"Bu Saras," Suara Bi Minah memanggil Saras yang tengah asyik bersantai di halaman belakang bersama Jasmine. Bayi mungil itu nampak anteng dalam gendongan Saras, sesekali senyum manis terpatri di wajahnya.
"Nyonya ada di ruang tamu, Bu." "Tante Erna disini?" tanya Saras pada dirinya sendiri. Bi Minah yang mendengar pertanyaan lirih itu menjawab, "Iya Bu Saras, nyariin Bu Saras." Saras mengangguk, memberikan Jasmine pada pengasuhnya. "Titip Jasmine ya, Sus." "Aman Bu Saras." Kemudian, Saras bersama Bi Minah berjalan menuju ruang tamu. Jantungnya berdebar kencang, dari yang Saras ketahui, Tante Erna menentang pernikahan turun ranjang ini. Bahkan, kemarin saat akad pun Tante Erna tidak datang. Pak Bagas hanya ditemani oleh Om Ardi saja. "Tolong bawakan camilan ya, Bi. Berikan jamuan terbaik untuk Mamanya Pak Bagas." kata Saras. "Baik Bu." Dengan langkah tegas, Saras berjalan sendirian menemui Tante Erna. Siluet perempuan paruh baya itu nampak dari kejauhan. Tengah duduk di sofa begitu elegan. Aura kemewahan Saras rasakan begitu melihat pakaian Tante Erna. Selama ini, Saras hanya sesekali bertemu dengan Mamanya Pak Bagas ini. Itu pun saat, almarhumah Mbak Laras masih hidup. Setelahnya, Saras tidak pernah bertemu dengan beliau. "Tante Erna sudah menunggu lama?" Ucap Saras tiba di ruang tamu. Tatapan keduanya bertemu, dapat Saras rasakan sorot kebencian di mata mertuanya. Saras tidak berharap mendapat sambutan baik, tapi Saras cukup terkejut dengan sebuah hadiah dari Mama mertuanya ini. Kepalanya tertoleh paksa, pipinya terasa panas. Bibirnya sedikit terbuka dengan telinga yang berdenging. Matanya terasa panas, menahan air yang sudah mengumpul di pelupuk matanya agar tak jatuh. Sebuah tamparan melayang dari tangan lembut Mama mertuanya. Tak akan pernah Saras duga, Tante Erna menamparnya penuh tenaga. Pipinya terasa sakit. "Bu Saras!" Bi Minah datang terburu-buru. Meletakkan nampan berisi kue kering begitu saja di meja. Segera Bi Minah merangkul Saras yang terlihat terpaku seraya menyentuh pipinya yang terasa kebas. "Nyonya... Apa yang Nyonya lakukan?" "Bibi tidak perlu ikut campur! Tidak usah membela perempuan licik ini!" Tante Erna berkata dengan penuh amarah. "Sudah cukup keluarga saya berurusan dengan kakak sialan mu itu! Sekarang kamu malah menggantikan posisinya! Dasar serakah!" Maki Tante Erna. "Jangan membawa nama almarhum kakak saya! Tante tidak berhak!" Saras yang sebelumnya diam, kini mulai terpancing. "Kenapa? Karena kalian sama saja! Parasit! Membawa kesialan! Membuat keluarga saya hancur!" "Kakak saya bukan parasit! Jangan seenaknya berkata buruk pada keluarga saya!" "Jika bukan parasit? Lalu apa? Perempuan tidak tahu diri? Perempuan simpanan?" Dengan tatapan menilai, Tante Erna menambahkan, "Atau bahkan perempuan malam? Yang butuh belaian?" Mendengar makian dari Tante Erna, sungguh membuat Saras emosi. "Cukup Tante! Kakak saya bukan perempuan seperti itu!" "Cukup merendahkan keluarga saya! Tante tidak berhak!" "Saya berhak! Saya berhak berkata demikian, karena keluarga kamu sangat merugikan nama baik keluarga saya!" Maki Tante Erna dengan menunjuk wajah Saras. "Melihat wajahmu saja, membuat saya muak!" Tante Erna berkata dengan penuh penekanan. "Lebih baik Tante pergi dari sini." Memilih