KURAS HABIS
Hari mulai beranjak gelap. Aku buru-buru membereskan barang apa saja yang harus dibawa ke rumah sakit untuk Nadia. Baju, pakaian dalam, handuk, dan selimut semua kukemaskan. Walaupun malas, aku juga tetap mengemasi pakaian milik Alexa. Anak cerewet nan cengeng itu harus pakai bajunya sendiri saat menginap di rumahku. Aku sudah tak rela bila dia terus-terusan memakai baju milik Carissa. Tidak sudi!
Bukannya aku jahat atau kejam, tapi sabarku sepertinya juga ada batas. Aku hanya wanita biasa. Punya perasaan yang kadang meledak-ledak. Saking lamanya aku baik kepada orang, kebaikan itu malah menjadi bumerang bagiku. Sekarang, saatnya menerapkan kata tega. Ya, walaupun si Alexa masih kecil dna tidak berdosa. Namun, dia harus belajar untuk tidak ngelunjak seperti ibunya. Memangnya, mainan dan b
BAGIAN 16KUGERTAK DIA TANPA GENTAR Langit menggelap. Semburat benang jingga di ufuk barat perlahan tenggelam ditelan kelam. Waktu-waktu beginilah yang membuatku tak tenang saat berada di luar rumah. Tidak biasa. Seharusnya di waktu Magrib, aku di dalam rumah bersama si cantik Carissa. Bukan malah keluyuran berdaster begini. Dasar Nadia manusia kurang ajar. Bikin beban saja hidupnya! Ditolong pun nyatanya diam-diam menjadi pagar yang makan tanaman. Dengan perasaan dongkol, aku cepat melangkah masuk ke mobil SUV hitam milik Mas Hendra. Mobil dengan CC besar yang agak boros bahan bakar ini, memang memiliki body yang lebar dan tinggi. Untung saja, meski aku jarang menyopir sendiri, kemahiranku masih bisa diadu. Parkir di tempat yang agak padat pun, aku masih bisa meng-handle.&
BAGIAN 17SERANG SI KARPET! “Kamu benar-benar aneh, Ri!” Mas Hendra menatapku jengkel. Pria bertubuh proporsional dengan wajah rupawan tersebut hanya bisa menggelengkan kepala. Aku tak menjawab. Malas mendebat. Segera saja aku melangkah menuju tempat tidur Nadia dan duduk di kursi samping kiri tubuhnya. “Nadia,” kataku. Kusentuh lengannya yang tertutup oleh selimut tebal warna cokelat. Perempuan itu merespon. Perlahan dia mulai membuka kelopak matanya yang masih bengkak. Aku terkesiap. Ternyata, dia sudah sadar. Dia pasti mendengarkan pertengkaran kami barusan. Dasar perempuan licik!&nbs
BAGIAN 18HANCURKAN MENTALNYA Langkah kakiku menapak ubin dengan penuh percaya diri. Bunyi sandal yang beradu dengan lantai, membuat ruangan yang sunyi sepi ini jadi mencekam. Aku yakin, diam-diam Nadia merasa tak aman saat hanya berduaan begini denganku. Apalagi, sikapku telah berubah sedrastis sekarang. Kutarik kursi bersi dengan alas dan sandaran empuk berwarna biru tersebut. Terdengar bunyi deritan yang membikin tubuh Nadia bergerak sedikit. Ah, jangan pura-pura kaget kamu, Nad. Aku tahu, kamu tidak tidur sungguhan! Duduk diriku di atas kursi. Kumajukan kembali letak kursi tersebut. Agar bisa semakin dekat dengan si gundik. Napas kuhidu perlahan. Tenang, Riri Mustika. Kamu tak boleh kasar maupun gegabah. Bermainlah
