Share

3. Bantuan penawaran

Aulia terpaku menatap lurus ke arahanya. "Kita tidak saling kenal. Lagi pula apa jaminanya kalau kau tidak akan macam-macam padaku." 

"Kalau begitu aku Alex. Kamu sudah mengenalku. Soal jaminan aku belum bisa membuktikannya, tapi percayalah aku akan mengantarmu sampai rumah sakit. Lagipula kalau aku berbuat macam-macam aku tidak bisa kabur kita sekampus mudah bagimu mencari identitaskamu di sana. Selain itu temammu itu mengenalku." 

Aulia masih ragu akan menolak kembali. "Dalam situasi gentig seperti ini kamu masih saja menolak bantuan orang lain. Lalu apakah kamu kuat menaiki motor dalam keadaan kacau seperti ini?"

Aulia menghembuskan napas panjang, setelah lama terdiam pun memutuskan untuk menerima tawaran Alex. Namun memilih untuk duduk dibelakang. 

"Kita akan ke rumah sakit mana?" tanya Alex membuka percapakan antara mereka setelah kehinangan cukup lama.

"Ibu Sina," jawabnya singkat terus memperhatikan ponselnya mengikuti perkembangan kondisi ibunya.

Aulia menghembuskan napas panjang baru saja kemarin ibunya   masuk ruangan Itu berjuang antara hidup dan mati dan sekarang ibunya kembali masuk lagi. Dalam hati terus saja melafalkan doa semoga kali ini ibunya bisa bertahan, ia akan mengusahakan agar kamu segera dilakukan. Ia mendesah beberapa kali bagaimana pun caranya ibunya akanku usahakan.

"Tuhan, hamba mohon berilah kemudahan. Hamba tau ini adalah ujian darimu untuk kami tapi berikan petunjuk jalan keluar." Do'anya dalam hati.

"Ibumu sakit apa?" Aulia menoleh menatap dingin  pria itu   tidak ingin membahas tentang penyakit orang tuanya. 

Sepanjang perjalanan hanya menatap keluar menenangkan suasa hatinya.  Ia menatap pekarangan rumah sakit saat mobil Alex masuk rasanya berat sekali untuk turun, hatinya belum siap menerima berita apa yang akan didengarnya lagi. 

"Kita sudah sampai. Kamu masih mau di sini?" 

"Kau mengusirku?" tutur Aulia lagi memayungkan bibirnya. Ia menghirup udara beberapa kali mengumpulkan keberanian sebelum masuk.

Ia membuka pintu mobil itu dan mengayunkan kakinya menuju ruangan Icu. Matanya memerah menahan tangis menatap Rumi masih memakai seragam sekolah menangis dalam pelukan Faris. Ia hampir lupa kalau saja masih memiliki asik pereempuan duduk dibangku SMP itu harus dijaga. Ia melangkah gontai menemuinya.

"Kakak Bunda kembali masuk ke ruangan itu apakah kali ini akan menyerah karena sudah lelah berjuang?" 

"Ya—yakin Bunda Rumi, Bunda tidak selemah itu. Bunda sudah berjanji akan sembuh padaku."  

"Kakak ti—tidak bohong kan?" tanya Arumi terbata-bata.

Aulia menggelengkan kepala. "Kakak tidak pernah bohong sama kalian." 

Saat dokter keluar Aulia segera menemuinya menanayakan kondisi Bundanya. Dokter yang selama ini menanganinya hanya bisa menggelengkan kepala saja. Kondisi Marwah sudah sangat lemah jika lambat melakukan kemoterapi maka tidak menutup kemungkinan waktunya tidak akan lama lagi. 

"Aulia, saya tahu ini berat bagi kamu, tapi kalau saja Bundamu tidak secepatnya ditangani dengan kemo maka kondisinya akan semakin memburuk. Kanker merambat sangat cepat ke tubuh pasien."

"Lakukan dokter! Saya akan menebus biaya secepatnya." 

Dokter itu menatap Aulia ibah, walaupun begitu harus mengucapkan ini. "Kemo dilakukan bukan hanya sekali tapi kemungkinan beberapa kali bisa 2-3 kali dalam sebulan. Kamu harus memiliki persiapan lebih." 

Aulia hanya mengangguk, sudah paham yang artinya ia harus menyiapkan uang lebih untuk kemo. 

"Baik dok," ungkap Aulia hanya bisa pasrah saja. 

Aulia keluar dari ruangan itu seraya menangis, di mana akan mendapatkan uang sebanyak itu. Satu kemo saja belum terkumpul semua.  Ia memandang langit malam yang sunyi di taman rumah sakit itu. 

"Dimana aku bisa mendapatkan uang kemo Bunda kali ini. Satu kemo saja belum terkumpul," lirihnya  terisak pilu. "Bunda maafkan Aulia jika kali ini mengeluh."

Drt!Drt!Drt!

