minum di kamar habis. Bi Minah lanjutin masak aja." "Siap Bu Saras." Lantas Saras mengisi gelas kosong yang ia bawa dari kamarnya. Sementara Bi Minah melanjutkan kegiatan memasak sup sayur yang nampak mengepulkan aroma wangi. Saras melihat di meja makan sudah banyak lauk pauk tertata rapi padahal jam menunjukkan pukul enam pagi. "Bi Minah dateng jam berapa? Kok masaknya udah banyak banget." tanya Saras. "Bi Minah dateng jam lima subuh Bu. Ngurus anak sama suami dulu, baru berangkat kesini." jawab Bi Minah. "Sebenernya, Pak Bagas minta Bi Minah dateng jam enam. Tapi kalo dateng jam enam, Bi Minah pulangnya kesorean. Jadinya, Bi Minah nego ke Pak Bagas biar bisa pulang lebih cepet." tambah Bi Minah. Laras manggut-manggut mendengar ucapan Bi Minah. Saat gelas terisi penuh, Laras meminumnya hingga tandas. Matanya menjelajah isi dapur, satu kata yang terpintas di pikiran Laras, 'rapi'. Jelas saja, kan diberesin Bi Minah setiap hari. Memangnya, apa yang diharapkan? Mas Rehan mandiri serba bisa begitu? Haha, mimpi para pembaca yang pengen suami idaman. "Sudah bangun?" Suara Mas Rehan terdengar serak, sepertinya baru bangun tidur. Laras mengangguk, "Haus, mau ambil minum." Mas Rehan mengiyakan saja, lantas melihat meja makan yang sudah terhidang banyak makanan membuat pria itu menghampiri Bi Minah. "Bi Minah hari ini ada acara?" tanya Mas Rehan. "Iya Pak. Kebetulan nanti sore mau jenguk saudara yang sakit. Jadi Bibi ijin datang lebih pagi." Kata Bi Minah. Mas Rehan mengangguk, "Kalau begitu, sebelum Bi Minah pulang bantu perawat mandiin Jasmine nanti sore ya." "Siap, Pak Rehan. Laksanakan." "Aku ikut bantu mandiin Baby Jasmine, boleh?" tanya Saras membuat Mas Rehan menoleh padanya. "Hari ini tidak ada jadwal ke kampus?" "Enggak ada. Makanya aku pengen ikut bantu." Jelas Saras sekali lagi. "Boleh, nanti tanya sama Bi Minah dan perawat saja. Kalau ada keperluan apapun itu, jangan lupa kabari saya." "Oke." "Pak Rehan mau dibawakan bekal?" tanya Bi Minah. "Tidak usah Bi, saya sarapan saja." "Saya siapkan Pak." Saras melihat Bi Minah begitu cekatan menyiapkan sarapan untuk suaminya. Seolah kebiasaan ini adalah hal yang selalu Bi Minah lakukan. Ini terlihat aneh di mata Saras. Karena Saras yakin, Mbak Laras tidak se-pemalas itu menyiapkan sarapan untuk suaminya, Mas Rehan. Saking fokusnya, Saras tidak sadar jika sejak tadi Mas Rehan menatapnya. "Ada apa Saras?" Tanya Mas Rehan, melihat Saras yang tak kunjung sadar dari lamunannya. "Eh? Apa?" Tanya Saras balik. "Sejak tadi, kamu melihat tanpa berkedip. Ada apa?" Tanya Mas Rehan lebih jelas. Bi Minah datang, seraya membawa piring dan menatanya diatas meja. Membuat obrolan keduanya terjeda. "Terima kasih Bi." Kata Mas Rehan. "Sama-sama Pak Rehan, Bu Saras." Lantas, Bi Minah pamit pergi ke dapur belakang membereskan peralatan dapur bekas memasak. "Bi Minah selalu masak tiap hari ya?" Tanya Saras tiba-tiba. "Iya, itu tugas Bi Minah. Kalau kamu pengen sesuatu, bilang saja ke Bi Minah. Biar Bi Minah buatkan." Ucap Mas Rehan lagi. "Kalau yang beres-beres, nyapu, ngepel, siapa? Bi Minah?" "Iya." "Memangnya