“Pertama, kamu dilarang jatuh cinta dengan suamiku. Yang kedua, kamu harus memberikan anak pada kami berdua dari rahimmu. Dan, yang ketiga, kamu tidak berhak atas anak itu nanti. Paham?”
Mendengar ucapan sinis wanita di depannya, Riska pun mengangguk. “I—iya, Mbak. Saya paham.”
“Bagus! Kalau kamu sudah paham, kamu bisa baca surat perjanjian kerja ini. Kontrak kerja kamu lebih tepatnya!”
Tanpa basa-basi, sebuah map diberikan pada Riska yang langsung membacanya dengan teliti.
Dia tidak mau nantinya kalau sudah menjalankan tugasnya, ada hal yang nantinya akan merugikan dirinya.
Hanya saja, hatinya ternyata tetap pedih saat kontrak itu menyatakan bahwa Riska tidak memiliki hak apapun atas anaknya nanti. Namun, Riska tak punya pilihan.
Tabungan dan pesangonnya sudah habis dan dia sudah di PHK sejak dua tahun lalu dari pabrik tempatnya bekerja. Padahal, dia memang membutuhkan biaya untuk sekolah kedua adiknya, yang sebentar lagi akan masuk SMA dan SMP.
Tak lama, Riska pun membubuhkan tanda tangan di sana.
Melihat itu, Marta melipat tangannya angkuh. “Baik, Ini uang DP dariku. Nanti malam, kamu siap-siap untuk dijemput orang, dan kamu harus meninggalkan dua adikmu.”
“Tidak masalah, kan? Toh, adik-adikmu itu harus mandiri,” ucap wanita itu lagi, meremehkan.
Tangan Riska mengepal. Namun, dia hanya bisa mengangguk. “Iya, Mbak. Saya sudah menjelaskan semuanya pada adik saya, kalau saya akan bekerja dengan Mbak sebagai Asisten Rumah Tangga. Saya tidak memberitahukan yang sebenarnya, supaya adik saya bisa belajar dengan tenang kalau saya tidak di rumah.”
“Ya sudah, kamu pergi cari baju yang lumayan bagus untuk nanti malam menemui suamiku,” ucap Marta.
Setelah selesai dengan tujuannya, Marta pun pulang–meninggalkan Riska yang meremang.
Baru kali ini, ia melihat wanita yang terang-terangan mencarikan madu untuk melahirkan suaminya hanya karena tidak ingin tubuhnya kendur.
Namun, itu bukanlah tempatnya untuk menilai. Bukankah dirinya kini lebih menjijikan?
Riska menghela napas panjang. “Tidak apa-apa. Ini untuk adik-adikmu,” lirihnya menahan pedih pada diri sendiri.
Di sisi lain, Aldi yang baru pulang dari kantor, tampak terkejut.
Entah ada setan apa yang merasuki Marta malam ini. Wanita itu tampak menyambutnya dengan mesra.
Padahal biasanya saat Aldi pulang, Marta belum ada di rumah.
Entah karena nongkrong di Cafe atau nge-mall dan bikin konten supaya semua orang tahu kalau dirinya hidup bahagia, bebas, dan banyak harta.
Apalagi, setelah perdebatan mereka beberapa waktu lalu saat Marta dengan gilanya meminta Aldi untuk menikah lagi karena meminta keturunan, keduanya makin terasa dingin.
“Kamu tumben sudah di rumah? Tidak keluyuran sama geng kamu itu?” tanya Aldi akhirnya sembari berjalan ke kamarnya.
“Cuma pengen menyambut suamiku, apa tidak boleh?” jawab wanita itu cepat.
“Benarkah?”
Setelah menikah, Marta bahkan tidak pernah masak untuknya. Wanita itu bahkan ke dapur hanya untuk ambil minum dan makan saja! Tapi, Aldi tak pernah mempermasalahkan karena dia memang mencintai Marta.Kini, Marta tampak gelagapan. “I—iya, ya sudah buruan bersihkan badanmu, lalu makan malam bersama, aku sudah masak, aku tunggu di ruang makan.”
Aldi menghela napas.
Tanpa basa-basi, di pun segera membersihkan diri dan menuju ruang makan.
Hanya saja, ia kembali terkejut saat menemukan sosok perempuan asing yang tampak sederhana dan anggun di sana bersama Marta.
