Share

Part 4

Author: Ummi Salmiah
last update Last Updated: 2023-04-10 11:05:08

Asa-ku seperti menari-nari. Ragaku seakan mati. Melakukan sesuatu yang tidak disenangi sungguh melelahkan. Kali ini aku tidak bertarung dengan hatiku saja. Namun, pikiran dan jiwaku ikut berjuang agar bisa keluar dari zona ini. (Nina Humaira)

 

****

Aroma rumah sakit menyeruak dihidungku. Ada Miss Dora yang menungguku. Cukup lama otakku berputar mengingat kejadian yang menimpaku. Aku baru sadar ternyata aku pingsan setelah memeluk ibunya Reza. Kuraba ternyata keningku yang diperban.

 

"Syukurlah akhirnya nona sadar juga," ucap miss Dora. Walaupun dia terlihat kaku, tapi dia cukup perhatian. Aku taksir umurnya miss Dora seumuran ibuku. Walau bagaimana pun dia memiliki jiwa keibuan.

 

"Lain kali dengar ucapanku nona. Jangan terlalu percaya diri jika dinasehati," sambungnya. Kali ini aku menarik nafas, bukan merasa bersalah. Hanya disalahkan rasanya menyesakkan sekali. Apa salahnya mencoba mengulurkan tangan berbuat baik meski aku sadar itu bisa berakibat fatal karena nyawaku taruhannya.

 

"Nyonya besar itu ada amarah yang dipendam selama ini. Dia memiliki seorang putra dari suaminya yang terdahulu. Namun, sampai saat ini dia belum bertemu."

 

"Lalu kenapa dia sampai mengalami gangguan jiwa?" tanyaku. Bukannya ada Reza yang mendampingi dia selama ini.

 

"Kabar terakhir putranya masih hidup. Namun, mantan suaminya tidak memberi jalan untuk mereka bertemu. Ada trauma yang menimpa nyonya besar. Suaminya KDRT dan keluarga suaminya pernah melakukan kekerasan terhadap dirinya."

 

"Astagfirullah ...." kasian sekali ibunya Reza.

 

Miss Dora menceritakan bahwa setahun ini dia kambuh karena melihat mantan suaminya kembali. Ada trauma berat yang menimpanya hingga dia merasa ingin dibunuh oleh keluarga mantan suaminya. Dan lebih membuat dia trauma, mantan suaminya saat ini adalah saingan bisnisnya. 

 

Sungguh berat perjuangan ibunya Reza. Dengan almarhum suaminya yang kedua dia menjadi sukses karena ayahnya Reza adalah pengusaha kaya raya di kota ini. Namun, entah mengapa ibunya Reza tiba-tiba mengalami penyakit aneh seperti ini. Rasa trauma dan takut berlebihan.

 

"Miss ... boleh aku bertanya?"

 

"Tanya apa?"

 

"Apa tuan Reza sudah menikah, dan Brayen itu ...." Belum selesai aku bertanya dia langsung memotong pembicaraanku.

 

"Ada hal yang tidak perlu kami pelayannya menceritakan, terutama masalah pribadi. Jadi, mohon maaf Nona, saya tidak bisa menjelaskan."  Hm, aneh sekali miss dora ini, lalu dia menceritakan nyonya besarnya bukannya masalah pribadi juga. 

 

Jujur aku penasaran dengan si Reza. Apa dia sudah menikah atau tidak. Entah mengapa ragaku mulai lelah seperti ini, padahal baru beberapa hari menjadi istrinya. 

 

Kutepis dulu semua tentang Reza saat ini fokusku ke ibunya. Ada rasa penyesalan dihatiku memanfaatkan situasi ibunya Reza dengan masalah yang kualami. Harusnya keilmuwanku kugunakan untuk kesembuhan ibunya Reza. Dia butuh bimbingan psikolog untuk menghilangkan traumanya.

 

Aku sedikit berfikir keras. Tak ingin melibatkan ibunya Reza lagi dengan hal yang menimpaku saat ini. Baiklah mungkin ini saatnya berbakti dengan ibu mertua tanpa balasan apa pun. Setiap kebaikan pasti akan mendatangkan kebaikan yang lainnya. Aku orang baru disini cukup berbuat baik saja saat ini.

 

"Lagi mikir apa?" si Reza lagi-lagi nyelonong, hampir saja ini jantung copot dibuat.

