Rumah Satria tidak pernah sepi, selalu ada teman ataupun saudara yang datang hanya sekedar silaturahmi ataupun meminta kritik serta saran sesuai profesi Satria yaitu konselor.Seperti saat ini, ada tamu yang datang. Mereka adalah teman Satria yang merasa tertolong berkat saran dan arahan dari Satria."Assalamualaikum.""Wa'alaikumsalam. Mari masuk Pak Trio, Bu Marmi," ucap Shafira mempersilahkan masuk dan segera membuatkan minuman."Dimana Pak Satria, bu?""Silahkan diminum dulu Pak, Bu" ucap Aini yang kini duduk di depan para tamu, dia suka sekali nimbrung jika ada tamu yang datang."Satria sedang ke rumah adik saya dengan Mira.Setelah mendengar kabar jika adik saya sedang sakit, saya menyuruh mereka ke sana. Maklum saja, kaki saya sakit linu linu sedangkan Shafira ditinggal karena hamil tua," jelas Aini pada tamu Satria.Mereka mengangguk dan berbicara pada Aini sekedar basa- basi sedangkan Safira hanya duduk mendengarkan."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Satria datang dengan M
Satria Pambudi, lelaki umur 35 tahun, mapan, body goals, tajir melintir, dan kini menjabat konselor.Jika dibandingkan dengan masa lalunya, Satria yang dulu bukanlah siapa- siapa.Terlahir dari keluarga kaya membuatnya semena- mena, semua keinginan harus terpenuhi, hidup berfoya- foya sesuai keinginan hatinya, terjerumus dalam berbagai maksiat.Satria pernah masuk penjara akibat tawuran, mabuk dan narkoba.Perubahan diri terjadi setelah putus cinta dengan Thika. Satria bersikap anarkis seperti lelaki tak berpendidikan padahal Ayah dan Ibunya dari orang kaya dan terkenal sangat alim, terlebih lagi sang ayah, Budiman dikenal sebagai lelaki pemberi petuah dan menjadi pemuka dalam menyiarkan agama islam.Budiman kewalahan mengurus Satria, setiap malam dia meminta pada sang Khaliq agar Satria sadar dari maksiat yang dilakukannya.Budiman juga meminta saran kepada teman- temannya yang menjadi ustad dan Kyai.Kebetulan Kyai Harun mendengar berita itu merasa simpati dan tergugah hatinya ingin
"Tega kamu mas?" teriak Shafira mengeluarkan semua rasa kecewa di dada.Satria sama sekali tak iba, pergi dengan kemarahan yang menjadi.Shafira terduduk lemas, air mata sudah mengalir deras dari pelupuk mata. Suami yang 13 tahun ini bersama bisa sebenci itu padanya. Hal itu dapat Shafira lihat dari tatapan mata Satria yang tajam bagai pedang yang siap menghunus lawannya. Tatapan yang tak pernah Shafira temui selama berumah tangga dengan Satria. Jika biasanya Satria akan marah dan selang lima menit saja dia akan melupakan rasa amarah itu dan bersikap biasa saja.Kali ini sungguh berbeda.Api kebencian terlihat jelas dimata Satria. Hal itu membuat Shafira sangat kecewa, merasa telah dicampakkan Satria."Ma, aku mohon jangan menangis ma?" hibur Mira pada Shafira."Iya ma, jangan nangis nanti dedek ikutan nangis lo," celoteh Mila mencoba menenangkan sang ibu.Bukannya berhenti menangis, Shafira semakin terisak, menangis sesegukan membuat kedua anaknya memeluk dan ikut menangis. Perubaha
Malam hari. Jam dinding menunjukkan pukul 22.00 wib. Satria belum juga pulang membuat Shafira cemas, berjalan mondar mandir tak terhitung berapa kali. Dirinya tak tahu harus mengatakan apa jika Satria pulang nanti. Terlalu banyak unek unek yang ingin sekali dikeluarkan membuat Shafira bingung harus berkata darimana. Pukul 00.00 wib, Satria belum juga pulang membuat hati Shafira bergemuruh, rasa curiga mulai menyapa, berprasangka jika Suaminya itu pasti menemui Thika dan bermalam disana. Shafira sungguh putus asa, tak ingin lagi mengharap penjelasan dan beranjak untuk tidur. Mata mencoba terpejam namun telinga tetap mendengar setiap gerakan, beralih posisi ke kanan dan ke kiri agar mendapatkan kenyamanan namun hal itu tak bisa Shafira dapatkan. Memutuskan ke kamar mandi, berwudhu dan mendirikan Sholat Malam dua rakaat. Dalam sholatnya, Shafira tak bisa menahan lagi, air mata luruh di pipi namun Shafira tetap menyelesaikan Shalatnya. Saat sujud terakhir, tangis Shafira pecah, semua
