Siena mencoba bangkit. Setelah ketiga kalinya akhirnya ia berhasil berdiri. Kakinya melangkah cepat menuju dinding pintu yang terkunci dari luar.
‘Dasar brengsek! Bahkan dia mengunci pintunya.’ Setidaknya kalimat itu yang ia ingin ucapkan tetapi hanya suara geraman yang keluar dari mulut. Tiba-tiba ia menabrakkan badannya ke arah dinding pintu. Beberapa kali ia melakukannya seolah sengaja untuk memancing keributan. Ia ingin Niccolo datang. Sedangkan dari sudut ruangan lain, Niccolo masih duduk bersama Maxime. Saat mulutnya hendak menjawab terdengar suara gebrakan pintu dari kamar Siena samar-samar. Sontak kejadian itu menarik perhatian Maxime yang sesekali menoleh ke belakang. Niccolo bangkit dan melambaikan tangan ke arah Bosco. Pria itu pun menghampirinya. “Kau urus masalah ini seperti biasa,” bisik Niccolo lalu bergegas meninggalkan Maxime. “Don.” Maxime berdiri sembari menatap kepergian Niccolo. Bosco duduk di tempat Niccolo sebelumnya. Lalu menginstruksikan Maxime untuk ikut duduk. “Apa terjadi sesuatu di sana?” tanya Maxime. Bosco menatap tajam seolah merasa tidak suka ada orang lain yang menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan Niccolo. “Kami menerimanya. Tapi, kami ingin bayaran empat kali lipat dari sebelumnya.” Maxime tampak terkejut. “Apa?! Bukankah itu terlalu banyak?” “Mencari keberadaan seseorang yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak, itu tidak mudah. Jika kau bersedia membayarnya, kami akan lakukan keinginanmu.” Desahan napas kasar keluar dari mulut Maxime. Tidak ada cara lain. Ia tidak mengenal orang lain seperti Niccolo. Lagipula hanya pria itu yang bisa membantunya. “Baiklah,” jawab Maxime putus asa. *** Siena terdorong saat seseorang membuka pintu dengan kasar. Tubuhnya tergeletak di atas lantai marmer. Ia menatap tajam sosok pria yang melangkah masuk. Berjalan pelan ke arahnya lalu berjongkok. “Kenapa kau tidak pernah mendengarku dengan baik?” tanya Niccolo, suaranya berbisik seolah menyiratkan ancaman. Lagi dan lagi, hanya geraman yang keluar dari mulut Siena membuat arah mata Niccolo sekilas tertuju ke arah sana. “Kau harus mendengarkan ucapanku jika ingin hidup dan kembali ke Monaco,” ucap Niccolo. Niccolo menghela napas panjang saat kembali mendengar geraman Siena. Ia mencengkram kedua lengan Siena dan menariknya untuk berdiri. Saat berhasil berdiri Siena menggoyangkan badannya untuk berusaha melepas genggaman tangan pria itu di pundaknya. Ia berjalan beberapa langkah seolah memberi jarak diantara mereka. Perhatian Niccolo teralihkan. Ia menoleh ke belakang dan melihat Pietro berdiri di depan pintu. Pandangan mereka bertemu seolah sedang bicara melalui tatapan masing-masing. Lalu Niccolo menggerakkan tangan seolah memberi isyarat untuk Pietro agar pergi. Niccolo menghampiri Siena. Saat wanita itu hendak menghindar, ia menarik tangannya membuat badan mereka bertabrakan. Awalnya Siena memberontak tetapi ia langsung tenang saat tahu Niccolo sedang melepas ikatan dasi di tangannya. Siena kembali memberi jarak. Ia berjalan tiga langkah ke depan dan berbalik badan menghadap Niccolo. Seiring langkahnya ia melepas isolasi yang menutupi mulut dan membuangnya ke arah Niccolo. “Dasar brengsek! Penipu!” umpat Siena. Napasnya terengah-engah. “Ada beberapa peraturan saat kau