 

"Lain kali jangan terlalu pede, Nona manis. Ini 'kan akibatnya." Dia mengacak-acak jilbabku. Sambil memegang keningku yang diperban. Eh, si Miss Dora senyam senyum.

 

"Berhati-hatilah, tidak mudah beradaptasi dengan hal baru. Dan tidak mudah melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang kita inginkan. Terkadang kita harus bisa mengontrol hati dan pikiran kita agar seimbang," sahutnya sok bijak.

 

Tiba-tiba asistennya menghampiri. Miss Dora langsung keluar dari ruangan.

 

"Tuan Reza, kita ada meeting di kantor. Dan ...." Laki-laki yang postur tubuhnya terawat itu mendekat.

 

"Nona Pricilia sudah menunggu tuan di kantor. Dia juga ambil bagian di meeting kali ini." Reza mengangguk dan langsung keluar begitu saja.

 

Kelakuan laki kagak jelas gitu masuk tiba-tiba keluar pun tanpa permisi.

 

Nona Pricilia? Mengapa si Reza langsung salah tingkah mendengar nama Pricilia? Sepertinya dia gadis istimewa dihati Reza. Tak masalah bagiku, cuma penasaran saja. Eh.

 

"Miss, aku ingin segera pulang," ucapku memberanikan diri. Rasanya sudah jenuh berlama-lama disini.

 

"Kita tunggu dokternya observasi nona lagi, kata perawat yang jaga dokternya sedang diperjalanan."

 

"Apa lukaku parah, Miss?" Dia mengangguk.

 

"Banyak darah yang keluar, untung saja nona segera dibawa kesini oleh ...." dia tidak melanjutkan padahal aku sungguh penasaran bagaimana hingga bisa ke rumah sakit.

 

"Oleh apa, Miss?" tanyaku memperjelas.

 

"Aku lupa kalau infus nona belum diganti." Miss Dora mengalihkan pembicaraan. Miss Dora keluar mencari perawat. Seperti ada hal yang dia sembunyikan. Maksudnya aku dibawa oleh siapa? Ah, entahlah.

 

Jujur rasanya aku ingin segera pulang, penasaran dengan keadaan ibunya Reza saat ini. Meski kuakui semua ini semakin terasa berat bagiku. Antara hati, jiwa dan pikiranku seperti sedang beradu. Ingin kabur pulang ke rumah rasanya tidak mungkin karena ayah pasti marah besar dan pernikahanku baru beberapa hari. Apa kata orang nanti?

 

Seketika lamunanku terhenti dengan kehadiran perawat yang memeriksaku.

 

"Permisi, Mbak. Saya periksa tensi darah dan infusnya dulu, ya." aku hanya mengangguk.

 

"O, ya sebentar lagi pak dokter datang. Ngomong-ngomong mbaknya kenal ya dengan pak dokter. Dia nampak sangat khawatir sekali dengan keberadaan mbak kemarin." Maksudnya pak dokter yang mana? Ada-ada saja ini baru kali pertamaku ke rumah sakit ini, emang ada yang kenal denganku. 

 

Tiba-tiba seperti biasa ada yang ikut nimbrung.

 

"Ehm ...." Lagi-lagi si Reza nyelonong masuk. Bukannya dia mau meeting. Eh, malah kembali.

 

"Dokter siapa maksudnya, sus?" tanya Reza. Itu pertanyaan atau rasa ...? Ah sudahlah mana mungkin dia cemburu.

 

"Oh, maaf mbaknya sudah punya suami ternyata, saya kira belum ....." Perawat itu terlihat sangat malu.

 

"Santai saja, Sus. Dia itu ...." ingin kulanjutkan, tapi langsung dipotong oleh si Reza.

 

"Mungkin itu praduga suster saja. Dia tidak punya kenalan dokter." Si Reza mengatakan demikian sambil tersenyum.

 

"Oh, begitu. Masalahnya pak dokter punya cinta pertama dan dia bahkan jarang tersenyum. Tapi dengan mbak dia begitu perhatian sekali semalam." Reza makin melotot.

 

"Sepertinya suster salah orang, mana mungkin dia punya kenalan dokter nona ini, dia baru datang dari desa," jawab Reza. Maksudnya? Dikira dari desa tidak punya kenalan dokter gitu. 

 

"Oh, Maaf kalau begitu, ya, sebelumnya." 

