Share

Bab 7

last update Last Updated: 2025-11-06 08:50:05

Kring! Kring! Kring!

Bel pergantian jam berbunyi nyaring di koridor kampus. Gilbert berjalan keluar dari kelas Manajemen Strategis dengan langkah gontai. Kepalanya terasa berat—bukan karena materi kuliah yang sulit, tapi karena pikirannya yang terus-menerus melayang ke tempat lain. Ke seseorang.

"Gil! Tunggu sebentar!" teriak Seta dari belakang sambil berlari kecil mengejar.

Gilbert berhenti dan berbalik. Sahabatnya itu menghampirinya dengan wajah penasaran.

"Iya, ada apa, Set?"

Seta merangkul pundak Gilbert dengan gaya santai.

"Kamu kenapa sih akhir-akhir ini? Kok jarang banget nongkrong bareng kayak dulu? Kalau diajak main futsal nolak, diajak main game juga nolak. Sibuk apa?"

Gilbert tersentak dalam hati. Ia harus memberikan alasan yang masuk akal.

"Ah, iya. Aku lagi ada proyek freelance fotografi, Set. Lumayan buat nambah uang saku. Jadi agak padat jadwalnya."

Seta mengangguk mengerti.

"Oh gitu. Freelance apa? Siapa tahu aku bisa bantu. Atau kalau perlu asisten, aku bisa ikut."

Gilbert cepat-cepat menggeleng.

"Nggak usah repot-repot. Ini cuma proyek kecil kok. Foto produk UMKM gitu. Aku sendiri aja cukup."

Seta menepuk punggung Gilbert.

"Oke deh kalau gitu. Tapi jangan terlalu forsir diri ya. Kuliah juga penting. Oh iya, akhir pekan ini kamu ada acara nggak? Mama mau masak besar. Kamu diundang makan malam di rumah."

Jantung Gilbert berdegup keras mendengar kata "Mama"—panggilan Seta untuk Sheilla.

"Eh... akhir pekan? Sabtu atau Minggu?"

Seta berpikir sebentar.

"Sabtu malam aja. Gimana? Bisa kan?"

Gilbert tahu ia tidak bisa menolak tanpa terlihat mencurigakan. Menolak undangan makan malam di rumah sahabatnya sendiri pasti akan menimbulkan pertanyaan.

"Oke, aku usahakan. Jam berapa?"

Seta tersenyum lebar.

"Jam tujuh malem. Mantap! Udah lama nggak ngumpul kayak dulu. Oh iya, Papa juga ada di rumah. Dia baru pulang dari Jakarta."

Gilbert mengangguk sambil memaksakan senyum. Di dalam hatinya bergejolak perasaan campur aduk—senang karena akan bertemu Sheilla, tapi juga cemas karena suami Sheilla akan ada di sana.

Mereka berpisah di parkiran. Gilbert mengendarai motornya kembali ke kost dengan pikiran kacau.

Malam itu, Gilbert duduk di meja belajarnya sambil menatap layar laptop yang menampilkan slide presentasi untuk mata kuliah besok. Tapi tidak satu pun kata di layar itu masuk ke otaknya.

Bzzt! Bzzt!

Ponselnya bergetar. Pesan dari Sheilla.

"Gilbert, sudah makan malam?"

Gilbert tersenyum tanpa sadar. Tangannya langsung mengetik balasan.

"Sudah. Tadi makan nasi goreng di warung depan kost. Ibu sendiri?"

"Aku masih di studio. Belum sempat makan. Terlalu fokus ngerjain desain."

"Ibu harus makan. Jangan sampai sakit."

"Iya, nanti aku pesan delivery. Ngomong-ngomong, Seta bilang kamu akan datang makan malam Sabtu ini?"

Gilbert menarik napas panjang sebelum membalas.

"Iya. Dia yang ngundang. Aku nggak bisa nolak tanpa alasan kuat."

Beberapa menit tidak ada balasan. Tiga titik indikator mengetik muncul lalu hilang berkali-kali. Sheilla sepertinya sedang berpikir keras.

Akhirnya balasan masuk.

"Aku... tidak tahu apakah ini ide yang baik. Aku takut tidak bisa mengontrol diri saat melihatmu. Apalagi suamiku akan ada di rumah. Aku takut ketahuan."

Jantung Gilbert berdebar membaca pesan itu. Jadi Sheilla juga merasakan hal yang sama kesulitan mengontrol perasaan.

Tangannya mengetik berbagai balasan tapi terus dihapus lagi.

"Bagaimana kalau kita..."

Delete.

Apa yang bisa mereka lakukan? Mereka terjebak dalam situasi yang semakin rumit.

Gilbert akhirnya mengetik dengan hati-hati.

