Sesuai perjanjian, hari ini Saras mengikuti Mas Rehan untuk tinggal bersama dirumah pribadi suaminya. Rumah yang dulu ditempati mendiang Mbak Laras dan Mas Rehan. Kini, Saras tempati.
Rumah pribadi Mas Rehan tidak begitu besar, namun berlantai dua. Pertama kali masuk Saras disambut dengan ruang tamu yang terlihat klasik dengan kursi kayu yang di plitur. Vas bunga, lukisan alam, serta permadani menjadi pelengkap. Semakin melangkah masuk, Saras melihat dapur dengan segala perlengkapan memasak. Dapurnya sangat bersih dan rapi. Di meja makan terdapat aneka buah yang sangat lebih dari cukup untuk dua orang. Sepintas, rumah ini sangat jauh dari kata kotor. Melihat Saras yang mengamati rumahnya, Rehan berkata, "Jika kamu tidak suka dengan desain rumah ini, kamu bisa merubahnya. Merombak sesuai keinginan mu. Aku tidak masalah." Saras mengangkat alis, "Yakin? Selera Mas Rehan beda sama selera ku." "Rumah ini adalah tempat tinggal kamu sekarang, dengan merombaknya sesuai selera kamu, saya berharap kamu bisa betah." Ujar Rehan. Saras mengangguk paham, memang untuk seterusnya Saras akan tinggal disini bersama Rehan. Namun, Saras takut jika apa yang ada di rumah ini adalah selera Mbak Laras. Jadi, Saras tidak masalah untuk tinggal dirumah ini bersama kenangan mendiang Mbak Laras. "Setiap hari akan ada pembantu yang datang untuk bersih-bersih. Biasanya datang jam enam pagi, lalu jam lima sore sudah pulang. Untuk makanan, kamu bisa masak sendiri, beli diluar atau minta pembantu untuk membuatkan mu makanan." Lagi, Saras hanya mengangguk. Matanya masih menjelajah rumah yang sudah ia tempati. kemudian pandangannya beralih pada lantai atas, Saras mengira-ngira, dimana dia akan tidur? Apakah harus satu kamar dengan Mas Rehan? "Kamar saya ada di lantai dua, barang-barangmu biar saya yang bawakan kesana." Mas Rehan beranjak membawa dua koper besar milik Saras. "Tunggu! Tunggu!" Saras menghentikan langkah Mas Rehan. "Aku bakalan tidur dimana?" Tanya Saras yang terdengar konyol di telinga Rehan. "Jelas di kamar atas, bersama saya." "Gak mau!" "Kenapa? Kamu takut disana ada barang-barang Laras?" tanya Rehan. "Selain karena itu, aku juga belum bisa nerima Mas Rehan sebagai suamiku. Pernikahan yang terlalu mendadak bikin aku kaget. Aku masih belum siap." Mendengar ucapan Saras, Rehan mencoba mengerti. "Baiklah, kamu bisa tidur di kamar saya. Lalu saya akan tidur di kamar tamu." Saras menggeleng, "Enggak! Enggak! Biar aku aja yang tidur di kamar tamu. Mas Rehan tidur di kamarnya aja." Satu hal yang baru Rehan sadari, Saras cukup keras kepala. "Pilihannya, kamu tidur bersama saya. Atau kamu tidur di kamar saya." Saras cukup terkejut mendengar pilihan dari suaminya, "Mas Rehan apa-apaan sih? Mana bisa pilihan kayak gitu! Pilihan yang Mas kasih merugikan aku dong!" "Lalu apa alasannya kamu minta tidur di kamar tamu?" Saras menjawab, "Ya, karena aku masih butuh waktu Mas." "Sampai kapan?" "Setidaknya sampai aku siap." Mas Rehan menolak, "Enggak! Kamu tidur di kamar saya, biar saya yang tidur di kamar tamu. Semua barang-barang, kamu tata di dalam lemari yang sudah saya siapkan di kamar." "Lalu barangnya Mas Rehan?" "Ya biarkan disana." Saras masih tidak mengerti, "Kenapa