mengalah, Saras tidak ingin semakin meluapkan amarah. "Oh, kamu berani mengusir saya dari sini?" Tatapan Tante Erna memindai Saras dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Berani sekali ya kamu. Dasar perempuan tidak tahu diri!" "Cukup Tante! Saya tidak ingin bertengkar dengan Tante. Lebih baik sekarang Tante keluar dari rumah ini." "Kasihan sekali ya, orang tua kamu. Memiliki anak yang tidak bisa menghormati orang tua. Lebih parahnya lagi, meminta anak saya bertanggung jawab atas kesalahan orang lain." Saras tercengang mendengar kalimat Tante Erna "Apa maksud Tante?" "Oh? Kamu tidak tahu?" Kali ini Tante Erna bertanya dengan nada mengejek. "Atau jangan-jangan kamu juga dijadikan korban oleh orang tua mu sendiri? Sungguh kasihan sekali." "Orang tua mu sungguh munafik!" "Cukup merendahkan keluarga saya, lebih baik Tante pergi dari sini." Tante Erna tertawa mengejek. "Ternyata kamu tidak tahu apa-apa ya?" Bi Minah yang sejak tadi berdiri di belakang Saras berusaha menguatkan Saras dengan rangkulan. Sama halnya dengan Saras, Bi Minah tidak begitu paham mengapa Nyonya begitu membenci menantunya. "Saya tidak akan pernah membiarkan harta Bagas jatuh ke tangan kamu! Saya tidak rela, lahir batin tidak rela melihat putra kesayangan saya harus bertanggung jawab atas anak orang lain! Sungguh keluarga mu sangat licik!" Memaki penuh amarah, Tante Erna meneteskan air mata. "Saya menyesal membiarkan Bagas menikahi kakak kamu yang sudah mengandung bayi pria lain! Sampai kapan pun, saya tidak akan pernah merestui pernikahan kalian berdua." "Tidak sudi, saya menganggap kamu sebagai menantu saya." Tambah Tante Erna yang pergi begitu saja. Saras syok mendengar perkataan Tante Erna. Tubuhnya yang lemas luruh ke lantai. Bi Minah senantiasa merangkul Saras. Sama halnya dengan Saras, Bi Minah pun terkejut mendengar ucapan Nyonya Erna. Selama bekerja pada Pak Bagas, Bi Minah memang tidak pernah bertemu dengan almarhum istri pertama Pak Bagas. Setiap pulang ke rumah, Pak Bagas selalu sendirian. Tidak pernah pulang bersama almarhum istri pertamanya. "Mbak Laras... Sudah hamil saat menikah?" "Jadi Jasmine? Bukan anak Pak Bagas?" "Apa-aapa yang tidak aku ketahui? Rahasia apa yang Mbak Laras sembunyikan?" Saras syok parah, namun begitu Bi Minah tetap menemani Saras. Tak kalah syoknya, Bi Minah pun tidak tahu menahu terkait permasalahan rumah tangga majikannya. Melihat Saras yang begitu terpukul, Bi Minah yakin jika Saras menjadi orang yang amat sangat terluka disini. "Saya antar ke kamar Bu Saras." Kata Bi Minah. Saras menggeleng, "Papa Mama..." Dengan tatapan kosong, Saras menatap Bi Minah. "Papa sama Mama pasti tau masalah ini kan, Bi? Gak mungkin mereka nggak tau!" "Pak Bagas. Iya, Pak Bagas juga pasti tau masalah ini. Tapi kenapa? Kenapa Pak Bagas tidak mengatakan apapun pada Saras?" Tanya Saras yang saat ini terlihat kalut. Lantas Saras memegang tangan Bi Minah, "Bi, Bi Minah tau tentang hal ini kan, Bi?" Bi Minah menggeleng, "Saya tidak tau Bu Saras. Karena Pak Bagas selalu datang ke rumah ini sendirian. Saya mengira, jika Pak Bagas dan istri tinggal bersama Nyonya dirumah utama." "Selain itu, apa yang Bi Minah ketahui? Katakan padaku, Bi. Katakan!" Saras mulai merasakan gejolak emosi yang tak karuan, "Bi... Sepertinya