Share

Bab 6

Author: Soesan
last update Last Updated: 2022-11-03 22:29:33

Setelah mandi dan membersihkan diri, Bram membaringkan tubuhnya di kasur dengan kepala bersandar pada sandaran tempat tidur. Rere mendekatinya dan berbaring di sampingnya dengan menyandarkan kepala pada dada Bram yang lapang.

Tangan Rere mulai membelai dada suaminya dan memainkan jemarinya yang lentik.

"Sayang, besok aku ada pemotretan, kemungkinan aku tidak akan pulang selama dua hari." Rere bersuara sangat lembut ketika dia merayu agar Bram tidak marah.

"Apa pemotretannya di luar kota sehingga kamu tidak bisa pulang?" tanya Bram dengan nada sedikit sinis karena kesal.

"Dalam kota sih, tapi jadwalnya sampai larut malam. Kalau harus pulang pergi akan memakan waktu dan lelah, makanya lebih baik aku tidur di hotel saja."

"Kenapa tidak kamu tinggalkan pekerjaanmu itu dan bekerjalah di perusahaanku? Kalau hanya memenuhi kebutuhanmu sehari-hari saja aku masih mampu. Untuk biaya kuliah Laras, aku juga bisa mencukupinya," ucap Bram penuh penekanan.

"Ini bukan masalah uang, Bram!" Rere mulai terpancing emosinya. Dia pun menjauhkan diri dari Bram dan tidur terlentang sembari menatap langit kamar.

"Lalu apa masalahnya kalau bukan karena uang?" Bram menoleh melihat Rere.

Rere mengangkat kepalanya dan duduk menghadap suaminya.

"Aku tidak bisa menjelaskan padamu dan kamu tidak perlu tau," ucap Rere sambil membuang mukanya ke arah lain.

"Kamu tidak perlu menjelaskan padaku karena suatu saat nanti aku akan mengetahui dengan sendirinya."

Bram bangkit dari posisinya dan berjalan ke luar kamar dan membanting pintu dengan kasar sehingga menimbulkan bunyi yang keras. Hatinya sangat marah karena ucapan yang dilontarkan oleh istrinya. Rere sekarang lebih berani melawan dirinya, terlebih setelah karirnya sedikit memuncak. Rere semakin tidak terkendali dan bertindak sesuka hati.

Bram berjalan menuju dapur hendak mengambil minum karena tenggorokannya terasa kering. Bram bertemu dengan Laras yang juga hendak mengambil minum, mata mereka saling beradu pandang.

"Kak Bram," sapa Laras.

Bram hanya menatapnya sejenak lalu membuka pintu kulkas dan mengambil minum dalam botol dan di bawa duduk di kursi meja makan. Wajahnya terlihat sedang tidak bersahabat.

Laras memperhatikan kakak iparnya itu dengan tatapan heran dan tanda tanya besar. Dia pun menghela napas panjang dan berpikir bila Bram sedang bertengkar dengan Rere. Melihat wajah kesal Bram membuat Laras iba pada kakak iparnya itu.

"Kak, apa Kakak mau aku buatkan kopi?" tanya Laras dengan nada ragu.

Bram menatap wajah Laras sekilas dan kembali menatap gelas dalam tangannya. Dia tidak menyahut tawaran Laras untuk membuatkan dirinya kopi.

"Biasanya kalau ayah sedang ada masalah, selalu memintaku untuk membuatkan secangkir kopi. Katanya bisa membuat pikiran kita rileks." Laras mencoba menceritakan kebiasaan ayahnya di kampung pada Bram agar pria itu setuju dengan tawarannya.

Sekali lagi Bram menatap Laras yang masih berdiri menatapnya. Kali ini tatapannya sedikit lebih lama dan lekat seolah dia sedang mempertimbangkan penawaran Laras.

"Jangan manis-manis! Aku tidak suka manis," ucap Bram langsung mengajukan permintaan dengan syarat.

"Baik, Kak," ucap Laras tersenyum karena tawarannya disambut baik oleh kakak iparnya.

Laras mulai memanaskan air dalam teko kecil.

"Kata bunda kalau buat kopi airnya harus panas dan baru dimasak," ucapnya sambil menunggu air mendidih.