tinggal di sini—” “Aku tidak mau tinggal di sini!” potong Siena. Ia masih menggunakan nada tinggi sehingga suaranya terdengar hingga sudut kamar. “Aku tidak sedang memberimu pilihan. Jika kau masih ingin hidup, kau harus tinggal di sini.” “Aku tidak mau,” desis Siena sembari mendongakkan wajahnya seolah sedang menantang Niccolo. Siena hendak berjalan menuju pintu tetapi saat melewati Niccolo, pria itu mencengkram lengannya. Siena memberontak tetapi Niccolo masih menahannya. Ia memeluk pinggang Siena dan mengangkat badannya. Mendorongnya ke arah tembok. Niccolo menghimpit tubuh Siena ke tembok. Ia menggenggam erat kedua tangannya. Pandangan mata mereka bertemu. Napas keduanya memburu. Bukan karena hasrat, melainkan emosi yang melekat di dalam diri mereka masing-masing. Siena merasa begitu kesal karena harus bertemu dengan Niccolo lalu menjadi tawanannya. Sedangkan Niccolo, ia ingin memberitahu dengan gamblang tentang keluarganya tetapi ada sesuatu yang membuat bibirnya tidak bisa mengucapkannya. “Dekati temanmu, tapi lebih dekati musuhmu,” bisik Niccolo menggunakan bahasa Italia. “Apa kau tidak tahu peribahasa itu?” sambungnya menggunakan bahasa Inggris. Siena ikut berbisik. “Persetan dengan ucapanmu.” Siena kembali memberontak tetapi Niccolo tidak memberikan celah. Bahkan kali ini genggamannya semakin erat membuat kening Siena mengernyit karena merasakan sakit di sekitar tangannya. “Lepaskan aku.” “Aku akan melepaskanmu jika kau mendengar ucapanku.” Niccolo mendesah kasar. “Ada seseorang yang menginginkan nyawamu, kau pun tahu hal itu bukan? Baru saja dia mendatangiku dan menyuruhku untuk mencari dan menangkapmu.” “Kau sudah melakukannya,” timpal Siena dengan nada mencemooh. “Ya. Kau benar. Dia juga menyuruhku untuk membunuhmu,” sambung Niccolo. Siena terperangah. Seketika sekujur tubuhnya membeku. Matanya terbelalak. Ia tidak menyangka akan mendengar kalimat itu. Alih-alih merasa takut pada Niccolo, dirinya justru diselimuti oleh rasa penasaran. Ia yakin hidupnya berjalan dengan normal. Ia tidak memiliki musuh. Keluarga dan teman-temannya pun sangat baik padanya. Lalu siapa yang berniat ingin membunuhnya? “Kau bohong, itu hanya alibi untuk menahanku di sini bukan?” Niccolo tersenyum miring. “Apa kau ingin bukti?” Tiba-tiba Niccolo mundur beberapa langkah. Jeratan di kedua tangan Siena sudah terlepas. Ia mengeluarkan sesuatu dari balik jas. Dalam hitungan detik ujung moncong senapan mengarah tepat di depan wajah Siena. “Aku bisa membuktikannya sekarang padamu.” Siena mematung. Ucapan Niccolo seperti terbawa angin. Matanya hanya tertuju ke arah moncong senjata api. Seketika wajahnya memucat dengan keringat dingin yang mulai mengalir. Mata Siena memerah dengan airmata yang siap merembes detik itu juga. “Aku adalah musuhmu, Siena. Setidaknya sampai tugas untuk membunuhmu selesai,” ucap Niccolo. Lalu tiba-tiba suara tembakan yang melengking terdengar hingga koridor. Tubuh Siena terlonjak. Airmatanya menetes begitu saja. Suara tembakan itu masih memenuhi indra pendengarannya hingga membuatnya terasa sakit. Sedangkan suara kaca yang pecah akibat timah panas yang melesat tak dapat mengalihkan perhatian Siena. Sampai akhirnya… Niccolo menyanggah tubuh Siena yang terjatuh pingsan. Sedangkan dari arah pintu terdengar suara beberapa