Share

Racauan Kejujuran

"Ih, lepasin!"

Lelaki itu entah siapa mencoba menolongku yang hampir saja terjerembab. Pandanganku mulai mengabur dengan mulut yang tak berhenti mengucapkan sumpah serapah.

Aku meronta melepas pegangannya, tapi lelaki asing ini terus saja mengikutiku. Samar-samar kudengar ucapannya yang menyayangkan sikapku. Siapa ia sebenarnya.

"Hah, gue benci sama lo, Satya!" Aku kembali mengumpat.

Dengan sisa kesadaran yang kupunya aku kembali melangkah menuju batu besar di pinggir sungai.

"Kalau aja gue enggak ketemu sama lo! Gue pasti masih jadi anak baik kesayangan nyokap gue. Nyokap gue enggak akan meninggal!"

Kutenggak minuman memabukkan itu sekali lagi, tapi baru saja ujung botol menyentuh bibir ada yang menyentaknya hingga terjatuh. Sebagian isinya terlihat tumpah di tanah. Pria itu lagi!

"Apa mau lo, ha! Minuman gue jadi tumpah," cicitku.

Aku berjongkok hendak memungut kembali botol itu, tapi lagi-lagi lelaki yang tak kukenal ini menendangnya.

"Tata, sadar! Aku enggak tahu apa yang udah terjadi sampai kamu jadi kayak gini, tapi please, Ta. Please, jangan begini!" ucapnya seraya mengguncang bahu.

Lelaki ini sebenarnya siapa, kenapa memanggilku Tata?

"Lo siapa sih, jangan ganggu gue!"

Aku berusaha bangkit sementara kepala terasa semakin pusing. Lelaki tinggi ini masih terus di sampingku meski tubuhnya kudorong menjauh. Berkali-kali. Diam tanpa mengatakan apa pun, aku tahu ia terus mengawasi.

"Aku Satya, Ta."

Ucapannya sukses menghentikan gerakanku yang baru dua langkah, Satya ia bilang? Mana mungkin. Aku tahu Satya saat ini pasti sedang menekuni dokumen kerjanya.

"Hahaha." Aku tertawa sumbang, "Satya enggak bakal kemari, jangan ngaku-ngaku!"

Aku sangat mengenal Satya, ia tidak pernah ingin menyentuh perempuan. Selama kami dekat tidak ada ikatan apa pun meski mata Satya selalu memancarkan cinta yang begitu nyata padaku. Bahkan, sampai hari kemarin ketika aku histeris. Ia juga tak berbuat apa pun sekadar untuk membuatku tenang.

Atau jangan-jangan ....

"Jangan-jangan Satya yang menyuruhmu datang ke sini? Iya?" selidikku.

Aku masih setengah sadar sekarang. Bisa kulihat dalam keremangan bahwa lelaki itu mendesah putus asa.

"Aku Satya, Shita! Aku Satya!" teriaknya.

"Baiklah, kalau begitu akan kukatakan semua padamu!" Aku tak kalah berteriak, kuraup dengan kasar oksigen agar memenuhi paru-paru.

"Richie dan ayahmu telah menghancurkan masa depanku. Richie telah mengambil sesuatu yang begitu kujaga seumur hidup," lirihku.

Tanpa terasa air mata mengalir membasahi pipiku, getar kemarahan begitu kentara saat aku mengatakan hal ini padanya.

"Katakan pada Satya, pria bodoh itu ... aku sangat membencinya! Aku sangat membencinya! Keluarganya telah membuatku kehilangan mama! Kau dengar!"

Setelahnya aku memuntahkan seluruh isi perut, lalu pandanganku kembali mengabur. Aku tak ingat apa pun lagi.

*

Saat mata terbuka yang pertama kulihat adalah kamar dengan nuansa serba putih. Aku tengah terbaring di ranjang berukuran besar dengan empat tiang penyangga di masing-masing sudut, menopang kelambu panjang yang terpasang di sekelilingnya.

Kepalaku masih terasa sedikit pening, tapi tetap berusaha untuk berdiri. Tak ada siapa pun selain diriku di sini. Kamar ini memiliki jendela kaca berukiran besar yang langsung menghadap ke terasering di depan sana.

Aku berdecak kagum melihatnya. Tak lama terdengar pintu diketuk, kuseret langkah mendekatinya. Tampak seseorang di balik pintu yang membuatku membeku.

"Satya?"

Sepersekian detik mata kami bertemu, mencipta debaran halus di dalam kalbu.

"Kamu udah bangun, Ta. Aku boleh masuk," ucapnya sambil mengalihkan pandang.

"I-iya," jawabku gugup.

Satya bercerita bahwa ia-lah yang membawaku ke sini. Ia juga menyuruh staff  hotel untuk menggantikan pakaianku. Pantas saja aku telah berganti baju menggunakan piyama panjang.

Aku berterima kasih padanya karena telah menolong dan juga meminta bantuannya sekali lagi agar bisa mengantarku ke tempat wisata kemarin. Aditya pasti mencemaskan keadaanku. Ia pasti panik tidak menemukanku di mana-mana, ditambah ponselku yang tertinggal di mobilnya.

"Aku boleh bertanya sesuatu, Ta?"

Aku mengangguk tanpa berkata apa pun.

"Apa yang kamu ucapkan semalam itu ... benar?"

Aku menahan napas mendengar pertanyaannya, tapi tetap mengangguk dalam diam. Ia pasti merasa jijik denganku sekarang, setelah tahu bahwa aku tak sebaik yang dipikirkannya. Apalagi ia telah tahu rahasia besar yang telah terjadi, Satya pasti menganggapku perempuan sampah.

"Astaghfirullah ...."

Beberapa kali Satya mengucapkan kalimat suci itu. Ia terlihat meredam emosinya dengan memejamkan mata.

"Bagaimana bisa, Ta? Kenapa kamu enggak pernah cerita sama aku?" cecarnya.

Lihalah. Bagaimana ia dengan tega menyalahkanku begini? Apa yang ada di pikirannya sekarang.

"Aku enggak ngerti, Sat. aku enggak ngerti," isakku. Aku kembali menenggelamkan wajah di kedua tangan lalu menangis lagi.

Ya Tuhan ... sampai kapan hidupku seperti ini.

Katanya Tuhan tak akan menguji hambaNya di luar batas kemampuan, tapi mengapa Tuhan menjadikan hidupku begini. Aku kehilangan masa depan bahkan kehilangan mama, orang tuaku satu-satunya. Bukankah ini tidak adil? Bagai anak tiri Tuhan menata garis takdirku, terlalu terjal, terlalu sakit dan aku ... tak sanggup.

Kuangkat wajah ketika merasakan ada yang merengkuh tubuhku, wajah Satya telah basah dengan air mata. Rahang kokoh itu terlihat penuh kepasrahan sekarang.

"Kamu benar, Ta. Aku bodoh ... maafin aku," ucapnya di pucuk kepalaku.

Tergemab aku dibuatnya. Pasalnya, bersentuhan dengan lawan jenis adalah hal yang selama ini Satya hindari.

"Sat, lepas. Kamu enggak biasanya kayak gini."

Aku berusaha melepas pelukannya, tapi malah terasa semakin erat.

"Aku udah lebih dulu berdosa karena enggak tahu apa yang sudah terjadi sama kamu. Jadi ... biarin aku yang nanggung dosa karena memelukmu," lirihnya.

Satya ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status