Ku gigit bibirku, tak terasa, kedua pipi telah basah oleh air mata.
Kupejamkan mata, kembali mencoba mengingat tentang awal kedekatan ku dengan Zen.
Apakah aku begitu mencintainya? Sehingga sampai detik ini, tak sepatah katapun yang keluar dari mulutku untuk mencari kebenaran langsung darinya.
Drrttt... drrttt....
Getaran telepon genggam yang kuletakkan di atas nakas menyadarkanku dari lamunan. Sebuah pesan dari Aprillia.
Entah kenapa, membaca namanya saja sudah membuatku was-was.
Ada rasa ketakutan tersendiri tiap menerima pesan darinya.
Ketakutan akan adanya kejutan yang tak terduga darinya, seperti yang sudah dia kirim sebelumnya.
Akhirnya, ku baca pesan darinya, setelah beberapa kali menarik nafas.
Berharap, tak ada kejutan lagi disana.
"Mbak Miranti, maaf sebelumnya jika pesan saya ini mengganggu. Saya tau, Mbak pasti tidak atau mungkin belum percaya bahwa saya benar-benar istri sahnya Mas Zen."
Tulis Aprillia dalam pesannya. Satu menit kemudia, sebuah foto kembali masuk ke kotak pesanku.
Setelah berhasil diunduh, tampak sebuah foto surat nikah.
Dimana, dengan jelas di foto itu Zen dan Aprillia disana.
Dan difoto berikutnya, halaman lain dari surat nikah yang menampilkan tanggal dan nama kedua mempelai.
"Ini foto surat nikahku, Mbak. Kami menikah pada tanggal 2 November 2014, di KUA Pamulang. Dan dihadiri oleh keluarga besar saya juga keluarga besar Zen."
Tulis Aprillia dipesan yang lain, beserta sebuah foto.
Setelah membaca pesan itu, kakiku terasa lemas, seolah tak bertulang.
Sakit di dadaku kini bahkan menjalar ke perut.
Aku merasa mual, mual sekali.
Ingin segera aku muntahkan segala yang ada dalam perutku, untuk menghilangkan rasa mual dan sakit.
Namun, bukan isi perut yang aku keluarkan. Akan tetapi, buliran bening, hangat ... yang mengalir dari kedua mataku.
Aku menjerit, berharap rasa sakit yang ada didalam hatiku bisa keluar.
Namun ... semakin aku menangis, makin sesak kurasakan himpitan dalam hati dan dadaku.
Hingga getaran dan dering telepon yang masih berada dalam genggaman tanganku, berbunyi, menghentikan tangisku.
Dengan terisak, kubuka pesan yang baru saja aku terima.
"Aku tau selama ini, Zen selalu memanjakanmu. Membeli banyak barang untukmu. Asal kamu tau, selama Zen berhubungan denganmu, dia melupakan kewajibannya sebagai suami. Zen tidak lagi menafkahiku, lahir maupun batin."
"Aku tau semua pesan yang kamu ataupun Zen kirim. Sebelum akhirnya dia memberi kata sandi di gawainya. Sungguh menyakitkan, mengetahui suaminya bermesraan dengan wanita lain, sementara sang istri tergolek sakit di sampingnya."
Tak kuasa aku membaca pesan dari istri Mas Zen.
Walau hanya tulisan dalam sebuah pesan, namun mampu membuatku merasa begitu kesakitan.
Rasa sakit melebihi tertusuk duri ataupun teriris pisau.
Sakit, dan begitu menyakitkan.
Luka yang tak berdarah.
"Maafkan aku, Mbak. Aku sungguh tidak tau bahwa selama ini Zen masih mempunyai istri sah. Karena yang aku tau, dia seorang duda."
Ku balas pesan dari Aprillia dengan permintaan maaf.
Permintaan maaf yang tulus. Karena, aku memang tidak tau akan kebenaran itu.
Andai saja aku tau, aku takkan mau menjadi orang ketiga dalam sebuah pernikahan.