almarhum Mbak Laras gak masak buat Mas Rehan?" Mendengar pertanyaan Saras, Mas Rehan terdiam. Tatapan matanya lurus menyorot Saras yang nampak penasaran. Seolah tak ingin menjawab, Mas Rehan bangkit dari kursinya. "Saya ada meeting bersama kepala divisi pagi ini. Saya mandi dulu." "Mas Rehan." Cegah Saras memegang tangan suaminya. "Saya titip Jasmine, kemungkinan hari ini saya pulang malam." Setelah berkata demikian, Mas Rehan berlalu begitu saja. Rasa penasaran Saras semakin menumpuk karena tak mendapat jawaban. Sebenarnya apa yang terjadi dengan rumah tangga Mbak-nya dulu? Kenapa Mas Rehan seolah menghindar dan tidak ingin membahas apapun mengenai almarhum Mbak Laras. Tak ingin dikelilingi rasa penasaran, Saras memilih pergi ke kamar Baby Jasmine. Keponakan lucunya yang cantik. Saras melihat pintu kamar Baby Jasmine yang terbuka. Dari luar, Saras melihat baby sitter yang tengah memandikan Baby Jasmine. Tak ingin mengganggu, Saras memperhatikan dari dekat. "Eh, Bu Saras." Baby sitter itu nampak kikuk melihat kedatangan Saras. Saras membalas sapaan dengan senyum. Lantas, matanya melihat si keponakan yang mandi dengan anteng. Nampak baby Jasmine menikmati air yang bergelombang pelan di badannya. "Halo Baby Jasmine, seger ya mandinya." Ucap Saras. "Biasanya setelah mandi, Baby Jasmine ngapain?" tanya Saras pada baby sitter. "Berjemur Bu Saras." "Oke. Aku mau ikut, boleh?" "Boleh Bu, silahkan." Saras memperhatikan bagaimana cara baby sitter memandikan, mengoleskan minyak bayi, memakaikan baju, hingga selesai tanpa menggangu. Karena Saras belum mengetahui kebiasaan Baby Jasmine, maka Saras tidak akan serta merta untuk sok merawat baby Jasmine. Saras perlu belajar banyak hal mengenai kebutuhan bayi pada baby sitter, Saras yakin lama kelamaan pasti dirinya bisa mengurus bayi. Toh tidak ada salahnya, siapa tau suatu saat nanti Saras akan memiliki anak sendiri bersama suaminya. Mas Rehan. Eh, Mereka kan pisah kamar, bagaimana bisa punya anak. Maksudnya, anak mereka berdua. Anak Rehan dan Saras. Ah, entahlah. Saras merasa tidak siap melepas masa lajang bersama Mas Iparnya sendiri."Mas Rehan akan menikahi kamu sebagai pengganti mendiang Mbak Laras." Kalimat dari Papa membuat tubuh Saras membeku. Tatapan terkejut tak bisa ia sembunyikan, dirinya sungguh terkejut mendengar ucapan dari Papa. Pasukan oksigen seolah menghilang, membuat dadanya sesak teramat sangat. "Maksud Papa apa? Menikah? Sama Mas Rehan?" Masih basah kuburan Mbak-nya, kini Papa memintanya menikah dengan Mas iparnya sendiri. Dimana pikiran sehat Papanya?! Saras benar-benar tak bisa menerima ucapan Papanya. "Nak..." Suara Mama memanggil, mendekati tubuh Saras yang mematung terkejut. Disentuhnya pundak Saras, "Semua ini demi kebaikan kita semua." Saras menoleh, "Maksud Mama? Mama setuju Saras dan Mas Rehan menikah?" Mama mengangguk mantap, "Mama yakin, Mas Rehan bisa menjaga kamu sama seperti mendiang Mbak Laras." Mendengar hal tersebut membuat Saras naik pitam, "Ma! Saras bukan Mbak Laras! Saras ya Saras! Jangan samakan kami, Ma!" "Nak, kamu salah paham." "Salah paham gimana maksud Mama?