Aulia segera menghapus air matanya mengangkat telpon itu. Sorot matanya lurus ke nama itu, bosnya tiba-tiba saja menelponnya tidak biasanya melakukan hal ini. 

"Ha—halo," jawabnya gugup dengan suara serak.

"Aulia mulai besok kamu tidak usah masuk kerja saya pecat kamu. Datanglah ambil uangmu." 

Deg!

Apa lagi ini, jalannya semakin rumit, kehilangan pekerjaan setelah ini di mana lagi di mendapatkan biaya rumah sakit, uang sekolah adiknya. 

"Kenapa tidak ada yang berjalan mulus, kenapa seperti ini. Lalu nasib Bunda bagaimana." 

Malam itu aulia menumpahkan semua emosinya menangis di taman. Sekarang dirinya benar lelah seandainya saja bukan Bunda dan Adiknya yang menjadi tanggung jawabnya maka sudah lama bunuh diri. 

 ***

Sudah menunjukkan pukul 12 malam tapi perempuan itu masih saja diam ditaman enggan untuk masuk, ia tak ingin membuat cemas Adik dan Bundanya. Air matanya terus berjatuhan meskipun sudah sedikit tenang.  Seseorang menyerahkan tissu padanya, ia mendongak. 

"Kak Alex," tuturnya mengambil tisu itu. 

Mata Alex tertuju pada kertas dipegang gadis itu, ia tersenyum kecil. "Aku bisa membantumu bahkan membiayai semua pengobatan ibumu dan juga membiyai kehidupan kalian."

Aulia melirik laki-laki itu ekor matanya, ia takkan mau menurunkan harga dirinya hanya. Ia percaya masih bisa berdiri diatas kakinya sendiri. 

"Tidak usah, saya masih bisa membiayai semua kebutuhan keluarga saya." 

Alex lalu tertawa kecil. "Dengan apa lagi? Kamu sudah dipecat Aulia!"

"Saya dipecat bukan berarti saya tidak bisa mencari pekerjaan lagi," serkas Aulia berdiri dari duduknya. 

"Baiklah, kita liat berapa lama kamu akan bertahan dengan situasi seperti ini." 

 ***

Pagi ini Aulia menyuapi Marwah sarapan. Ia terus saja berusaha untuk tenang meskipun dalam hatinya cemas ingin menumpahkan air mata. 

"Bunda, hari ini Aulia keluar bekerja mungkin pulangnya malam. Kemo akan dimulai besok jadi Bunda harus banya istrihat. Jangan stress," pesan Aulia seraya mengaduk-aduk bubur  memaksakan senyum.

"Biaya kemo Bunda pasti mahal yah nak?" 

Aulia mematung seperkian detik. "Aku masih mampu membayarnya Bunda. Jangan terlalu dipikiran, yang Bunda janjikan harus sembuh pokoknya. Urusan biaya biarkan aku yang ngurus."

Marwah mengangguk saja, meskipun Aulia terus berkata dirinya baik-baik saja namun matanya tidak bisa meyangkal. Wajah cantiknya kelihatan lelah, matanya sembab habis menangis.

"Aulia, jangan terlalu keras dengan dirimu. Kalau capek istirahat jangan sampai sakit. Kalau kamu sakit siapa yang akan menjaga Rumi nanti." 

Aulia hanya mengangguk mengapa kalimat yang diucapkan Bundanya kali ini menyakitkan seakan akan ingin pergi selamanya. 

"Makanya Bunda cepat sembuh." 

 ***

"Alex, bagaimana perkembangan kafe mu?" Alex menatap mamanya itu sedang mencicipi tehnya. 

"Semua berjalan lancar mi, tidak ada kendalan sama sekali."

Ia menatap teh hijau yang sedang dituang pelayan untuknya. "Namun ada beberapa hal yang mengganggu pikiranku." 

"Apa itu?" Tanya maminya, siap mendengarkan cerita anaknya dan memberikan solusi.. 

"Tapi kali ini bukan tentang kafe, tapi tentang seorang gadis." 

Maminya menatap tajam anaknya itu, sudah beberapa kali mengingatkannya untuk tidak bermain-main dengan gadis diluar sana. 

"Hentikan kebiasaanmu itu! Mami tidak suka!" 

"Aku akan menghentikannya kalau berhasil mendapatkan gadis yang kusukai Mi, tapi kali ini Alex belum menemukan gadis itu." 

"Kamu harus ingat Alex jangan sembarang menyukai perempuan di luar sana. Kamu harus mencari yang setara dengan keluarga kita." 

Alex tertawa kecil, kali ini sedang mengincar gadis sederhana yang sangat berbanding terbalik dengan keinginan Bundanya. Meskipun begitu Alex akan terus berusaha mendapatkannya entah perasaan cinta atau hanya sekedar obsesi semata yang pasti alex tau dia tertarik dan begitu menarik di matanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status