BAGIAN 38
POV ZULAIKA
BERLIAN PEMBAWA PETAKA
Aku bangun pagi-pagi sekali hari ini. Semalaman praktis mataku sulit sekali terpejam. Meskipun ngantuk, tidur seakan menjadi hal paling menakutkan dalam hidup. Seolah bila aku terlelap, dunia akan mengisapku ke dalam pusaran black hole yang menyeramkan. Astaga, kedua orangtuaku benar-benar telah merusak mental ini secara nyata. Hanya Tuhan yang tahu betapa berat perjuangan untuk tetap mengembuskan napas dalam keadaan waras.
Pukul lima pagi aku sudah mandi dan berkemas. Sebelum keluar kamar, aku menyempatkan diri untuk makan roti sandwich isi selai cokelat yang kubeli kemarin. Sebagai minuman penutupnya, sekotak susu UHT rasa stroberi langsung kuseruput lewat sedotan hingga tandas. Perutku sudah lumayan terisi. Tak lupa aku menarik selembar ua
BAGIAN 39POV ZULAIKAMENGULITI PAPI DAN TANTE YESLIN Aku memandang ke arah Ario lagi. Anak itu kini tampak kesal campur cemas. Membatalkan perjumpaan ini tentu bukanlah hal yang oke. Nasi sudah jadi bubur. Apa mau dikata, kami harus menjalaninya, meskipun nenek lampir itu harus ikut-ikutan tampil. “Ayo, masuk ke mobil. It’s okay. Kita bisa hadapin sama-sama,” bisikku sambil meraih jemari Ario. Kutarik tangan anak itu, kemudian berjalan terus menuju mobil Papi. Gaya tubuh Ario menunjukan sebuah keterpaksaan. Namun, dia tak bisa berkutik sebab langkahku sudah kadung melesat ke depan pintu mobil. Kubuka pintu belakang, lalu kusuruh Ario masuk duluan untuk duduk di belakang kursi Papi. Sedang aku, kini duduk di belakang kursi milik Tante Yeslin.&
BAGIAN 40POV ZULAIKAMATI KAU! “Ika, sekarang kita makan dulu, ya?” Papi mendadak bermanis lidah. Tuturnya lembut. Senyumnya jadi menawan. Dia jelas ketakutan kalau semuanya kubongkar. Aku diam. Sebab perut sudah lapar, kuputuskan buat menyantap makanan yang sudah tersedia di depan. Kusikut pelan adikku. Memberinya kode agar segera tancap gas. Jangan buang-buang waktu di sini, pikirku. Usai makan, kalau bisa langsung pulang naik ojek saja. Ario manut. Cowok itu lekas mengambil sendok garpu dari tempat warna biru yang berada di tengah meja. Dia buru-buru makan dengan lahap dan mengambil semua lauk yang kami pesan. Aku setali tiga uang dengannya. Tak ingin membuang kesempatan dan terus makan
BAGIAN 41POV ZULAIKATAWAR MENAWAR NYAWA Aku mendadak bingung dengan sikap Ario yang tiba-tiba merajuk. Kusadari bahwa ucapanku tadi memang telah membuatnya syok. Wajar. Anak itu pasti berpikir kalau tindak kriminal yang dilakukan oleh Daddy memang sangat melampaui batas. Mulai dari pedofilia, pembunuhan, sampai transaksi narkoba. “Ario, jangan membuatku sedih. Jangan merajuk, dong,” bujukku sambil merangkul bahunya. Namun, adikku malah diam saja. Wajahnya datar. Sepanjang perjalanan menuju pulang, praktis tak ada lagi percakapan di antara kami. Siapa yang tak gundah diperlakukan begini? Tentu saja aku merasa resah plus tak enak hati. Sesampainya di depan pagar rumah, aku langsung membayar