"Kita harus bisa mengendalikan diri. Demi Seta."

Whoosh!

Pesan terkirim.

Tapi bahkan saat mengetik itu, Gilbert tidak yakin apakah ia benar-benar bisa mengendalikan dirinya saat nanti bertemu Sheilla.

Selasa siang. Gilbert duduk di kantin kampus bersama David. Mereka baru selesai ujian tengah semester untuk mata kuliah Perilaku Konsumen.

"Soalnya susah banget tadi. Nomor lima itu apa maksudnya," keluh David sambil menyuap nasi goreng di piringnya.

Gilbert hanya mengangguk sambil memainkan sendok di atas piringnya. Ia tidak terlalu lapar.

David memperhatikan Gilbert dengan curiga.

"Kamu kenapa sih? Dari tadi bengong terus. Dari tadi itu nasi di piringmu cuma kamu aduk-aduk doang."

Gilbert tersadar.

"Ah nggak. Cuma lagi mikirin tugas."

David menyeringai jahil.

"Bohong. Pasti lagi mikirin gebetan kan?"

Gilbert menggeleng cepat, terlalu cepat hingga terlihat defensif.

"Nggak kok!"

David semakin yakin ada yang disembunyikan Gilbert.

"Udah deh ngaku aja. Dari kemarin-kemarin aku perhatiin kamu sering senyum-senyum sendiri pas lagi chat. Terus kalau ada yang manggil namanya harus dipanggil dua tiga kali baru sadar. Ini mah gejala jatuh cinta akut!"

Gilbert merasa wajahnya memanas.

"Ah kamu terlalu banyak nonton drama. Nggak ada apa-apa kok."

David menunjuk Gilbert dengan sendoknya.

"Pasti ada. Tapi yasudah, aku nggak maksa kamu cerita. Yang penting jaga hati ya, Gil. Cinta itu indah tapi kalau salah langkah bisa nyakitin banyak orang."

Kata-kata David menohok hati Gilbert. Ia tahu David tidak bermaksud apa-apa, tapi kalimat itu terasa seperti peringatan yang tepat sasaran.

Gilbert hanya tersenyum tipis tanpa menjawab.

Saat mereka selesai makan, Rina tiba-tiba muncul menghampiri meja mereka.

"Hai Gilbert! David!" sapanya dengan riang.

David membalas dengan antusias, sementara Gilbert hanya tersenyum sopan.

"Hai, Rin."

Rina duduk di kursi kosong sebelah Gilbert tanpa diundang.

"Gilbert, akhir pekan ini ada film bagus di bioskop. Kamu mau nggak nonton bareng? Aku udah lama pengen ngajak kamu."

Gilbert merasa tidak enak hati harus menolak lagi. Tapi ia memang tidak tertarik pada Rina.

"Maaf ya, Rin. Aku ada janji akhir pekan ini. Lain kali aja."

Wajah Rina langsung berubah kecewa.

"Janji sama siapa? Pacar?"

David tertawa kecil mendengar pertanyaan frontal Rina.

"Iya nih, Gil. Pacar?"

Gilbert menggeleng cepat.

"Bukan. Cuma dijanjiin makan malam sama teman."

Rina cemberut.

"Yasudah deh. Tapi kamu harus janji lain kali nggak boleh nolak lagi."

Gilbert hanya tersenyum canggung tanpa menjawab. Rina akhirnya pergi dengan wajah kesal.

David menatap Gilbert dengan tatapan menyelidik.

"Kamu tuh sebenarnya gimana sih sama Rina? Kasian juga dia. Dari semester satu dia suka sama kamu tapi kamu cuek-cuek aja."

Gilbert menghela napas panjang.

"Aku nggak bisa maksa perasaan, Vid. Aku nggak suka dia. Sesimpel itu."

David mengangguk mengerti.

"Oke, aku ngerti. Tapi kalau kamu memang nggak tertarik, kasih tahu dia dengan jelas. Jangan dibiarkan berharap terus. Itu lebih sakit."

Gilbert tahu David benar. Tapi bagaimana ia bisa jujur pada Rina kalau ia sendiri tidak bisa jujur tentang perasaannya pada Sheilla?

Malam Rabu. Gilbert berbaring di tempat tidur kostnya sambil menatap langit-langit yang retak. Ponselnya tergeletak di dada, menampilkan chat terakhir dengan Sheilla.

Mereka sudah rutin chatting setiap malam selama seminggu terakhir. Obrolan yang dimulai dari hal-hal sepele tentang pekerjaan, cuaca, makanan perlahan menjadi lebih dalam dan personal. Tentang mimpi, ketakutan, harapan.

Gilbert merasa Sheilla adalah satu-satunya orang yang benar-benar memahami dirinya. Dan ia tahu Sheilla merasakan hal yang sama.

