BAGIAN 18
HANCURKAN MENTALNYA
Langkah kakiku menapak ubin dengan penuh percaya diri. Bunyi sandal yang beradu dengan lantai, membuat ruangan yang sunyi sepi ini jadi mencekam. Aku yakin, diam-diam Nadia merasa tak aman saat hanya berduaan begini denganku. Apalagi, sikapku telah berubah sedrastis sekarang.
Kutarik kursi bersi dengan alas dan sandaran empuk berwarna biru tersebut. Terdengar bunyi deritan yang membikin tubuh Nadia bergerak sedikit. Ah, jangan pura-pura kaget kamu, Nad. Aku tahu, kamu tidak tidur sungguhan!
Duduk diriku di atas kursi. Kumajukan kembali letak kursi tersebut. Agar bisa semakin dekat dengan si gundik.
Napas kuhidu perlahan. Tenang, Riri Mustika. Kamu tak boleh kasar maupun gegabah. Bermainlah
BAGIAN 19NAJIS BANGET! “Candaanmu nggak lucu, Ri!” Nadia mendorong pundakku dengan tangannya yang masih penuh bentol. Mata bengkaknya pun mengeluarkan air lagi. Dia menangis. Dih, sok keras jadi pelakor. Giliran digertak sedikit, sudah nangis. Kamu mau cari simpatiku? Cuih! “Yee, jangan nangis, dong. Cewek cantik kaya kamu masa nangis, sih? Alis udah cetar, rambut udah badai, masa nangisan. Cup-cup, udah. Nggak usah nangis. Sekarang, kamu mau ngemil? Mau minum susu?” tanyaku membujuknya. Aku duduk di kursi dan menopang dagu memperhatikan si Nadia. Semoga rupamu ini permanen, Nad. Coba, kita lihat nanti. Apakah suamiku mau bertahan atau tidak? “Nggak usah!” Nadia ketus. Dia sok jual
BAGIAN 20SOBAT, MAAFKAN AKU Kakiku gontai menapaki lorong paviliun Cendana. Kubuka pintu yang menghubungkan paviliun dengan jalan menuju tangga. Pintu kaca dengan gorden tebal berwarna hijau itu jadi terasa begitu berat di genggaman. Ah, entah mengapa, setelah marah-marah tadi, aku jadi lemas sendiri. Mungkin, karena memang aku ini bukan tipikal perempuan pemarah. Jarang sekali meledak-ledak. Di tangga, beberapa orang ramai berlimpasan denganku. Sekarang memang sudah waktunya jam besuk. Wajar saja bila banyak yang datang untuk berkunjung. Melihat banyaknya orang, aku tiba-tiba jadi merasa insecure. Betapa tidak, penampilanku sudah awut-awut tak keruan. Rambut ini lepek. Badan juga berkeringat. Belum lagi muka yang sudah kucel. Ya Tuhan, sudah seperti gembel penampilanku. Kok, re
BAGIAN21POV NADIAAPAKAH DIA TAHU? “Uhh ….” Aku mengerang lemah. Seluruh tubuhku rasanya nyeri plus gatal. Kulit ini seperti menebal. Alergi yang tak biasa, pikirku. Bahkan, aku hampir saja meregang nyawa sebab kesulitan bernapas. Kukira, aku hampir tewas. Nyatanya, kini mataku telah membuka sempurna meskipun masih terasa lemah. “Nadia! Kamu sudah sadar?!” Suara yang sangat kukenal berseru. Aku menggeliat. Menatap ke arah samping kiri tubuhku. Tampak sosok yang begitu kucinta, tengah berdiri dengan memasang wajah senang. “Mas,” panggilku lirih. Tangan yang terpasang infus mencoba menggapai-gapai wajah teduhnya. Oh, kekasihku. Kamu ternyata menjagaku terus. Aku padahal sudah sempat ketakutan kala bertandang ke rumahnya saat makan
BAGIAN22 “Oke, Va. Aku akan kembali ke kamar Nadia. Besok, mungkin aku agak telat datangnya,” jawabku kepada Eva. “Iya, Ri. Selesaikan apa yang mesti kamu selesaikan. Aku nnati bilang ke anak-anak lain kalau semisal kamu memang jadi telat datang.” Aku tersenyum. Merasa benar-benar beruntung memiliki rekan kerja sebaik Eva. “Makasih, Va. Makasih banget untuk semua dukungan dan bantuannya.” “Sama-sama, Ri. Semangat, ya. Demi anak kamu. Ingat, jangan gegabah dan ngasal.” “Iya. Bye, Eva. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.”&