dibiarkan? Katanya Mas Rehan mau tidur di kamar tamu. Harusnya semua barang-barang di pindah kesana dong?" "Memang saya berkata begitu?" "Loh? Terus maksudnya Mas Rehan?" "Saya hanya tidur di kamar tamu, bukan memindahkan semua barang ke kamar tamu." "Kok gitu?" Saras tidak terima. "Saya memberikan kamu waktu untuk menerima pernikahan ini. Tapi, jangan lupakan jika saya memiliki batas kesabaran Saras. Untuk kali ini, saya harus tegas. Kamu. Sudah. Menikah." Mas Rehan menekankan tiga kata di kalimatnya. "Kenapa sih Mas Rehan selalu egois! Seenak sendiri maksa aku buat nikah sama Mas Rehan, sekarang Mas Rehan yang atur-atur hidup aku! Mama dan Papa aja gak pernah kok se-ngatur ini sama aku!" "Karena saya adalah suami kamu. Saya berhak mengatur kamu." "Terus kalo Mas Rehan ngatur aku, aku gak berhak gitu ngatur Mas Rehan?" "Saya tidak masalah kamu atur, asal itu demi kebahagiaan pernikahan kita." Ujar Mas Rehan membuat Saras semakin dongkol. "Aku gak nyangka aja, Mas Rehan ternyata senyebelin ini!" Saras menghentak kakinya kesal. Menaiki anak tangga menuju lantai atas, Saras berteriak, "Terserah Mas Rehan mau gimana, tapi aku semakin benci sama sikap Mas Rehan yang sok ngatur!" Rehan membiarkan Saras pergi, "Lihat Laras, adik kecilmu sungguh membuatku menguras emosi dengan sikap keras kepalanya." Menarik kedua koper milik istrinya menuju lantai atas, Rehan membiarkan Saras menata barang-barangnya sendiri di kamar. Setidaknya jika Saras berada di kamarnya, Rehan akan tenang. Kesabaran Rehan harus penuh jika menghadapi istri keras kepalanya itu. *** Bersikap bodo amat, Saras langsung membanting tubuhnya ke atas kasur. Baru tinggal di rumahnya saja membuat Saras emosi, apalagi harus hidup bersama? Sungguh, Saras tidak bisa membayangkan bagaimana nasib pernikahannya ke depan. "Suami Mbak Laras ternyata nyebelin ya. Kok Mbak Laras betah sih. Aku aja gak betah, Mbak." Kata Saras seraya tertawa kecil. Tatapannya melayang, membayangkan impian-impian yang ingin Saras capai. Merasakan empuknya kasur, Saras terbuai. Matanya mulai terpejam. Hingga suara melengking dari bawah mengejutkannya. Seperti suara... Bayi "Jasmine." Saras melompat dari tempat tidur, bergegas keluar kamar. Telinganya tidak salah mengenali suara tangisan bayi. Suara itu, suara tangisan Jasmine. Entah sejak kapan Jasmine disini, Saras pun tidak menyadarinya. Saras melihat, Jasmine menangis keras di pangkuan ayahnya. Terlihat satu wanita berpakaian perawat yang berdiri seolah berjaga di sisi Mas Rehan. Melihat Mas Rehan yang nampak kesulitan, Saras mendekat. "Jasmine." Mas Rehan menoleh, "Kamu tidak istirahat?" Saras menggeleng, "Denger suara tangisan Jasmine." Mas Rehan mengangguk saja, masih sibuk menenangkan Jasmine yang menangis histeris. Nampak bayi itu tidak nyaman, entah karena apa. "Boleh aku gendong Mas?" Mas Rehan mengangguk memperbolehkan, "Boleh." Saras menerima bayi Jasmine yang masih menangis keras. Saras merasa kasian, karena Jasmine harus kehilangan ibunya saat terlahir di dunia. Melihat sang perawat membawa botol susu, Saras sungguh miris. Bayi Jasmine harus tumbuh dengan susu formula, bukan ASI. "Baby Jasmine udah tidur?" Tanya Saras pada perawat yang berdiri