"Ah, aku sungguh menyesal mengambil sastra Arab. Kalian tau apa? Ilmu tashrif* ku saja sejauh ini bisa dibilang masih di tingkat dasar"
Hana tersenyum simpul mendengar keluhan salah satu dari temannya. Mereka baru saja keluar dari ruang yang kebetulan dosen pengajarnya sudah berumur. Di dalam sana berlangsung cukup tegang selama dua jam-an penuh.
Mereka diberondong dengan berbagai macam pertanyaan dan jika tidak bisa menjawab, mereka harus berdiri. Dan nasib tidak baik itu menimpa salah satu temannya yang bernama Salsa, yang lebih sering di panggil Chaca.
"Tadi itu sungguh memalukan" Salsa meremas kepalanya frustasi, membuat tatanan kerudungnya sedikit berantakan.
"Tidak masalah, kita kan masih belajar. Jika mengenai tashrif, aku pun sejauh ini masih terbalik-balik ketika men-tashrifkannya. Apa lagi yang terdiri dari empat huruf dan di tambah huruf illat* nya lagi" Yang berbicara kali ini adalah Miftah. Pecinta balaghah*. Hal yang membuatnya memantapkan hati mengambil sastra Arab untuk memperdalam kecintaannya akan keindahan Balaghah.
"Hah— mau pecah rasanya otakku ini" Miftah menghela nafas berat. Wajahnya tertekuk lesu.
"Yah kamu mending mif, lah aku yang tiga huruf aja masih belum lancar..." Jika sudah seperti ini, Chaca selalu menganggap nasibnya yang paling menyedihkan.
"Sudah-sudah, kita semua juga masih pada belajar kan. Yang penting itu, kita gak boleh menyesal dengan apa yang sudah kita pilih" Hana akhirnya turut berbicara, jika sudah seperti ini. Ia selalu datang untuk mengembalikan motivasi kedua temannya itu, "Toh kita sudah melangkah sejauh ini, masa iya karena masih agak kurang di ilmu tashrif kalian udah nyerah aja gitu. Kemana semangat kalian yang katanya mau S2 ke Kairo?"
Chaca dan Miftah terus cengar-cengir. Keduanya langsung dengan semangat merangkul Hana yang berada di tengah mereka, "Ant 'ealaa haqin ya Hanaa*.." Seru keduanya, sembari merapatkan kepala mereka ke kepala Hana tersenyum riang.
"Pokoknya apapun itu, kita bertiga harus bisa S2 ke Kairo" Gigih Chaca, jelas semangat empat limanya telah kembali jika di ingatkan mengenai mimpi mereka yang bertekad menuntut ilmu bersama di negeri yang pernah menjadi lokasi syuting 'Ayat-ayat Cinta' itu.
"Ya, merasakan kehidupan mahasiswa yang tinggal bersama di apartemen seperti Fahri di ayat-ayat cinta atau kita bisa hidup bertiga di asrama— apapun itu, pokoknya kita harus bersama" Tutur Miftah, membayangkan mereka bertiga sudah lulus beasiswa ke Mesir dan merasakan susah-manis nya hidup perantauan.
"Ah, kau membuat ku semakin tidak sabar saja" Geram Hana, merasa benar-benar tak tahan untuk segera membuat mimpi itu menjadi nyata.
"Tapi kita berdua tidak seperti mu Hana. Jika tidak ada beasiswa, kami tidak akan bisa melanjutkan studi kami di sana.." Tutur Miftah. Itu karena Hana merupakan anak konglomerat. Dunia Hana terlampau jauh dari mereka. Semua terlihat mudah untuk orang-orang seperti Hana.
"Takdir kan enggak ada yang tau mif. Yah biarpun papaku banyak uang sekalipun, tapi jika Allah tidak menghendaki ku menuntut ilmu di sana, ya aku bisa apa?" Hana mengulas senyum tipis, "Yang terpenting kita sebagai hamba-Nya, harus selalu berprasangka baik terhadap-Nya. Apapun yang akan terjadi ke depan, mau kita bisa S2 ke Kairo atau tidak. Satu hal yang harus kita tau— hidup tidak pernah jauh dari kejutan yang berharga dan pelajaran yang bermakna..."
—••—"Putri ku yang satu ini, pemikirannya sangat jauh bertolak belakang dengan pengusaha seperti kita. Jadi saya rasa, ia tidak akan cocok dengan putramu.."Setelah kesepakatan dari hasil negosiasi kemarin, Shahbaz langsung membuat janji temu dengan Arya. Membahas mengenai putranya yang menginginkan putri bungsunya itu sebagai calon istri. Tapi sejauh ini, pria yang mau genap lima puluhan itu terus saja berkelit dan menolak.