Tapi di balik kebahagiaan itu, ada rasa bersalah yang terus menggerogoti. Ia berbohong pada Seta. Ia berbohong pada teman-temannya. Ia bahkan berbohong pada dirinya sendiri dengan terus meyakinkan bahwa ini hanya persahabatan biasa.

Bzzt! Bzzt!

Pesan baru dari Sheilla.

"Gilbert, kamu belum tidur?"

"Belum. Lagi mikir banyak hal."

"Mikirin apa?"

Gilbert ragu sebelum mengetik balasan jujur.

"Mikirin kita. Ini semua terasa salah tapi kenapa rasanya begitu benar?"

Lama tidak ada balasan. Gilbert mulai menyesal sudah terlalu jujur.

Akhirnya balasan datang.

"Aku juga merasakan hal yang sama. Setiap hari aku bertanya pada diri sendiri apa yang sedang aku lakukan. Tapi setiap kali chat denganmu, semuanya terasa... sempurna."

Gilbert merasakan dadanya sesak. Ini sudah terlalu jauh. Mereka sudah melewati batas yang seharusnya tidak dilanggar.

"Ibu... kita harus hati-hati. Aku nggak mau kamu kena masalah."

"Aku tahu. Kita harus lebih berhati-hati. Terutama saat makan malam Sabtu nanti. Kita harus bersikap biasa saja."

"Iya. Biasa saja."

Tapi mereka berdua tahu, tidak ada yang "biasa" dari hubungan mereka. Setiap tatapan mata, setiap senyuman, setiap kata yang terucap—semuanya sarat makna.

Gilbert menutup matanya, mencoba tidur. Tapi pikirannya terus berputar. Sabtu tinggal tiga hari lagi. Tiga hari sebelum ia harus berpura-pura tidak peduli pada wanita yang sudah mengisi seluruh pikirannya.

Tiga hari sebelum kebohongan terbesar dalam hidupnya dimulai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   Bab 94

    Sore itu Gilbert duduk di kafe langganannya dekat kampus, laptop terbuka dengan beberapa file editing foto yang sedang ia kerjakan. Ia sengaja datang lebih awal untuk menyelesaikan pekerjaan sebelum bertemu Kevin yang tadi pagi tiba-tiba mengajaknya ngopi.Ponselnya bergetar. Pesan dari Kevin:Gue udah sampai parkiran. Sebentar lagi masuk.Gilbert membalas dengan emoji jempol, lalu kembali fokus pada layar.Beberapa menit kemudian, pintu kafe terbuka. Kevin masuk dengan senyum lebar yang entah kenapa terlihat… mencurigakan. Dan di sampingnya, berjalan seorang perempuan muda yang jelas lebih muda dari mereka.Gilbert mengerutkan kening. Dia tidak ingat Kevin bilang akan membawa orang lain.“Bro! Sorry lama!”Kevin menghampirinya dengan antusias berlebihan, dan perempuan muda itu mengikuti dengan langkah sedikit gugup.Gilbert berdiri sopan, menutup laptop.“Tidak apa-apa. Gue juga baru sampai.”Lalu dia melirik ke perempuan yang berdiri di samping Kevin dengan canggung. Tingginya sekit

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   Bab 93

    Kampus Universitas Parahyangan di sore hari biasanya ramai dengan mahasiswa yang keluar masuk gedung fakultas. Gilbert baru saja selesai bertemu dengan Profesor Hendra untuk finalisasi tugas akhirnya. Ia berjalan menuju parkiran dengan tas ransel di punggung dan ponsel di tangan, tersenyum membaca pesan dari Sheilla.“Bro! Gilbert!”Suara familiar memanggilnya dari sisi kanan. Gilbert menoleh dan melihat Kevin berlari kecil menghampirinya dengan senyum lebar.Kevin Hartanto. Teman satu angkatan sekaligus teman dekat Seta. Tinggi, berpostur atletis, selalu memakai snapback dan hoodie meskipun cuaca panas.“Kevin! Lama nggak ketemu.”Gilbert tersenyum, berhenti dan menunggu Kevin sampai.“Iya! Lu ke mana aja, bro? Udah seminggu nggak kelihatan. Group chat juga lu jarang reply. Gue pikir lu menghilang dari muka bumi.”Nada Kevin bercanda, tapi jelas ada kekhawatiran di baliknya.Gilbert menggaruk tengkuk, mencari alasan yang masuk akal.“Sibuk di studio, Kev. Lagi banyak project. Client