di sisi sofa. Perawat itu menggeleng, "Jasmine belum tidur, Bu. Seharusnya, ini sudah jam tidur." Saras mengangguk, "Mungkin Baby Jasmine merasa tidak nyaman." Kemudian Saras menenangkan Jasmine yang menangis tiada henti. "Ssshhh Sayang. Hai, ini Onty. Kamu rindu Mama ya? Cup cup Sayang, jangan menangis. Baby Jasmine boleh menganggap Onty sebagai Mama kamu ya. Meski berbeda, tapi setidaknya kami hampir mirip." Saras menimang Jasmine penuh kesabaran, hingga bayi itu tenang dan bisa tidur lelap dalam gendongan Saras. ***Saras terisak di atas ranjangnya. Kepalanya ia tenggelamkan dalam bantal agar suaranya teredam. Meski Saras sudah setuju untuk bercerai dari Mas Rehan, namun mengapa hatinya terasa sakit. Seolah, Saras tidak ingin berpisah dari Mas Rehan. Padahal Saras baru tinggal bersama, Saras pun merasa belum begitu mengenal Mas Rehan. Tapi kenapa, rasanya sesakit ini? Saras mengangkat wajahnya yang berantakan. Matanya memerah berlinang air mata, nyaris bengkak. Ia menoleh pada ponsel yang bergetar di sampingnya. [Mama] Ternyata Mamanya yang menelepon, tentu Saras mengabaikan panggilan dari orang tuanya. Keadaannya setelah terlibat pertengkaran tadi belum membaik. Saras masih perlu waktu. Tok Tok Tok Suara ketukan terdengar, Saras menoleh sekilas. Tak berniat membukanya. "Saras." Suara itu, "Mas Rehan?" Gumam Saras dari tempat tidurnya. "Saras, buka pintunya. Kita harus bicara." Ucap Mas Rehan dari balik pintu. "Tolong Saras, ada hal yang harus kita selesaikan. Tanyaka
"Bi Minah pulang saja. Sudah sore, kasihan suami Bi Minah pasti menunggu dirumah." Ucap Saras setelah melihat jam dinding menunjukkan pukul lima lewat lima belas menit. Raut gelisah Bi Minah membuat Saras tidak tega jika harus menahan Bi Minah hingga malam. Apalagi, Mas Rehan belum ada tanda-tanda kedatangannya. Ingin menghubungi Mas Rehan, tapi Saras sadar jika ia tidak memiliki nomor suaminya. Menghela napas panjang, sebenarnya mereka menikah atau bagaimana sih? Sepasang suami istri tapi tidak memiliki nomor satu sama lain. "Jangan Bu Saras. Bi Minah menunggu Pak Rehan pulang saja. Tadi Bi Minah sudah janji sama Pak Rehan." Balas Bi Minah. Keduanya kini berada di dapur. Saras yang akan menyantap sop ayam buatan Bi Minah meletakkan kembali sendoknya ke dalam mangkok. Menatap Bi Minah yang menemaninya dengan gelisah. "Saras sudah lebih baik kok Bi. Jadi, Bi Minah tidak perlu khawatir. Nanti Saras akan bilang ke Mas Rehan kalau Saras yang suruh Bi Minah pulang." Ucap Sara
"Jasmine adalah anak saya." Itu adalah kalimat Mas Rehan setelah beberapa saat terdiam. Menjawab dengan tatapan yang tidak bisa Saras artikan. Raut ekspresinya tenang, seolah tidak ada masalah dengan pertanyaan Saras. Padahal, pria itu sempat mematung mendengarnya. "Mas Rehan jangan bohong." Ucap Saras. "Sepertinya pingsan membuat isi kepalamu terbentur, hingga melupakan sebagian memori sebelum ini." Kata Mas Rehan menarik napas panjang. "Satu tahun lalu, saya menikah dengan kakak kamu. Kami memiliki anak, dan anak itu adalah Jasmine. Tambahan lagi, setelah kematian kakak mu, saya menikah dengan kamu. Otomatis sekarang kamu adalah istri saya." "Saras inget kok Mas, kalo Saras sudah menikah dengan Mas Rehan." "Baguslah, saya takut memori kamu tentang pernikahan kita hilang." Suara kursi berdecit, Mas Rehan bangkit dari duduknya. "Infusnya sudah mulai habis, saya panggilkan suster jaga." "Mas Rehan!" Belum sempat Mas Rehan melangkah keluar, Saras memanggilnya. Me
