Share

Bab 6

last update Last Updated: 2025-11-06 08:49:33

Motor bebek Gilbert melaju melintasi jalanan Setiabudi. Angin pagi Sabtu sejuk menyapu wajahnya. Di jok belakang tersampir tas kamera berisi DSLR Canon—barang paling berharga dari hasil kerja part time setahun.

Ponselnya di holder motor menampilkan GPS. Lima menit lagi sampai studio desain Sheilla. Jantungnya berdebar lebih kencang.

Seminggu sudah sejak pertemuan di kafe Braga. Sejak momen di parkiran saat hujan. Sejak Sheilla mengatakan ini terlalu berbahaya. Tapi kemarin malam, wanita itu mengirim pesan meminta bantuan foto portofolio studio.

Gilbert tentu menjawab iya. Bukan karena uang, tapi kesempatan bertemu Sheilla lagi.

Motor berhenti di depan ruko dua lantai minimalis modern. Plang "Sheilla Interior Design" terpasang dengan font elegan berwarna gold. Kaca besar memperlihatkan interior apik bergaya skandinavia.

Gilbert turun, melepas helm, mengambil tas kameranya. Ia merapikan rambut di kaca spion sebelum melangkah masuk.

Sheilla berdiri di depan meja kerja penuh sketsa dan maket miniatur. Ia mengenakan kemeja putih lengan panjang digulung sampai siku dan celana bahan hitam. Rambutnya dikuncir ekor kuda tinggi.

"Gilbert! Tepat waktu," sapa Sheilla tersenyum cerah.

"Pagi, Kak. Wah, studionya keren. Besar juga ternyata."

Sheilla berjalan mengelilingi meja, mendekati Gilbert.

"Makasih. Ini hasil kerja keras tiga tahun terakhir. Masih kecil dibanding kompetitor lain, tapi aku bangga dengan apa yang sudah aku bangun."

"Aku yakin studio ini bakal makin besar. Karya-karya Kakak bagus banget."

Sheilla tersenyum, pipinya sedikit merona.

"Makasih, Gilbert. Oke, langsung mulai aja ya? Aku mau foto beberapa ruangan contoh di lantai dua. Ikut aku."

Gilbert mengikuti Sheilla naik tangga spiral dengan railing besi minimalis.

Lantai dua berisi ruang contoh bergaya berbeda. Ruang tamu industrial, kamar tidur bohemian, ruang kerja Skandinavia, dan ruang makan minimalis Jepang.

"Wow, ini semua setup untuk portofolio?" tanya Gilbert takjub.

"Iya. Aku bikin ini buat presentasi ke calon klien. Biar mereka bisa lihat langsung hasil kerja aku."

Gilbert mengeluarkan kameranya dan mulai mengatur setting.

"Oke, aku mulai dari ruang tamu industrial ini dulu ya, Kak. Kakak mau posisi di mana?"

"Aku nggak usah difoto dulu. Foto ruangannya aja."

Gilbert mengangguk dan mulai bekerja. Ia bergerak profesional, mencari angle terbaik, mengatur komposisi, memperhatikan cahaya dari jendela besar.

Sheilla memperhatikan Gilbert bekerja dengan kagum. Ia melihat keseriusan dan profesionalisme pemuda itu meskipun masih mahasiswa.

Satu jam berlalu. Gilbert sudah memotret keempat ruang dari berbagai sudut.

"Sudah selesai?" tanya Sheilla yang duduk di sofa.

"Sudah. Hasilnya bagus kok, Kak. Mau lihat?"

Sheilla mendekat, berdiri di samping Gilbert sambil melihat layar kamera. Bahu mereka hampir bersentuhan. Aroma parfum Sheilla tercium—wangi bunga lavender yang menenangkan.

"Wow, bagus banget, Gilbert! Kamu bakat jadi fotografer profesional lho."

"Ah, masih belajar kok, Kak. Tapi senang kalau Kakak suka."

"Istirahat dulu yuk. Aku buatin kopi."

Mereka turun ke lantai satu. Sheilla menuju pantry dengan mesin kopi espresso profesional. Aroma kopi pekat memenuhi ruangan.

