Sudah 3 hari aku mengurung diri dalam kamar.
Keluar hanya ketika ingin ke kamar mandi.
Selama itu pula aku menutup akses komunikasu dengan Zen. Untuk saat ini, jujur, aku belum siap untuk bertemu dengannya. Atau sekedar berbicara lewat telepon.
Hanya Ningrum yang selalu setia menemani, membawakan makanan, juga mendengarkan semua keluh kesahku.
"Miranti, jangan biarkan dirimu larut dalam kebodohan. Bangkit, carilah kebenaran dan lawan."
Sebuah pesan dari Ningrum beberapa saat setelah dia berangkat kerja tadi pagi.
Ku buka aplikasi berwarna biru di telepon pintarku.
Mencoba mencari titik terang tentang semua yang terjadi padaku.
Wanita itu mengaku banyak tau tentang diriku, dan aku ingin memastikan tentang hal itu.
Ku buka tiap status dan foto yang pernah aku posting disana, berharap bisa menemukan sesuatu.
2 Januari 2017
"Bimbinglah aku menjadi bidadari surgamu"
Status yang pernah kutulis waktu itu, sesaat setelah Zen menyatakan siap berkomitmen denganku.
Hanya ada beberapa teman yang memberikan jempol disana.
Karena, memang aku tidak mempunyai banyak teman di media sosial. Dan yang berteman adalah, mereka yang benar-benar kenal di dunia nyata. Seperti teman-temanku semasa sekolah dulu.
Tapi, tunggu...
Ada satu akun yang hampir selalu ada di tiap status yang ku posting ataupun foto yang aku unggah.
Aprillia Rahayu.
Nama akun wanita yang mengirimiku pesan, dan mengaku sebagai istri dari Mas Zen.
Jadi selama ini, dia selalu mengikuti aku dan memantau semua kegiatan yang aku posting di akunku ini?
Oh ... kemana saja aku selama ini?
Kembali kulanjutkan membuka akunku, tapi kali ini aku mencoba membuka profil Aprillia.
Kulihat postingan-postingannya dari dua tahun kebelakang.
Aprillia Rahayu
2 Januari 2017
"Ketika aku berjuang mempertahankan mu, justru dirimu memperjuangkan hati yang lain."
Degh...
Jantungku berdebar-debar ketika membaca postingannya.
Postingan di hari dan tanggal yang sama dimana aku mengungkapkan rasa bahagiaku tatkala Zen ingin meminangku.
Aprillia Rahayu
10 Februari 2017
"Harapan bersamamu seolah pupus, saat kulihat foto mesramu."
Lagi, Ia membuat tulisan bersama sebuah unggahan foto rantai sepeda yang putus.
Rantai sepeda yang putus...?
Aku sepertinya pernah melihat foto itu.
Segera ku buka aplikasi pesan, dengan tangan gemetar, kucoba mencari sebuah pesan yang pernah dikirim padaku beberapa waktu yang lalu.
Yah ... aku ingat.
Beberapa waktu yang lalu, pernah kuterima sebuah pesan dari nomer tanpa nama, dalam pesan tersebut hanya berisi sebuah gambar sepeda dengan rantai yang putus.
Ternyata memang Dia yang mengirim pesan itu.
Sebuah gambar sepeda yang rantainya putus, dengan tulisan yang sama persis dengan status yang di posting di akun media sosialnya.
Kupandangi layar gawaiku dengan tatapan nanar.
Sungguh, aku tak tau apa yang harus aku lakukan saat ini.
Dengan sisa tenaga dan keberanian, kuketik sebuah pesan.
"Selamat siang, Mbak Aprillia, bisa kita bicara sebentar?"
Kupejamkan mataku, sebelum akhirnya kutekan tombol kirim.
Untuk beberapa saat, segala sesuatu terasa begitu lambat.
Jarum jam seolah berhenti berputar, bahkan, aku bisa mendengar tiap hembusan nafas dan detak jantungku.
Detik-detik dimana aku menunggu sebuah jawaban dari sebuah pesan yang baru saja aku kirimkan.
Drtt...
Kuraih ponselku, dan segera kubuka pesan yang masuk.
"Maaf jika pesan saya sebelumnya mengganggu Mbak. Tapi, sungguh, saya tidak bermaksud buruk padamu. Jadi, apa yang membuat Mbak Miranti membalas pesan saya?"
Dengan perasaan campur aduk, kubaca pesan itu.
Tapi, kenapa sekarang justru aku merasa bingung dan takut.
Ingin kutanyakan banyak hal padanya, namun jariku terasa kaku.
Ada sesuatu disudut hatiku yang tidak menginginkan sebuah jawaban, namun di sisi lain, aku ingin sekali menemukan jawaban atas segala pertanyaan dan keraguan dalam hatiku.
