Share

Rutinitas Semula

Aku kembali pada rutinitas semula. Rasanya memang belum siap meninggalkan kantor ini dan semua kenangan di dalamnya. Terlepas bahwa kini Satya adalah atasanku yang baru, tapi di sini aku bak menemukan keluarga kedua. Banyak teman baik yang kujumpai karena bekerja di tempat ini.

Beberapa karyawan mulai berdatangan termasuk Mbak Gina. Ia segera serah terima beberapa file yang dikerjakannya kemarin.

"Ini daftar meeting Pak Satya bulan ini ya, udah diatur ulang sama managemen. Kamu cocokin lagi ya, Ta. Oiya, Pak Satya juga enggak masuk kemarin," ucap Mbak Gina.

"Emang kenapa, Mbak?" Tanganku masih sibuk menyusun draft yang dibawanya.

"Katanya sih sakit, tapi enggak tahu juga deh. Semoga aja hari ini dateng, boss besar kunjungan, Ta. Siap-siap, ya!" terangnya sambil lalu.

Aku menatap meja kosong di seberang sana, kembali memikirkan bagaimana keadaan Satya saat ini.

'Duh, eling, Ta! Lupakan Satya, kalian sudah berakhir sejak hari itu.' rutukku dalam hati.

Ponselku bergetar, ada panggilan masuk di sana. Menampilkan deretan nomor baru yang belum tersimpan di phone booknya.

"Halo, selamat pagi," sapaku.

Suara di ujung sana terdengar serak, tapi masih bisa kuterka siapa pemiliknya. Satya.

Ia mengatakan masih tak bisa datang ke kantor dan memintaku mengatur ulang jadwalnya dua minggu ini. 

"Aku masih dirawat, Ta. Minta tolong atur ulang, ya," pintanya.

Kemudian panggilan terputus sesaat setelah pria itu mengucapkan salam.

Beberapa pemberitahuan terdengar masuk lagi ke ponsel, ternyata ramai di grup kantor. Rata-rata berisi doa dan semangat agar kondisi Satya bisa segera pulih.

Apa keadaannya separah itu?

Waktu telah lewat dari jam makan siang, selepas mencuci muka aku kembali ke ruang kerja. Di seberang mejaku telah duduk seseorang yang beberapa jam lalu mengabarkan kondisinya. Apa aku tak salah lihat?

"Pak Satya?" panggilku.

Pria tinggi itu tersenyum sesaat setelah mengakhiri panggilan, lalu berjalan ke arahku.

"Siapin laporan bulanannya, kita meeting internal sekarang!" titahnya.

Aku membungkuk memberi hormat, " Baik, Pak, ta-tapi bukannya tadi bilangnya masih dirawat?" 

Ya. Rasanya ada yang janggal dengan orang ini. Belum ada sehari membuat grup WA ramai karena ia yang terbaring sakit. Sekarang tiba-tiba sudah muncul di kantor, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. 

"Iya, memang saya sengaja minta keluar rumah sakit lebih cepat, Ta." Satya menjawab sembari melangkah meninggalkanku yang masih terpaku.

"Tapi, rasanya enggak bisa terlalu lama di sana. Saya kangen sama kamu," ujarnya sebelum benar-benar menghilang di balik pintu.

Ah, rindu katanya. Sepertinya atasanku itu sengaja membuat wajahku menghangat.

Ia tampak memimpin rapat kali ini dengan bijaksana. Penjelasannya mudah dimengerti oleh semua orang, tak terkecuali aku. Jadi, sebagai sekretarisnya pun aku bisa dengan cepat membuat laporan.

"Baiklah semua, terima kasih untuk kerjasamanya. Rapat kali ini saya akhiri, ya. Saya juga minta maaf karena kemarin tidak hadir, ada sesuatu dan lain hal yang harus saya selesaikan." 

"Kalau ada hal yang perlu diperjelas, boleh langsung sampaikan pada Nashita. Biar nanti Tata yang meneruskan ke saya, terima kasih semuanya, boleh kembali bekerja," imbuhnya.

Tata. Satya masih memanggil dengan nama itu untukku. Membuatku kembali didera rasa takut. Bagaimana jika ada keluarganya yang mengenaliku. Bukan tidak mungkin salah satu dari mereka akan datang kemari, 'kan?

Tuhan ... aku harus bagaimana?

Sentuhan Mbak Gina membuyarkan lamunanku. "Ayo balik, Ta! Malah bengong."

"E-eh, iya, Mbak."

***

Kami sama sama diam dalam satu ruangan, sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sampai terdengar suara operator yang mengumumkan jam pulang kerja melalui pengeras suara.

Satu pesan tertera di layar smartphone. 

[Shita, nongki, yok! Aku sama Reva udah nunggu di parkiran.]

Pesan dari Mbak Gina hanya kubaca sekilas, lalu dengan cepat merapikan dokumen serta mematikan komputer.

Setelah semuanya selesai kuketik balasan pada perempuan ayu yang tengah menungguku.