BAGIAN 19NAJIS BANGET! “Candaanmu nggak lucu, Ri!” Nadia mendorong pundakku dengan tangannya yang masih penuh bentol. Mata bengkaknya pun mengeluarkan air lagi. Dia menangis. Dih, sok keras jadi pelakor. Giliran digertak sedikit, sudah nangis. Kamu mau cari simpatiku? Cuih! “Yee, jangan nangis, dong. Cewek cantik kaya kamu masa nangis, sih? Alis udah cetar, rambut udah badai, masa nangisan. Cup-cup, udah. Nggak usah nangis. Sekarang, kamu mau ngemil? Mau minum susu?” tanyaku membujuknya. Aku duduk di kursi dan menopang dagu memperhatikan si Nadia. Semoga rupamu ini permanen, Nad. Coba, kita lihat nanti. Apakah suamiku mau bertahan atau tidak? “Nggak usah!” Nadia ketus. Dia sok jual
BAGIAN 20SOBAT, MAAFKAN AKU Kakiku gontai menapaki lorong paviliun Cendana. Kubuka pintu yang menghubungkan paviliun dengan jalan menuju tangga. Pintu kaca dengan gorden tebal berwarna hijau itu jadi terasa begitu berat di genggaman. Ah, entah mengapa, setelah marah-marah tadi, aku jadi lemas sendiri. Mungkin, karena memang aku ini bukan tipikal perempuan pemarah. Jarang sekali meledak-ledak. Di tangga, beberapa orang ramai berlimpasan denganku. Sekarang memang sudah waktunya jam besuk. Wajar saja bila banyak yang datang untuk berkunjung. Melihat banyaknya orang, aku tiba-tiba jadi merasa insecure. Betapa tidak, penampilanku sudah awut-awut tak keruan. Rambut ini lepek. Badan juga berkeringat. Belum lagi muka yang sudah kucel. Ya Tuhan, sudah seperti gembel penampilanku. Kok, re
BAGIAN21POV NADIAAPAKAH DIA TAHU? “Uhh ….” Aku mengerang lemah. Seluruh tubuhku rasanya nyeri plus gatal. Kulit ini seperti menebal. Alergi yang tak biasa, pikirku. Bahkan, aku hampir saja meregang nyawa sebab kesulitan bernapas. Kukira, aku hampir tewas. Nyatanya, kini mataku telah membuka sempurna meskipun masih terasa lemah. “Nadia! Kamu sudah sadar?!” Suara yang sangat kukenal berseru. Aku menggeliat. Menatap ke arah samping kiri tubuhku. Tampak sosok yang begitu kucinta, tengah berdiri dengan memasang wajah senang. “Mas,” panggilku lirih. Tangan yang terpasang infus mencoba menggapai-gapai wajah teduhnya. Oh, kekasihku. Kamu ternyata menjagaku terus. Aku padahal sudah sempat ketakutan kala bertandang ke rumahnya saat makan
BAGIAN22 “Oke, Va. Aku akan kembali ke kamar Nadia. Besok, mungkin aku agak telat datangnya,” jawabku kepada Eva. “Iya, Ri. Selesaikan apa yang mesti kamu selesaikan. Aku nnati bilang ke anak-anak lain kalau semisal kamu memang jadi telat datang.” Aku tersenyum. Merasa benar-benar beruntung memiliki rekan kerja sebaik Eva. “Makasih, Va. Makasih banget untuk semua dukungan dan bantuannya.” “Sama-sama, Ri. Semangat, ya. Demi anak kamu. Ingat, jangan gegabah dan ngasal.” “Iya. Bye, Eva. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.”&
BAGIAN 23BERMUKA MANIS DI DEPANNYA Setelah semua tangkap layar berisi percakapan antara Mas Hendra dan Nadia berhasil kuunduh di ponselku, pesan yang dikirim dari Nadia ke kontakku pun langsung kuhapus semuanya. Untungnya, Nadia memang di awal sudah menghapus percakapan denganku, sehingga tak ada jejak yang tertinggal. Bukti tangkap layar di galeri pun lekas kuhapus. Masuk ke tempat sampah, tempat sampahnya pun kukosongkan semua. Yes, semoga tak ada bukti yang bisa terendus. Aku juga harus bersyukur sebab Nadia juga sama-sama mematikan fitur terakhir kali dilihat pada WhatsAppnya seperti apa yang kulakukan selama ini. Jadi, saat dia membuka WhatsAppnya nanti, tak bakal ketahuan jika aku pernah membaca-baca pesan miliknya. Segera aku keluar dari aplikasi WhatsApp dan kembali meng