Setelah beberapa saat, kembali kuputuskan mengetik sesuatu di layar ponselku.
"Benarkah Mbak Aprillia istri dari Mas Zen?"
Pesan balasan sudah ku kirim.
Namun, sudah lebih dari 10 menit belum ada balasan darinya.
Apakah dia berbohong?
Kembali, kegamangan melanda hatiku.
Menunggu pesan balasan membuat aku benar-benar seperti pesakitan yang menunggu vonis hakim ketua.
Drttt... drttt....
"Iya, benar. Istri kedua tepatnya.
Mataku kembali berkunang-kunang. Kepalaku begitu berat, bagai dihantam palu godam yang begitu besar setelah membaca pesan itu.
*****
-Jika cinta sesakit ini, aku akan memilih untuk tidak mengenal apa itu cinta-
Pertengahan tahun 2016.
Pagi itu, sebuah pesan kuterima.
Dari Mas Zen.
Dia mengatakan ingin berkunjung ketempat kos ku.
Tentu saja aku tidak keberatan, toh selama ini kami hanya berkomunikasi melalui media sosial. Aku tidak bisa bilang bahwa kami menjalin hubungan jarak jauh. Karena saat itu, diantara kami belum ada pernyataan secara resmi sebagai pasangan kekasih, hanya sebatas teman.
Aku berpikir, bahwa pertemuan kami adalah langkah awal untuk mengenal satu sama lain lebih dalam.
Sekitar pukul 11 siang, seorang pria berkulit sawo matang, dengan postur tinggi dan berbadan tegap, serta wajah yang begitu menawab, berdiri di depan kamar kos.
Mataku menatapnya dengan rasa tak percaya, bahwa pria yang selama ini begitu inten berkomunikasi denganku di media sosial, saat ini berdiri tepat dihadapanku.
Dari sudut mataku, Ningrum, yang saat itu berdiri disebelahku pun, menunjukkan ekspresi yang sama dengan ku.
Tapi ... bukan sosok Zen yang membuat mata kami terbeliak.
Namun, sosok bocah laki-laki yang datang bersamanya saat itu.
Ketika kami mendengar bocah lelaki itu memanggil Zen, dengan sebutan Ayah.
"Ayah ... Rayhan kebelet pipis," ucap nya sambil memegan bagian bawahnya.
Mendengar hal tersebut, Aku memandang Ningrum dengan segudang pertanyaan. Namun sepertinya, Ningrum pun memiliki pertanyaan yang sama denganku.
Hal itu terlihat dari tatapan matanya saat dia mengangkat bahunya, tanda tak mengerti.
"Sini, Kakak antar ke toilet," jawabku sambil menggandeng tangan mungilnya kebelakang.
Kulihat, ada guratan kekhawatiran di wajah Zen.
Ningrum mengajak Rayhan keluar untuk membeli es krim.
Sungguh seorang teman yang begitu pengertian. Tanpa aku minta, dia memberi ruang untuk Zen dan aku berbincang.
"Kamu pasti bertanya-tanya tentang Reyhan, kan?" ucap Zen membuka percakapan.
"Jujur, iya. Apalagi ketika dia memanggil mu dengan sebutan Ayah," jawabku.
"Karena Rayhan adalah anakku."
Sejenak, lidahku terasa kelu. Aku tak tau harus berbicara apa.
Karena, Zen belum pernah sekalipun mengatakan padaku tentang statusnya. Apalagi fakta bahwa dirinya sudah mempunyai anak.
"Rayhan adalah anakku. Saat ini, dia tinggal bersama neneknya di kampung."
"Kamu sudah me-nikah?"
"Aku pernah menikah. Dan saat ini aku berstatus duda."
Zen berkata sambil menatap lekat kedua mataku.
Sebuah tatapan penuh permohonan.
Kehela nafas dalam, berusaha menenangkan segala kesemrawutan yang ada dalam pikiran.
Kuremas ujung bajuku, tanpa terasa air bening mengalir dari kedua mataku.
Buru-buru kuseka dengan punggung tanganku.
Perlahan, Zen mendekat kearahku.
Meraih kedua tanganku, menariknya dan meletakkan di dadanya.
"Kamu pasti kecewa, tapi ... tak bisakah kamu memberi ku kesempatan, bahwa aku layak menjadi yang terbaik buatmu?" ucapnya lirih.
"Rayhan saat ini berumur lima tahun, dia butuh sosok orang tua yang bisa melindunginya. Dan aku menemukan sosok seorang Ibu, ada pada dirimu."
Lembut, dia berkata padaku.
Semua ini begitu tiba-tiba bagiku.
Tak pernah sekali pun dalam hidupku, bahwa aku akan menjadi seorang ibu sambung, seorang ibu tiri.
"Lalu, dimana istrimu sekarang?" tanyaku penuh selidik.
