“Sayang … lebih cepat. Ah!”
Suara manja penuh desahan, terdengar jelas dari balik pintu ruang tunggu mempelai pria. Setiap kata yang menembus telinga Sherin Scarlet seperti anak panah beracun yang membuatnya terdiam kaku di luar pintu ruangan tersebut.
Gaun pengantin putih gading yang semula begitu ia banggakan kini terasa seperti jerat yang melilit tubuhnya. Sesak dan .... menyakitkan.
Tetes demi tetes air mata jatuh tanpa ampun dari mata hijau zamrud Sherin. Ia menahan napas, menahan tangis yang mendesak keluar, menahan amarah yang mendidih di dadanya, bahkan saat jantungnya nyaris remuk oleh kenyataan yang tersaji di depan matanya.
Melalui celah pintu yang tidak tertutup rapat, Sherin bisa melihat bayangan dua tubuh yang berpadu dalam hasrat.
Salah satunya adalah adik tirinya─Paula Scarlet. Gadis itu setengah duduk di meja rias dengan menyingkap tinggi gaun bridesmaid-nya, memperlihatkan pahanya yang terbuka lebar.
Sementara sosok yang lainnya adalah seorang pria muda yang tengah asyik menghunjam tubuh adik tirinya itu dengan brutal dan tanpa dosa. Pria itu bukanlah orang asing, melainkan adalah Marco Langdon─pria yang, dalam hitungan menit, seharusnya berdiri di pelaminan bersama Sherin.
Menyaksikan pengkhianatan tersebut, dunia Sherin runtuh dalam sekejap. Seluruh rencana bahagia yang telah ia siapkan dengan penuh harapan dan cinta sudah tidak lagi berarti.
Desahan Paula menggema dari balik ruangan—seperti pisau yang mengiris hati Sherin berkali-kali. Ingin rasanya ia mendobrak pintu itu dan melabrak keduanya. Namun langkahnya tertahan ketika suara Paula terdengar di sela kenikmatan, “Marco, siapa yang lebih kamu cintai? Aku atau Kak Sherin?”
Sherin terdiam, napasnya tertahan. Meski ia tahu jawabannya, bagian dalam dirinya masih menggantungkan harapan kecil bahwa Marco mungkin menyadari kesalahannya. Sayangnya, harapan itu langsung musnah begitu jawaban Marco terdengar.
“Tentu saja kamu, Sayang. Kamu tahu kan, aku cuma terpaksa menikahinya. Sherin terlalu membosankan.”
Diiringi tawa kecil, pria itu melanjutkan, “Gadis sok suci itu ... siapa yang mau? Aku rasa dia bahkan tidak tahu bagaimana caranya memuaskan pria.”
Sherin membeku. Kata-kata itu menyakitinya lebih dalam daripada adegan tak senonoh yang baru saja disaksikannya.
‘Terpaksa menikahiku? Bukankah kamu sendiri yang mengejar dan bersimpuh menyatakan cinta lebih dulu?!’
Sherin tertawa getir dalam hati. Betapa pintarnya Marco memutarbalikkan kenyataan.
Siapa yang mengatakan Sherin tidak tahu cara memuaskan pria? Apa salahnya menjaga kehormatan hingga pernikahan?
Lagipula Marco selalu berkata bahwa ia siap untuk menunggu hingga malam pertama mereka. Tapi, sekarang …?
Sherin pun menyadari kebodohannya yang percaya dengan ucapan manis dan perhatian palsu pria itu selama ini.
“Kalau begitu, kenapa kamu masih mau menikahinya?” Suara manja yang sarat dengan kecemburuan dari Paula kembali terdengar.
“Karena dia masih berguna untukku, Sayang,” jawab Marco dengan santai.
Sherin mengerutkan keningnya. Namun, sebelum ia sempat memahami maksud ucapan tersebut, suara Marco kembali terdengar.
“Tenang saja. Begitu aku dapat hak pengelolaan penuh atas Clover, aku akan menceraikannya.”
Sherin terhenyak. ‘Ternyata dia ….’
Clover adalah galeri seni milik keluarga Scarlet. Lebih tepatnya, merupakan warisan peninggalan satu-satunya dari ibu kandung Sherin.