orang berlari menghampiri. Pietro terkejut melihat pecahan kaca yang berserakan di atas lantai dan Siena yang pingsan di pelukan Niccolo. “Apa yang terjadi?” tanya Bosco yang berjalan melewati Pietro. Menghampiri Niccolo. Niccolo mendesah kasar. Ini kedua kalinya ia menakuti Siena dengan senjata. Niccolo tidak menjawab. Ia memberikan senjata itu pada Bosco lalu mengangkat tubuh Siena. “Suruh pelayan untuk membersihkannya,” perintah Niccolo pada Bosco. Lalu berjalan melewati Bosco dan Pietro serta dua anak buah lainnya. Ia pergi ke arah kamar lain. Kamar utama miliknya yang letaknya tak jauh dari kamar tersebut.Siena dan Pietro berhenti di depan pintu. Perlahan Pietro membukanya, lalu mempersilakannya untuk masuk. Seiring kaki Siena berjalan di atas marmer hitam, Pietro menutup pintu. “Astaga! Ternyata yang dia maksud ruangan lounge,” desahnya saat melihat Niccolò sedang duduk di salah satu sofa yang berwarna coklat tua sambil menikmati segelas minuman alkohol. Langkah Siena menghampiri Niccolò. Ia duduk di sofa yang berseberangan. Sebuah sofa yang berwarna hitam gelap. “Ada apa?” tanya Niccolò saat menoleh ke arah Siena. Siena menggelengkan kepala. Dirinya justru mengalihkan pandangannya ke arah botol wine yang berjejer rapi di dinding. Ia bangkit dan berjalan ke arah meja bar. Mengambil satu gelas kosong dan kembali ke tempat semula. “Tidak enak jika minum sendirian,” ujarnya sambil menuangkan botol whiskey yang sudah terbuka di atas meja. “Kenapa kau ingin kembali ke Monaco sedangkan mereka bukan orang tuamu?” tanya Niccolò sambil sesekali menenggak minumannya. Siena tersedak saat
Valencia mematung. Jawaban Niccolo seperti cambuk yang melukai hatinya. Ia memang menjadi kekasihnya Sergio tetapi tidak ingin melihat Niccolo memiliki magnet dunianya yang baru. Mata Valencia menyorot tajam ke arah punggung Siena yang sedang duduk membelakangi sambil menikmati makanan. Seketika hatinya mengutuk keberadaan Siena di sana. Pandangan mata Valencia kembali tertuju pada Niccolo. Senyum yang kaku menempel di wajahnya. Ia mencoba menyembunyikan ketidaksukaannya. “Kau pasti bohong. Aku tahu kau sangat sibuk dengan pekerjaan dan tidak ada waktu memikirkan masalah percintaan. Lagipula, kalau dia memang kekasihmu, kenapa aku baru melihatnya?” “Tidak semua hal harus aku katakan padamu,” jawab Niccolo. “Apa?” Kedua alis Valencia terangkat. Ia kembali dikejutkan oleh ucapan Niccolo yang begitu dingin. “Baiklah, kalau memang seperti itu.” Lalu menarik napas dalam-dalam sambil tersenyum. Mencoba mengangkat batu yang menekan dadanya. “Aku ingin berkenalan dengannya.”Niccolo mena
Siena terbangun tepat pukul delapan malam. Seolah kejadian sebelumnya masih terasa, Siena terlonjak saat sadar dari tidur yang diakibatkan pingsan. Matanya memperhatikan sekeliling ruangan yang didominasi warna hitam itu sangat kontras jika dibandingkan kamar sebelumnya dan ruangan lain. Kosong. Hanya ia sendiri di dalam ruangan itu. Siena bangkit duduk. Kepalanya masih berdenyut tetapi telinganya sudah tidak berdengung. Tubuh Siena bergerak menghimpit headboard saat mendengar suara seseorang membuka pintu. Entah mengapa rasa takut langsung menyelimuti membuat suasana di dalam kamar itu terasa begitu menyeramkan. Bayangan kejadian sebelumnya kembali terputar di dalam kepala membuatnya menatap was-was ke arah pintu. Pintu itu terbuka pelan. Menampakkan sosok wanita asing yang berjalan ke arahnya. Cahaya temaram di dalam kamar membuatnya tidak dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas. Tetapi satu hal yang ia tahu wanita itu tidak berbahaya. Ia seorang pelayan. “Selamat malam, Non
