Share

Bab 2 - Menikahi Riska

Entah apa yang dilakukan Marta, tapi Aldi memang akhirnya menuruti keinginan gila istrinya itu untuk menikahi Riska.

Hanya saja, Riska dibawa Aldi ke sebuah rumah kecil di perumahan baru agar tak seatap dengan Marta.

Kini sepasang suami istri baru itu berada di sana.

Aldi memperhatikan lingkungan yang belum banyak dihuni, bahkan masih banyak rumah yang belum selesai dibangun.

“Riska, nanti kalau ada apa-apa kamu bilang sama asistenku. Nanti uang bulanan kamu saya titipkan padanya dan dia yang akan aku utus ke sini,” ucap pria itu pada akhirnya.

“Baik, Pak,” ucap Riska, takzim.

Aldi menghela napas panjang. “Ya sudah, saya pergi dulu.”

“Hasan tolong bantu angkat koper Riska, dan setelah itu langsung ke kantor, kita bahas meeting dengan klien kita!” perintah Aldi pada asistennya.

“Baik, Tuan,” jawab Hasan dengan hormat.

Aldi langsung meninggalkan mereka. Dia tidak ingin lama-lama di rumah Riska karena masih tak nyaman dengan istri keduanya itu.

Di sisi lain, Hasan tampak membantu Riska memasukkan barang miliknya.

Sebenarnya, barang bawaan Riska hanya sedikit. Namun entah Marta membawakan apa lagi, sampai ada dua koper yang ada di sini..

Untungnya, tak butuh waktu lama, semua pun rapi.

“Terima kasih, Pak Hasan, sudah membantu saya,” ucap Riska.

“Ah iya, Nyonya, sama-sama. Saya pamit ke kantor ya? Menyusul Tuan Aldi.”

“Iya, Pak. Tapi, jangan panggil saya Nyonya lagi, ya?” pinta Riska.

“Loh kenapa? Bukannya benar saya panggil Nyonya? Kan Nyonya istri kedua Tuan Aldi?” bingung pria itu.

“Sudah panggil saja Riska, jangan Nyonya lagi,” ucap Riska.

“Ya sudah saya panggil Mbak Riska saja. Sepertinya, Mbak Riska masih muda sekali?” ujar Hasan.

“Saya masih dua puluh dua tahun, Pak.”

“Pantas saja!” ujar Hasan. “Ya sudah saya pamit, Mbak. Nanti Tuan menunggu lama,” pamit Hasan.

“Baik, Pak. Hati-hati, ya.”

Hasan tersenyum, lalu segera pergi. Hanya saja, itu tak berlangsung lama karena begitu tiba di kantor, Aldi tampak geram.

“Kamu tahu aku sudah berapa lama menunggu kamu, San? Dari mana saja sih, San? Disuruh bawakan masuk koper saja lama sekali?”

“Iya, maaf, Tuan. Tadi saya ngobrol dulu sama Istri mudanya Tuan,” jelasnya.

”Oh iya, dia baik sekali. Beruntung sekali Tuan punya istri muda yang ramah dan sopan santunnya terjaga,” puji Hasan lagi.

Bukannya senang, Aldi justru tambah geram.“Beruntung? Asal kamu tahu Hasan, kalau bukan karena aku sangat mencintai Marta dan tak mau bercerai darinya, aku tidak akan menikahi Riska yang kerempeng dan dekil.

“Dia bagai langit dan bumi dengan Marta!” kesal atasannya itu.

“Maaf, Tuan. Tapi, saya rasa Nyonya Riska hanya belum dipoles dengan berbagai macam skincare. Coba Tuan kasih perawatan yang sama dengan Nyonya Marta,” ucap Hasan berani, “Kalau sudah kenal perawatan tubuh, bakalan kalah Nyonya Marta, Tuan!”

“Orang sudah setelannya begitu, ya tetap begitu lah! Gak mungkin berubah!” ucap Aldi.

“Jangan salah tuan, nanti kalau Istri Muda Tuan sudah glowing bisa-bisa Tuan kepincut deh,” ledek Hasan.

Asistennya itu memang berani karena sudah lama dengan Aldi.

Meski kaya, atasannya itu sebenarnya tak suka membanding-bandingkan orang. Hasan bahkan sudah dianggap Aldi seperti saudaranya sendiri.

Tak segan, Aldi memberikan biaya kuliah untuk dua adik Hasan, sampai perawatan ibunya di rumah sakit.

Hanya saja, mood-nya berubah akhir-akhir ini akibat menghadapi kelakuan Marta.

