Ini tidak bisa terjadi. Sera tidak mau mendapatkan hal buruk. Sejenak dia memejam, mengingat perlakuan Broto saat itu. Lelaki itu dengan tega menginjak tubuh Sera yang sudah terkapar di lantai. Menghujam dengan hinaan luar biasa kepadanya, "kau tidak pantas untuk anakku. Wanita tidak tahu diri! Berani sekali kau mengaku anakku harus bertanggung jawab?!"Ketika itu, Sera menemui Bima setelah dirinya sadar berada sendirian di vila. Bima meninggalkan Sera setelah menjebak dirinya dengan memberikan obat di minuman hingga pingsan. Dengan bebas Bima bisa menikmati tubuhnya. Sera sangat frustasi. Dia bergegas menuju kediaman Bima dan meminta pertanggung jawaban. Tapi semua sia-sia. Sera gadis desa yang tidak memiliki kekuatan apa pun. Dia hanya bisa pergi dalam keadaan hina. Berjalan tanpa arah hingga takdir membawanya ke rumah Simbah."Tuan Bupati memanggil Anda, Nyonya," ucap sang asisten.Lamunan Sera seketika teralihkan."Ah, iya," balas Sera sembari menarik napas panjang. Entah apa ya
Saat senyuman masih terpampang jelas di wajah Maya, dia kembali terkejut ketika Anggoro mendadak keluar bersama Sera yang menutup sebagian wajahnya. "Apa-apa'an ini?" gumamnya lalu mendekati mereka dan menyapa, "pagi ini aku sangat terkejut. Hmm, jadi sekarang istri Bupati memang sangat berbeda?"Anggoro menghentikan langkah. Dia tak percaya melihat pamannya masih berada di sini. Anggoro semakin menatap tajam, "kenapa Paman masih di sini? Kerjakan saja pekerjaan Paman!" Kedua matanya melirik sang asisten yang segera mendekatinya."Jangan pernah membiarkan siapapun masuk atas izinku," ucapnya pelan dengan pandangan tajam. Sang asisten pun menganggukkan kepala.Masih di tempat, Broto semakin berdiri kaku ketika beberapa pengawal akan mendekatinya. Dia mengangkat tangan, membuat mereka menghentikan langkah. "Anggoro tenanglah."Kedua alisnya mengernyit dalam. Dia tak menghiraukan kemarahan sang keponakan. Ada hal lain yang membuatnya lebih menarik untuk diperhatikan.Kenapa keadaan mas
"Kau jangan mengambil kesempatan seperti ini," bisik Anggoro. Mendadak dia melepaskan pelukannya. Kemudian berdiri, lalu membenarkan jasnya."Seharusnya kau berhati-hati. Sudah tahu lampu itu akan jatuh malah diam saja. Sangat merepotkan!" lanjutnya masih membentak. "Kau selalu saja membuatku susah! Apakah ini tugas seorang istri? Selalu mempermalukan suaminya!""Tuan, maafkan saya." "Jangan lemah dan cepat berdiri! Apa kau lumpuh!""Sungguh saya tadi--"Sera menghentikan ucapannya saat Willem mengulurkan tangan untuk membantunya. Wanita itu menggelengkan kepala. Dia berusaha berdiri tanpa bantuan siapapun. Anggoro yang melihat pun tidak menyukainya, ketika Willem memaksa Sera menerima ulurannya."Aku akan membantumu, Nyonya."Anggoro dengan cepat melangkah dan melewati Willem. Spontan tangannya yang semula terulur, menekuk seketika. Willem pun semakin kesal melihat Anggoro sengaja melakukannya."Kenapa lampu itu!" teriak Anggoro sambil menatap semua pengawal yang spontan menundukkan
'Ada apa ini? Kenapa mereka bisa masuk dengan mudah? Dan pandangan itu ...'Kini situasi semakin sulit diterima. Anggoro terpaku sambil menahan amarah kala Bima hadir dan menampakkan pandangan sangat aneh. Pikirannya kembali ke beberapa hari lalu ketika dia memergoki Sera dan Bima. Apakah memang keduanya saling mengenal?Dia menggelengkan kepala, berusaha memusatkan pikirannya kembali. Ada hal penting yang harus dia lakukan hari ini. Dia juga tidak mau terlihat buruk di hadapan Gubernur."Maafkan saya. Banyak sekali gangguan di sini." Anggoro mendekati Gubernur yang masih menatap Sera. Dalam batinnya, 'kenapa lelaki penting ini berani melakukannya?' Dia berusaha bersikap normal, seakan tidak ada hal apa pun yang perlu dikhawatirkan."Bapak Gubernur? Jalan desa yang sudah kita kunjungi pekan lalu mulai diperbaiki. Saya berterima kasih Bapak sudah membantuku," sela Anggoro sembari menampakkan senyuman ramah yang sebenarnya dia paksakan. Perlahan dia mendekati Sera yang masih menundukka
