BAGIAN 27
DIA MEMANGGIL SUAMIKU AYAH
“Awas kalau kamu berbohong, Mas!” Aku menghardik Mas Hendra. Pria itu hanya bisa mengangguk lemah sembari membuka kedua tangannya. Dia berniat untuk mengambil Carissa dari gendonganku.
“Ica, sini sama Ayah,” lirihnya.
Hanya sekadar akting atau dia benar-benar takut bila aku dan Carissa pergi? Huh, aku bahkan sudah tak bisa lagi membedakannya. Mas Hendra terlalu misterius dan licik.
Carissa yang sudah reda tangisnya, kini sodorkan kepada Mas Hendra. Pria yang masih acak-acakan rambutnya tersebut langsung tersenyum kecil saat tubuh Carissa sudah dipelukan.
Sekarang, tangisan Alexa yang malah semakin
BAGIAN 28RAHASIA BESAR Selesai mandi, anak-anak kuberi pakaian. Awalnya, Alexa menolak kupakaikan baju miliknya yang kuambil dari rumah Nadia semalam. Dia bersikukuh mau memakai gaun warna lilac milik Carissa dengan model seperti yang dipakai tokoh kartun Sofia The First. “Aku mau pakai baju itu,” kata Alexa sambil menarik gaun ungu tersebut dari gantungan lemari motif Hello Kitty milik Carissa. Anakku yang kini tengah memakai baju sendiri, hanya diam, dan memandangi ke arah kami berdua. Mendengar rengekkan Alexa yang membuat kuping agak bising, aku pun rasanya mulai emosi juga. “Alexa, jangan pakai baju itu. Kamu kan, mau ke sekolah sama Ica. Pakai bajumu aja, ya. Tante sudah jauh-jauh bawain dari r
BAGIAN 29KUPERMALUKAN DIA Anak-anak sudah beres mandi, berpakaian, dan sarapan. Di meja makan, aku dan Mas Hendra tak saling bercakap. Hanya celoteh Carissa dan Alexa saja yang terdengar riuh rendah mewarnai ruang makan kami yang serba hijau ini. Ada sesak yang menyaputi dada. Terlebih ketika kupandangi sosok Alexa. Di balik canda tawa gadis kecil tersebut, ada sejuta luka yang dia tanggung sendirian. Anak itu tak pernah menampakkannya di depan orang lain. Sebatas rengek, tangisan, dan jerit yang semata-mata ungkapan ekspresi atas luka batin yang selama ini dia pikul. Aku sedih bukan main. Mas Hendra dan Nadia, kalian memang pasangan teriblis yang pernah aku kenal di dunia ini! “Aku berangkat.” Mas Hendra yang tidak menghabiskan sarapannya berupa sandwich selai cokel
BAGIAN 30MENGHILANGNYA HENDRA “Aman.” Begitu ujar Hendra ketika melihat sang istri telah lelap dalam tidur. Pria itu dengan sangat percaya diri, bergegas keluar dari kamar sambil berjinjit langkahnya. Pelan-pelan dia menapaki ubin. Bermaksud agar Riri tak terbangun dari tidur. Hendra lega ketika dirinya berhasil keluar rumah. Ditolehnya ke belakang beberapa kali, untuk memastikan bahwa Riri tak menyusul di belakang. Hatinya memang tak tenang. Agak riskan, meski dia tahu jika sudah terlelap begitu, tandanya Riri tak akan terbangun-bangun lagi. “Huh, selamat,” bisiknya pada diri sendiri sembari mengelus dada. Pria itu pun dengan masih
BAGIAN 31PASANGAN IBLIS YANG MAKIN BERANI “Kenapa begitu, Ri? Kok, kamu jadi kepikiran mengasuh Alexa segala?” Nadia buru-buru bangkit dari rebahnya. Perempuan itu lekas mengikat kembali rambut panjangnya yang sudah mulai awut-awutan. Samar, kulihat sudut bibirnya berkedut halus. Menandakan bahwa dia kini tengah mengulas senyuman. Cukup menyuratkan bahwa keputusanku buat mengasuh Alexa adalah hal yang begitu dia nantikan. Aku yang duduk di kursi di sebelah sisi kirinya hanya bisa tersenyum sangat manis. Kubuat ekspresiku begitu bahagia. Seolah-olah, aku memang tengah begitu adanya. Padahal, hati ini sangat bersimbah lelah sebab tiada putusnya pura-pura. Aku capek. Namun, tak ada pilihan lain. “Alexa perlu figur ibu yang baik.” Tanpa tedeng aling-aling, ak