Pernikahan turun ranjang, orang menyebutnya begitu. Pernikahan yang terjadi ketika suami atau istri menikah dengan adik atau kakak iparnya sendiri karena suami atau istrinya sudah meninggal. Bagi orang awam, istilah pernikahan turun ranjang adalah hal yang jarang terjadi. Biasanya karena polemik masalah internal keluarga, pernikahan turun ranjang dapat terjadi. Banyak hal dan alasan di balik terjadinya pernikahan turun ranjang. Bahkan, alasan tersebut terdengar tidak masuk akal. Namun, inilah fakta yang terjadi. Saras mengalaminya sendiri. Hari ini, tepat satu bulan setelah perdebatan yang tiada jalan keluar untuk Saras. Perempuan itu terpaksa menikah dengan mas iparnya sendiri. Tanpa cinta, tanpa resepsi, tanpa sahabatnya, bahkan tanpa impian pernikahan yang selama ini Saras inginkan. Malam setelah acara tahlilan empat puluh hari meninggalnya mendiang Mbak Saras, besok paginya acara akad digelar. Pernikahan yang sama sekali tidak pernah Saras inginkan. Rasanya Saras sangat frusta
"Saya terima nikah dan kawinnya Saras Zafnia Gutomo dengan mas kawin berupa uang tunai sepuluh juta rupiah dibayar tunai!" "Bagaimana para saksi? Sah?""Sah!" "Alhamdulillah.""Hari ini, kalian sudah sah sebagai sepasang suami dan istri. Menjalani ibadah terlama sepanjang usia." Ucap bapak penghulu, kemudian memberikan dua buku nikah. "Ini, buku berwarna merah untuk suami. Warna hijau untuk istri. Silahkan, bisa disimpan dengan baik."Kedua buku itu disimpan oleh Mas Rehan. Saras menatap dalam diam. Acara pernikahan yang terpaksa Saras jalani, akan kah Saras sanggup? Rasanya mustahil. "Saya berharap, buku ini akan kembali ke KUA sebagai syarat menjalankan ibadah di tanah suci. Jangan sampai ke Pengadilan Agama." Mas Rehan tersenyum, "Insya Allah, kami minta doanya, Pak." Setelah akad, diadakan sesi foto bersama keluarga inti. Bahkan, Saras tidak sempat mengundang teman kampusnya, SMA nya, atau teman Saras yang lain. Acara hanya berlangsung sebentar, sebelum jam dua belas siang p
Apa yang diharapkan dengan sebuah pernikahan terpaksa? Keharmonisan?Atau justru kehancuran?Itulah yang saat ini ada di pikiran Saras. Kemana muara dari pernikahan yang ia dan suaminya jalani? Benarkan menuju sebuah kebahagiaan atau kesengsaraan?Baru beberapa jam menikah saja Saras mendapat sebuah tamparan, tak akan pernah Saras sangka jika Mas Rehan dengan begitu mudahnya main tangan. Saras jadi menduga-duga jika Mbak Laras meninggal karena tertekan hidup bersama Mas Rehan. Mengingat profesi Mas Rehan sebagai dosen, sangat disayangkan dengan sikapnya yang kasar. Apa sebelum ini Mbak Laras juga merasakan diperlakukan kasar oleh Mas Rehan?Jika benar, Saras tidak akan membiarkan keponakannya diasuh oleh bapaknya. Saras akan melindungi keponakannya dari bapaknya sendiri. Meski bingung dengan jalan pernikahannya, namun Saras akan bertahan demi keponakannya. "Semua ini demi Jasmin, aku gak mau Jasmin diasuh sama bapaknya yang kasar. Kalau bisa, aku akan cari bukti buat gugat cerai Ma