Tante Erna mengada-ada. Mungkin, karena Tante Erna tidak menyukai Mbak Laras. Jadinya Tante Erna menuduh Mbak Laras." "Saras yakin, Mbak Laras tidak akan berbuat hal semacam itu. Saras kenal betul sama Mbak Laras. Mbak Laras itu perempuan baik Bi." Bi Minah mengangguk, "Iya Bu Saras. Saya percaya." Dengan kondisi berantakan, Saras bangkit dari lantai. "Saras mau ke rumah Papa Mama." "Saras mau tanya langsung sama mereka." "Bu Saras!" Mengabaikan panggilan Bi Minah, Saras segera pergi menuju rumah orang tuanya. Tak ada yang ia bawa kecuali handphone dalam genggaman tangannya. Sungguh dirinya butuh jawaban dari segala teka-teki fakta yang mengejutkan. ***Saras terisak di atas ranjangnya. Kepalanya ia tenggelamkan dalam bantal agar suaranya teredam. Meski Saras sudah setuju untuk bercerai dari Mas Rehan, namun mengapa hatinya terasa sakit. Seolah, Saras tidak ingin berpisah dari Mas Rehan. Padahal Saras baru tinggal bersama, Saras pun merasa belum begitu mengenal Mas Rehan. Tapi kenapa, rasanya sesakit ini? Saras mengangkat wajahnya yang berantakan. Matanya memerah berlinang air mata, nyaris bengkak. Ia menoleh pada ponsel yang bergetar di sampingnya. [Mama] Ternyata Mamanya yang menelepon, tentu Saras mengabaikan panggilan dari orang tuanya. Keadaannya setelah terlibat pertengkaran tadi belum membaik. Saras masih perlu waktu. Tok Tok Tok Suara ketukan terdengar, Saras menoleh sekilas. Tak berniat membukanya. "Saras." Suara itu, "Mas Rehan?" Gumam Saras dari tempat tidurnya. "Saras, buka pintunya. Kita harus bicara." Ucap Mas Rehan dari balik pintu. "Tolong Saras, ada hal yang harus kita selesaikan. Tanyaka
"Bi Minah pulang saja. Sudah sore, kasihan suami Bi Minah pasti menunggu dirumah." Ucap Saras setelah melihat jam dinding menunjukkan pukul lima lewat lima belas menit. Raut gelisah Bi Minah membuat Saras tidak tega jika harus menahan Bi Minah hingga malam. Apalagi, Mas Rehan belum ada tanda-tanda kedatangannya. Ingin menghubungi Mas Rehan, tapi Saras sadar jika ia tidak memiliki nomor suaminya. Menghela napas panjang, sebenarnya mereka menikah atau bagaimana sih? Sepasang suami istri tapi tidak memiliki nomor satu sama lain. "Jangan Bu Saras. Bi Minah menunggu Pak Rehan pulang saja. Tadi Bi Minah sudah janji sama Pak Rehan." Balas Bi Minah. Keduanya kini berada di dapur. Saras yang akan menyantap sop ayam buatan Bi Minah meletakkan kembali sendoknya ke dalam mangkok. Menatap Bi Minah yang menemaninya dengan gelisah. "Saras sudah lebih baik kok Bi. Jadi, Bi Minah tidak perlu khawatir. Nanti Saras akan bilang ke Mas Rehan kalau Saras yang suruh Bi Minah pulang." Ucap Sara
"Jasmine adalah anak saya." Itu adalah kalimat Mas Rehan setelah beberapa saat terdiam. Menjawab dengan tatapan yang tidak bisa Saras artikan. Raut ekspresinya tenang, seolah tidak ada masalah dengan pertanyaan Saras. Padahal, pria itu sempat mematung mendengarnya. "Mas Rehan jangan bohong." Ucap Saras. "Sepertinya pingsan membuat isi kepalamu terbentur, hingga melupakan sebagian memori sebelum ini." Kata Mas Rehan menarik napas panjang. "Satu tahun lalu, saya menikah dengan kakak kamu. Kami memiliki anak, dan anak itu adalah Jasmine. Tambahan lagi, setelah kematian kakak mu, saya menikah dengan kamu. Otomatis sekarang kamu adalah istri saya." "Saras inget kok Mas, kalo Saras sudah menikah dengan Mas Rehan." "Baguslah, saya takut memori kamu tentang pernikahan kita hilang." Suara kursi berdecit, Mas Rehan bangkit dari duduknya. "Infusnya sudah mulai habis, saya panggilkan suster jaga." "Mas Rehan!" Belum sempat Mas Rehan melangkah keluar, Saras memanggilnya. Me