 

"Santai saja, sus. Dan juga jangan terlalu di dengar ucapan laki sebelah sana dia memang agak ketus kalau diajak ngomong."

 

"Saya duga malah dia cemburu mba." ih, amit amit dicemburui sama si Reza.

 

Perawat itu senyum-senyum sambil keluar dan si Reza mendekatiku lagi.

 

"Ingat! Jangan terlalu pede baru saja diceritakan telingamu sudah mekar." Astaghfirullah ini orang maksudnya apa. Kalau sedang tidak luka begini sudah kuajak silat.

 

"Aku meeting dulu, jaga dirimu baik-baik. Ingat sekali lagi di kota ini kamu sebatang kara." Aku tidak menyahut, makin malas menjawab ini orang.

 

Dia berjalan keluar begitu saja.

 

"Assalamualaikum, bagaimana keadaannya dek Nina." Nafasku rasanya tercekat, jadi dokter yang merawatku adalah dokter Gunawan.

 

Si Reza berhenti dan balik kembali. Memang niat si Reza merusak suasana.

 

"Waalaikumsalam ... Jadi dokter Gunawan tugas disini?"

 

"Alhamdulillah. Saya dimutasi disini seminggu yang lalu dek Nina." 

 

"Dunia begitu sempit, ya, Dok." Dia tersenyum sementara si Reza seperti patung melihat kami. Ingin kubalas ucapannya yang mengatakan aku tidak punya kenalan dokter. Sekalian pengen diaiarkan lewat speaker rumah sakit ini.

 

"Tuan Reza bukannya mau berangkat ke kantor untuk meeting?" Kali ini dia salah tingkah. Hm, kena 'kan.

 

"Meeting itu bisa belakangan sayang, kesehatanmu yang penting. Kenalkan, dok. Saya suaminya dek Nina ini. Dan saya harap dokter bisa jaga sikap untuk tidak memanggilnya dengan sebut dek, dek itu ...." idiih manis sekali, padahal aslinya palsu.

 

"Siap tuan, siapa yang tidak kenal dengan Reza Adytama. Bahkan rumah sakit ini di sponsori oleh keluarga tuan. Saya rekannya Nina. Di lapangan sebagai sukarelawan kami seperti keluarga memanggil dengan sebutan adek dan mas."

 

Si Reza diam. Suasananya terasa panas karena si Reza merasa kalah. Apa perasaanku saja merasa berada diantara dua laki-laki keren disini. 

 

"Keadaannya Nona Nina sudah lebih baik, sudah bisa istirahat di rumah. Nanti saya resepkan obat untuk diminum di rumah."

 

"Terima kasih, dok. Atas bantuannya," sambutku.

 

"Itu sudah menjadi bagian dari tugasnya, Nina. Tidak perlu berterima kasih." Astagfirullah ini orang buat tensi naik saja. 

 

Dokter Gunawan tetap dengan santun meski si Reza seperti anak kecil. Memang beda mana orang dewasa dan mana yang kelakuannya seperti anak kecil.

 

"Saya permisi dulu, jangan lupa minum istirahat dan minum obatnya kalau sudah sampai di rumah."

 

"Siyap, Dok." Aku membalas dengan senyuman begitu juga dengan dokter Gunawan. Dia nampak bahagia bertemu denganku. 

 

Si Reza kek patung kuda. Uh, puas rasanya melihat Reza yang tak berkutik.

 

"Jaga sikap. Ingat kamu itu sudah punya suami."

 

"Baik Tuan Reza. Lebih baik anda ke kantor sudah ditunggu sama kliennya."

 

Aku berbalik badan dan langsung menggunakan selimut. Jadwal pulangku nanti sore. Menghabiskan infus yang tinggal sedikit lagi. Aku harus banyak istirahat menghadapi kenyataan ketika pulang nanti. 

 

***

 

Waktu menunjukkan setengah lima sore. Miss Dora sudah siaga menjemput untuk pulang. Ketika siap-siap perawat yang jaga menghampiri.

 

"Mba, ini titipan dari dokter Gunawan." Seketika wajahku memerah. 

 

"Terima kasih, sus."

 

"Sama-sama, mbak." perawat itu langsung keluar. Mumpung miss Dora ke kamar mandi aku langsung membuka kertas yang diberi oleh perawat itu.

 

Jika butuh bantuanku

Simpan nomorku di bawah ini.