Gilbert duduk di sofa panjang area lounge, memperhatikan detail ruangan yang menunjukkan selera tinggi Sheilla.

Sheilla datang membawa dua cangkir cappuccino dengan latte art berbentuk daun.

"Ini, cappuccino spesial. Aku yang bikin sendiri."

"Wah, latte art-nya bagus, Kak. Kakak bisa segala hal ya."

Sheilla duduk di sofa yang sama, agak berjauhan namun cukup dekat untuk terasa intim.

"Kebiasaan. Kalau kerja sendirian di studio, aku sering bikin kopi sendiri. Jadi hobi deh."

Mereka menyeruput kopi dalam diam nyaman.

"Gilbert," panggil Sheilla pelan. "Boleh aku tanya sesuatu yang personal?"

"Tentu, Kak. Apa?"

Sheilla menarik napas panjang.

"Menurutmu... apa sih definisi bahagia itu? Apa bahagia itu harus ada cinta? Atau cukup dengan kenyamanan dan stabilitas?"

Gilbert berpikir sejenak.

"Menurutku... bahagia itu saat kamu bisa jadi diri sendiri tanpa takut dihakimi. Saat kamu merasa dihargai, didengar, dipahami. Cinta tanpa hal-hal itu bukan cinta, tapi hanya kebiasaan. Dan kenyamanan tanpa cinta hanya ilusi yang lama-lama menyiksa."

Sheilla terdiam. Matanya berkaca-kaca. Ia menunduk, memainkan cangkir kopinya.

"Pernikahanku... terasa seperti kontrak bisnis. Aku dapat rumah mewah, kestabilan finansial, status sosial. Tapi aku kehilangan diriku sendiri. Suamiku sibuk membangun kerajaan bisnisnya. Aku hanya... aksesori pelengkap di rumah besar itu."

Air mata menetes di pipinya. Ia cepat menghapusnya.

Gilbert merasakan dadanya sesak melihat Sheilla menangis.

"Kakak tidak pantas diperlakukan seperti itu. Kakak hebat, berbakat, punya passion yang luar biasa. Siapa pun yang tidak bisa melihat itu tidak pantas memiliki Kakak."

Sheilla mengangkat wajahnya, menatap Gilbert dengan mata basah. Ada sesuatu yang mengalir di antara tatapan mereka—pemahaman yang dalam, koneksi yang tidak bisa dijelaskan.

Hening.

Sheilla sadar ia terlalu membuka diri. Ia menarik napas dan mengusap air matanya.

"Maaf, aku jadi curhat berat. Kamu pasti bingung dengernya."

"Tidak, Kak. Aku senang Kakak mau cerita. Artinya Kakak percaya sama aku."

Sheilla tersenyum tipis.

"Iya. Entah kenapa aku merasa aman cerita sama kamu. Padahal kita baru kenal sebentar."

"Kapan pun Kakak butuh teman bicara atau butuh bantuan fotografi, aku siap. Serius."

"Terima kasih, Gilbert. Kamu baik banget."

Mereka melanjutkan obrolan dengan topik lebih ringan. Waktu berlalu tanpa terasa. Matahari condong ke barat saat Gilbert menyadari sudah hampir maghrib.

"Kak, aku harus pulang. Sudah sore."

Sheilla mengantar Gilbert ke pintu depan. Mereka berdiri di ambang pintu dengan cahaya senja.

"Gilbert," panggil Sheilla pelan.

Gilbert berbalik.

"Iya, Kak?"

Sheilla memeluk dirinya sendiri, seolah kedinginan.

"Terima kasih... bukan hanya untuk foto-fotonya. Tapi juga karena kamu mendengarkan. Aku sudah lama tidak merasa se-dihargai ini."

Ada kilau air mata di sudut matanya. Suaranya bergetar menahan emosi.

Gilbert tersenyum lembut.

"Kakak pantas mendapatkan lebih dari sekadar dihargai."

Kata-kata itu menggantung dengan bobot berat. Sheilla menatap Gilbert dengan tatapan penuh sesuatu yang tidak bisa diungkapkan.

Gilbert menundukkan kepala hormat sebelum berbalik menuju motornya.