"Kenapa seperti itu?" Bram penasaran dan mulai tertarik dengan cerita Laras.

"Biar kopinya matang sempurna, aromanya juga akan terasa berbeda dengan kopi yang dibuat dengan air panas biasa." Laras dengan bangga menceritakan apa yang menjadi pengalamannya selama menyeduh kopi.

Setelah air mendidih, Laras menuangkan dalam cangkir yang berisi kopi dan sedikit gula lalu mengaduknya hingga rata. Laras memberikannya kepada Bram dan duduk di depan pria itu. Aroma kopi itu memang terasa sedap dan nikmat.

Bram menyeruput kopi dari cangkir karena tergoda dengan aromanya.

"Auw!" teriaknya karena kepanasan.

Laras tertawa dengan menutup mulutnya melihat tingkah kakak iparnya.

"Kak, biar sedikit dingin dulu! Kasihan tuh lidah Kakak kena panas, bisa lecet lho," ucap Laras disela tawanya.

"Kenapa kamu ga' bilang kalau kopinya sangat panas?" Bram malah menyalahkan Laras atas kesalahannya sendiri.

"Bukannya Kakak lihat sendiri aku baru menuangkannya dari teko?" Laras pun tidak mau disalahkan.

"Laras, tolong buatkan aku teh hangat!" perintah Rere tiba-tiba muncul. Kehadiran Rere jelas saja membuat canda Laras dan Bram terhenti. Wajah mereka juga beralih datar dan diam, terlebih wajah Bram. Wajah pria itu kembali murung.

"Kak," ucap Laras menoleh ke arah Rere.

Laras berdiri dan menuju ke pantry untuk membuat teh pesanan Rere. Rere duduk di kursi bekas Laras dan menatap suaminya.

"Sejak kapan kamu suka kopi, Bram?" tanya Rere melihat kopi di depan Bram dengan sorot mata menyelidik karena yang dia tua selama ini Bram tidak pernah minum kopi dengan alasan perutnya selalu kembung bila minum kopi.

"Sejak kapan kamu mau peduli dengan kebiasaanku?" Bram bertanya balik pada Rere.

"Bram, kamu khan tau aku selalu sibuk." Rere tidak mau di salahkan.

"Kalau begitu jangan tanya sejak kapan aku suka minum kopi!" Bram mengacuhkan istrinya.

Laras merasa tidak enak hati saat mendengar obrolan mereka. Laras sendiri tidak mengetahui kalau Bram tidak suka kopi atau tepatnya Bram jarang sekali minum kopi.

"Apa kamu masih marah denganku?" tanya Rere mulai merayu dan mulai nempel lagi.

"Apa aku perlu menjawabnya?" Tatapan Bram tajam penuh dengan kemarahan yang tertahan.

"Sayang, ayolah! Kali ini saja hanya dua hari, setelah itu aku akan di rumah sampai minggu depan," rayu Rere sembari merangkul lengan Bram.

"Kak, ini tehnya," ucap Laras menghidangkan secangkir teh di depan Rere.

Tanpa sengaja tangan Rere menyentuh cangkir air panas yang diberikan Laras.

"Auw! Apa kamu tidak bisa meletakkannya dengan benar? Apa kamu memang sengaja ingin melukai tanganku yang halus ini?" marah Rere pada Laras. Matanya mendelik menatap tajam Laras.

"Maaf, Kak. Aku tidak sengaja," ucap Laras.

"Kenapa sih kamu selalu saja membuatku marah?" bentak Rere kesal.

"Maaf, Kak." Laras merundukkan kepala tidak berani menatap Rere.

Rere menyiramkan teh panas ke tangan Laras, sontak Laras menjerit karna kepanasan dan terkejut.

"Kak, panas!" jerit Laras kaget sambil memegangi tangannya dan menahan panas.

"Panas, bukan? Itu yang aku rasakan," ucap Rere puas.

Bram hanya terdiam melihat perbuatan istrinya dia tidak menyangka bahwa Rere mampu melakukan hal sekejam itu pada adiknya. Perbuatan yang tidak seharusnya dia lakukan sebagai seorang kakak terhadap adiknya.

Pria itu berdiri dan berjalan meninggalkan Rere dan juga Laras.

"Bram, aku belum selesai berbicara denganmu," teriak Rere.

"Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi, aku tidak akan melarangmu. Kamu boleh melakukan apa saja bahkan kalau kamu mau, kamu tidak perlu kembali lagi ke rumah ini." Suara Bram terdengar sangat jelas karena pria itu berbicara setengah berteriak untuk menegaskan kemarahannya.

Bram terus berjalan menuju ruang kerjanya tanpa menoleh lagi.

Rere mendesah kesal melihat sikap Bram padanya. Rere memukul meja dengan tangan mengepal.

Laras masih berdiri sambil memegangi tangannya yang sakit. Dia tidak mengerti kenapa kakak tirinya tega melakukan hal itu kepadanya. Selama ini kalau marah Rere hanya sekedar ngomel tidak sampai melakukan tindakan yang menyakiti tubuhnya. Kali ini Laras benar-benar melihat sisi lain dari kakaknya yang tidak pernah dia lihat sebelumnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Tiwys
bikin penasaran Aja,Baca Nofel Minta Di Biayai Ane Hapus Aja Ini Aplikasih Bikin rugi masyarakat
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pesona Adik Ipar   Bab 57

    Laras terus merintih menahan sakit dan memanggil Bram. Suaminya itu langsung berjalan di sisi kepalanya memegang tangan dan memberikan dukungan pada Laras."Kak, sakit!" rintih Laras sudah tidak tahan lagi menahan rasa sakit dan mulas pada perutnya."Kamu kuat, Sayang," ucap Bram mengusap wajah Laras."Ya, aku pasti kuat, tapi jangan tinggalin aku, Kak!"Bram tersenyum. "Tidak, Sayang. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu sedetik pun."Bram menemani Laras dalam proses persalinan. Dia selalu berada di samping istrinya dan selalu memberikan sentuhan dan kecupan yang membuat Laras lebih nyaman saat menghadapai rasa sakit dan mulas dalam perutnya. Grey dan Soya yang mendapatkan kabar dari Joy tentang persalinan Laras langsung menuju rumah sakit. Mereka menunggu dengan cemas, sedangkan di dalam ruang bersalin Laras sedang bertaruh nyawa melahirkan anak bagi Bram dan Bram selalu setia berada di sampingnya hingga terdengar suara tangis bayi yang menggema dan memu

  • Pesona Adik Ipar   Bab 56

    Kehamilan Laras merupakan berita membahagiakan bagi Bram dan keluarga Grey. Saat Bram mengatakan bila Laras telah hamil dan saat ini usia kehamilannya sudah memasuki usia 24 minggu, maka kabar suka cita ini langsung tersebar ke seluruh perusahaan Bram.Selama kehamilan Laras, Bram selalu menjadi suami SIAGA, siap, antar, jaga. Seluruh keinginan Laras selalu saja dituruti, bahkan bila istrinya tidak mau makan, Bram akan memaksa dan mencari cara agar istrinya mau makan.Bram tidak melarang Laras untuk tetap bekerja, hanya saja Bram menempatkan pekerjaan istrinya berdampingan dengannya. Bram ingin setiap saat bisa menemani Laras. Meski istrinya itu termasuk wanita yang mandiri, tapi tetap saja Laras membutuhkan dirinya. Laras sendiri tidak mau terlalu mandiri, dia tetap menghargai Bram sebagai suami dan bisa menempatkan diri di mana dia bisa bermanja dan di mana dia harus mandiri.“Sayang, sekarang kamu mau makan apa?” tanya Bram saat mereka dalam perjalanan pulang.“Ak

  • Pesona Adik Ipar   Bab 55

    Bram menjemput Laras sepulang kuliah. Sejak saat kejadian itu Bram tidak membiarkan istrinya pergi sendirian. Meski Rere telah mati dan tidak akan ada lagi yang mengganggunya, tapi Bram masih tidak mau membiarkan Laras pergi dan pulang kuliah sendirian."Kak, kita mau ke mana?"Laras heran saat Bram melajukan mobilnya bukan pada jalan arah ke rumah mereka. Bram tersenyum dengan menggenggam erat tangan istrinya. Bukan hanya menggenggam saja, Bram sekarang hobi memberi kecupan manis pada punggung tangan Laras."Ikut saja! Nanti juga kamu akan tau, Sayang.""Kak, kenapa ada rahasia? Bukankah suami istri tidak boleh ada rahasia?" Laras cemberut."Bukan rahasia, Sayang. Ini namanya sebuah kejutan." Bram mencium kembali tangan Laras."Kejutan? Kejutan apa, Kak?" Laras penasaran. Mendengar kata kejutan, bola mata Laras berbinar. Dia paling suka bila Bram memberinya kejutan karena kejutan yang Bram berikan selalu saja mampu membuatnya bahagia dan terharu."K