Berdasarkan surat wasiat dari mendiang sang ibu, Sherin baru mendapatkan hak penuh atas galeri jika ia sudah menikah. Tidak pernah terbesit sedikit pun di dalam benaknya jika Marco menginginkan harta berharganya itu.
‘Kamu ingin mengambil Clover dariku?’
Kemarahan menyala pada sepasang mata Sherin yang basah. Gadis itu mengepalkan kedua tangannya dengan erat, lalu kembali bergumam di dalam hati, ‘Aku tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi, Marco!’
Sherin menghapus air mata dengan satu gerakan kasar, mendongakkan kepala dengan dagu terangkat, lalu berjalan meninggalkan tempat itu dengan tekad penuh untuk membalas pengkhianatan yang didapatkannya!
***
Detik-detik mengikrarkan janji suci pun tiba. Gaun putih Sherin menyapu lantai aula, diiringi alunan musik lembut yang terdengar sumbang di telinganya. Tamu-tamu berdiri dan memandang kagum saat ia melangkah anggun menuju ke pelaminan.
Marco menunggu dengan penuh senyuman seakan-akan tidak ada dosa yang telah dilakukannya. Ia menyambut Sherin dengan uluran tangan, tapi Sherin hanya melewatinya tanpa menyentuhnya.
Marco terheran-heran. Namun, demi menjaga citra baiknya, ia tetap menebar senyum palsu dan berlagak tenang. Ia mengira Sherin hanya gugup atau kelelahan saja.
Sang pemuka agama mulai membacakan janji suci pernikahan. Suasana di dalam aula menjadi hening dan khidmat.
Marco menjawab dengan lantang atas kesediaannya menerima Sherin sebagai istrinya. Suara tepuk tangan yang meriah pun menggema di dalam ruangan.
Namun, tepat giliran Sherin menjawab kesediaannya, gadis itu hanya diam. Kebingungan dan kegelisahan pun menyebar di seluruh aula.
Marco pun melirik calon istrinya itu dan berbisik, “Sayang, jangan bercanda. Semua orang sedang menunggumu.”
Sherin menoleh dan tersenyum sinis. Satu detik kemudian, suaranya menggema di seluruh aula. “Saya … TIDAK bersedia!”
Seisi aula bergemuruh hebat atas kejutan yang mereka dengar. Sementara, Marco terpaku selama beberapa detik, tetapi kemudian ia mencoba memastikan keadaan gadis itu dengan penuh perhatian. “Sayang, kamu kenapa? Apa kamu sakit atau─?”
“Cukup, Marco Langdon. Hentikan sandiwaramu.” Sherin menyela dengan dingin dan tajam.
Marco terperangah. Sebelum ia sempat merespon, Sherin melanjutkan, “Aku sudah tahu semua kepalsuanmu dan hal ‘baik’ apa yang sudah kamu lakukan dengan Paula di belakangku.”
Gema suara Sherin memantul di seluruh ruangan. Para tamu saling berpandangan dan berbisik. Beberapa bahkan sudah mulai merekam dengan ponsel mereka, tak ingin melewatkan momen tersebut.
Marco tersenyum kikuk. “Sayang─”
“Kalian berdua adalah pasangan paling hina dan menjijikkan,” Sherin kembali menyela, tidak memberikan kesempatan bagi pria itu untuk membela diri.
Wajah Marco memucat. Begitu juga dengan Paula yang berdiri tidak jauh dari pelaminan.
Namun, Paula tiba-tiba terisak dan berkata, “Kak Sherin, aku tahu selama ini kamu selalu marah kalau Kak Marco berbicara denganku. Padahal Kak Marco hanya ingin tahu segalanya tentangmu dariku. Tidak seharusnya kamu berpikiran buruk dan memfitnah kami seperti ini hanya karena rasa cemburumu.”
Ibu Paula─Penelope Smith ikut memperkeruh suasana dan menyudutkan Sherin. “Kenapa kamu selalu seperti ini, Sherin? Apa belum cukup kamu menindas Paula selama ini?”
Sherin tertawa getir. “Lucu. Selama ini siapa yang menindas siapa?”
