Share

Bab 3 - Kedatangan Hasan Ke Rumah Riska

Tak jauh berbeda dengan Aldi, Riska kini termenung.

Dia bingung dengan keberadaannya di rumah mungil itu. Sudah setengah tahun ini, dia rasanya seperti makan gaji buta.

“Kebutuhanku tak seberapa, tapi gajiku sebanyak itu dan diberikan rumah. Enak, sih? Tapi, aku seperti mengingkari perjanjian itu,” lirihnya cemas.

Beberapa kali, Marta bahkan mendesaknya untuk merayu Aldi.

Bagaimana bisa Riska merayunya? Pak Aldi saja tidak pernah ke sini!

Riska sungguh merasa serba salah.

Jadi, yang dapat dilakukan Riska adalah mulai berbaur dengan tetangga.

Cukup akrab, tapi tak sampai menggosip dan berghibah.

Beberapa bulan lalu, Riska juga mulai merawat tubuhnya. Dia ikut saran dari tetangganya untuk ke klinik kecantikan. Katanya, saat suami Riska yang merantau balik, dia bisa kelihatan fresh dan glowing,

Waktu itu, Riska menahan tawa. Mau berubah pun, apa Aldi akan tertarik padanya?

Tapi, tetangganya memaksa.

Tanpa terasa, Riska memang terlihat semakin menarik. Dan, yang tahu perubahan ini adalah Hasan yang setiap bulan mendapat tugas untuk mengantarkan gaji bulanan Riska.

Bahkan, asisten suaminya itu datang kalau Riska butuh bantuan, seperti menggantikan lampu yang mati, atau apa yang harus dikerjakan laki-laki.

“Sebenarnya yang suamiku itu, Aldi atau Hasan, ya?” lirihnya, bimbang lalu akhirnya tertidur.

Riska sangat lelap, hingga tak menyadari bahwa Aldi masuk ke kamarnya dan membenarkan selimutnya.

Sekilas, Aldi memandang wajah istri mudanya itu.

Tanpa disadarinya, pria itu mengulas senyum melihat Riska yang tidur dengan wajah yang polos dan tenang.

Pria itu pun segera keluar dan merebahkan tubuhnya di sofa yang berada di ruang tengah. Mencoba memejamkan matanya dan melupakan perdebatan-perdebatan yang telah ia lalui dengan Marta selama ini.

**

“Astafirugllah!”

Pagi harinya, Riska terbangun untuk melakukan salat subuh. Namun, ia kaget ada seseorang yang sedang tidur nyenyak di sofa yang berada di depan kamarnya.

Dia pun perlahan berjalan mendekati sofa tersebut dan bernapas lega ketika menyadari bahwa itu Aldi.

Cukup lama Riska diam.

Dia  ragu membangunkan Aldi untuk ikut salat subuh. Akan tetapi, selama Riska tinggal di rumah Aldi dan Marta, pria itu tidak pernah melakukan salat sama sekali. Jadi, Riska memilih melakukan salat subuh sendiri dan langsung ke dapur untuk menyiapkan sarapan pagi.

Di sisi lain, Aldi terbangun karena mencium bau wangi masakan.

Ia menggeliatkan tubuhnya yang kaku lalu menuju ke dapur.

“Ehem ...!” Aldi berdehem dan  bersandar di pintu dapur begitu melihat Riska yang sedang memegang spatula.

“Eh Pak Aldi sudah bangun?” tanya Riska santai.

“Sudah,” jawabnya singkat.

“Duduklah, saya buatkan kopi untuk bapak,” ucap Riska dengan menaruh spatula di atas wajan, dan mengecilkan api kompornya.

“Hmmm,” jawab Aldi lalu duduk dan memerhatikan Riska yang mulai meracik kopi untuk dirinya. Akan tetapi, yang Riska berikan pada Aldi bukan kopi, melainkan air putih hangat untuk Aldi.

Alis Aldi sontak mengernyit.

Seolah tahu, Riska pun menjawab, “Minum air putih hangat dulu setelah bangun tidur, Pak.”

“Terima kasih,” jawab Aldi.

“Sama-sama, Pak. Ini kopi hitam saja kan, Pak? Tidak pakai creamer?” tanya Riska.

“Iya, aku lebih suka kopi hitam, jangan–”

“Iya, jangan terlalu manis,” potong Riska, tahu benar selera Aldi.

“Iya benar, tapi jangan ulangi lagi memotong ucapan saya!” tegas Aldi.

“Baik, Pak,” jawabnya santai, padahal dada Riska dari tadi bergemuruh.

Ada perasaan gugup, takut, dan lainnya. Tapi, Riska tetap berusaha santai di depan Aldi.

Sejujurnya, Riska bingung, kenapa tiba-tiba Aldi datang ke rumahnya. Namun, dia tak mau memusingkannya sekarang.

“Silakan kopinya, Pak. Ini ada cemilan juga, saya bikin sendiri, silakan dicicipi, Pak,” ucap Riska dengan meletakkan kopi dan toples kecil yang berisi kue kering bikinannya tadi sore.

