Satria bahagia bukan main, seperti mendapatkan durian runtuh saja.
"Benarkah Sayang?!" tanya Satria memastikan.
Lagi lagi Shafira mengangguk membuat Satria memeluk penuh kasih.
Satria segera mengirim pesan WA kepada Thika, memberitahukan jika dirinya diberi izin oleh sang istri untuk membantunya.
Tentu saja, gayung bersambut. Thika juga senang sekali membaca pesan dari Satria. Dia bebas menghubungi Satria kapanpun dia mau dan tak khawatir bakalan disebut pelakor. Tak seperti dulu, saat dia meminta bantuan teman lelakinya, sang istri marah marah pada Thika dan menyebutnya pelakor.
"Mas, bukannya kamu akan berangkat kerja?" ucap Shafira mengingatkan sang suami.
"Oh iya, ini aku mau berangkat. Aku pergi dulu ya?" ucap Satria disambut ciuman tangan dari Safira.
Jika biasanya Satria mengecup keningnya, tidak untuk hari ini membuat Safira begitu kecewa.
'Tenang Shafira, mungkin mas Satria lupa mencium keningmu,' batin Shafira mencoba menenangkan hatinya.
Sejak saat itu, Satria mengubah penampilannya. Jika sebelumnya Satria memang berpenampilan sederhana namun stylish, kali ini dia semakin menonjolkan gaya stylish nya seperti ABG 20 tahunan.
Siapa yang sukses mengubah penampilan Satria?
Tentu saja Thika orangnya, wanita itu sukses menjungkir balikkan kehidupan Satria.
Bukan hanya penampilan yang berubah, waktu kerja kantor yang biasanya tiga kali seminggu itu pun kini berubah menjadi setiap hari. Satria berangkat ke kantor pagi dan pulang malam, tak seperti biasanya.
Semua yang ada pada Satria berubah dan dia menikmati perubahan ini dengan kebahagiaan.
Melihat perubahan drastis dari suami, wanita mana yang tidak cemburu dan curiga?
Awalnya Shafira mencoba berpikir positif, mungkin memang perusahaan sedang membutuhkan jasanya sehingga Satria harus bekerja setiap hari namun semakin hari Satria semakin menjadi.
Ponsel yang semula tergeletak di sembarang tempat bebas dibuat mainan oleh sang anak.
Kini ponsel tersebut tidak pernah luput dari genggaman Satria.
Anak yang biasanya tak boleh menangis dibiarkan menangis sejadi- jadinya hanya karena ingin meminjam ponsel Satria dan tidak diberikan oleh Satria.
"Mas kenapa sih, anakmu meminjam HP sebentar saja tidak boleh?" tanya shafira pelan.
Karena memang biasanya Mila diizinkan memakai ponsel sang suami.
"Ponsel ini penting, masih ada urusan yang harus aku atasi. Apa kamu tidak tahu, hah?" Teriak Satria marah membuat Safira sungguh syok mendapati perubahan sang suami.
Satria tidak pernah membentak Shafira seperti itu. Memang cekcok pernah terjadi dan Satria marah waktu itu tapi tidak seperti ini, tatapan penuh api kemarahan dan kekesalan. Semua terpancar dari raut wajah Satria untuk Mila yang masih kecil.
"Astaghfirullahaladzim mas!"
"Kamu kenapa sih? Ponsel dipinjam Mila sebentar saja kamu marah sekali?" keluh Shafira.
"Harusnya kamu bilang baik- baik jika ponselmu masih dipakai, tidak perlu membentak anakmu mas?!"
Safira sangat kecewa, membawa Mila masuk ke dalam kamar.
Safira mengelus punggung Mila, "sudah nak, doakan saja mama punya rizki, nanti Mila Mama belikan HP yang baru".
Mila berhenti menangis dan menautkan jemarinya tanda setuju.
"Oke ma," jawab Mila segera memeluk tubuh Shafira.
Tiba- tiba,..
Satria masuk kamar dengan membawa ponselnya.
"Ini, kamu pakai sebentar saja setelah itu kasih lagi ke papa," ucap Satria menyodorkan ponsel pada Safira.