BAGIAN 42POV ZULAIKAMENELAN PIL KECEWA “Aku hanya ingin, Papi lekas menikah dengan Tante Yeslin,” ucapku dengan sungging senyum culas. “Iya, Sayang. Papi akan segera menikahi Yeslin setelah surat cerai di tangan. Kamu jangan khawatir, Nak.” Suara Papi terdengar penuh semangat. Dia antusias sekali menjawab. Seperti tengah ketiban rejeki. “Namun, tolong jangan pernah punya anak dengannya! Jangan pernah! Kalau sampai kalian punya anak, siap-siap saja untuk mati. Papi atau Tante Yeslin, jelasnya kalian berdua akan kulenyapkan dengan apa pun caranya!” “Ika … itu syarat yan
BAGIAN 43POV ZULAIKAKECURIGAAN MAMI Hubunganku dengan Mami sejak malam itu kembali dingin. Aku seperti sudah mati rasa kepadanya. Semua seakan hambar, bahkan pengorbanannya pun kunilai tak ada yang spesial. Sikap Mami sendiri kini terasa semakin beku kepadaku. Terlebih ketika dia memulai usaha karang bunga papan. Dia menjadi sibuk dengan kesibukan barunya. Tiada hari tanpa bekerja keras bagi Mami, sampai-sampai dia lupa untuk sekadar menyapa kami. Selain sikap Mami yang kian berubah, rumah ini pun ikut nasib tuannya. Rumah yang semula memiliki halaman depan yang cukup lapang dengan rumput-rumput jepang yang tumbuh rapi serta pot-pot bunga yang menghiasi di sisi depan teras, kini berubah jadi markas k
BAGIAN 44POV ZULAIKAKEPERGOK DADDY “Kenapa aku harus bohong, Mi? Memangnya, apa untungku berbohong?” Setelah beberapa detik terdiam, akhirnya aku memberanikan diri untuk menjawab tuduhan Mami. Kebohongan demi kebohongan kini telah menjadi makanan sehari-hariku. Tiada hari tanpa meludah dusta. Sebenarnya nuraniku menolak untuk terus-terusan begini. Akan tetapi, memangnya aku punya pilihan lain? Mami menatapku lekat-lekat. Seakan lagi menelisik apa yang ada di dasar hatiku. Sekuat tenaga aku berusaha terlihat tenang. Memberanikan diri untuk menatapnya balik. Setengah mati ketakutan ini kusembunyikan di balik wajah tenang bak air sungai yang mengalir mengikuti arus. Mami tak boleh sampai tahu rahasia demi rahasia yang susah payah kututupi darinya selama ini.&nbs
BAGIAN 45POV ZULAIKABAGAI BERJALAN DI ATAS SEHELAI RAMBUT “Di mall, Dad ….” Setengah mati kutahan rasa deg-degan yang membuat tubuh limbung. Rasanya aku ketakutan. Belum lagi telapak tangan yang semakin dingin. Tuhan, tolong jaga aku. Jangan buat Daddy menemui untuk kemudian melenyapkan nyawaku. “Oh, gitu. Ya, sudah. Kamu mau minta oleh-oleh apa, Sweetheart? Daddy pulang minggu depan. Mom, istrinya Daddy, masih pengobatan sampai akhir bulan. Namun, Daddy duluan pulang sama anak-anak.” Nada bicara Daddy terdengar santai dan lembut. Seketika aku merasa lega yang sebesar-besarnya. Rasanya aku mau berlonjak kegirangan saking happy-nya mendengar ucapan Daddy barusan. Ini serius? Kok, dia nggak kepo aku pergi sama siapa dan ngapain ke mall? Ya Tu
BAGIAN 46POV ZULAIKAGARA-GARA ANTING Setelah makan bersama dan memberiku hadiah, Jo kemudian mengajak jalan-jalan mengitari mall. Cowok itu dengan pedenya menggandeng tanganku. Aku tidak mempermasalahkan hal tersebut. Bagiku ini adalah bonus buatnya sebab sudah terlalu baik di siang Minggu yang begitu menyenangkan. “Kita beli baju mau nggak?” Jo tiba-tiba bertanya saat kami melewati sebuah retail yang menjual segala jenis pakaian serta sepatu. Retail tersebut memiliki harga standar dan kualitas yang tidak buruk-buruk amat. Aku juga sering dibelikan Papi baju-baju di sini saat orangtuaku belum berpisah. “Nggak usah. Uangmu nanti habis,” cegahku sambil menarik tangan Jo. Cowok i