"Di Ponorogo, dia sudah menikah."
"Oh ... begitu ya," jawabku. Ada sedikit rasa lega mendengar jawabannya saat itu.
Kalau memang istrinya sudah menikah lagi, berarti dia sudah punya kehidupan sendiri. Kehidupan yang baru.
"Jadi, maukah kamu memberiku kesempatan untuk menjadi yang terbaik buatmu? Aku berjanji, walau kamu bukan yang pertama, tapi akan menjadikan mu yang terakhir," ucapas Zen sambil membawa tubuhku dalam pelukannya.
Tak sanggup aku untuk menolak pelukan Zen, bahkan saat dia mendekatkan wajahnya ke wajahku.
Begitu dekat hingga tak bersekat.
Yang kurasakan berikutnya adalah rasa hangat, bukan hangat, tapi panas yang menjalar keseluruh tubuhku tatkala bibirnya mengecup bibirku.
Rasa ragu, kesal dan kecewa yang beberapa saat lalu mengombang ambingkan perasaan, kini lenyap entah kemana.
Tok tok tok....
Sebuah ketukan dipintu membuyarkan angan yang sesaat yang lalu sempat melayang.
Dari balik pintu, Ningrum muncul dengan beberapa kantong kresek ditangannya.
Sementara di sebelahnya, bocah lelaki itu, Rayhan, dengan mata bening nya menatap ke arahku.
"Ini buat Bunda."
Rahyan menyodorkan permen lolipop kearahku.
Wajah polosnya begitu menggemaskan.
"Buat Bun--da?"
Tergagap ku ulang perkataan Rayhan.
"Iya, buat Bunda. Kata Ayah, Tante Miranti sebentar lagi akan jadi Bundanya Rayhan."
Ku ulurkan tanganku untuk menerima lolipop dari tangannya.
Ah ... Bunda?
Aku akan jadi seorang Ibu?
****
Setelah baca, jangan lupa tinggalkan komen dan reviewnya ya 😊
Ku gigit bibirku, tak terasa, kedua pipi telah basah oleh air mata.Kupejamkan mata, kembali mencoba mengingat tentang awal kedekatan ku dengan Zen.Apakah aku begitu mencintainya? Sehingga sampai detik ini, tak sepatah katapun yang keluar dari mulutku untuk mencari kebenaran langsung darinya.Drrttt... drrttt....Getaran telepon genggam yang kuletakkan di atas nakas menyadarkanku dari lamunan. Sebuah pesan dari Aprillia.Entah kenapa, membaca namanya saja sudah membuatku was-was.Ada rasa ketakutan tersendiri tiap menerima pesan darinya.Ketakutan akan adanya kejutan yang tak terduga darinya, seperti yang sudah dia kirim sebelumnya.Akhirnya, ku baca pesan darinya, setelah beberapa kali menarik nafas.Berharap, tak ada kejutan lagi disana."Mbak Miranti, maaf sebelumnya jika pesan saya ini mengganggu. Saya tau, Mbak pasti tidak atau mungkin b
Kusimpan bukti pengiriman itu, lalu kukembalikan kemeja Mas Zen ketempat semula.Jika semua pertanyaanku tidak mendapatkan jawaban dari Mas Zen, maka, aku akan mencari jawaban dengan caraku sendiri.Ku buka telepon genggamku, dan mulai berselancar di akun salah satu media sosialku.Ku cari akun dengan nama Shiva, yang sebelumnya sudah aku simpan.Lalu, mataku tertuju pada sebuah unggahan foto di dalam gedung bioskop.Tampak disana, foto seorang laki-laki yang sangat aku kenal, sedang makan popcorn.Sementara di sebelahnya, duduk seorang gadis cantik yang aku ketahui bermana Miranti.Sakit, benar-benar sakit sekali hatiku melihat kemesraan mereka.Aku yang sudah menjadi istrinya saja, belum pernah sekalipun di ajak nonton film, sementara dia....Kecemburuan dan rasa sakit hatiku saat melihat kemesraan yang mereka pamerkan sungguh membunuh akal sehatku.Dengan rasa rem
Sepanjang perjalanan pulang, air mataku tak henti mengalir.Tak lagi kuhiraukan pandangan orang-orang yang menatapku penuh tanya tatkala berpapasan denganku.Hatiku remuk redam, namun di sudut hati yang lain, ada rasa lega disana.Himpitan dan tekanan yang selama ini mendera, perlahan menghilang, seiring cucuran air mata yang menganak sungai.Sesampai di kamar kos, kulihat Ningrum, sahabatku disana.Aku menghambur kearahnya, tergugu dalam pelukannya."Ranti ... kamu baik-baik saja, kan?" tanyanya setelah tangisku reda.Dia menautkan kedua alisnya, menatap diriku yang mungkin tampak begitu acak-acakan di matanya."Ningrum ... aku sudah putus dengan Zen."Kembali aku menangis setelah menjawab pertanyaan Ningrum.Lalu, ku buka telepon genggamku dan memberikan padanya.Tampak, Ningrum begitu terkejut setelah dia membaca perc
POV Zen*****Hampir satu minggu aku tidak bisa menghubungi Miranti.Gadis yang kukenal dua tahun terakhir, melalui sebuah chat grup.Seorang gadis dewasa, dan sangat matang.Dengan postur tubuh semampai dan wajah oriental yang sangat cantik.Ditambah lesung pipi, yang membuatku semakin tergila-gila padanya.Butuh perjuangan yang panjang untuk mendapatkan perhatiannya.