Meski demikian, pakaiannya terkesan pasaran dan seperti seorang ART yang biasa bekerja di rumahnya.
Tapi, bukankah pembantu mereka harusnya pulang setiap sore?
“Hai, Mas? Sini makan dulu,” sapa Marta, membuyarkan lamunan Aldi.
“Dia siapa, Marta?” tanya Aldi tampak tak suka, “Apa dia pembantu baru kita?”
Perempuan yang Aldi kira pembantu hanya menunduk, sementara Marta tampak tersenyum. “Bukan, dia bukan pembantu. Dia calon istrimu, Mas. Namanya Riska,” jawabnya cepat.
“Maksudmu?”
“Kita semalam sudah bicara, bukan, Mas? Kamu minta anak, kan? Jadi, aku carikan calon istri yang bisa memberikanmu anak. Karena itu, jangan minta padaku lagi!” jawab Marta.“Yang benar saja, Marta! Pikiran kamu di mana sih?” geram Aldi.
Riska terdiam. Mendadak, dia ragu dengan pekerjaan yang harus ia jalani nantinya sebagai seorang madu.
Hanya saja, wanita sosialita di sampingnya justru tampak yakin. “Aku serius, Mas. Lusa, kalian menikah siri!”
Rahang Aldi mengeras, tercetak jelas guratan kemarahan di wajahnya. “Kamu sebenarnya mikir gak sih, Marta?” marahnya, “aku memang mau anak, tapi dari kamu dan bukan yang lain!”
“Mas, kan aku sudah bilang dari awal kalau aku tidak mau hamil. Tapi, Mas terus maksa. Ya udah, ini jalan satu-satunya kalau Mas mau memiliki anak!” ucap Marta, “nikahi Riska!”
“Oh iya, aku sudah mengurus pernikahan kalian. Kalian menikah dengan siri, lusa pernikahan kalian!”
“Gak bisa, Ta! Aku gak mau!” ucap Aldi nyalang.
“Konsekuensinya, kamu gak bisa memiliki keturunan selamanya. Ingat Mas, ibumu sudah mendesak kamu untuk memiliki anak, dan aku tidak bisa!” tegas Marta.
Brak!
Aldi memukul meja, sampai Riska terjingkat.
“Benar-benar gila kamu, Ta!”
Tanpa kata, Aldi lalu masuk ke dalam kamarnya.
Meski kemarahan pria itu bukan padanya, tapi tetap saja Riska takut.
Rasanya, dia ingin kabur dari sana. Sayangnya, Marta sudah membayar penuh uang perjanjian yang sudah digunakannya untuk kedua adiknya.
Seolah tahu pikirannya, Marta tiba-tiba menatapnya tajam. “Kamu masuk kamar saja, Riska. Tenang saja, kamu tetap akan menjadi istri kedua Mas Aldi!”
Entah apa yang dilakukan Marta, tapi Aldi memang akhirnya menuruti keinginan gila istrinya itu untuk menikahi Riska.Hanya saja, Riska dibawa Aldi ke sebuah rumah kecil di perumahan baru agar tak seatap dengan Marta.Kini sepasang suami istri baru itu berada di sana.Aldi memperhatikan lingkungan yang belum banyak dihuni, bahkan masih banyak rumah yang belum selesai dibangun.“Riska, nanti kalau ada apa-apa kamu bilang sama asistenku. Nanti uang bulanan kamu saya titipkan padanya dan dia yang akan aku utus ke sini,” ucap pria itu pada akhirnya.“Baik, Pak,” ucap Riska, takzim.Aldi menghela napas panjang. “Ya sudah, saya pergi dulu.”“Hasan tolong bantu angkat koper Riska, dan setelah itu langsung ke kantor, kita bahas meeting dengan klien kita!” perintah Aldi pada asistennya.“Baik, Tuan,” jawab Hasan dengan hormat.Aldi langsung meninggalkan mereka. Dia tidak ingin lama-lama di rumah Riska karena masih tak nyaman dengan istri keduanya itu.Di sisi lain, Hasan tampak membantu Riska m
