Share

Part 4

Asa-ku seperti menari-nari. Ragaku seakan mati. Melakukan sesuatu yang tidak disenangi sungguh melelahkan. Kali ini aku tidak bertarung dengan hatiku saja. Namun, pikiran dan jiwaku ikut berjuang agar bisa keluar dari zona ini. (Nina Humaira)

 

****

Aroma rumah sakit menyeruak dihidungku. Ada Miss Dora yang menungguku. Cukup lama otakku berputar mengingat kejadian yang menimpaku. Aku baru sadar ternyata aku pingsan setelah memeluk ibunya Reza. Kuraba ternyata keningku yang diperban.

 

"Syukurlah akhirnya nona sadar juga," ucap miss Dora. Walaupun dia terlihat kaku, tapi dia cukup perhatian. Aku taksir umurnya miss Dora seumuran ibuku. Walau bagaimana pun dia memiliki jiwa keibuan.

 

"Lain kali dengar ucapanku nona. Jangan terlalu percaya diri jika dinasehati," sambungnya. Kali ini aku menarik nafas, bukan merasa bersalah. Hanya disalahkan rasanya menyesakkan sekali. Apa salahnya mencoba mengulurkan tangan berbuat baik meski aku sadar itu bisa berakibat fatal karena nyawaku taruhannya.

 

"Nyonya besar itu ada amarah yang dipendam selama ini. Dia memiliki seorang putra dari suaminya yang terdahulu. Namun, sampai saat ini dia belum bertemu."

 

"Lalu kenapa dia sampai mengalami gangguan jiwa?" tanyaku. Bukannya ada Reza yang mendampingi dia selama ini.

 

"Kabar terakhir putranya masih hidup. Namun, mantan suaminya tidak memberi jalan untuk mereka bertemu. Ada trauma yang menimpa nyonya besar. Suaminya KDRT dan keluarga suaminya pernah melakukan kekerasan terhadap dirinya."

 

"Astagfirullah ...." kasian sekali ibunya Reza.

 

Miss Dora menceritakan bahwa setahun ini dia kambuh karena melihat mantan suaminya kembali. Ada trauma berat yang menimpanya hingga dia merasa ingin dibunuh oleh keluarga mantan suaminya. Dan lebih membuat dia trauma, mantan suaminya saat ini adalah saingan bisnisnya. 

 

Sungguh berat perjuangan ibunya Reza. Dengan almarhum suaminya yang kedua dia menjadi sukses karena ayahnya Reza adalah pengusaha kaya raya di kota ini. Namun, entah mengapa ibunya Reza tiba-tiba mengalami penyakit aneh seperti ini. Rasa trauma dan takut berlebihan.

 

"Miss ... boleh aku bertanya?"

 

"Tanya apa?"

 

"Apa tuan Reza sudah menikah, dan Brayen itu ...." Belum selesai aku bertanya dia langsung memotong pembicaraanku.

 

"Ada hal yang tidak perlu kami pelayannya menceritakan, terutama masalah pribadi. Jadi, mohon maaf Nona, saya tidak bisa menjelaskan."  Hm, aneh sekali miss dora ini, lalu dia menceritakan nyonya besarnya bukannya masalah pribadi juga. 

 

Jujur aku penasaran dengan si Reza. Apa dia sudah menikah atau tidak. Entah mengapa ragaku mulai lelah seperti ini, padahal baru beberapa hari menjadi istrinya. 

 

Kutepis dulu semua tentang Reza saat ini fokusku ke ibunya. Ada rasa penyesalan dihatiku memanfaatkan situasi ibunya Reza dengan masalah yang kualami. Harusnya keilmuwanku kugunakan untuk kesembuhan ibunya Reza. Dia butuh bimbingan psikolog untuk menghilangkan traumanya.

 

Aku sedikit berfikir keras. Tak ingin melibatkan ibunya Reza lagi dengan hal yang menimpaku saat ini. Baiklah mungkin ini saatnya berbakti dengan ibu mertua tanpa balasan apa pun. Setiap kebaikan pasti akan mendatangkan kebaikan yang lainnya. Aku orang baru disini cukup berbuat baik saja saat ini.

 

"Lagi mikir apa?" si Reza lagi-lagi nyelonong, hampir saja ini jantung copot dibuat.

 

"Lain kali jangan terlalu pede, Nona manis. Ini 'kan akibatnya." Dia mengacak-acak jilbabku. Sambil memegang keningku yang diperban. Eh, si Miss Dora senyam senyum.