  • Pesona Adik Ipar   Bab 54

    Hampir dua minggu sejak kejadian itu. Dua minggu sejak kematian Rere. Kini Laras telah menjalani kehidupan normalnya. Istri kecil Bram sudah menjalani kuliah kembali. Dengan setia dan sabar Bram mendampingi Laras menghilangkan rasa traumanya."Kak, nanti aku pulang agak siang karena hari ini hanya ada satu mata kuliah saja," ucap Laras sebelum turun dari mobilnya."Nanti aku akan menjemputmu.""Ga usah, Kak. Biar aku naik taksi saja. Bukankah hari ini Kakak ada rapat?""Astaga! Aku lupa Sayang. Bagaimana kalau sopir kantor saja yang menjemputmu? Setelah itu kamu ke kantor dan kita bisa pulang bareng.""Apa tidak masalah aku ke kantor Kakak?" Laras ragu."Sayang, kamu itu istriku sekarang. Siapa yang akan melarangmu datang ke kantor suamimu ini?" Bram membelai rambut Laras lembut.Wajah Laras merona karena malu dengan perhatian suaminya. Senyum Bram terasa lebih menyentuh lubuk rasa yang terdalam. Entahlah, saat itu Laras merasakan kebahagiaan yang tak ter

  • Pesona Adik Ipar   Bab 53

    "Kak, ini rumah siapa?"Laras heran melihat rumah besar dan mewah di depan matanya.Laras bingung kenapa Bram tidak membawanya pulang ke rumah yang biasa mereka tempati sebelum mereka menikah. Rumah itu bukan rumah biasanya dan juga bukan rumah mertuanya. Rumah yang asing dan bisa dibilang lebih bagus dari rumah yang biasa mereka tempati."Kemarilah!" Bram menarik tangan Laras dan melingkarkan tangannya pada pinggang ramping Laras. Senyumnya mengembang simpul, namun wajah Bram terlihat lebih tampan dan sejuk."Ish, kenapa pinggangmu menjadi sangat kecil?" Bram menggoda Laras. Dia memperhatikan istrinya dengan memeriksa pinggang ramping Laras. Tubuh Laras memang sedikit menyusut setelah dirawat di rumah sakit."Kakak, jangan mengejekku!" Laras tersenyum malu-malu. Pipinya semu memerah bak tomat buah ranum membuat Bram semakin gemas."Jangan tersenyum seperti itu! Aku jadi gemas ingin memakan wajahmu." Bram mencubit pipi Laras dengan cubitan kecil dan mesra.

  • Pesona Adik Ipar   Bab 52

    Bram menutup matanya sampai suara teriakan Laras menghilang. Pria itu terdiam terpaku tanpa bergerak sedikit pun. Hati dan hidupnya hancur. Dunia seakan berubah gelap gulita seketika itu juga.Suara isak tangis memaksa pria itu berlahan memberanikan diri membuka matanya."Laras!" Bram kembali berlari mendekati gadis yang tersungkur memeluk erat tubuh Rere.Dia pikir Laras yang tumbang karena ulah Rere, tapi nyatanya Rere yang tertembus timah panas dari anak buah Mico. Laras membawa kepala kakak tirinya ke atas pangkuannya. Gadis itu mendekap erat Rere."Laras," panggilnya tersungkur langsung memeluk erat tubuh gadis itu."Kak, bangunlah!" ucap Laras dalam isak tangisnya.Laras mencoba membangunkan kakak tirinya.Pria yang sedari tadi hanya berdiri terpaku menyaksikan putrinya tumbang perlahan berjalan mendekat dan terjatuh dengan lutut sebagai tumpuannya."Ayah," panggil Rere di sisa napasnya."Sayang." Perlahan pria itu mengusap lembut wajah putr

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status