Setelah kurasa semua bukti lengkap, kutekan nomer telepon kakakku.Setelah beberapa saat tak ada respon, kuputuskan untuk mengirimkan pesan.Namun, belum lagi ku ketik pesan yang hendak aku kirim.Sebuah pesan dari kakakku masuk."Ranti ... pulanglah. Mama sakit."Tulis kakakku dalam pesannya.Sakit apa Mama? Kemarin aku baru saja ngobrol dengannya, dan beliau sehat-sehat saja, batinku.Kupacu mobil dengan kecepatan sedang, membelah jalanan panas kota Bandung.Walau pikiranku dipenuhi dengan kekhawatiran, namun aku berusaha tenang.Kutepis semua pikiran buruk tentang sakit yang di derita Mama.Mama memang mempunyai penyakit gula. Dan setahun terakhir ini, sudah tidak pernah kambuh lagi.Mengingat hal itu, dadaku terasa sakit.Setelah hampir satu jam, mobilku memasuki halaman rumah yang gerbangnya te
Andika menatapku penuh iba.Sementara aku, seperti orang linglung yang kehilangan akal.Yang bisa aku lakukan hanyalah bengong, sambil berkali-kali menarik nafas panjang.Seorang pelayan datang membawa pesanan makanan kami.Namun, selera makanku menjadi hilang.Andika yang semula duduk di depan kini berada di sebelahku, sambil menyodorkan secangkir mocha hangat.Ku genggam cangkir dengan kedua tanganku, merasakan hangatnya menyentuh jari jemariku."Aku akan berada di sampingmu, Ranti. Kita hadapi ini bersama-sama."Kini, selain hangat secangkir mocha, ada kehangatan lain yang kurasakan.Ketika Andika menggenggam tanganku."Terima makasih, Dika. Tapi, aku tak mau melibatkan orang lain dalam masalah ini. Apalagi ini ....""Ssssstttt ...."Kalimatku terhenti, saat Andika meletakkan dua jarinya di bibirku.
Setelah mempertimbangkan masukan dari Andika untuk melaporkan Zen, dengan UU IT, karena tindakannya tersebut berhubungan dengan perbuatan tidak menyenangkan.Dan sudah bisa dipidanakan, karena sudah ada ancaman di dalamnya.Ancaman menyebarkan foto tanpa ijin.Kuhubungi Mas Yoga, dan mengatakan akan datang ke tempat kosku sepulang kerja.Sementara Mas Bayu tidak bisa datang, karena kebetulan sangat sibuk dengan pekerjaan di kantornya.Namun Mas Bayu memberi dukungan penuh dengan keputusan yang aku buat.Aku berharap, setelah ini, tak akan lagi ada permasalahan.Sebuah panggilan masuk ke dalam ponselku.Kucari-cari benda berbunyi nyaring tersebut, hingga kudapati ia ada di dalam laci.Buru-buru kutekan tombol warna hijau untuk menerimanya.Mungkin sebuah kabar penting, karena pagi-pagi sekali sudah meneleponku.Saat sambungan telepon
-Pekerjaan akan cepat selesai, jika dikerjakan bersama-sama-Sambil menunggu pesanan kami datang, kami mencoba membahas hal-hal yang ringan.Walau awal percakapan terasa kaku, namun lambat laun kami menjadi akrab dan percakapan diantara kami makin cair."Mbak April, aku benar-benar minta maaf dengan apa yang pernah terjadi antara aku dan Zen," ucapku meraih tangan April."Aku sungguh-sungguh tidak tau kalau saat itu dia masih berstatus suami Mbak. Karena yang aku tau, dia adalah duda dengan satu anak. Mbak ... mau, kan, memaafkan aku?"Kulihat April nenunduk, sambil menggenggam tanganku.Aku tau, bukan hal yang mudah untuk memaafkan seseorang yang telah menyebabkan rumah tangganya di ujung kehancuran. Bahkan sampai kehilangan anak yang ada dalam kandungannya.Dihelanya nafas dalam-dalam sebelum akhirnya April berkata."Aku sudah