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   bab 92

    Apartemen Sheilla dipenuhi aroma masakan Italia yang harum. Sheilla sibuk di dapur menyiapkan makan malam, sementara Gilbert membantu menata meja dengan teliti. Hari ini adalah hari penting. Rania akan datang untuk secara resmi bertemu Gilbert.“Kamu gugup?”Sheilla bertanya sambil mengaduk saus pasta.Gilbert yang sedang melipat serbet dengan rapi menghentikan gerakannya sejenak.“Sedikit. Rania sahabat terbaikmu. Pendapat dia penting.”Sheilla tersenyum, berjalan mendekat dan mengecup pipi Gilbert lembut.“Dia bakal suka kamu. Aku yakin.”“Aku harap.”Gilbert menarik napas dalam, melanjutkan pekerjaannya.Tepat pukul tujuh malam, bel apartemen berbunyi. Gilbert refleks menegakkan postur dan merapikan kemejanya yang sebenarnya sudah sangat rapi.Sheilla membuka pintu. Rania berdiri di sana dengan dress hitam yang stylish, heels merah, dan senyum lebar yang sedikit intimidating.“Halo sayang!”Rania memeluk Sheilla, lalu matanya langsung mencari Gilbert yang berdiri di ruang makan.“D

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   bab 91

    Ketukan pintu apartemen Sheilla terdengar dengan pola yang familiar. Tiga ketukan cepat, jeda, dua ketukan lagi. Kode yang hanya digunakan satu orang.Rania.Sheilla membuka pintu, dan di sana berdiri sahabatnya sejak kuliah. Rania Kusuma. Tiga puluh empat tahun. Rambut sebahu dengan highlight karamel. Mengenakan blazer pink fuchsia di atas jeans hitam dan heels. Kacamata hitam besar bertengger di atas kepala. Membawa dua cup coffee dan paper bag yang jelas berisi pastry."Halo sayang! Gue bawa ammunition. Coffee dan croissant. Karena dari suara lo di telepon tadi pagi, kayaknya kita butuh serious girl talk."Rania langsung masuk tanpa menunggu undangan, kebiasaan yang sudah berlangsung bertahun-tahun.Sheilla menutup pintu, tersenyum melihat energi Rania yang selalu infectious."Thanks, Ran. Kamu emang yang terbaik."Mereka duduk di sofa, Rania mendistribusikan coffee dan croissant sebelum menatap Sheilla dengan tatapan investigatif."Oke. Spill. Lo bilang ada big news. Dan dari tone

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   Bab 90

    Gedung firma hukum Prasetya & Associates berdiri megah di kawasan bisnis pusat kota Bandung. Sheilla berdiri di depan pintu kaca besar, tas tangan di genggamannya berisi map tebal penuh bukti-bukti yang sudah dia kumpulkan dengan teliti. Napasnya ditarik dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantung yang berdebar keras.Ini adalah langkah besar. Langkah yang akan mengubah hidupnya selamanya.Tapi dia siap. Sangat siap.Sheilla mendorong pintu, melangkah masuk ke lobby yang elegan dengan lantai marmer mengkilap dan resepsionis yang tersenyum profesional.“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?”Resepsionis muda itu bertanya dengan ramah.“Saya ada janji dengan Pak Carlos Prasetya. Jam sepuluh. Atas nama Sheilla Hartanto.”“Sebentar, Bu.”Resepsionis mengecek jadwal di komputer, lalu mengangguk.“Silakan naik ke lantai lima, ruangan lima nol dua. Pak Carlos sudah menunggu.”“Terima kasih.”Sheilla berjalan ke lift dengan langkah yang lebih mantap dari yang dia rasakan. Dalam lift, dia

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   Bab 89

    Cahaya matahari pagi menyusup melalui celah gorden apartemen Sheilla yang kini terasa berbeda. Lebih hidup. Lebih hangat. Lebih seperti rumah.Gilbert berdiri di dapur hanya dengan mengenakan celana training, dada telanjangnya menampilkan otot-otot terdefinisi hasil latihan gym yang konsisten. Ia sedang membalik telur dadar di wajan dengan gerakan yang sudah terbiasa, aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara.Ini sudah minggu ketiga Gilbert praktis tinggal di sini. Pakaiannya menggantung di lemari Sheilla. Sikat giginya ada di kamar mandi. Sepatu-sepatunya berjejer rapi di rak sepatu. Semua tanda bahwa dia bukan lagi sekadar tamu, tapi penghuni.Gilbert tidak mendengar suara langkah kecil yang mendekat dari belakang. Baru ketika dua tangan melingkar di pinggangnya, menariknya ke pelukan hangat, ia tersenyum.Selamat pagi, sayang.Suara Sheilla pelan, masih serak baru bangun tidur, bibirnya menyentuh punggung telanjang Gilbert dengan lembut.Pagi.Gilbert meletakkan spatula, tangann

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status