Share

Bab 5

Laras berjalan santai di tengah keramaian taman kota. Hari ini dia ingin menyegarkan otaknya setelah berdebat lumayan panjang dengan Rere. Langkahnya terhenti di sebuah bangku panjang yang terletak di bawah pohon rindang. Laras duduk dengan satu kaki berpangku pada satu kaki lainnya dan matanya diedarkan ke setiap sudut taman.

"Ramai, ya. Coba di desa ada taman seperti ini, pasti enak setiap sore bisa duduk santai," gumam Laras sembari menikmati udara segar.

Mata Laras terhenti pada sepasang kekasih yang sedang bermesraan di bangku seberang tempatnya duduk. Laras tersenyum senang melihat tingkah mereka yang romantis.

"Apa seperti itu ya, kalau orang pacaran?" Senyumnya mengembang ketika melihat sang pria menggenggam erat tangan sang wanita dengan satu tangan membelai lembut rambut yang tergerai indah terbawa angin.

Maklum, selama ini dia belum pernah merasakan pacaran. Laras memang belum pernah merasakan punya pacar. Dia tidak pernah memikirkan hal itu karena dia sibuk membantu bundanya mencari uang dan fokus pada sekolah.

"Hai, Nona. Boleh aku duduk di sini?" sapa seorang pria berdiri di depan Laras dengan sorof mata memandang Laras penuh harapan agar dia mau mengizinkan duduk.

Laras memperhatikan pria itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Matanya terhenti pada wajah tampan pria itu.

"Ganteng banget!" gumamnya lirih mengagumi ketampanan pria itu. Saking tampannya hingga membuat Laras termangu dengan kepala semakin miring. Laras melamun mengagumi ketampanan pria itu. Maklum, selama di desa dia tidak pernah melihat cowok setampan itu.

"Nona. Hai, Nona!" Pria itu menggerak-gerakan tangannya di depan wajah Laras yang terkesima padanya. Suaranya juga terbilang keras karena panggilannya tidak mampu membuat Laras segera tersadar dari bengong kagumnya.

"Nona, kamu sehat?" tanya pria itu lagi.

"Ah, maaf," ucap Laras salah tingkah. Dia gugup dan segera membenarkan posisi duduknya, padahal tanpa dia benarkan pun duduknya sudah benar.

"Boleh aku duduk?" tanya pria itu kembali meminta izin pada Laras.

"Silakan!" sahut Laras sambil menggeser tubuhnya agar pria itu duduk.

"Namaku, James." Pria itu memperkenalkan diri dan mengulurkan tangan pada Laras. Senyumnya mengembang indah dan sangat manis sehingga kembali membuat Laras semakin gugup dan salah tingkah.

"Aku Laras," Laras menyambut uluran tangan James dengan tangan sedikit gemetar dan terasa dingin.

Susana terasa canggung dan sepi. Laras lebih memilih diam untuk menutupi rasa groginya.

"Kamu sendirian?" tanya James menoleh Laras dan melihat wajah manisnya.

"Iya." Jawaban Laras cukup singkat karena dia masih merasa gugup.

"Di mana rumahmu?"

"Di ujung jalan itu." Laras menunjuk jalan menuju rumah Bram.

"Oh." Hanya itu respon James.

"Kamu mau ice cream?" tanya James saat melihat penjual ice cream di dekat mereka.

Laras tidak menjawab, matanya ikut tertuju pada penjual ice itu. Tanpa menunggu persetujuan dari Laras, James berjalan menghampiri penjual es dan membeli dua ice cream. Satu diberikan pada Laras dan satu lagi untuknya.

"Coklat untukmu karena rasanya manis, semanis wajahmu," ucap James merayu Laras sambil tersenyum.

Laras menerima ice pemberian James dengan tersipu malu.

"Terima kasih."

Mereka berdua menikmati manisnya ice cream sambil berbincang. Tidak butuh waktu yang lama untuk menjadi sedikit akrab karena James termasuk orang yang mudah bergaul dan Laras orang yang sangat baik. Senyum dan tawa terdengar di sela percakapan mereka.

"Ternyata kamu lucu ya, polos sekali," ucap James. Dia tidak menyangka di kota masih menemui cewek sepolos dan lugu seperti Laras.

"Aku memang baru datang ke kota ini," ucap Laras tersipu malu.

Tiba-tiba tangan James menyentuh bibir Laras dengan lembut. Laras terkejut dan diam seribu basa. Matanya menatap wajah tampan James, dadanya berdegup kencang. Seketika itu juga wajahnya mundur menghindari tangan James, tapi tangan pria itu terlanjur menyentuhnya.

