Kami menikmati makanan dalam diam, perut yang tadinya terasa begitu lapar, kini seolah penuh dan kenyang. Dan kalimat dalam pesan itu masih saja terus berputar di dalam kepalaku. Aku yakin sekali, itu adalah pesan darinya.
Tapi ... bukankah dia saat ini sedang berada di dalam penjara? Aku menggelengkan kepala mencoba mengusir bayangan dan pikiran negatif yang saat ini menari-nari di sana.
"Ranti ... di habiskan dong, jangan cuma di pantengin saja makanannya."
"Oh, a--aku ...." Tergagap, aku menjawab, dan hal itu membuat Andika memutar tubuhnya hingga menghadap ke arahku. Tatapannya tajam menghujam ke jantung.
"Kamu sakit?" Andika mengulurkan tangan, menyentuh keningku dengan punggung tangannya.
"Aku tidak apa-apa," ucapku sambil menyentuh tangan Dika yang menempel di kening lalu menggenggamnya.
"Syukur ... kamu membuatku takut tadi."
"Bukankah tadi kamu bilang untuk tidak khawatir, karena ada kamu bersamaku, bukan?" Aku memiringkan sedikit k
Aku memeluk kedua lututku yang gemetar.Bayangan kelam masa lalu, tentang seseorang yang pernah memporak-porandakan hidupku yang bahkan hingga saat ini masih terus menghantui kembali muncul di benakku."Ranti ... kamu kenapa? Apa yang terjadi padamu? Andika mengguncang tubuhku dengan panik.Sementara itu, Ningrum berlari ke belakang, tak lama kembali lagi dengan membawa segelas air putih."Ranti, minumlah dulu, setelah kamu merasa tenang, kamu bisa ceritakan pada kami apa yang kamu rasakan."Ningrum mengulurkan segelas air putih padaku, pelan, kuteguk hingga menyisakan setengah dari isinya."Berbaringlah sebentar di sofa ini, supaya kamu lebih rilex."Andika membantuku merebahkan tubuh di atas sofa, kuatur nafas dengan menarik nafas dalam beberapa kali, lalu mengembuskan dengan pelan.Kupejamkan mataku beberapa saat, samar-samar, aku melihat sesuatu yang membuatku spontan duduk."Ranti ....!"Teriak Andika dan Nin
Andika masih menggenggam tanganku, ketika tiba-tiba ponselku berdering.Aku dan Andika saling tatap."Dika ....?""Tenang Ranti, itu hanya sebuah panggilan di ponselmu," jawab Andika menenangkan."Angkatlah ... kita akan cari tahu bersama-sama, siapa dibalik semua ini."Andika mengulurkan ponselku dan meminta agar aku menjawab panggilan itu.Dengan ragu, kuraih ponsel dari tangan Dika.Sementara ponselku masih terus berdering, dari sebuah nomer tanpa nama."Halo ...." ucapku begitu tombol hijau telah kutekan."Honey ... apakah kamu menyukai bunga yang aku kirimkan padamu?"Bagai petir di siang bolong, tubuhku terasa gemetar begitu mendengar suara di ujung telepon."Ka--kamu ...."! jawabku tergagap. Sementara Andika mendekatiku sambil memintaku untuk memperbesar suara hingga dia bisa ikut mendengar apa yang orang itu bicarakan.
"Miranti ... aku mampir ke kantormu, ya? Kita makan siang bersama."Kubaca pesan dari Andika beberapa waktu yang lalu, dan baru saja kubuka pesannya karena kesibukan di hari pertama bekerja.Aku menyandarkan punggung pada kursi, dan memainkan ponsel yang ada di tanganku, ketika sebuah pesan kembali masuk."Ranti ... kamu masih sibuk?" Tulis Andika lagi dalam pesannya.Kuputuskan untuk langsung meneleponnya.Tuut ... tuutt ...."Miranti." Andika berkata cepat, begitu sambungan telepon terhubung."Baiklah ... kamu bisa menjemputku."Kemudian, aku kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan.Seperti orang bilang, ketika kita sibuk, waktu begitu cepat berlalu tanpa kita menyadarinya.Tok tok tok ....Sebuah ketukan di pintu, kemudian pintu terbuka pelan.Adele muncul dengan membawa beberapa berkas yang harus ku tanda tangani.