Motor menyala dan melaju meninggalkan studio. Sheilla masih berdiri di ambang pintu, menatap motor Gilbert yang semakin menjauh.

Perlahan, ia menutup pintu dan bersandar di sana. Tangannya memeluk dirinya erat-erat. Air mata mengalir deras.

"Kenapa aku malah merasa nyaman dengan anak yang usianya terpaut sebelas tahun denganku?" bisiknya. "Ini salah... tapi kenapa terasa begitu benar?"

Ia merosot duduk di lantai. Tangisnya pecah dalam kesunyian studio.

Di luar, langit senja berubah jingga kemerahan—indah namun melankolis, seperti perasaan yang berkembang di antara dua jiwa yang seharusnya tidak pernah bertemu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   Bab 7

    Kring! Kring! Kring!Bel pergantian jam berbunyi nyaring di koridor kampus. Gilbert berjalan keluar dari kelas Manajemen Strategis dengan langkah gontai. Kepalanya terasa berat—bukan karena materi kuliah yang sulit, tapi karena pikirannya yang terus-menerus melayang ke tempat lain. Ke seseorang."Gil! Tunggu sebentar!" teriak Seta dari belakang sambil berlari kecil mengejar.Gilbert berhenti dan berbalik. Sahabatnya itu menghampirinya dengan wajah penasaran."Iya, ada apa, Set?"Seta merangkul pundak Gilbert dengan gaya santai."Kamu kenapa sih akhir-akhir ini? Kok jarang banget nongkrong bareng kayak dulu? Kalau diajak main futsal nolak, diajak main game juga nolak. Sibuk apa?"Gilbert tersentak dalam hati. Ia harus memberikan alasan yang masuk akal."Ah, iya. Aku lagi ada proyek freelance fotografi, Set. Lumayan buat nambah uang saku. Jadi agak padat jadwalnya."Seta mengangguk mengerti."Oh gitu. Freelance apa? Siapa tahu aku bisa bantu. Atau kalau perlu asisten, aku bisa ikut."Gi

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   Bab 6

    Motor bebek Gilbert melaju melintasi jalanan Setiabudi. Angin pagi Sabtu sejuk menyapu wajahnya. Di jok belakang tersampir tas kamera berisi DSLR Canon—barang paling berharga dari hasil kerja part time setahun.Ponselnya di holder motor menampilkan GPS. Lima menit lagi sampai studio desain Sheilla. Jantungnya berdebar lebih kencang.Seminggu sudah sejak pertemuan di kafe Braga. Sejak momen di parkiran saat hujan. Sejak Sheilla mengatakan ini terlalu berbahaya. Tapi kemarin malam, wanita itu mengirim pesan meminta bantuan foto portofolio studio.Gilbert tentu menjawab iya. Bukan karena uang, tapi kesempatan bertemu Sheilla lagi.Motor berhenti di depan ruko dua lantai minimalis modern. Plang "Sheilla Interior Design" terpasang dengan font elegan berwarna gold. Kaca besar memperlihatkan interior apik bergaya skandinavia.Gilbert turun, melepas helm, mengambil tas kameranya. Ia merapikan rambut di kaca spion sebelum melangkah masuk.Sheilla berdiri di depan meja kerja penuh sketsa dan ma

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   Bab 5

    "Gil! Tunggu!" teriak David, teman sekelasnya yang berbadan besar, sambil berlari kecil mengejar.Gilbert berhenti dan menoleh. "Ada apa, Vid?"David menyusul dengan napas sedikit tersengal. Ia merangkul pundak Gilbert dengan gaya akrab."Lu kenapa sih akhir-akhir ini? Dari tadi di kelas senyum-senyum sendiri terus sambil liat HP. Jatuh cinta ya?"Gilbert tersentak, wajahnya langsung memerah. "Ah nggak kok! Gue cuma... baca chat lucu aja."David menyeringai jahil. "Chat lucu apaan? Pasti chat sama gebetan kan? Ngaku aja deh! Gue kenal lu dari semester satu, Gil. Ini pertama kalinya gue liat lu kayak gini. Pasti ada cewek spesial!"Gilbert menggaruk belakang kepalanya, berusaha mengalihkan topik. "Udah ah, jangan lebay. Lu sendiri gimana sama si Tina? Udah jadian belum?"David tertawa keras sambil menepuk pundak Gilbert. "Jangan alihin pembicaraan! Tapi yasudahlah, gue nggak maksa. Yang penting lu bahagia aja, bro. Tapi inget ya, hati-hati. Cinta itu indah tapi juga bahaya."Gilbert ha