Dalam keadaan emosi Shafira mengirim pesan pada Satria.{Assalamualaikum. Mas, aku tidak pulang, aku ingin menenangkan diriku. Aku mengharapkan penjelasan darimu tapi kamu hanya diam saja tak mau menjelaskan semua masalah ini. Kamu lebih mementingkan dia daripada aku mas. Jika kamu tak bisa memutuskan semua ini, aku tak akan pulang. Pilih dia atau aku istrimu?}Tak ada balasan membuat Shafira tak tenang. Hidupnya sungguh menderita, ingin sekali dengan pergi ke rumah Tina, dia bisa melupakan masalah ini namun seberapa jauh dirinya berlari menghindar, masalah terus mengikuti dan bersemayam di dalam hati.Shafira tak ingin kehidupan seperti ini. Semua terasa berat namun dia tak bisa menceritakan semuanya kepada kakaknya karena tak ingin membebani. Shafira sungguh lelah, matanya terpejam dan berharap bisa tertidur meski sejenak namun seberapa dalam mencoba terpejam sama sekali tak mampu.Satu jam hanya berguling ke kiri dan ke kanan tak ada yang bisa di lakukan. Melihat jam dinding menunj
Seorang wanita sibuk berkutat dengan mixer di tangannya. Matanya fokus memandang adonan, namun hati dan pikirannya entah kemana. "Shafira, sudah kental berjejak gitu?" ucap Tina merasa jika adiknya itu tak fokus membuat bolu. "Oh iya, hampir saja." Shafira segera menuangkan terigu, mengaduk balik secara merata lalu menuangkan minyak goreng dan kembali mengaduk balik adonan sehingga menyatu, memastikan tak ada minyak yang mengendap. Setelah adonan masuk loyang yang sudah dikasih carlo, Shafira segera memasukkan ke oven. Metode yang digunakan Shafira dalam membuat kue berbeda dengan Tina. Jika Shafira menggunakan sponge method, berbeda dengan Tina yang suka menggunakan metode all in one. Pada teknik all in one method ini semua bahan diaduk jadi satu dengan hand whisk gitu aja, lalu di oven. Dengan catatan, pengadukan tidak boleh terlalu bersemangat. Kira- kira tidak lebih dari 15 kali putaran/ adukan. Shafira dan Tina bergulat dengan dunia perdapuran. Sehabis sholat subuh, Shafira
Shafira kembali menangis mendengar semua nasehat bu Tutik."Aku bingung bu, aku sudah tak punya siapa siapa tapi mas Satria tega sekali menyakitiku. Aku pergi juga tak dicari. Dia tak mencariku tak apa apa bu, setidaknya dia menanyakan anak anaknya?" ucap Shafira terbata.Tutik segera merengkuh Shafira ke dalam pelukannya."Sabar nak Fira, lelaki jika sudah terobsesi dengan wanita yang pernah di hidupnya, dia akan lupa dengan orang orang terdekatnya. Meski kamu mengingatkan ribuan kali, dia tak akan mendengarmu," jelas Tutik mengelus punggung Shafira."Hiks!""Hiks!""Lalu aku harus bagaimana bu? Aku sudah putus asa. Mas Satria tak cinta padaku bu, dia sama sekali tak peduli denganku, dengan bayi yang aku kandung? Bahkan dia tak pernah menyentuhku. Apa dia benar benar menyesali kehamilanku? Sebenci itukah sampai dia tak mau menyentuhku?""Ya Allah… Tenangkan dirimu nak, jangan terpancing emosi. Aku mengerti posisimu dan kamu tak sendirian, ada aku dan saudara lainnya. Kami berpihak pa
"Ceklek." "Kenapa kamu kunci pintunya mbak?" tanya Shafira bingung. Lila mendekat dan membawa Shafira duduk di kasur, memegang tangan saudara sekaligus sahabatnya. Ya, Lila merupakan sahabat Shafira jauh sebelum Shafira dipersunting Satria. "Katakan semua kepadaku Shaf. Kenapa kamu harus lari dari rumah? Kamu tak salah, kenapa harus pergi dan memberi peluang Thika mendekati suamimu?" Shafira terdiam, membiarkan Lila memarahinya. "Satria cerita semuanya padaku, katanya kamu WA Thika, mengolok- oloknya. Apa benar?" Shafira mengangguk membenarkan. "Astaghfirullahaladzim Shaf!?" Lila menghela nafas besar. "Aku kasih tahu kamu ya sayang, Satria itu ibarat abg lagi dipuncak kasmaran jadi kamu ingatkan atau kamu jauhi seperti ini, dia tak akan peduli soalnya yang terlihat hanya Thika seorang?" ucap Lila yang membuat Shafira mulai menangis. "Salah jika kamu hubungi Thika, dia akan mengadukan pada Satria dan suamimu akan tetap membela si pelakor itu daripada kamu istrinya karena mata