Share

Bab 6

Setelah mandi dan membersihkan diri, Bram membaringkan tubuhnya di kasur dengan kepala bersandar pada sandaran tempat tidur. Rere mendekatinya dan berbaring di sampingnya dengan menyandarkan kepala pada dada Bram yang lapang.

Tangan Rere mulai membelai dada suaminya dan memainkan jemarinya yang lentik.

"Sayang, besok aku ada pemotretan, kemungkinan aku tidak akan pulang selama dua hari." Rere bersuara sangat lembut ketika dia merayu agar Bram tidak marah.

"Apa pemotretannya di luar kota sehingga kamu tidak bisa pulang?" tanya Bram dengan nada sedikit sinis karena kesal.

"Dalam kota sih, tapi jadwalnya sampai larut malam. Kalau harus pulang pergi akan memakan waktu dan lelah, makanya lebih baik aku tidur di hotel saja."

"Kenapa tidak kamu tinggalkan pekerjaanmu itu dan bekerjalah di perusahaanku? Kalau hanya memenuhi kebutuhanmu sehari-hari saja aku masih mampu. Untuk biaya kuliah Laras, aku juga bisa mencukupinya," ucap Bram penuh penekanan.

"Ini bukan masalah uang, Bram!" Rere mulai terpancing emosinya. Dia pun menjauhkan diri dari Bram dan tidur terlentang sembari menatap langit kamar.

"Lalu apa masalahnya kalau bukan karena uang?" Bram menoleh melihat Rere.

Rere mengangkat kepalanya dan duduk menghadap suaminya.

"Aku tidak bisa menjelaskan padamu dan kamu tidak perlu tau," ucap Rere sambil membuang mukanya ke arah lain.

"Kamu tidak perlu menjelaskan padaku karena suatu saat nanti aku akan mengetahui dengan sendirinya."

Bram bangkit dari posisinya dan berjalan ke luar kamar dan membanting pintu dengan kasar sehingga menimbulkan bunyi yang keras. Hatinya sangat marah karena ucapan yang dilontarkan oleh istrinya. Rere sekarang lebih berani melawan dirinya, terlebih setelah karirnya sedikit memuncak. Rere semakin tidak terkendali dan bertindak sesuka hati.

Bram berjalan menuju dapur hendak mengambil minum karena tenggorokannya terasa kering. Bram bertemu dengan Laras yang juga hendak mengambil minum, mata mereka saling beradu pandang.

"Kak Bram," sapa Laras.

Bram hanya menatapnya sejenak lalu membuka pintu kulkas dan mengambil minum dalam botol dan di bawa duduk di kursi meja makan. Wajahnya terlihat sedang tidak bersahabat.

Laras memperhatikan kakak iparnya itu dengan tatapan heran dan tanda tanya besar. Dia pun menghela napas panjang dan berpikir bila Bram sedang bertengkar dengan Rere. Melihat wajah kesal Bram membuat Laras iba pada kakak iparnya itu.

"Kak, apa Kakak mau aku buatkan kopi?" tanya Laras dengan nada ragu.

Bram menatap wajah Laras sekilas dan kembali menatap gelas dalam tangannya. Dia tidak menyahut tawaran Laras untuk membuatkan dirinya kopi.

"Biasanya kalau ayah sedang ada masalah, selalu memintaku untuk membuatkan secangkir kopi. Katanya bisa membuat pikiran kita rileks." Laras mencoba menceritakan kebiasaan ayahnya di kampung pada Bram agar pria itu setuju dengan tawarannya.

Sekali lagi Bram menatap Laras yang masih berdiri menatapnya. Kali ini tatapannya sedikit lebih lama dan lekat seolah dia sedang mempertimbangkan penawaran Laras.

"Jangan manis-manis! Aku tidak suka manis," ucap Bram langsung mengajukan permintaan dengan syarat.

"Baik, Kak," ucap Laras tersenyum karena tawarannya disambut baik oleh kakak iparnya.

Laras mulai memanaskan air dalam teko kecil.

"Kata bunda kalau buat kopi airnya harus panas dan baru dimasak," ucapnya sambil menunggu air mendidih.

"Kenapa seperti itu?" Bram penasaran dan mulai tertarik dengan cerita Laras.

"Biar kopinya matang sempurna, aromanya juga akan terasa berbeda dengan kopi yang dibuat dengan air panas biasa." Laras dengan bangga menceritakan apa yang menjadi pengalamannya selama menyeduh kopi.

Setelah air mendidih, Laras menuangkan dalam cangkir yang berisi kopi dan sedikit gula lalu mengaduknya hingga rata. Laras memberikannya kepada Bram dan duduk di depan pria itu. Aroma kopi itu memang terasa sedap dan nikmat.