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   Bab4

    Tulang punggung dan lehernya berbunyi saat diregangkan. Gilbert mengambil gelas berisi kopi hitam yang sudah dingin di meja. Meneguknya dalam satu tegukan besar.Rasa pahit kopi instan murahan menyengat tenggorokannya. Tapi ia butuh kafein untuk tetap terjaga. Masih ada dua halaman lagi yang harus diselesaikan."Oke, fokus. Tinggal sedikit lagi," gumamnya sambil mengetuk-ketuk jari di meja.Ia kembali mengetik dengan fokus penuh. Suara keyboard laptop tua miliknya terdengar berisik di tengah kesunyian malam.Tiga puluh menit kemudian, Gilbert akhirnya menekan tombol save terakhir kali."Selesai juga!" ucapnya lega sambil bersandar di kursi putar yang sudah miring sebelah.Ia menutup laptop dan meraih ponsel. Layar menampilkan pukul sebelas lewat tiga puluh menit. Gilbert membuka aplikasi media sosial, scrolling tanpa tujuan untuk menenangkan pikirannya.Bzzt! Bzzt!Ponselnya bergetar. Notifikasi pesan masuk dari nomor yang tidak tersimpan di kontaknya. Gilbert mengerutkan dahi, penasa

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   Bab 3

    "Gilbert! Oper sini!" teriak Seta dari sisi kiri lapangan.Gilbert menendang bola dengan kaki bagian dalam. Bola meluncur cepat dan sampai tepat di kaki Seta. Seta langsung menembak ke arah gawang. Bola meleset tipis di samping tiang."Ahhh! Sial! Hampir masuk!" gerutu Seta frustasi.Gilbert tertawa sambil menepuk punggung sahabatnya. "Gapapa, Set. Masih ada waktu."Setelah pertandingan berakhir dengan skor tiga-dua untuk kemenangan tim Gilbert, mereka berkumpul di pinggir lapangan.Gilbert menenggak air mineral sampai habis. Kaosnya lengket menempel di tubuh karena keringat."Gila, capek banget. Gue udah lama nggak main seru kayak tadi," ucap Gilbert.Seta duduk di sampingnya. "Iya, mantep tadi. Eh, langsung ke rumah gue aja yuk. Kita mandi di sana, terus makan siang. Mama pasti masak enak. Abis itu lanjutin tugas."Jantung Gilbert berdetak lebih cepat mendengar nama Sheilla disebut. Sejak tadi malam ia mencari akun Instagram Sheilla tapi tidak menemukannya. Rasa penasaran dan keingi

  • Pesona Ibu Tiri Temanku   Bab 2

    Kring! Kring! Kring!Alarm ponsel berbunyi nyaring memecah kesunyian pagi. Gilbert menggerakkan tangannya dengan malas mencari sumber suara di atas meja kecil samping tempat tidur. Jarinya menekan tombol snooze dengan kasar. Alarm berhenti, tapi Gilbert tidak bisa kembali tidur. Pikirannya sudah terjaga, dipenuhi oleh bayangan yang sama seperti semalam.Sheilla.Gilbert membuka matanya perlahan. Cahaya matahari pagi menembus celah gorden tipis berwarna biru pudar. Ia menatap plafon kamarnya yang retak di beberapa bagian."Kenapa gue masih mikirin dia?" gumamnya pelan sambil mengusap wajah dengan kedua tangan.Wajah Sheilla kemarin sore masih terbayang jelas. Senyumannya, tatapan matanya yang teduh, suaranya yang lembut semuanya terekam sempurna dalam ingatan Gilbert. Bahkan detail kecil seperti cara Sheilla menyilangkan kaki saat duduk atau bagaimana rambutnya bergerak lembut saat ia berjalan, semuanya masih terasa begitu nyata.Gilbert bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju ka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status