"Bi Minah, apa Mas Rehan sudah pulang?" Tanya Saras pada Bi Minah yang sedang membereskan peralatan dapur. Saras baru tiba dirumah saat sore menjelang. Setelah Saras mendesak Mamanya untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Saras masih tidak habis pikir dengan pemikiran Papanya yang sangat egois. "Belum Bu Saras. Mungkin sebentar lagi." Jawab Bu Minah. "Oh iya Bu Saras. Semua pekerjaan sudah selesai, saya pamit pulang." Kata Bi Minah lagi. Saras mengangguk, "Iya Bi, terima kasih ya." "Sama-sama Bu Saras." "Bi Minah!" Baru saja berbalik, Saras kembali memanggil Bi Minah. Bi Minah mengurungkan niatnya, "Iya Bu?" Dengan senyum manis, Saras berkata, "Hati-hati di jalan ya, Bi." Bi Minah tertawa kecil, "Saya pikir kenapa. Iya Bu Saras, siap." Selepas kepergian Bi Minah, Saras menuju kamar Jasmine. Mas Rehan memang melarang pintu kamar Baby Jasmine di tutup rapat. Hal itu memudahkan Saras mengintip dari luar. Ternyata Jasmine baru selesai mandi. "Halo J
"Mama!" "Mama dimana?!" "Mama!" Saras menerobos masuk ke dalam rumah. Mencari keberadaan Mama dan Papanya. Suasana dirumah sangat sepi, entah kemana Mamanya. Merasa Mamanya berada di kebun belakang, Saras bergegas menuju belakang rumah. Napasnya tersengal dengan tatapan berkeliaran mencari Mama. Melihat Mamanya tengah memindahkan bunga dari pot kecil ke tanah. Mengusap peluh yang turun dari pelipisnya. Tak kuasa Saras memanggil Mamanya. "Mama!" Teriak Saras membuat sang Mama menghentikan pekerjaannya. Mama terbelalak melihat keberadaan putrinya, "Saras? Kamu datang bersama siapa?" "Saras mau bicara sama Mama." Mendengar nada Saras yang tidak biasanya, Mama bergegas menyusul Saras yang masuk ke rumah. Ditinggalkannya peralatan berkebun begitu saja. "Saras, ada a--" "Jawab pertanyaan Saras dengan jujur." Saras memotong kalimat Mama. "Saras..." "Mama,..." Saras menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya. "Mama cukup jawab iya atau tidak." Tambah S
"Bu Saras," Suara Bi Minah memanggil Saras yang tengah asyik bersantai di halaman belakang bersama Jasmine. Bayi mungil itu nampak anteng dalam gendongan Saras, sesekali senyum manis terpatri di wajahnya. "Nyonya ada di ruang tamu, Bu." "Tante Erna disini?" tanya Saras pada dirinya sendiri. Bi Minah yang mendengar pertanyaan lirih itu menjawab, "Iya Bu Saras, nyariin Bu Saras." Saras mengangguk, memberikan Jasmine pada pengasuhnya. "Titip Jasmine ya, Sus." "Aman Bu Saras." Kemudian, Saras bersama Bi Minah berjalan menuju ruang tamu. Jantungnya berdebar kencang, dari yang Saras ketahui, Tante Erna menentang pernikahan turun ranjang ini. Bahkan, kemarin saat akad pun Tante Erna tidak datang. Pak Bagas hanya ditemani oleh Om Ardi saja. "Tolong bawakan camilan ya, Bi. Berikan jamuan terbaik untuk Mamanya Pak Bagas." kata Saras. "Baik Bu." Dengan langkah tegas, Saras berjalan sendirian menemui Tante Erna. Siluet perempuan paruh baya itu nampak dari kejauhan. Tengah