Share

Tersiksa

“Aku udah tahan untuk gak bicara sejak makan malam tadi. Aku gak mau merusak suasana, Mas.” lirih Asha menumpahkan isi hatinya yang tertahan.

Rahang Harris menguat. Wajahnya yang sejak lama memerah akan gairah kini putih pucat. Ada amarah pada Mariana yang sudah merusak malam indahnya. Pun ada cemas teramat yang ketara di netranya. Asha masih menunggu reaksi Harris yang bungkam. Di saat seperti itu hanya tatapan tajam keduanya yang saling beradu. Jika saja tatapan bisa membunuh, kali ini milik Asha yang akan membuat Harris terkapar tak berdaya. Seharusnya dalam kondisi seperti ini, Asha yang paling tersakiti, namun sorot matanya begitu menghunus. “Mas Harris gak mau jelasin apa-apa tentang wanita itu? Harus banget aku cari tau sendiri? ” desak Asha dengan penekanan kalimat di mana-mana yang telak membuat Harris semakin ciut. Nada bicaranya memang rendah namun begitu menyudutkan Harris.

Asha mendengus kasar akan diamnya Harris. Hatinya sudah cukup hancur dengan datangnya perempuan lain di malam hangat mereka. Diamnya Harris justru mengamini kekacauan mereka.

Asha meraih pakaian dalamnya yang berserakan di atas tempat tidur. Dan hendak beranjak turun dari tempat tidur untuk memungut lingerie nya yang tercecer di lantai akibat ia lempar sembarang saat birahi menyelimuti. Harris meraih tangan Asha menatapnya dengan sayu bak anak kucing yang butuh susu induknya. “Saya tersiksa jika kamu menggantung saya, tolong bisa kita selesaikan dulu ini.” Harris membuka telapak tangan, menampilkan kondom yang entah sejak kapan kemasannya sudah sobek setengah. Suara Harris lirih dan berat mengiba pada Asha.

Asha tidak bisa menahan untuk tidak mendelik kasar. Dia yang lebih tersiska lahir dan batin. “Aku juga tersiksa Mas! Apalagi di saat seperti ini Mas Harris masih saja...” suara Asha terkecat oleh gelombang yang menekan tenggorokannya. Sesak sekali.

Hingga sedetik kemudian butiran bening yang menumpuk di pelupuk matanya tumpah ruah. “Aku hanya minta Mas Harris jelasin siapa wanita itu, bisa?”

Entah apa yang membuat Harris begitu sulit untuk bicara hingga tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Harris hanya menatap Asha yang sudah berlinang air mata, seraya tangan kekarnya lebih keras mencekal Asha. “Mas Harris tolong jangan sakiti mental dan fisik ku.” lirih Asha dengan penekanan kata ‘fisik’ sebagai isyarat kesakitan di tangannya. Harris tergesa melepaskan remasan tangannya, tanda merah besar tergambar jelas di atas kulit Asha yang putih. "Aw...." Asha mengaduh kesakitan. Jika saja Harris tidak melepaskannya cepat, mungkin saat ini tulangnya sudah patah.

Asha melanjutkan langkahnya yang terhenti. Bersiap dengan pijama normal untuk tidur. Asha memunggungkan badannya dari posisi Harris yang masih betah berdiri tanpa sehelai benang pun menutupi.

Di saat yang sama Asha masih bergelut dengan perasaan hancur yang tak bisa ia tahan. Pijama yang baru saja ia kenakan sudah terlanjur basah dengan deraian air mata yang tak kunjung berhenti.

“Diam nya Mas Harris sudah jelas membuktikan wanita itu spesial untuknya.” batin nya bergejolak membubuhi mantra-mantra negatif agar hatinya semakin panas.

***

Tanpa berniat melirik Harris yang tidur memunggunginya, Asha menyibak selimut dan turun dari tempat tidurnya. Mengumpulkan seluruh tenaganya untuk melawan rasa lelah atas perasaannya yang di siksa.

Satu kedipan mata, sudut hatinya hancur saat Asha mendapati Harris yang masih tak berpakaian tertidur pulas dengan kondom yang sejak semalam sudah digenggamnya. Asha merasa bersalah menghukum Harris seperti itu. Sudut hatinya menjerit melihat Harris harus kembali menahan birahinya entah sampai kapan. “Mas Harris juga menyiksaku dengan tidak memberikan penjelasan apapun tentang wanita itu.” mantra negatif itu kembali ia bubuhkan di kepalanya sendiri. Sengaja ia lakukan agar Asha tak perlu merasa seperti pelaku kejahatan rumah tangga yang membiarkan pasangannya merana. Lagipula, wanita mana yang bisa merelakan tubuhnya jiga suaminya berkhianat padanya.

Asha kemudian beranjak, melakukan aktifitas paginya seperti biasa. Hatinya memang dongkol, tapi tak sampai hati jika harus meninggalkan Harris yang sudah terlanjur bergantung padanya.

Asha tetap saja membuat sarapan. Lengkap dengan kopi hitam tanpa gula yang kepulan asap panasnya bak menggambarkan suasana hatinya. Asha juga menyiapkan seragam kerja Harris dan keperluan lainnya tanpa salah.