Ponsel di genggaman tanga, ingin sekali Safira mengecek pesan w******p Satria namun hal itu diurungkan mengingat Mila begitu ingin bermain ponselnya. Dan dirinya juga tidak mau melayani bisikan setan.
Safira percaya jika sang suami hanya membantu Thika, itu saja.
"Ma, mana ponsel Papa? celoteh Mila membuat Safira tersadar dari lamunan dan segera memberikan ponselnya kepada Mila, membiarkan anak kedua itu main ponsel milik ayahnya.
******
"Ma, kami akan ada pertemuan lagi membahas masalah Thika dan hal ini sangatlah krusial jika bukan aku yang menghandle semua ini tak akan tertata dengan baik. Aku juga mengabari Yudha mengenai semua masalah Thika kepadanya.
Shafira hanya mendengarkan dengan seksama.
"Kamu mengizinkan Sahfira?"
"Kapan itu mas?"
"Besok malam."
"Tapi besok malam kan ada acara keluarga di rumah?!"
"Kalau kamu tidak ada, saudara pada datang dan mencarimu, kan kak afdol mas?"
"Oh iya ya. Ya udah aku batalkan saja acara reuninya." jawab Satria.
Shafira tak mengerti dan bertanya, "apa masalah Thika belum selesai mas? kamu bilang sendiri jika sudah selesai. anak anak juga sudah dibiayai sahabat- sahabatmu."
"Naah itu masalahnya, pertemuan kali ini Thika meminta untuk dicarikan dana proses hidup. Kami berniat memberikan bisnis untuk kelangsungan hidupnya."
"Kalau begitu enak sekali ya mas jadi Thika?"
"Apa maksudmu?"
"Ah tidak apa- apa, aku hanya asal bicara ucap Safira pergi meninggalkan Satria.
Jiika dilanjut, Satria akan terus berbicara tentang Thika dan hal itu sungguh membuat hati Shafira tidak nyaman
.2 jam sebelum acara keluarga.
"Ma, aku pamit keluar sebentar bersama mas Indra. Nanti satu jam lagi aku akan pulang," pamit Satria.
"Baiklah mas, jangan lama- lama ya, ingat acara 2 jam lagi."
"Tidak perlu kamu ingatkan, aku sudah tahu jawab Satria kesal merasa jika Safira sangatlah cerewet hari ini sedangkan Safira sangat kesal mendapati jawaban ketus dari Satria.
Safira mengantar kepergian sang suami yang berdandan seperti ABG, memakai kaos dengan topi serta kacamata. Jeans panjang dipadu sabuk kulit dan sepatu Nevada. Semua yang dikenakan Satria adalah produk bermerek dari topi sampai sepatu.
Karena memakai kaos kuning, Satria memadukan dengan sepeda grand yang di speed warna kuning, menyesuaikan stylish nya.
Banyak memang koleksi sepeda Satria dari Supra x 125 yang menemani dirinya sejak dulu. Lalu membeli beat untuk sang istri Safira.
Belakangan ini dia mengoleksi sepeda gunung mulai dari Yamaha 75 warna biru, Yamaha robot hitam keluaran 80. Shogun dan grand kuning serta yang terakhir adalah kristal semua dapat digunakan karena Satria selalu merawatnya dengan baik namun semenjak kenal Thika, Satria tak merawat sepeda koleksinya.
Acara dimulai semua saudara Sudah berkumpul.
Kemana perhinya Satria ini?"tanya ibu Aini yang tak lain adalah mertua Safira.
"Entahlah Bu, mas pamitnya keluar bersama mas Indra dan aku tidak tahu ke mana coba kamu hubungi nggak enak sama keluarga yang datang.
Safira mencoba menghubungi Satria namun tak diangkat, berkali- kali dihubungi tetapi tidak ada jawaban dikirim pesan w******p juga tak dibaca membuat Safira putus asa.
"Safira kemana perginya Satria?"
"Kami sudah menunggu dari tadi," ucap Indra.
"Aduh, maaf ya tapi Tante mas Satria nggak bisa dihubungi. Tadi katanya pergi sama mas Indra," jujur Shafira.