Sesuai perjanjian, hari ini Saras mengikuti Mas Rehan untuk tinggal bersama dirumah pribadi suaminya. Rumah yang dulu ditempati mendiang Mbak Laras dan Mas Rehan. Kini, Saras tempati. Rumah pribadi Mas Rehan tidak begitu besar, namun berlantai dua. Pertama kali masuk Saras disambut dengan ruang tamu yang terlihat klasik dengan kursi kayu yang di plitur. Vas bunga, lukisan alam, serta permadani menjadi pelengkap. Semakin melangkah masuk, Saras melihat dapur dengan segala perlengkapan memasak. Dapurnya sangat bersih dan rapi. Di meja makan terdapat aneka buah yang sangat lebih dari cukup untuk dua orang. Sepintas, rumah ini sangat jauh dari kata kotor. Melihat Saras yang mengamati rumahnya, Rehan berkata, "Jika kamu tidak suka dengan desain rumah ini, kamu bisa merubahnya. Merombak sesuai keinginan mu. Aku tidak masalah." Saras mengangkat alis, "Yakin? Selera Mas Rehan beda sama selera ku." "Rumah ini adalah tempat tinggal kamu sekarang, dengan merombaknya sesuai selera kamu
"Selamat pagi Bu, pasti Ibu istrinya Pak Bagas ya?" sapaan terdengar saat Saras menginjak lantai dapur. Saras melihat seorang wanita paruh baya yang tengah memasak. Sepertinya, itu ART yang dikatakan Pak Bagas kemarin. Kebetulan kemarin Saras tiba dirumah ini menjelang malam, jadi Saras belum sempat bertemu ART yang di maksud Pak Bagas. "Pagi juga, iya, saya Saras." Saras membalas sapaan dari wanita paruh baya dan bersalaman. "Saya Bi Minah, panggil begitu saja, Bu." kata ART bernama Minah tersebut. Saras mengangguk, "Iya Bi Minah, tapi jangan panggil Bu dong. Saya kan masih muda, masa di panggil Ibu sih?" Bi Minah tertawa, "Loh, kan memang Bu Saras sudah menikah sama Pak Bagas."
Sesuai perjanjian, hari ini Saras mengikuti Mas Rehan untuk tinggal bersama dirumah pribadi suaminya. Rumah yang dulu ditempati mendiang Mbak Laras dan Mas Rehan. Kini, Saras tempati. Rumah pribadi Mas Rehan tidak begitu besar, namun berlantai dua. Pertama kali masuk Saras disambut dengan ruang tamu yang terlihat klasik dengan kursi kayu yang di plitur. Vas bunga, lukisan alam, serta permadani menjadi pelengkap. Semakin melangkah masuk, Saras melihat dapur dengan segala perlengkapan memasak. Dapurnya sangat bersih dan rapi. Di meja makan terdapat aneka buah yang sangat lebih dari cukup untuk dua orang. Sepintas, rumah ini sangat jauh dari kata kotor. Melihat Saras yang mengamati rumahnya, Rehan berkata, "Jika kamu tidak suka dengan desain rumah ini, kamu bisa merubahnya. Merombak sesuai keinginan mu. Aku tidak masalah." Saras mengangkat alis, "Yakin? Selera Mas Rehan beda sama selera ku." "Rumah ini adalah tempat tinggal kamu sekarang, dengan merombaknya sesuai selera kamu
Apa yang diharapkan dengan sebuah pernikahan terpaksa? Keharmonisan?Atau justru kehancuran?Itulah yang saat ini ada di pikiran Saras. Kemana muara dari pernikahan yang ia dan suaminya jalani? Benarkan menuju sebuah kebahagiaan atau kesengsaraan?Baru beberapa jam menikah saja Saras mendapat sebuah tamparan, tak akan pernah Saras sangka jika Mas Rehan dengan begitu mudahnya main tangan. Saras jadi menduga-duga jika Mbak Laras meninggal karena tertekan hidup bersama Mas Rehan. Mengingat profesi Mas Rehan sebagai dosen, sangat disayangkan dengan sikapnya yang kasar. Apa sebelum ini Mbak Laras juga merasakan diperlakukan kasar oleh Mas Rehan?Jika benar, Saras tidak akan membiarkan keponakannya diasuh oleh bapaknya. Saras akan melindungi keponakannya dari bapaknya sendiri. Meski bingung dengan jalan pernikahannya, namun Saras akan bertahan demi keponakannya. "Semua ini demi Jasmin, aku gak mau Jasmin diasuh sama bapaknya yang kasar. Kalau bisa, aku akan cari bukti buat gugat cerai Ma