Anggoro menatap sang sepupu. Sudah pasti apa yang dia rasakan benar. Bima ada hubungannya dengan Sera.Kakinya melangkah mendekati Bima yang masih memandangnya tajam."Katakan dan jangan berbelit," ucapnya pelan. Nadanya sangat dingin, memperlihatkan amarah. Anggoro tidak akan pernah memaafkan siapapun yang sudah mempermainkan dirinya. Bima tersenyum ketika melihat hal itu. Dia menatap Sera yang masih tak sadarkan diri. Dalam batinnya, 'kau akan segera menjadi mainanku lagi.'"Kak, ini terjadi beberapa hari lalu. Kau harus mengerti dan menerimanya. Mungkin, ini akan sulit kau terima. Tapi aku memiliki bukti kuat.""Jangan menahan apa yang akan kau katakan. Aku tidak memiliki waktu."Anggoro semakin menatap Bima yang malah tersenyum puas. Dia akan menghancurkan Anggoro dalam sekejap dan mempermalukannya. Membalas rasa sakitnya di masa lalu."Kak, kau harus percaya kalau istrimu itu sudah pernah--""Tuan Anggoro ...," lirih Sera membuat sang suami meninggalkan Bima begitu saja.Anggor
Simbah berjalan mendekati Sera. Dia menatap tak seperti biasanya. Lebih tajam dan sangat dingin. Kelima jemari kanannya meremas kuat ujung tongkat. Bahkan pandangan itu bisa diartikan siap menerkam Sera saat ini juga."Aku dari tadi mengamati kalian. Hmm ... jadi kau sudah kenal menantuku?" ucapnya kini menatap Bu Broto yang biasa dipanggil Jeng Wuri."Katakan apa yang harus aku ketahui.""Mbakyu," balas Jeng Wuri kini duduk di sebelah Sera. Dia mengambil selembar tisu dan menyodorkan tepat ke wajah Sera sambil berkata, "bersihkan mulutmu itu. Sangat tidak pantas istri Bupati kotor. Makan saja urakan. Tapi, gadis desa memang selalu seperti itu. Kam-pu-ngan.""Kamu sudah mengabaikan aku, Wuri," sela Simbah lalu duduk tepat di hadapan mereka. Simbah kini memicingkan kedua mata ke arah Maya yang sangat senang melihat Sera masih bergeming kaku. "Apa yang kalian berdua ingin katakan? Aku tidak suka berbelit.""Mbakyu, maafkan," balas Jeng Wuri sambil menggelengkan kepala, "Mbak tahu sendi
Satria menekan tombol di kursi rodanya. Menggerakkan roda itu hingga tepat di hadapan Sera yang masih bergeming kaku. "Kenapa diam? Apa benar kau meniduri Om Bima?"Seperti biasanya, Sera meremas ke -10 jemarinya ketika dia sangat gugup. Tak dia sangka pertanyaan Satria benar-benar di luar dugaannya."Jadi benar. Diam artinya kau memang melakukannya," ucap Satria kini terkekeh pelan."Seharusnya aku tidak perlu menjawab pertanyaan konyol itu. Kenal saja tidak. Lagi pula, menikahi ayahmu syarat utamanya adalah suci."Dengan santai Sera akhirnya menjawab. Dia kini bersujud di hadapan anak itu. Memberikan senyuman sangat cantik seperti biasanya."Anak seumuran dirimu seharusnya belajar rajin agar menjadi apa pun yang kau inginkan.""Aku ingin menjadi pemain bola dunia. Tapi ... apakah kau bisa bertanggung jawab? Ingatlah, ibu tiriku. Aku lumpuh karena dirimu," balasnya dengan nada dingin.Hati Sera benar-benar lemas seketika. Memang dia yang menyebabkan Satria seperti ini. Namun, berpur
Leher Bupati semakin tergelitik. Sesuatu di antara pangkal pahanya semakin menegang. Siap menusuk apa pun di hadapannya. Menyerupai gairah liar, apalagi tubuh Sera mengeliat keras, berusaha melawan. Namun, terlihat semakin seksi.Bibir Anggoro menelusuri leher Sera. Panas dalam dirinya bergejolak bagaikan kembang api yang siap meledak sewaktu-waktu.Pahanya terasa hangat ketika bersentuhan dengan kulit mulus wanita di hadapannya. Dada kekar itu berdenyut-denyut ketika menempel dengan sesuatu yang sangat kenyal dan bulat sempurna milik Sera.Namun, alih-alih melanjutkan, Anggoro bengong memandangi wanita di hadapannya yang mulai meneteskan air matanya.Anggoro bergegas melepaskan dekapannya. Napasnya yang masih terengah-engah dia atur dengan baik."Berdiri!" pintanya tegas. Mata pria itu masih tertumbuk pada rambut hitam si wanita yang sangat berantakan. "Aku bilang pergi!"Seharusnya ia tidak boleh menikmatinya. Seharusnya ia menghindar dan marah. Atau setidaknya, tersinggung. Seharus