Bram menyeruput kopi dari cangkir karena tergoda dengan aromanya.

"Auw!" teriaknya karena kepanasan.

Laras tertawa dengan menutup mulutnya melihat tingkah kakak iparnya.

"Kak, biar sedikit dingin dulu! Kasihan tuh lidah Kakak kena panas, bisa lecet lho," ucap Laras disela tawanya.

"Kenapa kamu ga' bilang kalau kopinya sangat panas?" Bram malah menyalahkan Laras atas kesalahannya sendiri.

"Bukannya Kakak lihat sendiri aku baru menuangkannya dari teko?" Laras pun tidak mau disalahkan.

"Laras, tolong buatkan aku teh hangat!" perintah Rere tiba-tiba muncul. Kehadiran Rere jelas saja membuat canda Laras dan Bram terhenti. Wajah mereka juga beralih datar dan diam, terlebih wajah Bram. Wajah pria itu kembali murung.

"Kak," ucap Laras menoleh ke arah Rere.

Laras berdiri dan menuju ke pantry untuk membuat teh pesanan Rere. Rere duduk di kursi bekas Laras dan menatap suaminya.

"Sejak kapan kamu suka kopi, Bram?" tanya Rere melihat kopi di depan Bram dengan sorot mata menyelidik karena yang dia tua selama ini Bram tidak pernah minum kopi dengan alasan perutnya selalu kembung bila minum kopi.

"Sejak kapan kamu mau peduli dengan kebiasaanku?" Bram bertanya balik pada Rere.

"Bram, kamu khan tau aku selalu sibuk." Rere tidak mau di salahkan.

"Kalau begitu jangan tanya sejak kapan aku suka minum kopi!" Bram mengacuhkan istrinya.

Laras merasa tidak enak hati saat mendengar obrolan mereka. Laras sendiri tidak mengetahui kalau Bram tidak suka kopi atau tepatnya Bram jarang sekali minum kopi.

"Apa kamu masih marah denganku?" tanya Rere mulai merayu dan mulai nempel lagi.

"Apa aku perlu menjawabnya?" Tatapan Bram tajam penuh dengan kemarahan yang tertahan.

"Sayang, ayolah! Kali ini saja hanya dua hari, setelah itu aku akan di rumah sampai minggu depan," rayu Rere sembari merangkul lengan Bram.

"Kak, ini tehnya," ucap Laras menghidangkan secangkir teh di depan Rere.

Tanpa sengaja tangan Rere menyentuh cangkir air panas yang diberikan Laras.

"Auw! Apa kamu tidak bisa meletakkannya dengan benar? Apa kamu memang sengaja ingin melukai tanganku yang halus ini?" marah Rere pada Laras. Matanya mendelik menatap tajam Laras.

"Maaf, Kak. Aku tidak sengaja," ucap Laras.

"Kenapa sih kamu selalu saja membuatku marah?" bentak Rere kesal.

"Maaf, Kak." Laras merundukkan kepala tidak berani menatap Rere.

Rere menyiramkan teh panas ke tangan Laras, sontak Laras menjerit karna kepanasan dan terkejut.

"Kak, panas!" jerit Laras kaget sambil memegangi tangannya dan menahan panas.

"Panas, bukan? Itu yang aku rasakan," ucap Rere puas.

Bram hanya terdiam melihat perbuatan istrinya dia tidak menyangka bahwa Rere mampu melakukan hal sekejam itu pada adiknya. Perbuatan yang tidak seharusnya dia lakukan sebagai seorang kakak terhadap adiknya.

Pria itu berdiri dan berjalan meninggalkan Rere dan juga Laras.

"Bram, aku belum selesai berbicara denganmu," teriak Rere.

"Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, aku tidak akan melarangmu. Kamu boleh melakukan apa saja bahkan kalau kamu mau, kamu tidak perlu kembali lagi ke rumah ini." Suara Bram terdengar sangat jelas karena pria itu berbicara setengah berteriak untuk menegaskan kemarahannya.

Bram terus berjalan menuju ruang kerjanya tanpa menoleh lagi.

Rere mendesah kesal melihat sikap Bram padanya. Rere memukul meja dengan tangan mengepal.

Laras masih berdiri sambil memegangi tangannya yang sakit. Dia tidak mengerti kenapa kakak tirinya tega melakukan hal itu kepadanya. Selama ini kalau marah Rere hanya sekedar ngomel tidak sampai melakukan tindakan yang menyakiti tubuhnya. Kali ini Laras benar-benar melihat sisi lain dari kakaknya yang tidak pernah dia lihat sebelumnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status