"Tapi putraku itu hanya jatuh hati pada putri bungsu mu. Ku pikir pengusaha seperti kita pasti memiliki konsep pemikiran yang sama bahwa relasi pernikahan itu adalah hal yang terpenting bagi keluarga seperti kita ini. Jadi, coba kau pikirkan lagi.." Shahbaz masih bersikeras membujuk Arya. Atau kalau tidak, mungkin ia tidak akan pernah melihat putra tunggalnya menikah.
"Bagaimana jika begini saja, saya akan mengundang salah seorang pakar dalam hal ini. Ia yang akan memutuskan mana yang dari ketiga putriku itu yang akan cukup cocok berdampingan dengan putramu" Arya tentu saja tidak akan melepaskan kesempatan berharga itu. Hanya saja jika menyangkut putri bungsunya, ia bisa sangat sensitif. Itu mungkin karena...
"Maksud anda mak comblang?"
"Ya, tapi Mak comblang satu ini tidak seperti yang kau bayangkan. Ia memang mempunyai kemampuan khusus dalam mencocokkan suatu pasangan berdasarkan teori-teorinya yang cukup logis. Bagaimana?"
"Baik, lakukan saja begitu" Mau tidak mau, Shahbaz terpaksa mengiyakan permintaan Arya. Ia berharap kandidat ketiga lah yang akan dipilih oleh Mak comblang itu. Dengan begitu, ia tidak akan kerepotan mendesak Pasha untuk segera mengakhiri masa lajangnya.
Tapi jika seandainya yang terpilih kandidat pertama ataupun kedua, kali ini ia sudah punya wacana sendiri bagaimana cara mendesak Pasha agar tidak punya pilihan selain menerimanya saja.
Siang itu pula mereka mendatangi Mak comblang yang di maksudkan Arya. Di sana Arya mendeskripsikan satu persatu kepribadian dari ketiga putrinya dan terakhir giliran Shahbaz mendeskripsikan kepribadian putra tunggalnya.
"Putra anda dengan putri pertama pak Arya, itu seperti cermin satu sama lain. Keduanya mungkin hanya akan berkompetisi sampai akhir. Lalu putra anda dengan putri ketiga pak Arya, itu seperti mencampur minyak dengan air . Yakni, kemungkinan keduanya disatukan itu sulit" Terang si mak comblang, yang berpenampilan rapi dalam jas formal abu-abu gelap. Wanita itu menggunakan kacamata yang membuat penampilannya tampak berdedikasi.
"Dan terakhir, putra anda dengan dengan putri ketiga pak Arya, itu seperti sinar matahari di kutub selatan. Ada kebekuan dan secercah kehangatan, kombinasi ini dapat membuat pernikahan yang sempurna"
"Jadi menurut anda, putra ku hanya akan cocok dengan putri keduanya pak Arya?" Tanya Shahbaz memastikan.
"Berdasarkan dari kepribadian putra-putri kalian yang telah kalian jabarkan tadi, begitulah hasilnya" Jawab si mak comblang lugas. Klise nya, ia mengutarakan semua itu tidak ada sangkut pautnya dengan ramalan. Hanya lebih pada logika setelah mencocokkan beberapa variabel kepribadian yang ada.
"Jadi disini, saya mencomblangkan putri kedua Pak Arya dengan putra tunggalnya pak Pasha" Ujra Mak comblang itu mantap, "Mereka berdua tentunya pasti akan sangat cocok bagi satu sama lain" Mak comblang itu merapikan kedudukan kacamatanya, terlihat yakin.
"Jadi gimana pak Pasha, apa anda setuju jika putra anda di comblang kan dengan putri kedua ku?" Tanya Arya. Kini ia dapat tenang karena bukan putri bungsunya yang terpilih.
"Saya setuju" Jawab Shahbaz mantap
"Jika begitu, ayo segera atur pertemuan untuk mereka"
—••—1]. Ilmu tashrif: atau yang juga dikenal Sharaf, sederhananya ilmu ini yang membahas perubahan mufradat (kosa kata) dalam bahasa Arab, kedalam beberapa bentuk kata yang tergantung pada kebutuhan makna yang dinginkan. Misal seperti kata (akala) yang berarti; dia laki-laki telah makan, tapi setelah ditashrifkan menjadi (akaltu) kata tersebut berubah makna menjadi; saya sudah makan.2]. Huruf illat: dalam Sharaf ini sebutan untuk huruf penyakit, yaitu ا،و،ي
3]. Ilmu Balaghah: salah satu cabang ilmu dalam bahasa Arab yang mempelajari makna-makna yang terkandung dalam sebuah kalimat tidak hanya yang tersurat tapi tersirat.
4]. Ant 'ealaa haqin ya Hanaa; Kamu benar Hanan!