"Kamu seperti anak kecil, makan ice sampai ke luar bibir," ucap James sambil mengelap sisa ice cream di bibir Laras dengan tangannya.

Spontan Laras menjadi tersipu malu. Dia pikir James akan melakukan sesuatu yang biasa orang lakukan pada pacarnya. Wajah Laras bersemu merah muda.

"Maaf," ucap James.

"Ah, terima kasih. Untung kamu memberitahuku kalau tidak, pasti aku malu bila ada yang lihat."

"Santai saja! Lagi pula bukan kamu saja yang sering seperti itu, banyak. Karena memang rasa ice cream ini sangat enak."

"Sudah sore, aku harus segera pulang," ucap Laras.

"Biar aku antar kamu!" ucap James.

"Terima kasih, tapi tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri lagi pula rumahku tidak jauh dari sini," tolak Laras.

"Kamu yakin?"

"Ya."

"Ya, sudah kamu hati-hati ya! Aku senang bisa ngobrol dengan wanita secantik kamu," rayu James.

Laras tersenyum mendengar pujian James, baru kali ini ada pria yang mengatakan dia cantik.

Laras berjalan meninggalkan James yang masih duduk di tempat semula tanpa merubah posisinya. Sesekali Laras menoleh ke arah James dan pria itu tersenyum melihat Laras. Sekali lagi Laras menoleh pada James, tapi kali ini James tidak melihatnya dia sedang asyik ngobrol lewat ponsel dengan seseorang. Entah kenapa ada rasa kecewa dalam hati Laras ketika melihat pria itu tidak menghiraukannya.

Laras berjalan santai di trotoar jalan dengan kepala merunduk tanpa memperhatikan sekelilingnya.

Sebuah mobil berhenti tepat di samping Laras dan klakson mobil itu berbunyi nyaring sehingga membuat Laras terkejut. Kaca mobil terbuka dan seorang pria memanggilnya.

"Laras!" panggil pria itu.

"Kak Bram!" Laras terkejut melihat Bram memanggilnya.

"Kenapa kamu ada di sini?" tanya Bram dari kaca jendela yang diturunkan.

"Aku-"

"Ayo naik!" pinta Bram memotong ucapan Laras.

Dengan ragu Laras pun mengikuti perintah Bram.

"Lain kali jangan ke luar sembarangan! Ini kota besar, berbeda dengan desa." Bram tidak suka Laras pergi ke luar rumah sendirian karena bagaimanapun dia tinggal di rumahnya, itu artinya keselamatan Laras menjadi tanggung jawabnya.

"Aku hanya bosan di rumah, makanya aku jalan ke taman kota." Laras menyandarkan punggungnya sedikit kesal bila mengingat kebosanannya.

"Bukannya ada Rere di rumah?" Bram menoleh ke arah Laras sebentar lalu kembali fokus pada jalanan.

"Dia di kamar terus, lagi pula dia sedang asyik berbicara dengan temannya di handphone."

"Siapa?"

"Mana aku tau."

Laras dan Bram sama-sama diam. Dalam pikiran Bram bertanya-tanya tentang ucapan Laras tentang Rere dan teman ngobrolnya.

Sesampainya di rumah, Laras langsung menuju kamarnya untuk mandi dan beristirahat, sedangkan Bram tidak langsung masuk kamar, tapi dia berjalan menuju ruang kerjanya yang ada di seberang kamar miliknya.

Bram duduk di kursi kerjanya dan menyandarkan kepala. Matanya terpejam sekedar menghilangkan rasa lelah. Setelah beberapa waktu Bram beranjak dari duduknya dan berjalan menuju kamar. Dia membuka pintu.

Rere terkejut melihat Bram tiba-tiba masuk dan secara cepat Rere mematikan ponselnya.

"Hai, Sayang. Sudah pulang?" tanyanya menghampiri Bram.

"Apa seharian kamu tidak keluar rumah?" tanya Bram dengan nada dingin.

"Tidak. Aku sedang tidak ingin keluar. Aku menunggumu pulang."

"Aneh, kamu tidak bosan seharian di rumah?"

"Aku hanya ingin bermalas-malasan saja hari ini."

Bram menatap Rere. Dia curiga dengan sikap istrinya hari ini. Baru kali ini Rere betah tinggal di rumah. Biasanya dia tidak akan mau di rumah meski hanya satu jam saja bila tidak ada Bram.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status