LOGINKring! Kring! Kring!
Bel pergantian jam berbunyi nyaring di koridor kampus. Gilbert berjalan keluar dari kelas Manajemen Strategis dengan langkah gontai. Kepalanya terasa berat—bukan karena materi kuliah yang sulit, tapi karena pikirannya yang terus-menerus melayang ke tempat lain. Ke seseorang. "Gil! Tunggu sebentar!" teriak Seta dari belakang sambil berlari kecil mengejar. Gilbert berhenti dan berbalik. Sahabatnya itu menghampirinya dengan wajah penasaran. "Iya, ada apa, Set?" Seta merangkul pundak Gilbert dengan gaya santai. "Kamu kenapa sih akhir-akhir ini? Kok jarang banget nongkrong bareng kayak dulu? Kalau diajak main futsal nolak, diajak main game juga nolak. Sibuk apa?" Gilbert tersentak dalam hati. Ia harus memberikan alasan yang masuk akal. "Ah, iya. Aku lagi ada proyek freelance fotografi, Set. Lumayan buat nambah uang saku. Jadi agak padat jadwalnya." Seta mengangguk mengerti. "Oh gitu. Freelance apa? Siapa tahu aku bisa bantu. Atau kalau perlu asisten, aku bisa ikut." Gilbert cepat-cepat menggeleng. "Nggak usah repot-repot. Ini cuma proyek kecil kok. Foto produk UMKM gitu. Aku sendiri aja cukup." Seta menepuk punggung Gilbert. "Oke deh kalau gitu. Tapi jangan terlalu forsir diri ya. Kuliah juga penting. Oh iya, akhir pekan ini kamu ada acara nggak? Mama mau masak besar. Kamu diundang makan malam di rumah." Jantung Gilbert berdegup keras mendengar kata "Mama"—panggilan Seta untuk Sheilla. "Eh... akhir pekan? Sabtu atau Minggu?" Seta berpikir sebentar. "Sabtu malam aja. Gimana? Bisa kan?" Gilbert tahu ia tidak bisa menolak tanpa terlihat mencurigakan. Menolak undangan makan malam di rumah sahabatnya sendiri pasti akan menimbulkan pertanyaan. "Oke, aku usahakan. Jam berapa?" Seta tersenyum lebar. "Jam tujuh malem. Mantap! Udah lama nggak ngumpul kayak dulu. Oh iya, Papa juga ada di rumah. Dia baru pulang dari Jakarta." Gilbert mengangguk sambil memaksakan senyum. Di dalam hatinya bergejolak perasaan campur aduk—senang karena akan bertemu Sheilla, tapi juga cemas karena suami Sheilla akan ada di sana. Mereka berpisah di parkiran. Gilbert mengendarai motornya kembali ke kost dengan pikiran kacau. Malam itu, Gilbert duduk di meja belajarnya sambil menatap layar laptop yang menampilkan slide presentasi untuk mata kuliah besok. Tapi tidak satu pun kata di layar itu masuk ke otaknya. Bzzt! Bzzt! Ponselnya bergetar. Pesan dari Sheilla. "Gilbert, sudah makan malam?" Gilbert tersenyum tanpa sadar. Tangannya langsung mengetik balasan. "Sudah. Tadi makan nasi goreng di warung depan kost. Ibu sendiri?" "Aku masih di studio. Belum sempat makan. Terlalu fokus ngerjain desain." "Ibu harus makan. Jangan sampai sakit." "Iya, nanti aku pesan delivery. Ngomong-ngomong, Seta bilang kamu akan datang makan malam Sabtu ini?" Gilbert menarik napas panjang sebelum membalas. "Iya. Dia yang ngundang. Aku nggak bisa nolak tanpa alasan kuat." Beberapa menit tidak ada balasan. Tiga titik indikator mengetik muncul lalu hilang berkali-kali. Sheilla sepertinya sedang berpikir keras. Akhirnya balasan masuk. "Aku... tidak tahu apakah ini ide yang baik. Aku takut tidak bisa mengontrol diri saat melihatmu. Apalagi suamiku akan ada di rumah. Aku takut ketahuan." Jantung Gilbert berdebar membaca pesan itu. Jadi Sheilla juga merasakan hal yang sama kesulitan mengontrol perasaan. Tangannya mengetik berbagai balasan tapi terus dihapus lagi. "Bagaimana kalau kita..." Delete. Apa yang bisa mereka lakukan? Mereka terjebak dalam situasi yang semakin rumit. Gilbert akhirnya mengetik dengan hati-hati. "Kita harus bisa mengendalikan diri. Demi Seta." Whoosh! Pesan terkirim. Tapi bahkan saat mengetik itu, Gilbert tidak