 

"Berhati-hatilah, tidak mudah beradaptasi dengan hal baru. Dan tidak mudah melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang kita inginkan. Terkadang kita harus bisa mengontrol hati dan pikiran kita agar seimbang," sahutnya sok bijak.

 

Tiba-tiba asistennya menghampiri. Miss Dora langsung keluar dari ruangan.

 

"Tuan Reza, kita ada meeting di kantor. Dan ...." Laki-laki yang postur tubuhnya terawat itu mendekat.

 

"Nona Pricilia sudah menunggu tuan di kantor. Dia juga ambil bagian di meeting kali ini." Reza mengangguk dan langsung keluar begitu saja.

 

Kelakuan laki kagak jelas gitu masuk tiba-tiba keluar pun tanpa permisi.

 

Nona Pricilia? Mengapa si Reza langsung salah tingkah mendengar nama Pricilia? Sepertinya dia gadis istimewa dihati Reza. Tak masalah bagiku, cuma penasaran saja. Eh.

 

"Miss, aku ingin segera pulang," ucapku memberanikan diri. Rasanya sudah jenuh berlama-lama disini.

 

"Kita tunggu dokternya observasi nona lagi, kata perawat yang jaga dokternya sedang diperjalanan."

 

"Apa lukaku parah, Miss?" Dia mengangguk.

 

"Banyak darah yang keluar, untung saja nona segera dibawa kesini oleh ...." dia tidak melanjutkan padahal aku sungguh penasaran bagaimana hingga bisa ke rumah sakit.

 

"Oleh apa, Miss?" tanyaku memperjelas.

 

"Aku lupa kalau infus nona belum diganti." Miss Dora mengalihkan pembicaraan. Miss Dora keluar mencari perawat. Seperti ada hal yang dia sembunyikan. Maksudnya aku dibawa oleh siapa? Ah, entahlah.

 

Jujur rasanya aku ingin segera pulang, penasaran dengan keadaan ibunya Reza saat ini. Meski kuakui semua ini semakin terasa berat bagiku. Antara hati, jiwa dan pikiranku seperti sedang beradu. Ingin kabur pulang ke rumah rasanya tidak mungkin karena ayah pasti marah besar dan pernikahanku baru beberapa hari. Apa kata orang nanti?

 

Seketika lamunanku terhenti dengan kehadiran perawat yang memeriksaku.

 

"Permisi, Mbak. Saya periksa tensi darah dan infusnya dulu, ya." aku hanya mengangguk.

 

"O, ya sebentar lagi pak dokter datang. Ngomong-ngomong mbaknya kenal ya dengan pak dokter. Dia nampak sangat khawatir sekali dengan keberadaan mbak kemarin." Maksudnya pak dokter yang mana? Ada-ada saja ini baru kali pertamaku ke rumah sakit ini, emang ada yang kenal denganku. 

 

Tiba-tiba seperti biasa ada yang ikut nimbrung.

 

"Ehm ...." Lagi-lagi si Reza nyelonong masuk. Bukannya dia mau meeting. Eh, malah kembali.

 

"Dokter siapa maksudnya, sus?" tanya Reza. Itu pertanyaan atau rasa ...? Ah sudahlah mana mungkin dia cemburu.

 

"Oh, maaf mbaknya sudah punya suami ternyata, saya kira belum ....." Perawat itu terlihat sangat malu.

 

"Santai saja, Sus. Dia itu ...." ingin kulanjutkan, tapi langsung dipotong oleh si Reza.

 

"Mungkin itu praduga suster saja. Dia tidak punya kenalan dokter." Si Reza mengatakan demikian sambil tersenyum.

 

"Oh, begitu. Masalahnya pak dokter punya cinta pertama dan dia bahkan jarang tersenyum. Tapi dengan mbak dia begitu perhatian sekali semalam." Reza makin melotot.

 

"Sepertinya suster salah orang, mana mungkin dia punya kenalan dokter nona ini, dia baru datang dari desa," jawab Reza. Maksudnya? Dikira dari desa tidak punya kenalan dokter gitu. 

 

"Oh, Maaf kalau begitu, ya, sebelumnya." 

 

"Santai saja, sus. Dan juga jangan terlalu di dengar ucapan laki sebelah sana dia memang agak ketus kalau diajak ngomong."

 

"Saya duga malah dia cemburu mba." ih, amit amit dicemburui sama si Reza.

 

Perawat itu senyum-senyum sambil keluar dan si Reza mendekatiku lagi.