"Duda? Duda yang sudah menikah lagi, tidak lagi berstatus duda. Tapi suami. Taukah kamu, semenjak Zen berhubungan denganmu, dia jarang pulang ke kontrakan."
Balasan pesan dari Aprillia yang aku terima.
"Sungguh, aku tidak tau akan hal itu, Mbak. Ssekali lagi, aku minta maaf. Dan beri aku waktu untuk menyelesaikan masalah ini dengan Zen. Aku mohon."
Balasku menutup percakapan dengan Aprillia.
Ya ... aku memohon kepada Aprillia, istri dari Mas Zen untuk memberiku waktu dalam menyelesaikan masalah ini.
Walau bagaimanapun, aku tetap berada dipihak yang salah, karena telah menjadi orang ketiga.
Walau posisi itu sekalipun tak pernah aku inginkan.
*****
-Aprillia Rahayu-
Baru saja aku putuskan untuk mengakhiri percakapanku dengan Aprillia, kembali sebuah pesan masuk kedalam teleponku.
"Mbak Miranti, sebagai sesama wanita, apakah kamu sanggup melihat penderitaan wanita lain dan berbahagia diatas penderitaannya dengan mengambil suaminya?"
Kututup teleponku setelah membaca pesan darinya.
Baru saja hendak kuletakkan HP, sebuah panggilan masuk.
Terpampang nama Zen disana.
Tanpa menunggu lama, ku jawab panggilan teleponnya.
Aku ingin semua ini berakhir secepatnya, walau akhirnya, aku harus menanggung semua luka dan duka.
"Halo, Bunda ... kemana saja sih selama ini? Kamu baik-baik saja kan, kenapa tidak pernah membalas pesan atau menjawab telepon dari Ayah?"
Suara Zen dari ujung telepon mencecarku dengan berbagai pertanyaan.
"A--aku baik-baik saja, Mas," jawabku gugup.
Entah kenapa, aku selalu merasa gugup dan hilang keberanian setiap kali berhadapan dengannya.
"Lalu, apakah ada yang mengganggu pikiranmu? Karena Ayah perhatikan Bunda sedikit aneh akhir-akhir ini."
Ah ... dia tetap saja menggunakan panggilan Ayah Bunda kepadaku.
Padahal, aku tak ingin mendengar atau menggunakan panggilan itu lagi.
"Mas, bisa kita bertemu? Aku ingin berbicara sesuatu hal denganmu."
Akhirnya, kuputuskan untuk bertemu dengannya.
Sebenarnya, bisa saja aku putuskan untuk mengatakan melalui telepon.
Namun, hal itu tidak aku lakukan. Karena, aku ingin menyaksikan bagaimana ekspresi dan reaksinya secara langsung saar kuungkapkan tentang Aprillia nanti.
*****
-POV Aprillia Rahayu-
Namaku Aprillia Rahayu.
Awal aku mengenal Zainal Arifin, yang aku panggil dengan Mas Zen ketika aku bekerja sebagai Beauty Consultant salah satu produk kosmetik.
Karena seringnya bertemu, tumbuh rasa ketertarikan diantara kami. Hingga tumbuh benih-benih cinta, hingga akhirnya berlanjut ke jenjang pernikahan.
Walau aku tau saat itu status Mas Zen seorang duda beranak satu.
Namun, hal tersebut tidak menjadi penghalang bagiku untuk membina rumah tangga bersamanya.
Dan kami pun menikah pada tanggal 2 November 2014.
Di awal pernikahan, perlakuan Mas Zen padaku begitu manis. Dia selalu memanjakan aku, dan melarang aku untuk bekerja.
Karena saat itu, kami memutuskan untuk mengikuti program hamil. Karena aku sendiri juga menginginkan seorang anak, maka aku mengiyakan dan menuruti keinginannya untuk berhenti bekerja dan fokus sebagai istri yang mengurusi semua kepeluannya.
Namun, saat usia pernikahan kami memasuki tahun kedua, perlahan, perlakukan Mas Zen padaku berubah.