Siena mencoba bangkit. Setelah ketiga kalinya akhirnya ia berhasil berdiri. Kakinya melangkah cepat menuju dinding pintu yang terkunci dari luar. ‘Dasar brengsek! Bahkan dia mengunci pintunya.’ Setidaknya kalimat itu yang ia ingin ucapkan tetapi hanya suara geraman yang keluar dari mulut. Tiba-tiba ia menabrakkan badannya ke arah dinding pintu. Beberapa kali ia melakukannya seolah sengaja untuk memancing keributan. Ia ingin Niccolo datang. Sedangkan dari sudut ruangan lain, Niccolo masih duduk bersama Maxime. Saat mulutnya hendak menjawab terdengar suara gebrakan pintu dari kamar Siena samar-samar. Sontak kejadian itu menarik perhatian Maxime yang sesekali menoleh ke belakang. Niccolo bangkit dan melambaikan tangan ke arah Bosco. Pria itu pun menghampirinya. “Kau urus masalah ini seperti biasa,” bisik Niccolo lalu bergegas meninggalkan Maxime. “Don.” Maxime berdiri sembari menatap kepergian Niccolo. Bosco duduk di tempat Niccolo sebelumnya. Lalu menginstruksikan Maxime untuk ik
Kesadaran Siena kembali pulih saat dirinya sudah terbaring di atas ranjang dengan Niccolo berada di atasnya. Masih bersama ciuman yang bersarang di leher jenjangnya, Siena berusaha mengendalikan diri. Ia tidak ingat bagaimana mereka sudah berada di posisi itu. Setiap ciuman itu seolah menghipnotisnya. Kini tangan Niccolo sudah tidak mencengkram tangannya sehingga Siena berusaha untuk mendorongnya menjauh. “Niccolo. Apa yang kau lakukan?” sentak Siena. Bulu kuduk Siena meremang saat matanya bertatapan langsung dengan pria itu. Sorot matanya yang tajam semakin gelap seolah menyimpan amarah yang besar. “Niccolo!” Tak bergeming. Niccolo masih diam dan berusaha mencekal kedua tangan Siena yang ingin memberontak. Hingga akhirnya Siena kembali melakukan gerakan impulsif yang menamparnya. Suasana hening. Hanya terdengar deru napas mereka yang saling memburu. Niccolo mematung seolah kesadarannya perlahan menguasai. Ia bangkit berdiri. Dan pergi begitu saja tanpa mengatakan apap
Selang beberapa jam, jet pribadi itu mendarat di bandara. Siena berdiri di belakang Niccolo sambil mengikuti setiap langkahnya. Namun, ia tertinggal di belakang karena kakinya yang tak cukup panjang. “Hei, tunggu!” Siena berteriak. Ia berlari. Mencoba mengejar Niccolo. Lalu berusaha mensejajarkan langkahnya saat berhasil berada di sebelahnya. “Kapan kau akan mengantarku ke Monaco?” tanya Siena. “Siapa yang mengatakan itu?” Niccolo balik bertanya lalu menyeringai. “Apa?!” Niccolo mengabaikan keterkejutan Siena. Ia memilih masuk ke dalam mobil yang sudah terparkir di sana. Sedangkan Siena masih bertahan dengan keterkejutannya. “Nona.” Siena tertegun. Ia menatap sinis pada Pietro. “Apa?!” sahutnya. “Kita akan segera berangkat. Sebaiknya kau juga masuk ke dalam mobil.” Siena memutar bola matanya. Langkahnya diiringi desahan napas kasar. Ia menyusul masuk ke dalam mobil yang sama dengan Niccolo. “Kau membawaku ke sini. Seharusnya kau juga bertanggungjawab untuk mengant