 

Dokter Gunawan menulis nomornya. Ada secercah harapan membaca tulisan dokter Gunawan.

 

"Kertas apa itu?" Siapa lagi kalau bukan si Reza songong. Dia langsung merampas kertas yang kupegang.

 

Matanya langsung menatapku tajam. Apes, apa si Reza marah? Lalu kenapa harus marah? 

 

 

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (9)
goodnovel comment avatar
Fenty Izzi
suka...suka...suka.........
goodnovel comment avatar
Mmh Pauji
lanjut dong
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
seorang psikolog tapi koq g mencerminkan ya. kecuali cuman menggerutu dlm hati. padahal si nina menggambarkan dirinya cukup sempurna. dan juga fr gunawan yg memberikan nope nya sama si nina, bukankah sebelumnya mereka rekan kerja. apa selama ini mereka berkomunikasi menggunakan telepati.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pesona Istri Dari Desa   Semuanya baik-baik saja 'kan?

    Semua sibuk menyiapkan makan malam, tentunya semua bahagia karena daddy sepertinya membuka kembali lembaran baru bersama abang Brayen. Saat ini yang terpenting daddy bahagia dan sehat seperti sedia kala lagi. Tentunya menjadi keluarga yang utuh kembali seperti dulu lagi.“Dek mikirin apa? ayo bantu bunda,” ajak bunda yang langsung menarik tanganku. Aku yakin bunda pasti mengetahui apa yang kurasakan. Mengapa ini sangat berat, padahal semua yang ada di pikiranku bisa jadi itu tidak benar.“Dek, jangan mikirin sesuatu yang belum terjadi, nikmati apa yang sedang terjadi tanpa membuatmu berpikir yang aneh-aneh.” Bunda memang sangat peka dengan apa yang menjadi pikiranku.“Berkaryalah sayang, buat sesuatu yang membuatmu tidak jenuh menunggu malam ini,” ujar bunda.“Iya, Bund. Jangan menata Monica begitu, aku malu.” Bunda hanya tertawa renyah menatapku.Aku menyiapkan menu favoritku, Minimal jika malu nanti malam, aku punya kesibukan menghabiskan puding buatanku. Iya, aku hanya bisa membuat

  • Pesona Istri Dari Desa   Aku takut kehilangan dirimu

    “Arvian pamit bund,” ucap Arvian yang menarik tangan abang Brayen untuk masuk ke mobil. Mereka begitu akrab satu sama lain. Saling merindukan satu sama lain. Aku iri, padahal aku ibunya.Mereka yang begitu akrab satu sama lain yang membuatku merasa menjadi ibu yang tidak sempurna. Apa selama ini aku salah mendidik Arvian, atau aku terlampau egois? Semua pertanyaan benar-benar menggangguku “Istirahatlah sayang, semua pasti akan baik-baik saja. Yakin itu,” bisik abang Brayen yang masih bertahan meski tangannya ditarik oleh Arvian. Ya Allah benar-benar dia selalu pintar membuat jantung ini berdetak lebih cepat.“Ayah cepet, sudah dibilang bukan muhrim masih saja pakai adegan sayang-sayang” teriak Arvian. Astagfirullah bikin malu saja adegan orang dewasa ini. Abang Brayen sempat-sempatnya mengedipkan mata. “I love you,” ucapnya.Aku segera masuk menemui bunda dan abang Shaka. Oksigen di tubuhku bisa habis dibuat tingkah abang Brayen dan Arvian. Mereka tak henti tertawa melihat tingkahku y

  • Pesona Istri Dari Desa   Semua pasti ada jalan keluar

    "Bunda maafin Arvian, ya," ucap Arvian yang langsung memelukku. Arvian tidak salah. Ini murni kesalahan orang dewasa seperti kami yang egois."Arvian tidak salah, Nak. Beri waktu opa, ya untuk bisa bersama ayah lagi.""Semuanya baik-baik saja 'kan, Bun?" aku hanya membalas dengan anggukan. Meski aku pun tidak berani berharap semuanya kembali seperti dulu lagi. "Semuanya baik-baik saja, Nak. Opa sehat itu yang penting." Aku memeluk Arvian, air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya turun tanpa diminta. Dalam hatiku ini semua salahku yang begitu egois. "Ayah jemput Arvian gak bun?" tanya Arvian."Arvian tidak mau menginap?" "Arvian kangen ayah, sejak opa di rumah sakit Arvian hanya ketemu satu kali." Rasanya menyesakkan sekali mendengarnya. Arvian lebih merindukan ayahnya. luka yang kurasa sulit untuk sembuh. Bagi anak seperti Arvian memiliki keluarga utuh adalah anugerah. Walau dia tidak kekurangan kasih sayang, tapi nalurinya ingin seperti anak pada umumnya. Disayang dan dimanja.