yakin apakah ia benar-benar bisa mengendalikan dirinya saat nanti bertemu Sheilla. Selasa siang. Gilbert duduk di kantin kampus bersama David. Mereka baru selesai ujian tengah semester untuk mata kuliah Perilaku Konsumen. "Soalnya susah banget tadi. Nomor lima itu apa maksudnya," keluh David sambil menyuap nasi goreng di piringnya. Gilbert hanya mengangguk sambil memainkan sendok di atas piringnya. Ia tidak terlalu lapar. David memperhatikan Gilbert dengan curiga. "Kamu kenapa sih? Dari tadi bengong terus. Dari tadi itu nasi di piringmu cuma kamu aduk-aduk doang." Gilbert tersadar. "Ah nggak. Cuma lagi mikirin tugas." David menyeringai jahil. "Bohong. Pasti lagi mikirin gebetan kan?" Gilbert menggeleng cepat, terlalu cepat hingga terlihat defensif. "Nggak kok!" David semakin yakin ada yang disembunyikan Gilbert. "Udah deh ngaku aja. Dari kemarin-kemarin aku perhatiin kamu sering senyum-senyum sendiri pas lagi chat. Terus kalau ada yang manggil namanya harus dipanggil dua tiga kali baru sadar. Ini mah gejala jatuh cinta akut!" Gilbert merasa wajahnya memanas. "Ah kamu terlalu banyak nonton drama. Nggak ada apa-apa kok." David menunjuk Gilbert dengan sendoknya. "Pasti ada. Tapi yasudah, aku nggak maksa kamu cerita. Yang penting jaga hati ya, Gil. Cinta itu indah tapi kalau salah langkah bisa nyakitin banyak orang." Kata-kata David menohok hati Gilbert. Ia tahu David tidak bermaksud apa-apa, tapi kalimat itu terasa seperti peringatan yang tepat sasaran. Gilbert hanya tersenyum tipis tanpa menjawab. Saat mereka selesai makan, Rina tiba-tiba muncul menghampiri meja mereka. "Hai Gilbert! David!" sapanya dengan riang. David membalas dengan antusias, sementara Gilbert hanya tersenyum sopan. "Hai, Rin." Rina duduk di kursi kosong sebelah Gilbert tanpa diundang. "Gilbert, akhir pekan ini ada film bagus di bioskop. Kamu mau nggak nonton bareng? Aku udah lama pengen ngajak kamu." Gilbert merasa tidak enak hati harus menolak lagi. Tapi ia memang tidak tertarik pada Rina. "Maaf ya, Rin. Aku ada janji akhir pekan ini. Lain kali aja." Wajah Rina langsung berubah kecewa. "Janji sama siapa? Pacar?" David tertawa kecil mendengar pertanyaan frontal Rina. "Iya nih, Gil. Pacar?" Gilbert menggeleng cepat. "Bukan. Cuma dijanjiin makan malam sama teman." Rina cemberut. "Yasudah deh. Tapi kamu harus janji lain kali nggak boleh nolak lagi." Gilbert hanya tersenyum canggung tanpa menjawab. Rina akhirnya pergi dengan wajah kesal. David menatap Gilbert dengan tatapan menyelidik. "Kamu tuh sebenarnya gimana sih sama Rina? Kasian juga dia. Dari semester satu dia suka sama kamu tapi kamu cuek-cuek aja." Gilbert menghela napas panjang. "Aku nggak bisa maksa perasaan, Vid. Aku nggak suka dia. Sesimpel itu." David mengangguk mengerti. "Oke, aku ngerti. Tapi kalau kamu memang nggak tertarik, kasih tahu dia dengan jelas. Jangan dibiarkan berharap terus. Itu lebih sakit." Gilbert tahu David benar. Tapi bagaimana ia bisa jujur pada Rina kalau ia sendiri tidak bisa jujur tentang perasaannya pada Sheilla? Malam Rabu. Gilbert berbaring di tempat tidur kostnya sambil menatap langit-langit yang retak. Ponselnya tergeletak di dada, menampilkan chat terakhir dengan Sheilla. Mereka sudah rutin chatting setiap malam selama seminggu terakhir. Obrolan yang dimulai dari hal-hal sepele tentang pekerjaan, cuaca, makanan perlahan menjadi lebih dalam dan personal. Tentang mimpi, ketakutan, harapan. Gilbert merasa Sheilla adalah satu-satunya orang yang benar-benar memahami dirinya. Dan ia tahu Sheilla merasakan hal yang sama. Tapi di balik kebahagiaan itu, ada rasa bersalah yang terus menggerogoti. Ia berbohong pada Seta. Ia berbohong pada