 

"Ingat! Jangan terlalu pede baru saja diceritakan telingamu sudah mekar." Astaghfirullah ini orang maksudnya apa. Kalau sedang tidak luka begini sudah kuajak silat.

 

"Aku meeting dulu, jaga dirimu baik-baik. Ingat sekali lagi di kota ini kamu sebatang kara." Aku tidak menyahut, makin malas menjawab ini orang.

 

Dia berjalan keluar begitu saja.

 

"Assalamualaikum, bagaimana keadaannya dek Nina." Nafasku rasanya tercekat, jadi dokter yang merawatku adalah dokter Gunawan.

 

Si Reza berhenti dan balik kembali. Memang niat si Reza merusak suasana.

 

"Waalaikumsalam ... Jadi dokter Gunawan tugas disini?"

 

"Alhamdulillah. Saya dimutasi disini seminggu yang lalu dek Nina." 

 

"Dunia begitu sempit, ya, Dok." Dia tersenyum sementara si Reza seperti patung melihat kami. Ingin kubalas ucapannya yang mengatakan aku tidak punya kenalan dokter. Sekalian pengen diaiarkan lewat speaker rumah sakit ini.

 

"Tuan Reza bukannya mau berangkat ke kantor untuk meeting?" Kali ini dia salah tingkah. Hm, kena 'kan.

 

"Meeting itu bisa belakangan sayang, kesehatanmu yang penting. Kenalkan, dok. Saya suaminya dek Nina ini. Dan saya harap dokter bisa jaga sikap untuk tidak memanggilnya dengan sebut dek, dek itu ...." idiih manis sekali, padahal aslinya palsu.

 

"Siap tuan, siapa yang tidak kenal dengan Reza Adytama. Bahkan rumah sakit ini di sponsori oleh keluarga tuan. Saya rekannya Nina. Di lapangan sebagai sukarelawan kami seperti keluarga memanggil dengan sebutan adek dan mas."

 

Si Reza diam. Suasananya terasa panas karena si Reza merasa kalah. Apa perasaanku saja merasa berada diantara dua laki-laki keren disini. 

 

"Keadaannya Nona Nina sudah lebih baik, sudah bisa istirahat di rumah. Nanti saya resepkan obat untuk diminum di rumah."

 

"Terima kasih, dok. Atas bantuannya," sambutku.

 

"Itu sudah menjadi bagian dari tugasnya, Nina. Tidak perlu berterima kasih." Astagfirullah ini orang buat tensi naik saja. 

 

Dokter Gunawan tetap dengan santun meski si Reza seperti anak kecil. Memang beda mana orang dewasa dan mana yang kelakuannya seperti anak kecil.

 

"Saya permisi dulu, jangan lupa minum istirahat dan minum obatnya kalau sudah sampai di rumah."

 

"Siyap, Dok." Aku membalas dengan senyuman begitu juga dengan dokter Gunawan. Dia nampak bahagia bertemu denganku. 

 

Si Reza kek patung kuda. Uh, puas rasanya melihat Reza yang tak berkutik.

 

"Jaga sikap. Ingat kamu itu sudah punya suami."

 

"Baik Tuan Reza. Lebih baik anda ke kantor sudah ditunggu sama kliennya."

 

Aku berbalik badan dan langsung menggunakan selimut. Jadwal pulangku nanti sore. Menghabiskan infus yang tinggal sedikit lagi. Aku harus banyak istirahat menghadapi kenyataan ketika pulang nanti. 

 

***

 

Waktu menunjukkan setengah lima sore. Miss Dora sudah siaga menjemput untuk pulang. Ketika siap-siap perawat yang jaga menghampiri.

 

"Mba, ini titipan dari dokter Gunawan." Seketika wajahku memerah. 

 

"Terima kasih, sus."

 

"Sama-sama, mbak." perawat itu langsung keluar. Mumpung miss Dora ke kamar mandi aku langsung membuka kertas yang diberi oleh perawat itu.

 

Jika butuh bantuanku

Simpan nomorku di bawah ini.

 

Dokter Gunawan menulis nomornya. Ada secercah harapan membaca tulisan dokter Gunawan.

 

"Kertas apa itu?" Siapa lagi kalau bukan si Reza songong. Dia langsung merampas kertas yang kupegang.

 

Matanya langsung menatapku tajam. Apes, apa si Reza marah? Lalu kenapa harus marah? 

 

 

 

 

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Sica Yant Sen
makin asyik.
goodnovel comment avatar
Cin Halijah
makin dibaca makin penasaran pingin tahu kelanjutanx
goodnovel comment avatar
Aira Raey
seru ceritay
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status