  • Pesona Istri Dari Desa   Berdamailah dengan masa lalu, Bang!

    Reza dibolehkan pulang, Brayen hanya bisa mencuri pandang dari jauh. Namun, lucunya mereka seperti saling merindukan. Itu terlihat dari Reza yang diam-diam ikut juga mencarinya."Ayo, Bang. Sopirnya sudah menunggu," kata Nina-istrinya.Reza hanya menjawab dengan anggukan kepala. Nina menyadari, tapi dia tidak ingin mengganggu suaminya yang sedang menahan gengsi. Laki-laki terkadang tidak bercerita, tetapi ketika sudah di puncak rasa, dia akan cepat membuka diri. "Daddy kenapa, Bund?" tanya Shaka yang melihat Reza lebih banyak diam."Biasa orang gengsian gitu." "Masalah abang?" tanya Shaka lagi, Nina hanya mengangguk."Susah memang dua laki-laki ini, tuh lihat abang Brayen di pojokan juga natap daddy," tunjuk Shaka. Seketika Nina tidak bisa menahan tawanya."Pantes mereka disatukan, kelakuannya sama," jawab Nina."Kalian kenapa senyum-senyum tidak jelas?" tanya Reza penasaran. Aneh melihat istrinya tertawa renyah bersama putra sulungnya."Itu, Dad. Abang Brayen melambaikan tangan ke k

  • Pesona Istri Dari Desa   Harus Menerima Kenyataan

    Brayen langsung menemui semua dokter agar Reza di cek menyeluruh. Sebelumnya Reza sudah di observasi dan sudah di cek kesehatannya. Keadaannya semakin membaik. Namun, Brayen belum puas karena khawatir dengan kesehatan di dalam tubuh ayah angkatnya itu."Abang kenapa?" tanya Monica sepertinya ikut terlihat panik. Sekilas Monica mendengar pembicaraan abang angkatnya itu."Abang khawatir daddy kenapa-napa?""Maksudnya?""Daddy makan tidak sepertinya biasanya."Monica ikut berpikir keras karena kemarin Reza juga meminta Monica membawa kopi kesukaannya."Daddy kemarin juga memintaku membelikannya kopi Americano kesukaannya ketika masih muda." "Apa daddy terminal lucidity?" tanya Monica yang terdengar panik."Abang percaya semuanya atas izin Allah, tetapi tidak ada salahnya kita tes ulang semua kesehatan daddy," sambung Brayen.Monica hanya mengangguk tanda setuju dengan ungkapan Brayen. Beberapa dokter dipanggil untuk mengecek kesehatan Reza. Brayen meminta khusus karena merasa ini sangat

  • Pesona Istri Dari Desa   Semua baik-baik saja, kan?

    Reza terus tersenyum melihat tingkah Brayen, mereka seperti cinta lama bersemi kembali. Tanpa harus berucap pun mereka saling merindukan. Hanya saja mereka malu untuk mengutarakan. Bisa dikatakan mereka sebenarnya memiliki sifat yang hampir mirip.“Bukan Brayen yang nakal, tapi Daddy. Apa daddy ingin menyiksa Brayen lebih lama lagi?” tanya Brayen kepada Reza yang masih memalingkan wajahnya. Sementara Nina dan Shaka mundur teratur, memberikan ruang waktu kepada Brayen dan Reza. Monica menatap sebentar kepada Brayen mantan suaminya itu. Tatapan harapan agar semuanya baik-baik saja. Brayen spontan memegang tangan Monica dengan lembut.“Semuanya pasti baik-baik saja sayang,” bisiknya. Ucapan lembut dari Brayen membuat Monica bergetar. Hati yang semula layu tumbuh bermekaran lagi. Cinta memang luar biasa membuat hati dan pikiran tak menentu. Monica pamit keluar ikut memberikan ruang waktu Reza dan Brayen agar mereka leluasa untuk bercerita. “Dad, kita baikan yuk, kita jalan-jalan lagi s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status