Sebenarnya, Hasan sedikit berharap pada Riska. Mungkin dengan adanya istri kedua, mampu membuat Aldi kembali menjadi seperti dulu?

“Ck! Jangan bahas soal Riska. Aku yakin perempuan itu cuma mau duit saja, makanya mau jadi istri kedua!” gerutu Aldi, “Lebih baik, kita segera ketemu klien!”

Hasan menggelengkan kepala. “Ya sudah pasti lah, pasti butuh duit. Nyonya Marta juga pastinya nyari perempuan yang sedang butuh banyak uang.”

“Gak mungkin orang sudah kaya raya dan cantik jelita mau dijadikan istri kedua yang hanya diminta anaknya saja, kan? Nanti, gak bisa ditindas dong!” ucap asisten Aldi itu lagi.

Mata Aldi sontak menatap Hasan tajam, seolah mengingatkan agar Aldi tak terlalu banyak bicara.

Namun, Hasan hanya mengendikan bahu, tak takut.

Percayalah, dia ingin terbaik untuk Aldi.

Dan Marta, sepertinya bukanlah orang yang tepat untuk mendampingi pria sebaik dirinya….

Sayangnya, enam bulan sudah berlalu dari hari itu.

Tapi, Aldi sama sekali tidak pernah menemui Riska lagi.

Ia hanya mengutus Hasan untuk membawakan jatah bulanannya.

Kabar Riska, selalu didapatkannya dari Hasan. Entah mengapa, asistennya itu selalu  antusias menceritakan kabar istri keduanya itu padanya meski tidak diminta.

“Tuan, yakin Tuan gak mau menemui Riska? Sudah setengah tahun, Tuan. Pasti Tuan akan terkejut kalau melihat Nyonya Muda,” ucap Hasan tiba-tiba.

“Gak ada topik pembicaraan lain, San? Aku lagi riweh ngurus Marta, jangan kau tambah dengan pembicaraan gak penting soal Riska!” kesal Aldi.

Memang, apa hal dari Riska yang bisa membuatnya terkejut?

“Serius, Tuan! Riska sekarang udah glowing. Jadi, ngapain yang riweh diurusi? Sedangkan di tempat lain ada yang lebih baik? Gak riweh, dan gak neko-neko. Kayaknya penurut juga,” kata Hasan lagi.

“Memang benar-benar ya kamu, San? Balik ke ruang kerjamu kalau hanya ingin bahas Riska!” perintah Aldi.

“Oke, Bos!” Hasan langsung keluar dari ruangan Aldi, sebelum atasannya itu bertambah geram padanya.

Sebenarnya, ada hal yang tidak pernah diinfokan Hasan pada Aldi.

Dia sendiri menginginkan Istri yang seperti Riska, tapi sayangnya dia sudah milik sang atasan.

**

Di sisi lain, Aldi meremas rambutnya. Sebenarnya, ia sadar bahwa Hasan tak salah.

Kepalanya sudah pusing dengan kelakukan Marta yang semakin hari semakin menjadi.

Pulang kumpul dengan teman-temannya sampai malam.

Rumah tidak diurus.

Kalau Aldi pulang kerja, selalu tidak disambut dengan baik.

Dan, yang lebih membuat Aldi naik darah, Marta sama sekali tidak mau disentuh Aldi karena Aldi tidak mau menemui Riska. Dia lebih memilih main solo dibandingkan minta jatah pada Aldi.

Pria itu sampai tidak tahu harus bicara dari mana untuk menasehati istrinya. Padahal, di kota berbeda, ibu Aldi dan ibu Marta sudah sangat menginginkan cucu dan meneror dirinya.

“Sudah di rumah bertengkar mulu sama Marta, di sini malah diajak ribut sama asisten sendiri,” gerutu pria itu kesal.

Sepulangnya dari kantor, Aldi merasa harus membicarakan ini segera dengan Marta. Tapi, lagi-lagi istrinya itu justru menolak.

“Mas! Kalau kamu mau kita seintim dulu, kamu harus sentuh Riska dan hamili dia segera!” teriak Marta sembari menyingkirkan tangan Aldi, “apa susahnya sih Mas? Toh, dia istrimu juga, bukan orang lain!”

Tangan Aldi, mengepal menahan amarah.

Pria tampan itu bisa saja memaksa Marta untuk “melayaninya”, tapi ia tak mau melakukan tindakan kasar yang akan disesalinya.

“Baik. Jika itu maumu,” geramnya.

Aldi lalu memilih keluar rumah dan mengambil kunci mobilnya. Tak lupa, dia juga membawa kunci serep rumah Riska.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status