Padahal Sherin-lah yang selalu mengalami penindasan dari Penelope dan putrinya. Semenjak ibu kandungnya tiada, tidak ada satu hari pun di mana Sherin menerima perlakuan yang pantas sebagai putri sulung keluarga Scarlet. Keduanya selalu memfitnahnya dan membuat dirinya dianggap sebagai gadis pemberontak yang sulit diatur.
“Sherin, cukup! Apa kamu ingin menghancurkan wajah keluarga kita baru kamu puas?” David Scarlet, ayah kandung Sherin membentak putri sulungnya itu dengan keras.
“Minta maaf pada Paula dan Marco,” lanjut David dengan wajah menahan malu atas kekacauan yang terjadi.
Sherin menatap ayahnya tak percaya. “Meminta maaf?” ulangnya, tersenyum pahit.
“Lihatlah siapa yang seharusnya meminta maaf di sini, Papa!” seru Sherin seraya menunjuk ke arah layar yang ada di belakangnya.
Rekaman adegan ‘mesra’ Paula dan Marco yang terjadi di ruang tunggu sebelumnya ditampilkan pada layar tersebut.
Tubuh David limbung dan terduduk syok di kursinya. Paula menangis histeris, sedangkan Penelope berusaha menghalangi adegan yang dipertontonkan, “Matikan layarnya!” jeritnya, panik.
Suasana menjadi sangat gaduh. Umpatan kasar dan komentar buruk pun meluncur dari bibir para tamu dan kedua keluarga besar.
Sherin pun tersenyum lebar dengan penuh kemenangan. Tanpa mempedulikan kekacauan yang diciptakannya, ia berjalan turun dari pelaminan.
Namun, Marco bergegas menarik lengannya. “Sherin, kita harus bicara!”
“Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Bajingan!” tukas Sherin seraya melempar buket bunga yang remuk di tangannya ke wajah Marco.
Pria itu pun melepaskan cekalannya karena buket bunga tersebut mengenai matanya. Tanpa membuang waktu, Sherin pun berlari, melemparkan wedding veil dan sepatu yang menghambat langkahnya.
‘Semua sudah berakhir,’ batin Sherin. Dadanya terasa lega sekaligus perih. Air mata pun berlinang deras di pipinya, tetapi ia tidak menyesali keputusan yang telah diambilnya.
Akan tetapi, Marco ternyata tidak membiarkannya pergi begitu saja. “Hentikan dia!” teriak pria itu, mengerahkan seluruh pengawalnya untuk membawanya kembali.
“Kamu bilang … dia … suamimu?”Tatapan David Scarlet menusuk tajam ke arah putrinya dan gadis itu mengangguk dengan penuh percaya diri.Pandangan David pun berpindah kepada pria bertubuh tinggi di samping Sherin. Sosok itu berdiri tenang, namun ada aura berbahaya yang sulit ia jelaskan dari pria tersebut. Ada ketegasan dari sorot matanya yang membuat David merasa terintimidasi.Namun, pria paruh baya itu berusaha menekan perasaan tidak nyamannya tersebut dan berkata, “Jangan kamu kira Papa akan percaya begitu saja hanya karena kamu membawa sembarang orang untuk diakui sebagai suamimu!”“Papamu benar,” timpal Penelope. “Walaupun kamu marah dengan Marco dan ingin membalasnya, tapi tidak harus asal memilih seperti ini.”Paula ikut menimpali, menelusuri Arnold dari atas ke bawah dengan tatapan meremehkan. “Seleramu sekarang turun kelas, Kak?”Sherin sudah menduga ayahnya akan menampik pengakuannya. Namun, ia tidak menyangka Penelope dan Paula akan menghina pria pilihannya. Ia pun membalas