Tepat saat itu juga Indra datang bersama sang istri.
"Lo itu kan Indra?" katanya pergi sama Indra nah ini orangnya nongol," jawab Tante merasa dibohongi.
Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Indra masuk rumah disambut tatapan bingung semua saudara.
"Ada apa ini?"
Safira mendekat dan bertanya, "mas Satria izin keluar pamitnya bersamamu mas Indra.
Memangnya dia tidak keluar bersama kamu ya mas?"
"Tidak, kami tidak ada acara. Bukankah acara kita kumpul bersama disini? memangnya kemana Satria?"
Pertanyaan yang sama di hati Safira kemana suaminya pergi sampai acara keluarga sepenting ini pun ditinggalkan yang lebih berani lagi Satria tega berbohong pada Safira.
"Kamu kemana mas?"
"Kenapa buru buru? Tidak mau mampir dulu?" sapa Satria yang kini sudah berada di belakang Shafira."Mas Satria?"Shafira kaget bukan main mendengar suara bariton sang suami, segera mendekat dan menjelaskan situasi saat ini. "Mas, aku bisa jelaskan bagaima–""Tidak perlu kamu jelaskan, aku sudah mengerti. Sekarang kamu masuk dan tidurkan Maya," potong Satria sambil menatap Maya yang terlelap di gendongan ibunya."Baik."Shafira melipir ke dalam rumah tanpa berpamitan pada Zico. Dia sungguh takut terjadi hal yang tidak diinginkan karena salah paham. Tak langsung masuk kamar, melainkan mondar mandir di belakang pintu sambil sesekali mengintip Zico dan suaminya. "Sedang apa kamu?"Shahira terjengkang, reflek menoleh ke belakang. "I–ibu."Aini mendekat dan mengelus pelan tangan Maya, "aduh kasihan cucu nenek. Seharian diajak keluar, panas panas gini. Cepat tidurin Maya, badannya pasti sakit semua karena kamu gendong terus."Shafira mengangguk, merasa lega karena ibu mertuanya itu hanya fok
"Biar Mila, aku yang gendong," ucap seseorang."Kamu …. Zico?"Ya lelaki itu adalah Zico, sahabat Shafira Zico mendekati Shafira dengan langkah ragu. Dia memperhatikan wanita itu yang tengah menggendong bayi di satu tangan dan anak yang lebih tua berpegangan di tangan lainnya. Matanya yang sayu tidak bisa berpaling dari sosok yang dulu pernah dia impikan sebagai pendamping hidupnya."Shafira, kamu terlihat baik," kata Zico, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang menggurita di dadanya.Shafira menoleh, terkejut namun segera menyusun raut wajahnya menjadi senyum sopan. "Oh, iya Zico. Terima kasih sudah peduli. Kamu, apa kabar?" tanya Shafira, suaranya terdengar lelah namun tetap hangat."Aku baik.""Em, mengapa kamu ada di Jakarta? Bukannya kamu ….""Aku sedang berlibur.""Owh," ucap Shafira sambil mengangguk mengerti dan tersenyum manis.Di balik senyumnya, Zico merasakan pahit. Dia tahu, sebagian dari dirinya iri melihat Shafira yang tampak begitu kuat dan tegar, meski kehidupannya p
Aini berdiri tegak dengan tatapan tajam, memancarkan emosi tak terkendali. Ia menatap Shafira dengan pandangan yang menyiratkan kesal dan kecewa. "Shafira, bagaimana kau bisa begitu percaya pada Iva? Kau tahu betul dia hanya akan datang jika membutuhkan sesuatu dari keluarga kita. Sekarang lihatlah kondisi Maya, panas badannya sangat tinggi, dan kau masih saja tidak berangkat ke rumah sakit! Apa kau tidak sayang pada cucuku?"Shafira terdiam, tampak menahan tangis. Ia mencoba menjelaskan, "Tapi Bu... Iva bilang dia akan membantu..."Aini memotong perkataan Shafira dengan suara keras, "Cukup! Jangan sebut-sebut nama Iva lagi! Aku tidak ingin mendengarnya! Sekarang, kau segera bawa Maya ke rumah sakit. Aku tidak peduli bagaimana caranya, tapi pastikan dia segera mendapatkan perawatan yang layak."Shafira ingin sekali marah dan berontak. Bagaimana tidak, hanya itu selalu menyalahkan dirinya, tidak mau menyalakan anaknya, Satria. Mestinya seorang ibu akan menyuruh anaknya mengantar sang m