Berselang satu jam dari jadwal bangun tidur Asha, Harris muncul dengan seragam lengkap yang sudah rapi dan wangi. Menuruni anak tangga menuju dapur, melangkah mendekati Asha dengan wajah lurus seolah semalam tak ada amarah. “Mas Harris mau apa?” tanya Asha yang refleks mundur dua langkah saat Harris mendekatinya. Asha menjauh, tak ingin tersentuh. "Sha, saya bisa jelaskan semuanya. Tapi semalam dan sekarang bukan waktunya. Saya yakin, penjelasan yang keluar dari mulut saya gak akan menghapus kecurigaan kamu sama saya." tutur Harris yang betah menggantungkan masalah mereka pada waktu. Padahal Harris bisa dengan mudahnya menjelaskan wanita asing itu, jika dia mau.

Asha masih saja tak rela disentuh saat Harris kembali mengulurkan tangannya. Harris menutup matanya beberapa saat, mengeratkan giginya hingga tulang rahangnya mengeras. Ada perasaan asing yang tergambar di wajahnya saat Asha untuk pertama kalinya tak ingin di sentuh bahkan di dekati.

Tak mau larut dalam emosi, Harris kemudian duduk berhadapan dengan Asha. Keduanya hanya tersekat meja makan yang tak terlalu besar. Menyantap sarapannya dengan kepala tertunduk tanpa kata. Begitupun dengan Asha yang memilih melamun saat menemani suaminya sarapan bubur ayam yang ia buat. Pagi itu hening, hening sekali. Sehening itu hingga hanya suara sendok dan piring bertabrakan yang terdengar nyaring.

“Hari ini saya akan pulang terlambat.” ujar Harris memecah sunyi. Asha mendongak wajahnya sejenak agar lurus menatap Harris yang sibuk dengan makanannya.

“Udah tau!” ketus Asha kembali menunduk dan memainkan sedok di dalam cangkir teh nya.

“Tau dari mana?” tanya Harris menghentikan suapan sendok yang penuh ke mulutnya.

“Mas Harris besok bisa ketemu di tempat biasa ya, sayang. Isi WA nya kan begitu. Saya masih belum lupa. " sindir Asha yang tiba-tiba mengubah kata 'aku' untuk menyiratkan keadaan mereka sedang tidak baik-baik saja. Seraya mencecap teh hijau yang sengaja tak di campur gula pagi itu. Katanya biar sekalian pahit seperti perasaanya.

Harris mendengus pelan, kesabarannya sedang diuji saat Asha mengaitkan ucapannya dengan kejadian semalam. “Saya di tugaskan untuk kawal demo mahasiswa di Gedung DPR RI yang di khawatirkan akan anarkis.”

Deg...

Hembusan lembut menyentuh hati kecil Asha sebagai seorang istri. Seketika rasa khawatir mencuat kuat sekali. Tentu saja karena ia tahu suaminya akan bekerja di tengah bahaya hari itu. Hatinya ingin sekali memberi perhatian lebih dengan berkata, “Mas Harris hati-hati ya, jaga diri, jangan sampe terluka.” tapi yang keluar dari mulut Asha justru kata tanpa makna dari egonya, “Oh.”

Harris memijit pelipisnya yang mulai menegang, menahan diri agar tak terpancing emosi. Dengan segera ia menghabiskan sarapannya dan segera beranjak dari tempat duduknya.

“Saya mau ke rumah Devi hari ini.” suara Asha menghentikan gerakan Harris yang sudah berdiri. Harris tahu Asha sedang mencari pelampiasan akibat kegaduhan semalam.

Harris menatap Asha yang menjauhkan pandangan darinya. “Kalau saya tidak ijinkan, apa kamu akan tetap pergi?” kalimat tanya bermakna larangan keluar dari mulut Harris. Mempertegas bahwa Harris tak sudi masalah rumah tangganya ini berhembus keluar rumah.

Asha mendengus keras sekali, telapak kakinya sengaja dihentakan ke bumi mendengar jawaban Harris di balik kalimat tanyanya.

***

Devi adalah sahabat Asha yang letak rumahnya masih satu komplek dengan tempat tinggal Asha dan Harris. Jadi meskipun masih ada Fani yang juga sahabat dekatnya. Asha tentu lebih memungkinkan untuk bertemu Devi yang letak rumahnya tak jauh.

Devi sudah bekerja di salah satu perusahaan properti ternama di tanah air. Sedangkan Fani memilih jalur seni dengan menjadi supermodel. Lalu hanya Asha di usianya yang masih begitu muda memilih menikah dengan Harris. Laki-laki biasa yang tak banyak bicara. Apa mau di kata, Asha sudah kepalang jatuh cinta. Jangankan menikah muda, batu bata saja bisa rasa jadi rasa gula. Begitu kata mereka jiga ketiganya saling menyapa.

***

Di tengah terik panas matahari yang membakar kulit, pikiran Harris melayang pada Asha. Sebelum suasana demo tak terkendali Harris meminta ijin undur diri lima menit pada rekan-rekan sejawatnya. Dia sengaja mengirim pesan singkat pada sahabat istrinya itu.

Harris Darmawan

‘Devi maaf menggangu, apakah hari ini Asha ada atau akan mengunjungi kamu?’

Beruntung sekali Devi segera membalas pesan Harris.

Devi Purnama

‘Gak ada Mas Harris, kita hanya telponan saja.’

Harris Darmawan

‘Baik. Terima kasih ya.’

Harris mengulum senyum, kembali ke barisan dengan hati yang tenang. Setidaknya ada angin segar untuk Harris bahwa Asha masih memikirkan dirinya.

***

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status