“Ini sertifikat nikahnya. Dengan ini, kalian sudah resmi menjadi pasangan suami-istri.”Senyum lega merekah di wajah Sherin saat menerima sertifikat pernikahan dari petugas catatan sipil yang duduk di hadapannya. Ia segera bangkit dari kursinya, hendak menyusul Arnold yang telah lebih dulu keluar ruangan.Namun, langkahnya terhenti karena sang petugas memanggilnya kembali. Ia pun menoleh.Dengan nada penuh keraguan, petugas itu berkata, “Nona, apakah suami Anda…?”Dahi Sherin berkerut. “Ada apa dengan suami saya?”Wanita paruh baya itu malah menggeleng. “Ah, tidak. Lupakan saja. Mungkin saya yang keliru.”Meski merasa aneh, tetapi Sherin tidak ingin membuang waktu untuk bertanya lebih jauh. Saat ini, ada urusan yang lebih penting yang harus diselesaikannya.Begitu Sherin menghilang dari pandangannya, petugas tersebut menatap salinan identitas yang tadi diberikan Arnold. Bibirnya menggumam pelan, “Nama mereka memang sama. Tapi … Arnold Windsor yang itu tidak mungkin berpenampilan seper
“Kya!” Sherin memekik histeris, memejamkan matanya erat-erat,Ia mengira ajalnya telah tiba. Namun, sepasang tangan besar tiba-tiba mengambil alih setir, memutarnya tajam ke kiri dan membawa mobil mereka masuk ke jalan sempit.Mobil berguncang keras. Tubuh mereka terpental beberapa kali karena jalan yang tidak mulus. Setelah beberapa saat, jalur mobil kembali ke jalan utama.Sherin membuka matanya kembali dan melihat pria asing di sebelahnya inilah yang telah mengambil kendali kemudinya.“Rem!” titah pria tersebut.Sherin langsung mematuhinya, menginjak pedal rem di kakinya dan mobil tersebut pun berhenti di sisi jalan area perkantoran yang padat.Selama beberapa waktu, hanya tersisa suara napas keduanya yang memburu dan deru mesin yang masih menyala. Ketegangan yang baru saja terjadi masih membekas jelas di udara.“Kamu tahu … kamu hampir membunuh kita berdua,” desis pria itu dengan nada geram. Rambut hitamnya yang semula tersisir rapi kini berantakan. Tangannya masih mencengkeram
“Berengsek!” Sherin menggeram kesal.Napasnya memburu saat derap kaki beberapa pria berseragam hitam terdengar kian dekat di belakangnya.“Mereka pikir bisa menangkap pelari handal sepertiku?” tukas gadis itu seraya berdecak kasar.Ia menarik troli makanan dan menjatuhkan semua isinya, lalu kembali berlari sembari menjatuhkan benda apa pun yang bisa menghambat pengejaran para pengawal Marco.Begitu mencapai lobi, ia langsung menembus pintu kaca dan menyapu pandangan ke sekelilingnya dengan panik hingga akhirnya berhenti pada sosok pria berseragam staf hotel yang baru saja keluar dari mobil yang diparkirkan di area valet.Tanpa berpikir panjang, Sherin menghampirinya. Ia harus mendongak karena tubuhnya hanya setinggi pundak pria itu saja.Sherin terpaku beberapa detik. Ia terpukau dengan ketampanan dan pesona petugas valet hotel tersebut.Pria jangkung itu memiliki mata biru yang tajam dengan alis yang tebal, garis rahang yang tegas, hidung yang tinggi dan lurus, serta bibir yang terbe
“Sayang … lebih cepat. Ah!”Suara manja penuh desahan, terdengar jelas dari balik pintu ruang tunggu mempelai pria. Setiap kata yang menembus telinga Sherin Scarlet seperti anak panah beracun yang membuatnya terdiam kaku di luar pintu ruangan tersebut.Gaun pengantin putih gading yang semula begitu ia banggakan kini terasa seperti jerat yang melilit tubuhnya. Sesak dan .... menyakitkan.Tetes demi tetes air mata jatuh tanpa ampun dari mata hijau zamrud Sherin. Ia menahan napas, menahan tangis yang mendesak keluar, menahan amarah yang mendidih di dadanya, bahkan saat jantungnya nyaris remuk oleh kenyataan yang tersaji di depan matanya.Melalui celah pintu yang tidak tertutup rapat, Sherin bisa melihat bayangan dua tubuh yang berpadu dalam hasrat.Salah satunya adalah adik tirinya─Paula Scarlet. Gadis itu setengah duduk di meja rias dengan menyingkap tinggi gaun bridesmaid-nya, memperlihatkan pahanya yang terbuka lebar.Sementara sosok yang lainnya adalah seorang pria muda yang tengah a