Tak jauh berbeda dengan Aldi, Riska kini termenung.Dia bingung dengan keberadaannya di rumah mungil itu. Sudah setengah tahun ini, dia rasanya seperti makan gaji buta.“Kebutuhanku tak seberapa, tapi gajiku sebanyak itu dan diberikan rumah. Enak, sih? Tapi, aku seperti mengingkari perjanjian itu,” lirihnya cemas.Beberapa kali, Marta bahkan mendesaknya untuk merayu Aldi.Bagaimana bisa Riska merayunya? Pak Aldi saja tidak pernah ke sini!Riska sungguh merasa serba salah.Jadi, yang dapat dilakukan Riska adalah mulai berbaur dengan tetangga.Cukup akrab, tapi tak sampai menggosip dan berghibah.Beberapa bulan lalu, Riska juga mulai merawat tubuhnya. Dia ikut saran dari tetangganya untuk ke klinik kecantikan. Katanya, saat suami Riska yang merantau balik, dia bisa kelihatan fresh dan glowing,Waktu itu, Riska menahan tawa. Mau berubah pun, apa Aldi akan tertarik padanya?Tapi, tetangganya memaksa.Tanpa terasa, Riska memang terlihat semakin menarik. Dan, yang tahu perubahan ini adalah
“Eh Tuan di sini?” ucap Hasan gugup begitu menyadari sosok atasannya kini berdiri di sebelah Riska.“Kenapa kalau saya di sini, Hasan?” tanya Aldi, dingin.“Ya tidak apa-apa, memang harusnya begitu? Kebetulan nih saya bawakan jajanan pasar, buat cemilan Tuan sama Nyonya,” ucap Hasan.“Hmmm ... terima kasih, ya sudah sana kamu pulang, saya ke kantor agak siangan!” titah Aldi.“Siap, Tuan! Selamat bersenang-senang, sudah saya duga pasti ketagihan, kan?” gurau Hasan.“Jangan banyak bicara! Pulanglah!” perintah Aldi sedikit menekan.Dengan cengar-cengir melihat wajah Bosnya yang lucu, Hasan langsung pergi meninggalkan rumah Riska.Padahal Hasan masih ingin lama di rumah Riska, untuk sekadar makan jajanan pasar bersama sambil ngopi di teras Riska.Ya, Riska tidak pernah menyuruh Hasan masuk ke dalam rumah, meskipun ada sesuatu hal yang perlu diperbaiki, entah keran bocor, lampu mati, atau apa,Riska lebih leluasa memanggil orang ahlinya daripada meminta Hasan untuk memperbaikinya, karena a
Cletak! Aldi menjentikkan jarinya ke kening Riska yang melongo karena mendengar dirinya akan menambahkan uang belanja Riska. “Awwh ... Bapak!” ringis Riska dengan mengusap keningnya. “Lagian kamu melongo begitu?” ucap Aldi. “Ya habisnya uang yang tiga bulan saja masih utuh, ngapain bapak ngasih tambahan uang lagi? Mubazir lho pak?” jawab Riska. “Aku tidak suka dibantah, Riska! Mau tidak mau kamu harus menerima uang tambahan dari saya, dan mulai sekarang belilah baju yang layak pakai, sepatu, tas, make-up, parfum, dan lainnya! Jangan sampai kosong lagi ini meja rias!” tegas Aldi. “Memang pakaian saya tidak layak pakai, Pak?” tanya Riska polos dan meneliti pakaian yang ia gunakan. Menurutnya sudah sangat layak pakai, bahkan itu adalah pakaian yang lumayan mahal harganya menurut Riska. “Ini sudah mahal lho, Pak? Saya beli di toko depan sana dekat sama Pasar itu, harganya sudah mahal sekali,” imbuhnya. “Mahal? Berapa, Riska?” tanya Aldi yang tidak yakin pakaian yang Istri Keduanya
“Bantu aku untuk bujuk Marta, supaya Marta mau punya anak dariku,” ucap Aldi. Riska tersenyum, tapi ia bingung sendiri dengan Suaminya itu. Dirinya saja dibayar Marta untuk dipinjam rahimnya untuk mengandung anak dari Aldi. Sekarang Aldi malah meminta bantuan padanya untuk membujuk Marta?Apakah wanita itu mau mendengarnya?“Bagaimana? Bisa, kan?” tanya Aldi lagi. “Gini nih, Pak. Saya ini kan dibayar Mbak Marta, dipinjam rahimnya untuk mengandung anak dari Bapak, terus kalau saya membujuk Mbak Marta supaya mau hamil, jelas saya kena semprot Mbak Marta dong?” ucap Riska, "disangkanya, saya mau makin gaji buta aja." “Jadi maunya kamu, aku hamilin kamu begitu?” Deg! “Bu--bukan begitu! Tapi, saya tidak mau melanggar perjanjian saya dengan Mbak Marta, Pak. Apalagi Mbak Marta sudah membayar penuh uang kontraknya selama dua tahun,” jawab Marta. Kini, Aldi menghela napasnya berat. Di rumah, ia sudah tidak bisa berkomunikasi dengan baik dengan Marta, meminta jatah ranjang saja Marta sel
