LOGINLangkah Arrel menembus hutan utara dengan irama yang mantap, meski pikirannya berkecamuk. Pepohonan menjulang seperti dinding raksasa, menghalangi sinar matahari yang hanya jatuh dalam garis-garis tipis di tanah. Aroma lumut, tanah basah, dan dedaunan yang baru tersentuh embun memenuhi udara.Ia berjalan cepat, namun tidak tergesa. Setiap gerakan terukur. Setiap tarikan napas penuh kewaspadaan.Ghaeron bukan musuh yang bisa diremehkan. Dan kelompok lamanya—yang kini tampaknya tumbuh menjadi kekuatan liar—tidak lagi sama seperti saat ia pergi.Di atas kepala, burung-burung hitam terbang rendah, seolah mengabarkan kedatangan badai.Arrel menghentikan langkah ketika mendengar suara ranting patah di kejauhan.Ia meraba gagang kapaknya.Satu… dua… tiga langkah mendekat.“Hentikan,” serunya tanpa berbalik. “Aku tahu kau mengikuti dari tadi.”Hening sejenak.Lalu suara tawa lirih muncul di balik semak-semak.“Aku lupa… kau ini seperti serigala. Peka pada setiap langkah.”Arrel memutar tubuhn
Fajar belum sepenuhnya naik ketika Arrel terbangun. Matahari masih tersembunyi di balik bukit, meninggalkan semburat oranye tipis di langit. Udara pagi membawa hawa lembap bercampur bau tanah basah. Dia duduk di tepi ranjang sederhana yang diberikan warga desa untuk sementara, membiarkan pikirannya berputar tanpa arah.Tidak ada mimpi. Tidak ada bayangan. Tapi dadanya terasa berat.Seolah semalam, seseorang telah menggenggam jantungnya erat-erat dan menolak melepaskannya.Pintu kamar diketuk pelan.“Arrel? Sudah bangun?” Suara Lyana terdengar.Arrel berdiri, membuka pintu. Lyana berdiri dengan rambut yang masih sedikit kusut, wajah lelah, namun matanya tetap penuh tekad.“Kepala desa ingin bertemu,” katanya. “Katanya ada seseorang yang datang malam tadi membawa kabar.”Arrel mengerutkan kening. “Kabar apa?”Lyana menggeleng. “Dia tidak bilang. Tapi ekspresinya… sepertinya penting.”Arrel langsung mengambil kapaknya yang encoknya sudah ia bersihkan semalam, lalu memasangnya di punggung
Angin malam berembus lembut melewati sela-sela pepohonan tua ketika Arrel dan Lyana akhirnya berhenti di tepi sungai kecil yang mengalir tenang. Lelaki itu menurunkan kapaknya, duduk di batu besar, dan menarik napas panjang, seolah mencoba menenangkan gejolak yang sejak tadi menyesakkan dadanya.Lyana berdiri beberapa langkah di belakangnya, menatap punggung Arrel yang tampak lebih berat dari biasanya—seolah ada sesuatu yang ia sembunyikan, sesuatu yang tidak ingin ia biarkan keluar.“Arrel…” panggil Lyana pelan.Arrel tidak langsung menjawab. Ia hanya memukul-mukul ujung sepatu boot-nya ke tanah basah, menatap air sungai yang memantulkan bayangan mereka. Setelah beberapa saat, ia akhirnya bicara, suaranya lirih namun jelas.“Aku merasa seperti kembali mundur, kembali pada diriku yang dulu. Dan itu… tidak pernah menjadi hal yang baik.”Lyana mendekat, duduk di sampingnya tanpa berkata apa-apa. Ia hanya menunggu. Karena ia tahu, Arrel tidak butuh nasehat saat ini—ia butuh seseorang yan
Malam itu hujan turun perlahan, menelusuri jendela apartemen seperti jejak air mata yang tak terlihat. Aruna berdiri di ruang tamu, memeluk dirinya sendiri seperti mencoba meredam getaran di dadanya. Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah tiga jam ia menunggu Rafka pulang.Tiga jam penuh kecemasan.Tiga jam penuh pikiran yang berusaha ia bantah, namun semakin lama semakin menyakitkan.Ponsel di meja kopi bergetar, tapi Aruna tahu itu bukan dari suaminya. Nama Mama muncul di layar, pesan singkat seperti tamparan halus di pipi:[Mama]: Nak, kalau butuh pulang, rumah selalu terbuka untukmu.Aruna menelan ludah. Ia ingin pulang, ingin berada di pelukan ibunya, tapi ia juga tahu bahwa pergi tanpa bicara dengan Rafka hanya akan memperburuk keadaan. Ia masih ingin berusaha—atau setidaknya memberi penjelasan terakhir sebelum semuanya runtuh.Suara pintu elektronik berbunyi pelan.Aruna mendongak.Rafka masuk dengan langkah berat. Jas hitamnya basah di bahu, rambutnya sedikit acak.
Hujan kembali turun malam itu, seperti kebiasaan lama yang enggan benar-benar pergi. Rintiknya menimpa jendela apartemen Rania satu per satu, menghasilkan denting-denting lembut yang mengisi ruangan dengan kesunyian yang justru menenangkan. Kota Jakarta tampak kabur di luar sana—lampu-lampu gedung memantul dalam kaca yang basah, membentuk garis cahaya yang seolah ikut menangis bersama langit.Rania duduk di sofa, tubuhnya berselimut selimut tipis berwarna biru pucat. Di meja kopi di hadapannya, secangkir teh yang ia buat sejak setengah jam lalu sudah kehilangan uapnya. Namun ia tetap memandanginya, seolah seduhan itu bisa memberi jawaban yang sudah berhari-hari ia cari.Ponselnya tergeletak di sisi kanan. Layar yang sesekali menyala hanya menampilkan notifikasi pekerjaan—editor, penerbit, jadwal wawancara. Tidak ada satu pun pesan dari Arka.Dan anehnya, itu justru membuat dadanya terasa lebih kosong daripada yang ia kira.Sudah hampir dua minggu sejak pertengkaran besar itu. Dua ming
Alya menatap pantulan dirinya di cermin rias kamar rumah sakit, sesuatu yang seharusnya sederhana tetapi malam ini terasa jauh lebih berat dari biasanya. Matanya masih sembap, tetapi ada sinar yang berbeda—bukan lagi ketakutan, melainkan semacam keberanian yang lahir dari keputusasaan yang sudah melewati batas.Di belakangnya, pintu kamar terbuka pelan.“Alya…” suara Ardan terdengar serak, lebih dalam daripada biasanya.Alya tak menjawab. Tangannya yang gemetar perlahan menurunkan alat rias yang tadi ia gunakan untuk menyamarkan bekas air mata. Ia tahu Ardan sudah berdiri beberapa langkah darinya tanpa perlu menoleh.Pria itu menarik napas panjang. “Kita perlu bicara.”“Kita sudah bicara,” sahut Alya datar, suaranya pecah di akhir kata. “Kau yang memilih tidak mendengarkan.”Ardan mendekat, tetapi langkahnya ragu—seolah takut menyentuh batas sabar Alya yang sudah terlalu tipis. Aura dingin yang biasanya menjadi perisainya kini terlihat retak, namun justru itu membuat Alya semakin bing