BAGIAN 23BERMUKA MANIS DI DEPANNYA Setelah semua tangkap layar berisi percakapan antara Mas Hendra dan Nadia berhasil kuunduh di ponselku, pesan yang dikirim dari Nadia ke kontakku pun langsung kuhapus semuanya. Untungnya, Nadia memang di awal sudah menghapus percakapan denganku, sehingga tak ada jejak yang tertinggal. Bukti tangkap layar di galeri pun lekas kuhapus. Masuk ke tempat sampah, tempat sampahnya pun kukosongkan semua. Yes, semoga tak ada bukti yang bisa terendus. Aku juga harus bersyukur sebab Nadia juga sama-sama mematikan fitur terakhir kali dilihat pada WhatsAppnya seperti apa yang kulakukan selama ini. Jadi, saat dia membuka WhatsAppnya nanti, tak bakal ketahuan jika aku pernah membaca-baca pesan miliknya. Segera aku keluar dari aplikasi WhatsApp dan kembali meng
BAGIAN 24DIA TAK TAHU AKU TERJAGA “Jangan tersinggung, Nad. Namun, sejujurnya, penampilanmu yang sekarang benar-benar mengundang fitnah. Terlalu berani dan seksi.” Aku menjauh dari muka Nadia. Berjalan mundur dan memperhatikan mimiknya diam-diam. Perempuan itu benar-benar terhenyak setelah kuberi tahu. Ya, jangan marah. Ini fakta, kok! Coba aja ngaca beneran kalau tidak percaya. “Nad, aku pulang, ya, kalau gitu. Kamu nggak apa-apa, kan, sendirian?” tanyaku padanya sembari tersenyum tanpa dosa. “Iya.” Wanita itu menjawab agak ketus. Dia masih memalingkan wajah. Aku sih, tidak peduli. “Pagi-pagi aku akan ke sini lagi. Mengurus semua administrasimu untuk pulang besok.”
BAGIAN 25GERIMIS HATI Sekiranya lima belas menit aku bertahan di atas ranjang dalam posisi sama. Aku menahan diri untuk tak terburu-buru turun sebab takut jika Mas Hendra tak benar-benar pergi. Setelah kurasa kondisi aman, barulah aku beranjak. Jantung berdebar kencang. Napas bahkan kutahan beberapa detik saking takutnya. Kubuka kenop dengan tangan yang agak gemetar. Saat celahnya terbuka sedikit, aku mengintip. Tak ada siapa-siapa di depan sana. Kondisi lorong menuju ruang tamu pun gelap gulita. Aku juga menoleh ke arah sebelah kanan tepatnya ruang televisi. Tak ada tanda-tanda keberadaan Mas Hendra juga. Tanganku langsung mengepal. Benar, lelaki itu kabur, pikirku. Dia telah menghilang malam-malam. Entah ke mana perginya manusia bedebah tersebut. 
BAGIAN 26SENJATA MAKAN TUAN Pagi-pagi sekali aku sudah terjaga dari tidur tak nyenyakku. Sumpah, semalaman aku tak tenang. Dihantui rasa jijik yang mendalam usai disentuh oleh suamiku sendiri. Betapa tidak. Jangankan hasrat, tersenyum pun aku tak bisa. Semuanya terasa seperti memuakkan. Semalaman dengan Mas Hendra di dalam kamar, seakan aku tengah di depan pintu neraka. Sebelum Subuh, aku sudah mandi wajib. Saat azan berkumandang, buru-buru aku melaksanakan salat. Hal ini sangat luar biasa bagiku. Seumur-umur, salat Subuh adalah ibadah wajib yang paling sering aku tinggalkan. Wajar bila hari ini aku menangis dalam sujud terakhir. Bukan apa-apa. Terasa olehku betapa besar dosa yang telah bertumpuk di diri ini. Kusadari, ujian yang datang silih berganti merupakan azab bagiku yang kerap ingkar dan lari dari jalan Allah.&nb