teman-temannya. Ia bahkan berbohong pada dirinya sendiri dengan terus meyakinkan bahwa ini hanya persahabatan biasa. Bzzt! Bzzt! Pesan baru dari Sheilla. "Gilbert, kamu belum tidur?" "Belum. Lagi mikir banyak hal." "Mikirin apa?" Gilbert ragu sebelum mengetik balasan jujur. "Mikirin kita. Ini semua terasa salah tapi kenapa rasanya begitu benar?" Lama tidak ada balasan. Gilbert mulai menyesal sudah terlalu jujur. Akhirnya balasan datang. "Aku juga merasakan hal yang sama. Setiap hari aku bertanya pada diri sendiri apa yang sedang aku lakukan. Tapi setiap kali chat denganmu, semuanya terasa... sempurna." Gilbert merasakan dadanya sesak. Ini sudah terlalu jauh. Mereka sudah melewati batas yang seharusnya tidak dilanggar. "Ibu... kita harus hati-hati. Aku nggak mau kamu kena masalah." "Aku tahu. Kita harus lebih berhati-hati. Terutama saat makan malam Sabtu nanti. Kita harus bersikap biasa saja." "Iya. Biasa saja." Tapi mereka berdua tahu, tidak ada yang "biasa" dari hubungan mereka. Setiap tatapan mata, setiap senyuman, setiap kata yang terucap—semuanya sarat makna. Gilbert menutup matanya, mencoba tidur. Tapi pikirannya terus berputar. Sabtu tinggal tiga hari lagi. Tiga hari sebelum ia harus berpura-pura tidak peduli pada wanita yang sudah mengisi seluruh pikirannya. Tiga hari sebelum kebohongan terbesar dalam hidupnya dimulai.Kring! Kring! Kring!Bel pergantian jam berbunyi nyaring di koridor kampus. Gilbert berjalan keluar dari kelas Manajemen Strategis dengan langkah gontai. Kepalanya terasa berat—bukan karena materi kuliah yang sulit, tapi karena pikirannya yang terus-menerus melayang ke tempat lain. Ke seseorang."Gil! Tunggu sebentar!" teriak Seta dari belakang sambil berlari kecil mengejar.Gilbert berhenti dan berbalik. Sahabatnya itu menghampirinya dengan wajah penasaran."Iya, ada apa, Set?"Seta merangkul pundak Gilbert dengan gaya santai."Kamu kenapa sih akhir-akhir ini? Kok jarang banget nongkrong bareng kayak dulu? Kalau diajak main futsal nolak, diajak main game juga nolak. Sibuk apa?"Gilbert tersentak dalam hati. Ia harus memberikan alasan yang masuk akal."Ah, iya. Aku lagi ada proyek freelance fotografi, Set. Lumayan buat nambah uang saku. Jadi agak padat jadwalnya."Seta mengangguk mengerti."Oh gitu. Freelance apa? Siapa tahu aku bisa bantu. Atau kalau perlu asisten, aku bisa ikut."Gi
Motor bebek Gilbert melaju melintasi jalanan Setiabudi. Angin pagi Sabtu sejuk menyapu wajahnya. Di jok belakang tersampir tas kamera berisi DSLR Canon—barang paling berharga dari hasil kerja part time setahun.Ponselnya di holder motor menampilkan GPS. Lima menit lagi sampai studio desain Sheilla. Jantungnya berdebar lebih kencang.Seminggu sudah sejak pertemuan di kafe Braga. Sejak momen di parkiran saat hujan. Sejak Sheilla mengatakan ini terlalu berbahaya. Tapi kemarin malam, wanita itu mengirim pesan meminta bantuan foto portofolio studio.Gilbert tentu menjawab iya. Bukan karena uang, tapi kesempatan bertemu Sheilla lagi.Motor berhenti di depan ruko dua lantai minimalis modern. Plang "Sheilla Interior Design" terpasang dengan font elegan berwarna gold. Kaca besar memperlihatkan interior apik bergaya skandinavia.Gilbert turun, melepas helm, mengambil tas kameranya. Ia merapikan rambut di kaca spion sebelum melangkah masuk.Sheilla berdiri di depan meja kerja penuh sketsa dan ma