"Saya terima nikah dan kawinnya Saras Zafnia Gutomo dengan mas kawin berupa uang tunai sepuluh juta rupiah dibayar tunai!" "Bagaimana para saksi? Sah?""Sah!" "Alhamdulillah.""Hari ini, kalian sudah sah sebagai sepasang suami dan istri. Menjalani ibadah terlama sepanjang usia." Ucap bapak penghulu, kemudian memberikan dua buku nikah. "Ini, buku berwarna merah untuk suami. Warna hijau untuk istri. Silahkan, bisa disimpan dengan baik."Kedua buku itu disimpan oleh Mas Rehan. Saras menatap dalam diam. Acara pernikahan yang terpaksa Saras jalani, akan kah Saras sanggup? Rasanya mustahil. "Saya berharap, buku ini akan kembali ke KUA sebagai syarat menjalankan ibadah di tanah suci. Jangan sampai ke Pengadilan Agama." Mas Rehan tersenyum, "Insya Allah, kami minta doanya, Pak." Setelah akad, diadakan sesi foto bersama keluarga inti. Bahkan, Saras tidak sempat mengundang teman kampusnya, SMA nya, atau teman Saras yang lain. Acara hanya berlangsung sebentar, sebelum jam dua belas siang p
Pernikahan turun ranjang, orang menyebutnya begitu. Pernikahan yang terjadi ketika suami atau istri menikah dengan adik atau kakak iparnya sendiri karena suami atau istrinya sudah meninggal. Bagi orang awam, istilah pernikahan turun ranjang adalah hal yang jarang terjadi. Biasanya karena polemik masalah internal keluarga, pernikahan turun ranjang dapat terjadi. Banyak hal dan alasan di balik terjadinya pernikahan turun ranjang. Bahkan, alasan tersebut terdengar tidak masuk akal. Namun, inilah fakta yang terjadi. Saras mengalaminya sendiri. Hari ini, tepat satu bulan setelah perdebatan yang tiada jalan keluar untuk Saras. Perempuan itu terpaksa menikah dengan mas iparnya sendiri. Tanpa cinta, tanpa resepsi, tanpa sahabatnya, bahkan tanpa impian pernikahan yang selama ini Saras inginkan. Malam setelah acara tahlilan empat puluh hari meninggalnya mendiang Mbak Saras, besok paginya acara akad digelar. Pernikahan yang sama sekali tidak pernah Saras inginkan. Rasanya Saras sangat frusta
"Mas Rehan akan menikahi kamu sebagai pengganti mendiang Mbak Laras." Kalimat dari Papa membuat tubuh Saras membeku. Tatapan terkejut tak bisa ia sembunyikan, dirinya sungguh terkejut mendengar ucapan dari Papa. Pasukan oksigen seolah menghilang, membuat dadanya sesak teramat sangat. "Maksud Papa apa? Menikah? Sama Mas Rehan?" Masih basah kuburan Mbak-nya, kini Papa memintanya menikah dengan Mas iparnya sendiri. Dimana pikiran sehat Papanya?! Saras benar-benar tak bisa menerima ucapan Papanya. "Nak..." Suara Mama memanggil, mendekati tubuh Saras yang mematung terkejut. Disentuhnya pundak Saras, "Semua ini demi kebaikan kita semua." Saras menoleh, "Maksud Mama? Mama setuju Saras dan Mas Rehan menikah?" Mama mengangguk mantap, "Mama yakin, Mas Rehan bisa menjaga kamu sama seperti mendiang Mbak Laras." Mendengar hal tersebut membuat Saras naik pitam, "Ma! Saras bukan Mbak Laras! Saras ya Saras! Jangan samakan kami, Ma!" "Nak, kamu salah paham." "Salah paham gimana maksud Mama?