Hingga suatu hari, aku membaca statusnya di media sosial yang membuatku terperangah saat itu.
Dalam unggahan statusnya, Mas Zen menulis bahwa dirinya siap menjadi imam untuk bidadari surganya.
Jika dia siap menjadi seorang Imam, lalu, aku ini apa?
Tidakkah selama ini aku sudah menjadi makmumnya?
Lalu, siapa bidadari surga yang dia maksud?
Akhir tahun 2015, sikap Mas Zen semakin dingin kepadaku.
Bahkan, tak jarang pula Ia mengurangi jatah belanja bulanan yang rutin diberikan tiap bulan padaku.
Hingga suatu malam, saat aku terjaga dari tidur, kudapati suamiku duduk dipojokan tempat tidur sambil matanya fokus menatap layar telepon genggamnya.
Jelas kulihat, senyum mengembang dari bibirnya.
"Apakah gerangan yang membuat suamiku begitu bahagia, hingga dia tersenyum sendiri ditengah malam?" pikirku saat itu.
Seiring berjalannya waktu, sikap Mas Zen semakin dingin terhadapku.
Tak ada lagi keharmonisan di dalam rumah kami.
Bahkan, seringkali Mas Zen pulang larut malam dengan alasan lembur.
Namun aku tetap mencoba bersabar dan selalu berprasangka baik padanya. Bukankah Ia adalah suamiku?
Drrr...drttt...
Sebuah pesan masuk di telepon Mas Zen. Kulihat, Mas Zen sedang mandi.
Dan aku putuskan untuk membuka pesan yang baru saja masuk.
Bunda.
Disitu, tertulis nama pengirimnya.
"Ayah ... sudah sampai rumah?" tanya nya dalam pesan.
Membaca pesan tersebut, hatiku begitu sakit, walau aku tidak tau siapa si Bunda tersebut.
Namun, sebagai seorang istri, yang mendapati pesan dalam telepon suaminya dengan sebutan yang tak lazim untuk seorang wanita selain istrinya, adalah sebuah tamparan. Tidak nyata, namun begitu menyakitkan.
Ku lanjutkan membaca pesan yang ada disana. Begitu banyak sekali percakapan yang mereka lakukan.
Hingga kuputuskan untuk menyalin nomer si Bunda.
Dan aku pun mengetahui, bahwa wanita yang oleh suamiku dipanggil Bunda tersebut ternyata bernama Miranti Wardani.
Dengan tangan gemetar, kusalin nomer Bunda dan aku simpan dalam telepon genggamku.
Saat aku hendak mengembalikan telepon suamiku, tiba-tiba benda tersebut telah direbut paksa oleh Mas Zen.
Yang tanpa aku tau sudah berdiri dihadapanku, dengan hanya berbalut handuk di bagian tubuh bawahnya.
"Apa yang kamu lakukan, jangan lancang membuka teleponku!" bentaknya saat itu sambil merebut telepon yang aku pegang.
"Mulai sekarang, jangan pernah lagi membuka teleponku."
Kemudian dia berlalu meninggalkanku.
Keesokan harinya, aku mencoba mencari tau tentang sosok bermana Miranti Wardani.
Kubuka satu persatu akun media sosial milik Mas Zen.
Namun ternyata, tak kutemukan akunnya.
Apakah aku diblokirnya?
Tidak kurang akal, aku coba mencari akun dengan nama Miranti Wardani. Tak butuh waktu lama, aku menemukan akun yang aku cari. Sepintas, tidak ada yang mencolok ataupun mencurigakan dari akun tersebut.
Seorang gadis dengan lesung pipi dan berwajah oriental, kulit putih dan tinggi semampai seperti seorang model.
Aku berdecak kagum memandangi foto gadis itu.
"Sungguh sempurna, tapi kenapa harus menjadi orang ketiga?" gumamku.
Aku lihat semua postingan dan foto yang dia unggah. Dan hampir semua ada komen atau respon hati dari sebuah akun dengan nama Shiva.