BAGIAN 32POV NADIADUKUNKU YANG AKAN BERTINDAK Marah, gusar, murka. Tiga kata itulah yang bisa menggambarkan kondisi hatiku saat ini. Aku benar-benar tersulut emosi saat Riri mengatakan bahwa dia siang ini bakal ke kantor pertanahan untuk balik nama sertifikat rumah mereka. Mas Hendra tak pernah menceritakan ini sebelumnya. Apa maksud pacarku tersebut? Apakah dia sudah mulai melupakanku? Bukankah rumah itu dia bilang tak akan bisa dikuasai oleh istrinya yang akhir-akhir ini entah mengapa jadi berubah drastis? Aku yak sudah tak tahan, secepat kilat meraih ponsel di bawa bantal. Setelah meyakinkan bahwa Riri telah pergi jauh dari ruangan, aku pun tak ingin buang waktu lagi. Segera kutelepon Mas Hendra dengan perasaan dongkol luar biasa.&n
BAGIAN 33MENGINJAK HARGA DIRINYA “Hmm, Ri, sebaiknya kamu kembali ke kantor saja. Kan, kamu susah kalau izin lama-lama.” Ucapan Mas Hendra kontan membuat kepalaku berasap. Laki-laki gila! Pikirannya memang sudah rusak rupanya. Sabar, Ri. Menghadapi orang sinting begini sebaiknya tenang. Jangan terpancing lagi. Kamu bahkan tadi telah melakukan hal yang salah. Memberi tahu Nadia perihal penting yang seharusnya menjadi kejutan besar di akhir cerita. Pastinya, hal tersebut telah membuat perempuan jalang itu nekat memanggil Mas Hendra ke sini untuk semakin memanas-manasiku. Memang kurang ajar mereka berdua! “Aku sudah izin ke direktur!” Bohongku. Tentu saja tidak. Aku hanya bilang pada Eva bahwa aka
BAGIAN 34KUSUSUN PENJEBAKAN Wajah Nadia sempat pucat saat dirinya kupaksa berjalan hingga mencapai parkiran depan. Keringat sebesar bulir jagung menetes dari dahinya. Perempuan jalang itu terengah-engah napasnya. Aku sempat takut dia kembali drop. Untungnya, ketika masuk mobil, kondisi Nadia berangsur memulih. “Kenapa kamu tidak berontak?” tanyaku heran sambil menatapnya kesal. Nadia menggeleng. Wajah innocent yang perlahan kembali segar itu menatapku dengan kaca-kaca di manik hitamnya. “Kamu sahabatku. Baik buruknya tetap sebagian dari jiwaku.” Bullshit! Omong kosongmu sangat meyakinkan, Nad. Namun, sayangnya aku tak mau tertipu untuk yang ke sekian kalinya.&nbs
BAGIAN 35GREBEK! Telapak tanganku sampai basah. Rasanya sekujur tulang gemetar. Jantungku sibuk sekali berdetak sekencang badai tornado. Aku harap-harap cemas duduk di dalam mobil begini. Terlebih, aku hanya numpang parkir saja di depan warkop orang. Ah, hatiku porak poranda dilanda ombak gelisah yang luar biasa. Sesekali mataku menatap ke jalanan raya, lalu menoleh lagi ke layar ponsel. Aku sebenarnya tak kuat jika harus menemukan fakta baru di depan mata setelah ini. Namun, tak ada pilihan lain. Sekaranglah saatnya aku berjuang sampai titik darah penghabisan, meskipun mentalku sebenarnya sudah keder duluan. Tepat sepuluh menit menunggu, terlihat dari layar ponselku, pintu kamar dibuka perlahan dari arah luar. Mataku membeliak sebesar telur ceplok. Bola netra ini rasanya sepert