Ningrum berjalan tergesa menuju ke arahku.Begitu dia sudah berada di depanku, matanya menatap pria yang ada di depanku sekilas.Lalu berbisik padaku."Ranti ... maaf, aku belum memberitahukanmu hal ini. Karena aku juga baru mengetahuinya hari ini."Tanpa menghiraukan Ningrum, aku meninggalkan pria itu, sementara Ningrum berjalan cepat menyusul langkahku.Aku benar-benar tidak menduga dan merasa syok, melihat keberadaannya di kantorku, terlebih, harus bekerja dengannya.Kutekan dadaku yang terasa nyeri, lalu kuhempas tubuhku di atas kursi.Entah, apa yang saat ini ada di benaknya. Bahkan, jika saat dia melakukan hal jahat padaku, akan dengan mudah dia lakukan."Ranti, ini semua diluar sepengetahuanku."Ningrum yang sudah berada di dalam runganku, menatapku berusaha meyakinkan bahwa dirinya tidak mengetahui hal ini sebelumnya.Aku menggelengkan kepala, b
"Hey ... kok bengong?"Andika mengagetkanku. Aku lupa, kalau saat ini tengah menikmati sarapan dengannya.Apa yang terjadi di kantor kemarin membuatku benar-benar harus berpikir keras, bagaimana caranya untuk menghindari konflik dengan Zen dan bersikap professional.Di sisi lain, aku juga tidak bisa menutupi semua dari Andika, dimana saat ini Zen adalah rekan bisnisku.Aku benar-benar dalam dilema."Pekerjaan di kantor membuatku stress, banyak sekali yang harus aku tangani." Aku menjawab lirih.Sengaja tidak kusinggung perihal Zen, semua kulakukan untuk meredam emosi Andika yang sampai saat ini masih belum bisa memaafkan perbuatan Zen padaku.Walau sebenarnya, aku juga tidak berbeda seperti Andika, sampai detik ini, aku juga belum bisa memaafkan segala perbuatan Zen padaku.Aku menghela nafas dalam, lalu berkata, "Tapi kamu jangan khawatir, Ningrum bisa kuandalkan untuk membantuku
Pagi ini, aku bangun kesiangan.Waktu sudah menunjukkan pukul 7:15 menit ketika aku turun dari lantai atas.Aku lupa, hari ini aku ada janji sarapan bareng Andika."Mama mana, Mbak?" tanyaku pada asisten rumah tangga yang tengah sibuk di dapur."Mungkin ada di taman, menyiram tanaman," jawab si Mbak."Nanti tolong bilang sama Mama, kalau aku berangkat ke kantor, ya?""Lho, Non Ranti tidak sarapan dulu?" tanya nya lagi dengan wajah sedikit kecewa, karena aku tidak memakan makanan yang sudah dia siapkan."Aku ada janji pagi ini, maaf ya ...." ucapku tulus. Dan begitu mendengar permintaan maafku, dia tersenyum lebar lalu berkata, "Tapi nanti pulangnya makan di rumah, kan?""Iya dong ... mau makan dimana lagi."Aku meninggalkan Mbak Ucik, asisten rumah tanggaku yang masih ingin melanjutkan ucapannya.Ketika melintas di ruang tamu, mataku melihat sesuatu di atas meja.Seikat buket mawar merah di sana.Aku mendekati dan melihat sesu
Walau beberapa kali kupanggil, Andika tetap tidak menghiraukanku. Dia malah mempercepat langkahnya.Dengan sedikit ngos-ngosan, aku berusaha untuk mengejarnya.Ketika sampai di lobi kantor, kulihat Ningrum mengernyitkan kening, kedua matanya setengah melotot menatapku.Sementara aku berhenti sambil mengatur nafas."Ranti, kamu habis dikejar setan?" tanya Ningrum penasaran."Nanti akan aku ceritakan ... kamu lihat Andika, ga?" tanyaku sambil mengelap kening yang berkeringat."Dia ke sana ...." Ningrum menunjuk dengan dagunya."Ok, sampai nanti."Sebelum Ningrum menyelesaikan kalimatnya, aku buru-buru memotong ucapannya dan berlalu meninggalkan dirinya yang masih terbengong.Sekilas, aku melihat Andika berbicara dengan seorang securiti yang sedang berjaga.Kupercepat langkahku menuju ke arahnya.Namun sebelum aku sampai, kulihat Zen menghampiri Andika.Kakiku terasa lemas, sekaligus was-was, jika mereka berdua akan melakukan
Aku masih memikirkan ucapan Ningrum di kantor tadi.Tidak semua yang terlihat baik adalah baik.Terlebih jika hal itu menyangkut dan berkaitan dengan Zen.Bagaimanapun, aku adalah korban dari seorang pria yang pernah kuanggap baik.Bahkan ketika sampai di rumah pun, ucapan Ningrum masih terngiang, juga tatapan penuh luka dari mata Zen, saat dia menatapku sesaat sebelum keluar dari ruang kerjaku."Non, di panggil Mama."Mbak Ucik yang sudah berdiri di depan pintu kamar mengagetkanku."Iya, Mbak. Bentar lagi Ranti turun," jawabku tanpa beranjak dari tempat tidur.Bagiku, hari libur adalah hari kebebasan.Dengan malas, aku bangkit dari tempat tidur dan mengambil tali rambut untuk mengikat rambut yang awut-awutan.Hari kebebasan, termasuk bebas dari menyisir rambut.Sesampai di ruang makan, aku begitu terkejut melihat sosok pria yang tidak asing bagiku, yang sudah sekian lama tidak berkumpul dengan kami."Mas Bagus ...." teriakku sam