[Otewe.]

Usai pesan terkirim kumasukkan ponsel ke dalam tas dan bergegas keluar ruangan.

"Saya pulang duluan ya, Pak," ucapku pada Satya. Ia masih serius memerhatikan layar monitor di depannya.

"Eh, iya. Kamu pulang sama siapa, Ta?" tanyanya.

"Bareng Mbak Gina dan Reva, Pak. Udah nunggu di depan, saya permisi." Kutinggalkan Satya setelah berucap demikian.

Tak lama kami--aku, Mbak Gina dan Reva--sampai di sebuah mall tak jauh dari kantor. Kami segera menghambur menuju deretan perlengkapan perempuan untuk berburu diskon, lalu setelah puas dengan pilihan masing-masing kami menuju restoran fast food.

"Ta, kamu mau enggak kucomblangin sama temen cowokku? Ganteng Ta, mapan lagi," ucap Reva antusias.

Ah, pembahasan ini lagi. Aku bosan mendengarnya, memang kalau sudah cukup umur harus selalu punya pasangan, begitukah? Heran. Yang berpasangan saja terkadang sampai membuang waktu hanya demi seseorang yang belum tentu berjodoh dengannya. 

"Jangan pura-pura enggak denger deh, Ta," ujar Mbak Gina. Mungkin wanita yang melepas masa lajangnya bulan lalu ini gemas melihatku yang tampak malas menanggapi ucapan Reva.

"Kenyang nih! Pulang yuk," ajakku seraya berdiri.

Usai membayar kami segera meninggalkan tempat itu. Sepersekian detik mata ini menangkap seseorang yang sangat kukenal. Satya, tengah berbicara dengan seorang perempuan. Aku tak tahu siapa karena posisinya yang membelakangi kami. Sesaat kemudian perempuan itu mengecup pipi Satya yang terlihat mematung menatap lurus ke arahku. Pemandangan itu sukses membuat langkahku terhenti.

Ada yang berdenyut di dalam sini, di rongga dadaku. Sepotong hati itu seperti tengah disayat. Oh Tuhan ....

Waktu ternyata mampu mengubah karakter seseorang dan kini aku membuktikannya. Aku memaksa kaki tetap berayun menuju pintu keluar mall ini. Tempat di mana Satya masih berdiri di sana.

"Cie Pak Satya. Enggak nyangka ternyata kulkas punya pacar," goda Reva.

"Iya nih, kenalin dong, Pak. Sexy banget pacarnya!" Itu suara Mbak Gina.

Pria di hadapan kami kelihatan salah tingkah, ia menggaruk kepalanya.

"Eh, kalian mau pulang? Mau saya antar?" tawarnya.

Reva mengatakan sudah dijemput pacarnya di parkiran, sedangkan Mbak Gina menatap ke arahku. 

"Saya sih bawa mobil Pak, paling Shita yang--"

Aku membekap mulut Mbak Gina, "Saya bareng sama dia Pak, soalnya rumah kami searah."

Kakak senior di kantorku itu mengggrutu karena merasa kesakitan, sementara Satya bingung memandangi kami. Tanpa menunggu responnya lagi, kugandeng tangan Mbak Gina menjauhi Satya.

Aku tak mungkin pulang diantar pria itu. Apa yang kulihat barusan adalah bukti, bahwa aku tak boleh lagi mempunyai harapan apa pun untuk hubungan kami. Lagi pula, cukuplah keluarga lelaki itu menyakitiku dulu, jangan sampai terulang kembali.

Mobil milik Mbak Gina menurunkanku di halte tak jauh dari mall, lalu kembali melaju setelah pemiliknya melambaikan tangan. Aku duduk sebentar di bangku, sendirian. Hari semakin malam. aku baru saja hendak memesan taksi online ketika sebuah mobil putih berhenti di hadapan.

"Naik, Ta." Pria yang memakai kacamata hitam itu menurunkan kaca mobilnya.

"Satya?"

Pria tinggi itu keluar tanpa kata, lalu menarik lembut tanganku untuk masuk ke mobilnya melalui pintu sebelah kiri. Anehnya, bak terhipnotis aku menurut padanya.

Mobil melesat pelan ke sebuah tempat yang familiar. Taman Inspirasi. Taman yang berhias lampu berwarna-warni, masih terlihat aktifitas di sana. Beberapa remaja masih saling melempar canda pada kawanannya masing-masing.

"Kamu kenapa selalu menghindar sih, Ta?" tanyanya.

Sungguh aku ingin sekali mengungkapkan semuanya pada lelaki ini. Namun, aku bingung harus memulainya dari mana. Mengatakan yang terjadi sama saja membuka lukaku sendiri.

"Berjanjilah satu hal, Sat. Aku akan ceritakan semuanya," ujarku.

Kutatap netra itu lekat sembari menguatkan hati agar bisa tegar berbicara. Sungguh, menggali ingatan tentang Richi--kakak Satya--adalah hal terberat saat ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status