“Terima kasih,” ucap Aldi, “oh iya, kamu masak apa Riska?”

“Ini tumis brokoli, buncis, wortel, sama ayam dan tempe goreng,” jawab Riska.

“Baunya sangat harum, saya boleh sarapan di sini?” tanya Aldi.

“Pak Aldi ini lucu sekali, saya masak sepagi ini ya untuk sarapan bapak, dan saya. Saya juga masak untuk dua porsi, biasanya saya masak seporsi saja, itu pun agak siangan, Pak Aldi kan harus ke kantor, jadi saya masaknya agak pagi,” jelasnya.

“Oh begitu? Aku sepertinya ke kantor agak siang, tubuhku pegal tidur di sofa,” ucap Aldi.

“Lho kenapa gak pakai kamar satunya, Pak? Ada tempat tidurnya dan sudah rapi, karena saya rapikan setiap hari,” ucap Riska.

“Lupa,” jawabnya, singkat.

Suasana hening lagi, tidak ada lagi percakapan antara Riska dan Aldi.

Namun diam-diam, Aldi masih bergelut dengan rasa aneh saat melihat Riska yang benar-benar sudah berubah.

Benar kata Hasan, dia terlihat begitu fresh. Wajahnya semakin putih dan glowing, juga tubuhnya terlihat bersih dan putih.

Dari lengan dan sikunya, juga sudah terlihat berbeda dari dulu saat datang ke rumahnya dan baru menjadi istrinya.

Dalam diam, Aldi menyesap kopi yang dibuatkan Riska. Sebenarnya, dia rindu kopi buatan wanita ini. Hanya saja, dia gengsi menghampirinya karena pernikahan kedua dengan Riska telah merusak egonya.

Namun sekarang, dia bisa menikmatinya, kan?

Belum habis kopinya, Riska sudah menata masakan yang sudah matang di meja makan,

Aldi menelan salivanya melihat masakan Riska yang begitu menggugah selera makannya, apalagi semalam dia tidak makan malam!

“Bisa minta tolong kopi ini disingkirkan dulu, Riska?” pintanya.

“Loh kok disingkirkan? Apa ini tidak enak? Atau kemanisan?” tanya Riska.

“Bukan, aku ingin sarapan dulu, ini untuk nanti setelah sarapan,” jawab Aldi.

“Oh begitu? Ya sudah saya singkirkan, terus saya siapkan piring untuk sarapan Bapak,” ucap Riska.

Dengan cekatan, istri keduanya itu menyingkirkan cangkir kopi milik Aldi, dan mengambilkan makanan untuk Aldi. Wanita itu juga mengambil makanannya, lalu sarapan bersama.

Riska mengulas senyum tipis di bibirnya kala menyadari bahwa Aldi benar-benar lahap. Pria itu bahkan sampai menambah nasi! Padahal setahunya, Aldi bukan tipe yang suka sarapan.

**

“Kamu mau ke mana, Riska?”

“Mau ke perempatan, Pak,” jawab Riska cepat, “beli sayur.”

Setelah selesai sarapan, Riska memang membersihkan diri untuk ke perempatan. Di sana, biasanya tukang sayur mangkal pagi-pagi.

Aldi tampak mengangguk. “Kalau gitu, saya antar kamu,” ucapnya mendadak.

Wanita itu sontak terkejut. “Hah? Dekat kok, Pak. Itu di perempatan depan, saya jalan kaki saja.”

“Tidak apa-apa. Pakai mobil saja, ayo saya antar.” Aldi bergegas mengambil kunci mobilnya.

“Jalan kaki saja ya, Pak? Sekalian olahraga, biar bapak gak ngantuk juga, tuh kelihatan matanya ngantuk, habis sarapan banyak jadi ngantuk, lebih baik jalan kaki kan sehat, Pak?” ujar Riska.

“Iya deh iya, ayo saya ikut kamu. Awas nanti kalau capek aku tidak mau menggendongmu?!” ucap Aldi.

“Idih narsis banget bapak ini? Yang ada bapak yang kelelahan, Pak? Gak biasa jalan agak jauhan, kan?” ejek Riska.

“Siapa bilang? Ayo kita buktikan!” ucap Aldi.

“Boleh, ayok!”

Riska keluar mendahului Aldi.

Namun saat keluar, ada sebuah mobil yang berhenti di depan rumah Riska.

Mobil siapa lagi kalau bukan mobil Hasan?

Asisten Aldi itu memang sering ke rumah Riska.

Kalau habis jogging, dia akan langsung menghampiri rumah Riska dan membawakan makanan, entah itu bubur ayam atau makanan apa pun itu.

“Itu Hasan ngapain ke sini?” tanya Aldi yang sudah menyusul Riska.

“Paling antar bubur ayam, kalau tidak Mas Hasan bawakan jajanan pasar, Pak,” jawab Riska.

“Kamu tadi manggil dia apa? Mas?” ucap Aldi dengan sedikit kesal, entah kenapa dia kesal melihat Hasan ke rumah istri mudanya, “Gak salah dengar saya?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status