Iva menjawab panggilan dengan pelan, "Halo Mbak Safira, ada apa apa?""Va, kamu baik-baik saja kan?""Iya, aku baik."Ahmad mengambil alih ponsel Iva dan menekan tombol speaker."Syukurlah jika kamu baik-baik saja, Va. Aku takut jika Ahmad menghajarmu lagi."Ahmad melotot tajam pada Iva."Tidak kok, mbak. Dia sudah tidur."“Ya sudah kalau begitu. Oh ya Va, mengenai Mas Satria yang tak mau menemui kamu, aku benar-benar minta maaf ya, Va."Ahmad semakin geram, tangannya mengepal erat. Semua pertanyaan yang ditujukan pada Iva, terjawab sudah. Segera disahut ponsel, dimatikan panggilan dan dibanting keras ke kasur. Untung saja tidak ke lantai.Iva hanya bisa melihat semuanya dengan mata sembab, air mata sudah kembali menetes dari sudut matanya.Srekh.Bugh.Bugh.Ahmad kembali melakukan KDRT pada Iva dan parahnya Iva menerima dengan lapang.Baginya, sudah cukup dia berusaha keluar dari masalah dengan meminta bantuan pada orang lain. Pada kenyataannya dia akan kembali ke rumah kontrakan in
Iva terdiam mendengar ucapan Shafira, menimang nimang kembali keputusannya. "Aku yakin Mbak, Ahmad gak akan berani memukulku. Mbak Shafira tenang saja. Jika dia memukulku, aku akan melawannya."Shafira tersenyum dan berkata, "bagus itu, kamu harus berani menentang hal yang salah. Jangan biarkan Ahmad terus menindasmu." Dipeluk erat adik yang menjadi teman suka dan duka Shafira selama ini.Iva pergi dengan was was menuju rumah kontrakan. Disana Ahmad sudah menunggu. "Dari mana kamu?"Shafira terdiam sesaat, langkahnya dipercepat masuk kamar. Jika biasanya Iva akan bersalaman dan mencium punggung tangan Ahmad, kali ini tidak dilakukan. Ada rasa nyeri menyelubungi hatinya "Va, jawab pertanyaanku? Apa susahnya menjawabnya? Jangan membuat aku marah," ucap Ahmad sambil berlari mengejar Iva. Hampir saja pintu ditutup namun Ahmad sempat menggapai pinggiran pintu."Aku mau istirahat Mas.""Jawab dulu pertanyaanku." Melihat Iva terdiam, Ahmad tahu darimana istrinya itu pergi. "Kamu dari rumah
Shafira terduduk di kursi dengan malas sambil memegang secangkir teh hangat, pandangannya kosong menatap jendela rumah yang terbuka lebar. Dalam lamunan, ia teringat akan memori indah bersama almarhumah ibunya, membuat wingko babat dengan resep ibunya. Hasil eksekusi pertama waktu digigit seperti batu, alotnya minta ampun.Setelah diteliti lagi, ternyata adonan tidak diberi air sehingga tekstur menjadi keras seperti batu. Mungkin saat itu sang ibu sudah pikun padahal usianya enam puluh sembilan tahun. Mereka tertawa bersama mengingat Adonan yang kekurangan air seperti mereka yang kekurangan cairan, butuh Aqua.Shafira tersenyum kecil, mengenang saat-saat bahagia ketika sang ibu masih ada di sisinya.Namun, lamunan Shafira harus terhenti saat Mira, putri sulungnya, memanggil namanya, "Ma, mama" dan menggoyangkan tubuhnya pelan. "Ada apa, sayang?" tanya Shafira dengan suara lembut, berusaha menyembunyikan kesedihan yang tengah menghampirinya."Mama melamun, ya?" tanya Mira dengan polos