Karena penasaran, kucoba membuka profil akun tersebut.
Dan lagi-lagi, aku mendapatkan sebuah kejutan dari penelusuranku.
Ternyata, akun tersebut adalah akun lain Mas Zen, suamiku.
Aku merasa benar-benar bodoh.
Karena ternyata, suamiku selama ini telah bermain hati dengan wanita lain.
Kusimpan bukti pengiriman itu, lalu kukembalikan kemeja Mas Zen ketempat semula.Jika semua pertanyaanku tidak mendapatkan jawaban dari Mas Zen, maka, aku akan mencari jawaban dengan caraku sendiri.Ku buka telepon genggamku, dan mulai berselancar di akun salah satu media sosialku.Ku cari akun dengan nama Shiva, yang sebelumnya sudah aku simpan.Lalu, mataku tertuju pada sebuah unggahan foto di dalam gedung bioskop.Tampak disana, foto seorang laki-laki yang sangat aku kenal, sedang makan popcorn.Sementara di sebelahnya, duduk seorang gadis cantik yang aku ketahui bermana Miranti.Sakit, benar-benar sakit sekali hatiku melihat kemesraan mereka.Aku yang sudah menjadi istrinya saja, belum pernah sekalipun di ajak nonton film, sementara dia....Kecemburuan dan rasa sakit hatiku saat melihat kemesraan yang mereka pamerkan sungguh membunuh akal sehatku.Dengan rasa rem
Sepanjang perjalanan pulang, air mataku tak henti mengalir.Tak lagi kuhiraukan pandangan orang-orang yang menatapku penuh tanya tatkala berpapasan denganku.Hatiku remuk redam, namun di sudut hati yang lain, ada rasa lega disana.Himpitan dan tekanan yang selama ini mendera, perlahan menghilang, seiring cucuran air mata yang menganak sungai.Sesampai di kamar kos, kulihat Ningrum, sahabatku disana.Aku menghambur kearahnya, tergugu dalam pelukannya."Ranti ... kamu baik-baik saja, kan?" tanyanya setelah tangisku reda.Dia menautkan kedua alisnya, menatap diriku yang mungkin tampak begitu acak-acakan di matanya."Ningrum ... aku sudah putus dengan Zen."Kembali aku menangis setelah menjawab pertanyaan Ningrum.Lalu, ku buka telepon genggamku dan memberikan padanya.Tampak, Ningrum begitu terkejut setelah dia membaca perc
POV Zen*****Hampir satu minggu aku tidak bisa menghubungi Miranti.Gadis yang kukenal dua tahun terakhir, melalui sebuah chat grup.Seorang gadis dewasa, dan sangat matang.Dengan postur tubuh semampai dan wajah oriental yang sangat cantik.Ditambah lesung pipi, yang membuatku semakin tergila-gila padanya.Butuh perjuangan yang panjang untuk mendapatkan perhatiannya.
Setelah kurasa semua bukti lengkap, kutekan nomer telepon kakakku.Setelah beberapa saat tak ada respon, kuputuskan untuk mengirimkan pesan.Namun, belum lagi ku ketik pesan yang hendak aku kirim.Sebuah pesan dari kakakku masuk."Ranti ... pulanglah. Mama sakit."Tulis kakakku dalam pesannya.Sakit apa Mama? Kemarin aku baru saja ngobrol dengannya, dan beliau sehat-sehat saja, batinku.Kupacu mobil dengan kecepatan sedang, membelah jalanan panas kota Bandung.Walau pikiranku dipenuhi dengan kekhawatiran, namun aku berusaha tenang.Kutepis semua pikiran buruk tentang sakit yang di derita Mama.Mama memang mempunyai penyakit gula. Dan setahun terakhir ini, sudah tidak pernah kambuh lagi.Mengingat hal itu, dadaku terasa sakit.Setelah hampir satu jam, mobilku memasuki halaman rumah yang gerbangnya te
Andika menatapku penuh iba.Sementara aku, seperti orang linglung yang kehilangan akal.Yang bisa aku lakukan hanyalah bengong, sambil berkali-kali menarik nafas panjang.Seorang pelayan datang membawa pesanan makanan kami.Namun, selera makanku menjadi hilang.Andika yang semula duduk di depan kini berada di sebelahku, sambil menyodorkan secangkir mocha hangat.Ku genggam cangkir dengan kedua tanganku, merasakan hangatnya menyentuh jari jemariku."Aku akan berada di sampingmu, Ranti. Kita hadapi ini bersama-sama."Kini, selain hangat secangkir mocha, ada kehangatan lain yang kurasakan.Ketika Andika menggenggam tanganku."Terima makasih, Dika. Tapi, aku tak mau melibatkan orang lain dalam masalah ini. Apalagi ini ....""Ssssstttt ...."Kalimatku terhenti, saat Andika meletakkan dua jarinya di bibirku.