“Ehh ... ja—jangan sekarang, Pak! Saya sedang masak, masa sambil masak?” Riska sudah panas dingin didekati Aldi, apalagi sampai Aldi memeluk dirinya dari belakang dan mengambil spatula di tangan Riska lalu menaruhnya di tempat tirisan minyak.“Kenapa kalau sambil masak? Biar ada sensasinya, Riska? Ayo, layani saya sekarang.” Aldi tambah membuat Riska makin panas dingin, padahal Aldi hanya ngerjain Riska saja, bagaimana reaksinya saat diperlakukan seperti itu oleh Aldi.“Aduh, Pak ... tubuh saya bau bumbu, nanti saja, ya? Mandi dulu, masa mau melayani suami bau begini, Pak? Ja—jangan deh, Pak?” ucapnya gugup dan wajahnya semakin merah merona, karena Riska bisa merasakan desah napas Aldi yang lembut dan hangat di tengkuknya.“Kenapa? Katanya sudah siap? Kok gugup gini? Jangan tegang dan takut dong wajahnya? Rileks, oke?” bisik Aldi di telinga Riska dengan lembut. Sesekali Aldi mencium tengkuk Riska. Entah ada dorongan apa Aldi bisa-bisanya menyesap aroma wangi tubuh Riska, dan tiba-tiba
Aldi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ternyata Riska tidak tahan karena ingin buang air, bukan karena ingin menuntaskan hasratnya sama seperti dirinya tadi, yang menuntaskannya sendiri.“Bapak kenapa sih? Aneh ih tanyanya? Masa orang lagi buang air suruh teriak-teriak?” ucap Riska.“Aku lapar, makan yuk? Sudah selesai masaknya, kan?”Aldi sengaja mengalihkan pembicaraan, karena ia malu dengan pikirkannya sendiri yang tiba-tiba jadi berpikiran negatif tentang Riska. Pasalnya, jika Marta ingin sekali, dia menuntaskan hasratnya sendiri di kamar mandi. Aldi kira Riska melakukan hal yang sama dengan Marta.“Hmmm ... pantas saja bicaranya ngelantur, ternyata Bapak lapar? Ya sudah yuk kita makan,” ajak Riska.Mereka duduk saling berhadapan di depan meja makan. Tangan Riska cekatan mengambilkan makanan untuk suaminya.“Silakan, Pak. Selamat makan,” ucapnya dengan senyum tipis di wajahnya.“Selamat makan juga, Riska,” jawab Aldi.Aldi menyendokkan makanannya, dan mulai mencicipi masakan
Riska menenangkan degup jantungnya yang tidak keruan karena perbuatan Aldi yang tiba-tiba saja berlaku manis di depannya. “Ya Allah ... apa yang terjadi pada diriku?” batin Riska sambil melongo mengingat apa yang Aldi lakukan tadi. Sementara Aldi yang baru sampai di kantornya, langsung disambut oleh Hasan. Asistennya itu merasa ada yang aneh dengan penampilan sang bos. Biasanya memakai baju rapi dan formal, sekarang hanya memakai kemeja lengan pendek, dan terlihat tampil lebih fresh, terlihat sangat muda menurut Hasan. “Kok bengong, San? Bagaimana, sekarang saja meetingnya? Saya belum terlambat, kan?” tanya Aldi yang melihat Hasan melongo memandang penampilannya dari atas sampai bawah. “Tuan gak salah ke kantor pakai pakaian seperti ini? Apa tidak terlalu santai? Atau saya siapkan baju Tuan yang lain?” tanya Hasan. “Apa saya salah pakai baju? Sepertinya tidak salah? Baju ini bersih, rapi, wangi, dan pantas untuk dipakai ngantor, ya meskipun terkesan santai,” jawabnya dengan me