"Gil! Tunggu!" teriak David, teman sekelasnya yang berbadan besar, sambil berlari kecil mengejar.Gilbert berhenti dan menoleh. "Ada apa, Vid?"David menyusul dengan napas sedikit tersengal. Ia merangkul pundak Gilbert dengan gaya akrab."Lu kenapa sih akhir-akhir ini? Dari tadi di kelas senyum-senyum sendiri terus sambil liat HP. Jatuh cinta ya?"Gilbert tersentak, wajahnya langsung memerah. "Ah nggak kok! Gue cuma... baca chat lucu aja."David menyeringai jahil. "Chat lucu apaan? Pasti chat sama gebetan kan? Ngaku aja deh! Gue kenal lu dari semester satu, Gil. Ini pertama kalinya gue liat lu kayak gini. Pasti ada cewek spesial!"Gilbert menggaruk belakang kepalanya, berusaha mengalihkan topik. "Udah ah, jangan lebay. Lu sendiri gimana sama si Tina? Udah jadian belum?"David tertawa keras sambil menepuk pundak Gilbert. "Jangan alihin pembicaraan! Tapi yasudahlah, gue nggak maksa. Yang penting lu bahagia aja, bro. Tapi inget ya, hati-hati. Cinta itu indah tapi juga bahaya."Gilbert ha
Tulang punggung dan lehernya berbunyi saat diregangkan. Gilbert mengambil gelas berisi kopi hitam yang sudah dingin di meja. Meneguknya dalam satu tegukan besar.Rasa pahit kopi instan murahan menyengat tenggorokannya. Tapi ia butuh kafein untuk tetap terjaga. Masih ada dua halaman lagi yang harus diselesaikan."Oke, fokus. Tinggal sedikit lagi," gumamnya sambil mengetuk-ketuk jari di meja.Ia kembali mengetik dengan fokus penuh. Suara keyboard laptop tua miliknya terdengar berisik di tengah kesunyian malam.Tiga puluh menit kemudian, Gilbert akhirnya menekan tombol save terakhir kali."Selesai juga!" ucapnya lega sambil bersandar di kursi putar yang sudah miring sebelah.Ia menutup laptop dan meraih ponsel. Layar menampilkan pukul sebelas lewat tiga puluh menit. Gilbert membuka aplikasi media sosial, scrolling tanpa tujuan untuk menenangkan pikirannya.Bzzt! Bzzt!Ponselnya bergetar. Notifikasi pesan masuk dari nomor yang tidak tersimpan di kontaknya. Gilbert mengerutkan dahi, penasa
"Gilbert! Oper sini!" teriak Seta dari sisi kiri lapangan.Gilbert menendang bola dengan kaki bagian dalam. Bola meluncur cepat dan sampai tepat di kaki Seta. Seta langsung menembak ke arah gawang. Bola meleset tipis di samping tiang."Ahhh! Sial! Hampir masuk!" gerutu Seta frustasi.Gilbert tertawa sambil menepuk punggung sahabatnya. "Gapapa, Set. Masih ada waktu."Setelah pertandingan berakhir dengan skor tiga-dua untuk kemenangan tim Gilbert, mereka berkumpul di pinggir lapangan.Gilbert menenggak air mineral sampai habis. Kaosnya lengket menempel di tubuh karena keringat."Gila, capek banget. Gue udah lama nggak main seru kayak tadi," ucap Gilbert.Seta duduk di sampingnya. "Iya, mantep tadi. Eh, langsung ke rumah gue aja yuk. Kita mandi di sana, terus makan siang. Mama pasti masak enak. Abis itu lanjutin tugas."Jantung Gilbert berdetak lebih cepat mendengar nama Sheilla disebut. Sejak tadi malam ia mencari akun Instagram Sheilla tapi tidak menemukannya. Rasa penasaran dan keingi
Kring! Kring! Kring!Alarm ponsel berbunyi nyaring memecah kesunyian pagi. Gilbert menggerakkan tangannya dengan malas mencari sumber suara di atas meja kecil samping tempat tidur. Jarinya menekan tombol snooze dengan kasar. Alarm berhenti, tapi Gilbert tidak bisa kembali tidur. Pikirannya sudah terjaga, dipenuhi oleh bayangan yang sama seperti semalam.Sheilla.Gilbert membuka matanya perlahan. Cahaya matahari pagi menembus celah gorden tipis berwarna biru pudar. Ia menatap plafon kamarnya yang retak di beberapa bagian."Kenapa gue masih mikirin dia?" gumamnya pelan sambil mengusap wajah dengan kedua tangan.Wajah Sheilla kemarin sore masih terbayang jelas. Senyumannya, tatapan matanya yang teduh, suaranya yang lembut semuanya terekam sempurna dalam ingatan Gilbert. Bahkan detail kecil seperti cara Sheilla menyilangkan kaki saat duduk atau bagaimana rambutnya bergerak lembut saat ia berjalan, semuanya masih terasa begitu nyata.Gilbert bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju ka