Maaf, saya masih belajar. Jika dirasa penjelasan di atas ada yang salah, jangan sungkan untuk memberikan komentar positif untuk perbaikan. Terimakasih ^_^
"Papa bercanda?" Suara sendok dan garpu yang di banting ke piring, memecah keheningan ruang makan. Keira rasanya seperti baru saja mendengarkan guntur di siang hari. Apa itu— ia akan menikah? Di usia semuda ini? Dan atas pilihan Mak comblang?Ini sudah abad ke berapa, tapi kenapa papanya masih berpikir se-kuno itu?"Malam" Ratna baru saja pulang lembur, dengan pakaian kerjanya ia mendatangi ruang makan dan mendapati suasana terlihat tegang, "Ada apa ini?"Hana menoleh sekilas pada kakak tertuanya yang tampak kebingungan. Tidak berkata apa-apa, ia hanya mendesah pelan."Harusnya kak Ratna dulu dong yang menikah. Umurnya yang sudah hampir kepala tiga itu masih saja lajang dan hanya tau bekerja. Tapi kenapa malah aku yang mau dinikahkan?" Bebel Keira, dengan tegas menyatakan ketidaksetujuannya."Lagian papa hidup di abad apa sih hari gini masih pake Mak comblang? Pokoknya Keira gak setuju" Tentang Keira tegas, "Keira itu masih muda pa, baru dua
"Hana ku mohon..bantu kakak mu ini, please.."Keesokan malam harinya, Keira yang tak berdaya menolak permintaan papanya itu, memohon pada Hana untuk membantunya dalam aksi menggagalkan 'kencan pertama'. Jika kesan yang didapat buruk pada pertemuan pertama, Keira seratus persen yakin si pangeran malam itu pasti akan menggagalkan pertunangan mereka yang tidak taunya ternyata akan di adakan bulan depan."Tapi kak, Hana benar-benar gak sanggup keluar. Perut Hana kram nih, nyeri datang bulan.." Tiap kali jatah bulanannya datang, Hana selalu saja menderita dismenore.Nyeri menstruasi yang ia rasakan itu rasanya seperti ratusan tangan mengoyak habis perutnya sampai ia tak tahan untuk tidak menangis. Tapi syukurlah malam ini kram perutnya masih dalam tahap toleransi."Kakak ambilkan obat pereda nyeri ya..kram perutnya gak seberapa parah kan?" Keira tentunya tau seperti apa jika adiknya itu sudah datang bulan. Hana bisa saja terbaring lemas seharian di kasur denga
"Maaf pak, saya tidak bisa minum itu" Tolak Hana sopan. Anggur yang sudah difermentasi itu tak lagi halal untuk di minum. Hana melambaikan tangannya ke atas, memanggil pelayan. Seorang pelayan wanita pun berjalan mendatangi meja, "Ada yang bisa saya bantu nona Hana?" Staf tersebut tentu mengenal Hana. Putri bungsu dari pemilik restoran tempat mereka bekerja. Putri konglomerat yang dikenal religius dan menarik diri dari publik. Seringkali gadis cantik itu datang ke restoran, mentraktir kedua sahabatnya makan di sana. Biar begitu Hana tetap tampil rendah hati dan tidak sombong. "Tolong, secangkir teh chamomile" Hana mengelus perut datarnya. Tidak tau kenapa nyeri menstruasinya menjadi lebih parah dari sebelumnya. Pelayan wanita itu sempat melihat keganjilan dari rona wajah cantik Hana yang tampak agak memucat. Ia awalnya ingin bertanya apa gadis itu baik-baik saja? Hanya merasakan aura dingin Pasha yang mendominasi sekitar, ia tak tahan untuk segera pergi meninggalkan meja. "Maaf p
"A-aku..""Ayo ke rumah sakit" Seperti kau memiliki barang yang berharga. Melihat ada kesalahan sedikit saja, kau tak tahan untuk segera membawa barang itu ke tempat perbaikan."Tidak perlu" Hana dengan cepat menggelengkan kepalanya menolak.Kesal karena melihat Hana yang tak menurut, tanpa basa-basi lebih jauh. Pasha langsung membopong gadis kecil itu ke atas pundaknya. Hana sontak meronta, apa-apaan pria ini?"Pak, apa yang anda lakukan? Anda bukan mahram saya" Jerit Hana histeris. Mengundang berbagai pasang mata tertuju kearah mereka."Cepat turunkan saya!" Hana dengan keras memberontak untuk turun. Tapi nyeri dalam perutnya, membuat Hana tak punya kekuatan yang besar untuk melakukannya.Pasha menolak menurunkan Hana, terus membopongnya keluar dan memasukkan gadis kecil itu kedalam mobilnya. Hana di dalam sana sudah menangis deras, tak dapat memikirkan apa-apa lagi. Nyeri dalam perutnya sungguh sangat tidak tertolong.Mendeng