"Bi Minah, apa Mas Rehan sudah pulang?" Tanya Saras pada Bi Minah yang sedang membereskan peralatan dapur. Saras baru tiba dirumah saat sore menjelang. Setelah Saras mendesak Mamanya untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Saras masih tidak habis pikir dengan pemikiran Papanya yang sangat egois. "Belum Bu Saras. Mungkin sebentar lagi." Jawab Bu Minah. "Oh iya Bu Saras. Semua pekerjaan sudah selesai, saya pamit pulang." Kata Bi Minah lagi. Saras mengangguk, "Iya Bi, terima kasih ya." "Sama-sama Bu Saras." "Bi Minah!" Baru saja berbalik, Saras kembali memanggil Bi Minah. Bi Minah mengurungkan niatnya, "Iya Bu?" Dengan senyum manis, Saras berkata, "Hati-hati di jalan ya, Bi." Bi Minah tertawa kecil, "Saya pikir kenapa. Iya Bu Saras, siap." Selepas kepergian Bi Minah, Saras menuju kamar Jasmine. Mas Rehan memang melarang pintu kamar Baby Jasmine di tutup rapat. Hal itu memudahkan Saras mengintip dari luar. Ternyata Jasmine baru selesai mandi. "Halo J
"Mama!" "Mama dimana?!" "Mama!" Saras menerobos masuk ke dalam rumah. Mencari keberadaan Mama dan Papanya. Suasana dirumah sangat sepi, entah kemana Mamanya. Merasa Mamanya berada di kebun belakang, Saras bergegas menuju belakang rumah. Napasnya tersengal dengan tatapan berkeliaran mencari Mama. Melihat Mamanya tengah memindahkan bunga dari pot kecil ke tanah. Mengusap peluh yang turun dari pelipisnya. Tak kuasa Saras memanggil Mamanya. "Mama!" Teriak Saras membuat sang Mama menghentikan pekerjaannya. Mama terbelalak melihat keberadaan putrinya, "Saras? Kamu datang bersama siapa?" "Saras mau bicara sama Mama." Mendengar nada Saras yang tidak biasanya, Mama bergegas menyusul Saras yang masuk ke rumah. Ditinggalkannya peralatan berkebun begitu saja. "Saras, ada a--" "Jawab pertanyaan Saras dengan jujur." Saras memotong kalimat Mama. "Saras..." "Mama,..." Saras menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya. "Mama cukup jawab iya atau tidak." Tambah S
"Bu Saras," Suara Bi Minah memanggil Saras yang tengah asyik bersantai di halaman belakang bersama Jasmine. Bayi mungil itu nampak anteng dalam gendongan Saras, sesekali senyum manis terpatri di wajahnya. "Nyonya ada di ruang tamu, Bu." "Tante Erna disini?" tanya Saras pada dirinya sendiri. Bi Minah yang mendengar pertanyaan lirih itu menjawab, "Iya Bu Saras, nyariin Bu Saras." Saras mengangguk, memberikan Jasmine pada pengasuhnya. "Titip Jasmine ya, Sus." "Aman Bu Saras." Kemudian, Saras bersama Bi Minah berjalan menuju ruang tamu. Jantungnya berdebar kencang, dari yang Saras ketahui, Tante Erna menentang pernikahan turun ranjang ini. Bahkan, kemarin saat akad pun Tante Erna tidak datang. Pak Bagas hanya ditemani oleh Om Ardi saja. "Tolong bawakan camilan ya, Bi. Berikan jamuan terbaik untuk Mamanya Pak Bagas." kata Saras. "Baik Bu." Dengan langkah tegas, Saras berjalan sendirian menemui Tante Erna. Siluet perempuan paruh baya itu nampak dari kejauhan. Tengah