Share

4. Kesal di Hari Bahagia

Dexter kesal, sangat kesal. Apa Eve tidak punya perasaan? Dia tahu benar Eve pasti punya otak, sangat encer malahan, ayahnya dan calon ayah mertuanya yang suka mengobrol tentang bisnis selalu menyelipkan nama Eve di dalamnya.

Jadi kalau dia tidak bodoh pasti dia tidak punya perasaan. Perasaan marah, kesal atau sedih mungkin, semua perasaan yang selayaknya muncul setelah insiden kehamilan Aze. Tetapi Dexter tidak pernah melihatnya, tidak setitik pun Eve menunjukkannya. Wajahnya malah terlalu tenang membuat Dexter tidak enak dan mungkin merasa makin bersalah.

Dia merasa lebih baik jika Eve bersikap norak atau kasar sedikit, misalnya menampar, memukul atau menendangnya, tindak kekerasan apapun akan terlihat normal dalam situasi itu. Bisakah Eve menangis saja dan berkata pada ayahnya kalau ini tidak adil? Bukan Eve yang berbuat kenapa dia yang harus bertanggung jawab.

Dexter juga tidak ingin menikah dengan Aze, tingkahnya terlalu kekanak-kanakan. Aze hanya menarik untuk dijadikan teman bermain bukan teman hidup. Dexter hanya ingin biar dia saja yang mengambil anak itu jika sudah lahir, tetapi kedua pasang orang tua itu tidak setuju. Anak itu harus lahir dalam sebuah perkawinan, legal, jelas asal-usulnya.

Barusan Eve hanya tersenyum memintanya untuk jadi teman dalam perkawinan mereka. Dan Dexter setuju. Baiklah, mereka akan jadi teman. Dexter juga tidak ada niatan berkelahi dengan wanita yang akan ‘tertulis’ sebagai ibu anaknya nanti.

Dexter segera kembali ke dalam kamar ganti pengantin laki-laki yang sudah disediakan panitia. Diana, ibunya, dan Aksa, ayahnya, sudah berada di sana. Darren, kakaknya, sudah berada di deretan tamu.

“Kamu kelihatan tampan dan gagah, Dex,” kata Diana sambil membetulkan dasi kupu-kupu yang sudah terpasang rapi di kerah kemejanya. Senyumnya yang manis itu dibalas dengan dengusan dari anaknya. Matanya yang terlihat hampir mengeluarkan air mata keharuan itu sekarang malah menatap anaknya dengan geli.

“Marah di hari bahagia seperti ini, it’s not good, Boy,” sahut Aksa yang bersedekap. Matanya melihat Dexter dengan tatapan yang penuh perhatian.

“Mama tahu kenapa mukaku seperti ini!”

“Suatu saat kamu akan berterima kasih sama kita, Boy. Kalau kamu sudah ingat semuanya,” kata Aksa sambil mengedipkan matanya pada istrinya, Diana.

“Berterima kasih karena sudah mencarikan jodoh?” tanya Dexter. Tangannya membetulkan kelepak tuxedonya.

“Jodoh yang baik,” tambah Diana.

“Jodoh yang cantik,” timpal Aksa.

“Iya, dia memang cantik, tapi dingin seperti gunung es,” sahut Dexter. Dia jadi ingat senyuman Eve yang tidak seharusnya tersungging di bibirnya tadi.

“Jodoh yang kamu inginkan,” sahut Aksa.

“Sejak kapan aku bilang ingin menikah?”

“Nah, sudah kubilang dia masih lupa,” kata Aksa yang sudah duduk.

“Ingat tepati janji Mama. Jangan bermain-main dengan karir Natalia,” sahut Dexter dengan sopan namun penuh penekanan.

“Tentu, Mama tidak pernah ingkar janji. Remember, no scandal in a marriage.”

“Fine! Cuma 2 tahun.”

“Maaf, acara sudah akan dimulai. Mempelai pria harus bersiap-siap,” kata seorang pria berkaos hitam yang merupakan salah satu EO yang bertugas. Tangannya memegang kertas dan tablet android. Dia masih berdiri di antara pintu yang sedikit terbuka itu, menunggu Dexter bergerak.

“Pergilah, Boy. Percayalah, orang tuamu tidak akan bikin kamu sengsara,” kata Aksa menepuk-nepuk bahu anaknya.

“Kita lihat aja nanti, Pa,” sahut Dexter yang segera berlalu mengikuti pria berkaos itu.

“Jangan khawatir. Suatu saat dia akan ingat dan berterima kasih pada kita, Di,” kata Aksa pada istrinya. Diana mengangguk dan tersenyum. Dia menepuk-nepuk tangan Aksa yang ada di pundaknya. Kini mereka sudah berjalan mengikuti Dexter.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status