Hana membuka matanya ketika samar-samar sinar matahari pagi mendominasi wajahnya. Terdengar suara tarikan tirai yang di geser. Hana menoleh dan mendapati seorang perawat baru saja menyingkap tirai jendela. Hana rasanya seperti baru terjaga dari mimpi. Ia tidak akan pernah mengira ada hari dimana ia dilarikan ke rumah sakit hanya karena kram menstruasi. Mengingat kejadian semalam, rasanya Hana ingin menangis karena malu. "Pagi, anda sudah bangun?" Sapa perawat cantik itu ramah. "Pagi, Sus" Hana mengangguk sopan, "Ya, baru saja" "Ah, kakak lelaki anda baru saja pergi membeli sarapan. Ia berpesan pada saya jika anda bangun untuk meminta anda menunggunya" "Kakak lelaki?" Hana mengerutkan keningnya bingung. Sejak kapan ia punya kakak laki-laki? Ia hanya punya dua orang kakak perempuan. "Em" Perawat itu mengangguk dan tersenyum, "Kalau begitu saya permisi" Setelah kepergian perawat itu, Hana tanpa sengaja menoleh kearah sofa yang ada
Pasha mendorong pintu kaca transparan itu dan masuk kedalam minimarket untuk membeli pembalut wanita seperti yang di sarankan dokter berkacamata tadi. Mendatangi salah satu karyawati yang duduk di meja kasir, tanpa sungkan Pasha berkata, "Saya butuh pembalut wanita"Beberapa saat karyawati itu terperangah, sempat terpesona dengan pria tampan di depannya, "Ah, sebentar!"Wanita itu pun keluar dari meja kasir dan menyuruh salah satu rekannya yang lain untuk berganti jaga. Sebelum wanita itu pergi mengambil barang yang diinginkan Pasha, wanita itu berbalik untuk bertanya, "Apa ada ukuran khusus? Sayap atau non-sayap?"Tampak sepasang mata elang Pasha berkedip tiga kali tak mengerti, "Siapkan saja semuanya"Karyawati itu mengulum rapat bibirnya, menahan senyum. Sepertinya itu adalah kali pertama pria tampan itu membeli benda seperti ini, "Baik"Di rumah sakit, Hana baru saja menelpon kakak keduanya untuk segera datang ke rumah sakit membawakan pakaian
"Kamu gak bawa mobil, Han?" Tepat setelah mata kuliah berakhir, siang itu Hana dan kedua temannya bergegas pergi meninggalkan gedung fakultas dan pergi ke kantin kampus."Engga, Cha" Jawab Hana lemas, karena pertanyaan Chaca itu berhasil membuatnya kembali terkenang betapa memalukannya awal pagi yang ia hadapi hari ini."Kok kamu lemes gitu sih Han?" Miftah menyenggol lengan Hana. Sejak tadi di dalam ruang Hana tampak tidak bersemangat."Sebenarnya aku males banget cerita"Miftah dan Chaca bertukar pandang. Mereka saling berkirim sinyal, pasti ada sesuatu yang baru saja terjadi pada Hana."Memangnya kenapa sih Han? Ayo dong cerita!" Chaca meletakkan tangannya di pundak Hana, matanya berkedip penuh keingintahuan. Hana yang melihatnya mendesah panjang. Di antara kedua temannya, Chaca lah yang paling besar jiwa keingintahuannya. Dalam tanda kutip 'bukan mengenai pembelajaran'."Engga ah, males!""Jangan gitu dong Han, kami kepo ni"
Hana terdiam. Jelas ia mengenal kakak lelakinya Chaca yang baru saja mendapatkan gelar dokter muda itu. Pria berkulit putih yang memiliki senyum meneduhkan. Pribadi yang tidak banyak omong, tapi perhatian. Perawakannya sopan dan lembut. Sosok yang relijius dan jauh dari kata arogan. Tak lupa dengan aura medisnya yang telah menarik perhatian banyak wanita.Tanpa sepengetahuan kedua sahabatnya itu. Kakak lelakinya Chaca...Adalah cinta pertamanya Hana."Ah, udah ah!" Hana langsung menyeruput jus alpukat nya yang tanpa gula itu dan melanjutkan, "Kita fokus belajar aja dulu ya!""Bener!" Seru Miftah dan Chaca serempak."Pokoknya, kalo kamu di jodohin bilang sama aku" Chaca baru saja mengambil sesuap siomay kedalam mulutnya, terus kembali berbicara, "Biar aku paksa kakak aku buat datang ke rumah""Untuk?" Hana menautkan sepasang alisnya."Ya untuk lamar kamu lah!"Serentak Miftah dan Hana bertukar pandang, sama-sama terperangah!