Hai, semuanya. Aku butuh saran dari kalian nih, sejauh ini gimana kisah Mas Rehan dan Saras? Tulis di kolom komentar ya, aku tunggu❤️
Saras terisak di atas ranjangnya. Kepalanya ia tenggelamkan dalam bantal agar suaranya teredam. Meski Saras sudah setuju untuk bercerai dari Mas Rehan, namun mengapa hatinya terasa sakit. Seolah, Saras tidak ingin berpisah dari Mas Rehan. Padahal Saras baru tinggal bersama, Saras pun merasa belum begitu mengenal Mas Rehan. Tapi kenapa, rasanya sesakit ini? Saras mengangkat wajahnya yang berantakan. Matanya memerah berlinang air mata, nyaris bengkak. Ia menoleh pada ponsel yang bergetar di sampingnya. [Mama] Ternyata Mamanya yang menelepon, tentu Saras mengabaikan panggilan dari orang tuanya. Keadaannya setelah terlibat pertengkaran tadi belum membaik. Saras masih perlu waktu. Tok Tok Tok Suara ketukan terdengar, Saras menoleh sekilas. Tak berniat membukanya. "Saras." Suara itu, "Mas Rehan?" Gumam Saras dari tempat tidurnya. "Saras, buka pintunya. Kita harus bicara." Ucap Mas Rehan dari balik pintu. "Tolong Saras, ada hal yang harus kita selesaikan. Tanyak
"Bi Minah pulang saja. Sudah sore, kasihan suami Bi Minah pasti menunggu dirumah." Ucap Saras setelah melihat jam dinding menunjukkan pukul lima lewat lima belas menit. Raut gelisah Bi Minah membuat Saras tidak tega jika harus menahan Bi Minah hingga malam. Apalagi, Mas Rehan belum ada tanda-tanda kedatangannya. Ingin menghubungi Mas Rehan, tapi Saras sadar jika ia tidak memiliki nomor suaminya. Menghela napas panjang, sebenarnya mereka menikah atau bagaimana sih? Sepasang suami istri tapi tidak memiliki nomor satu sama lain. "Jangan Bu Saras. Bi Minah menunggu Pak Rehan pulang saja. Tadi Bi Minah sudah janji sama Pak Rehan." Balas Bi Minah. Keduanya kini berada di dapur. Saras yang akan menyantap sop ayam buatan Bi Minah meletakkan kembali sendoknya ke dalam mangkok. Menatap Bi Minah yang menemaninya dengan gelisah. "Saras sudah lebih baik kok Bi. Jadi, Bi Minah tidak perlu khawatir. Nanti Saras akan bilang ke Mas Rehan kalau Saras yang suruh Bi Minah pulang." Ucap Sara
"Jasmine adalah anak saya." Itu adalah kalimat Mas Rehan setelah beberapa saat terdiam. Menjawab dengan tatapan yang tidak bisa Saras artikan. Raut ekspresinya tenang, seolah tidak ada masalah dengan pertanyaan Saras. Padahal, pria itu sempat mematung mendengarnya. "Mas Rehan jangan bohong." Ucap Saras. "Sepertinya pingsan membuat isi kepalamu terbentur, hingga melupakan sebagian memori sebelum ini." Kata Mas Rehan menarik napas panjang. "Satu tahun lalu, saya menikah dengan kakak kamu. Kami memiliki anak, dan anak itu adalah Jasmine. Tambahan lagi, setelah kematian kakak mu, saya menikah dengan kamu. Otomatis sekarang kamu adalah istri saya." "Saras inget kok Mas, kalo Saras sudah menikah dengan Mas Rehan." "Baguslah, saya takut memori kamu tentang pernikahan kita hilang." Suara kursi berdecit, Mas Rehan bangkit dari duduknya. "Infusnya sudah mulai habis, saya panggilkan suster jaga." "Mas Rehan!" Belum sempat Mas Rehan melangkah keluar, Saras memanggilnya. Me
"Bi Minah, apa Mas Rehan sudah pulang?" Tanya Saras pada Bi Minah yang sedang membereskan peralatan dapur. Saras baru tiba dirumah saat sore menjelang. Setelah Saras mendesak Mamanya untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Saras masih tidak habis pikir dengan pemikiran Papanya yang sangat egois. "Belum Bu Saras. Mungkin sebentar lagi." Jawab Bu Minah. "Oh iya Bu Saras. Semua pekerjaan sudah selesai, saya pamit pulang." Kata Bi Minah lagi. Saras mengangguk, "Iya Bi, terima kasih ya." "Sama-sama Bu Saras." "Bi Minah!" Baru saja berbalik, Saras kembali memanggil Bi Minah. Bi Minah mengurungkan niatnya, "Iya Bu?" Dengan senyum manis, Saras berkata, "Hati-hati di jalan ya, Bi." Bi Minah tertawa kecil, "Saya pikir kenapa. Iya Bu Saras, siap." Selepas kepergian Bi Minah, Saras menuju kamar Jasmine. Mas Rehan memang melarang pintu kamar Baby Jasmine di tutup rapat. Hal itu memudahkan Saras mengintip dari luar. Ternyata Jasmine baru selesai mandi. "Halo J
"Mama!" "Mama dimana?!" "Mama!" Saras menerobos masuk ke dalam rumah. Mencari keberadaan Mama dan Papanya. Suasana dirumah sangat sepi, entah kemana Mamanya. Merasa Mamanya berada di kebun belakang, Saras bergegas menuju belakang rumah. Napasnya tersengal dengan tatapan berkeliaran mencari Mama. Melihat Mamanya tengah memindahkan bunga dari pot kecil ke tanah. Mengusap peluh yang turun dari pelipisnya. Tak kuasa Saras memanggil Mamanya. "Mama!" Teriak Saras membuat sang Mama menghentikan pekerjaannya. Mama terbelalak melihat keberadaan putrinya, "Saras? Kamu datang bersama siapa?" "Saras mau bicara sama Mama." Mendengar nada Saras yang tidak biasanya, Mama bergegas menyusul Saras yang masuk ke rumah. Ditinggalkannya peralatan berkebun begitu saja. "Saras, ada a--" "Jawab pertanyaan Saras dengan jujur." Saras memotong kalimat Mama. "Saras..." "Mama,..." Saras menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya. "Mama cukup jawab iya atau tidak." Tambah S
"Bu Saras," Suara Bi Minah memanggil Saras yang tengah asyik bersantai di halaman belakang bersama Jasmine. Bayi mungil itu nampak anteng dalam gendongan Saras, sesekali senyum manis terpatri di wajahnya. "Nyonya ada di ruang tamu, Bu." "Tante Erna disini?" tanya Saras pada dirinya sendiri. Bi Minah yang mendengar pertanyaan lirih itu menjawab, "Iya Bu Saras, nyariin Bu Saras." Saras mengangguk, memberikan Jasmine pada pengasuhnya. "Titip Jasmine ya, Sus." "Aman Bu Saras." Kemudian, Saras bersama Bi Minah berjalan menuju ruang tamu. Jantungnya berdebar kencang, dari yang Saras ketahui, Tante Erna menentang pernikahan turun ranjang ini. Bahkan, kemarin saat akad pun Tante Erna tidak datang. Pak Bagas hanya ditemani oleh Om Ardi saja. "Tolong bawakan camilan ya, Bi. Berikan jamuan terbaik untuk Mamanya Pak Bagas." kata Saras. "Baik Bu." Dengan langkah tegas, Saras berjalan sendirian menemui Tante Erna. Siluet perempuan paruh baya itu nampak dari kejauhan. Tengah