Setelah mempertimbangkan masukan dari Andika untuk melaporkan Zen, dengan UU IT, karena tindakannya tersebut berhubungan dengan perbuatan tidak menyenangkan.Dan sudah bisa dipidanakan, karena sudah ada ancaman di dalamnya.Ancaman menyebarkan foto tanpa ijin.Kuhubungi Mas Yoga, dan mengatakan akan datang ke tempat kosku sepulang kerja.Sementara Mas Bayu tidak bisa datang, karena kebetulan sangat sibuk dengan pekerjaan di kantornya.Namun Mas Bayu memberi dukungan penuh dengan keputusan yang aku buat.Aku berharap, setelah ini, tak akan lagi ada permasalahan.Sebuah panggilan masuk ke dalam ponselku.Kucari-cari benda berbunyi nyaring tersebut, hingga kudapati ia ada di dalam laci.Buru-buru kutekan tombol warna hijau untuk menerimanya.Mungkin sebuah kabar penting, karena pagi-pagi sekali sudah meneleponku.Saat sambungan telepon
-Pekerjaan akan cepat selesai, jika dikerjakan bersama-sama-Sambil menunggu pesanan kami datang, kami mencoba membahas hal-hal yang ringan.Walau awal percakapan terasa kaku, namun lambat laun kami menjadi akrab dan percakapan diantara kami makin cair."Mbak April, aku benar-benar minta maaf dengan apa yang pernah terjadi antara aku dan Zen," ucapku meraih tangan April."Aku sungguh-sungguh tidak tau kalau saat itu dia masih berstatus suami Mbak. Karena yang aku tau, dia adalah duda dengan satu anak. Mbak ... mau, kan, memaafkan aku?"Kulihat April nenunduk, sambil menggenggam tanganku.Aku tau, bukan hal yang mudah untuk memaafkan seseorang yang telah menyebabkan rumah tangganya di ujung kehancuran. Bahkan sampai kehilangan anak yang ada dalam kandungannya.Dihelanya nafas dalam-dalam sebelum akhirnya April berkata."Aku sudah
-POV Aprill-****Hari ini, ketika aku sibuk menyiapkan persiapan ulang tahun untuk Ibuku, sebuah panggilan masuk ke telepon genggamku.Kulihat tertulis nama Miranti di layar.Aku sengaja tidak segera mengangkatnya, karena aku selalu beranggapan bahwa, jika memang ada hal penting yang ingin dibicarakan, maka seseorang akan kembali menghubungi jika panggilan pertama tidak di jawab.Setelah dua panggilan tidak aku jawab, aku berpikir dia tak akan menelepon lagi.Ternyata aku salah.Maka, pada panggilan ke tiga, aku buru-buru menjawab panggilannya.Dari seberang, kudengar suara seorang wanita, yang aku yakini adalah suara Miranti.Suaranya terdengar sedikit gemetar.Walau kami sering berkomunikasi, tapi kami hanya berkomunikasi lewat pesan.Dan ini adalah kali pertama kami ngobrol melalui sambungan telepon.Ada rasa canggung saat kami memul