"Maaf, aku nggak bisa menikah denganmu, Refal!"
Refal yang berlutut di depan gadis pujaannya, harus menerima jawaban pahit yang tak pernah ia sangka-sangka. Pria itu saat ini tengah berada di sebuah restoran mewah bersama dengan kekasih yang paling ia cinta. Ada hidangan kelas atas yang tersaji di atas meja. Ada lilin dan bunga-bunga yang menghiasi seluruh restoran. Ada alunan musik yang menggema di seluruh ruangan. Tak lupa, suara ledakan kembang api yang indah di langit juga ikut menyemarakkan suasana. Hari ini, seharusnya menjadi hari yang paling membahagiakan bagi Refal dan juga kekasihnya, Rania. Pria itu sudah bersusah payah menyiapkan kejutan romantis untuk melamar sang kekasih hati di restoran tersebut. Refal bahkan sudah menyiapkan kejutan ini dari jauh-jauh hari. Pria tampan yang sudah berusia 31 tahun itu telah menyiapkan cincin berlian dengan harga fantastis untuk diberikan pada Rania. Tak hanya itu, Refal juga membeli buket bunga super besar yang khusus ia pesan untuk Rania. Namun, sayangnya semua usaha Refal berakhir sia-sia. Alih-alih mendapatkan pelukan penuh cinta dari Rania, Refal justru harus puas dengan penolakan yang menyakitkan. "Maaf, Refal," ucap Rania lagi. Refal terkesiap. Senyum merekah yang menghiasi wajah tampan pria itu perlahan menghilang, berganti dengan ekspresi muram. "Kenapa?" tanya Refal dengan suara bergetar. "Kenapa kamu nggak bisa menikah denganku?" tanya Refal lagi. "Apa yang salah denganku? Kenapa Rania menolak lamaranku? Apa aku memilih tempat yang kurang romantis? Atau Rania tidak suka dengan cincin yang aku beli?" batin Refal kebingungan. "Dengarkan aku dulu, Refal. Aku bisa jelasin," ujar Rania. Rania mempunyai alasan tersendiri mengapa gadis itu menolak lamaran dari kekasih yang sudah ia kencani selama lebih dari 3 tahun itu. "Apa yang mau kamu jelasin?" tanya Refal dengan nada kecewa. Tentu pria itu sakit hati menerima penolakan dari wanita yang paling iya dambakan. Refal sudah menjalin hubungan cukup lama dengan Rania dan pria itu sudah sangat siap untuk membangun rumah tangga. Wajar jika Refal ingin segera membawa Rania menuju ke jenjang berikutnya. Refal benar-benar berharap, ia bisa menikah dengan Rania dan membentuk keluarga yang bahagia. "Apa kamu punya alasan bagus?" sinis Refal. "Aku dapat tawaran bagus, Refal," ungkap Rania. "Aku bisa masuk kelompok desainer untuk acara Paris Fashion Week yang akan digelar beberapa bulan lagi. Aku punya kesempatan untuk membuat kostum yang bisa dipakai sama supermodel kelas dunia. Kamu bisa bayangin 'kan gimana lonjakan karir aku nanti kalau hasil desain aku dipakai sama model-model kelas atas seperti Chrissy Teigen sama Rosie Huntington? Impian aku buat jadi desainer fashion terkenal benar-benar bisa terwujud!" Rania begitu bersemangat membahas tawaran yang ia dapatkan. Wanita berusia 29 tahun itu memang memiliki ambisi cukup tinggi untuk menjadi desainer fashion kelas dunia. Rania sangat berbakat di bidang fashion design, dan ia juga memiliki potensi tinggi untuk bisa menjadi desainer, sesuai dengan impiannya. "Jadi?" "Aku harus berangkat ke Paris besok," ujar Rania. "Aku harus pergi, Refal." Refal menatap Rania dengan lekat. "Jadi, kamu lebih pilih acara fashion konyol itu dibanding aku?" tanya Refal. Kekecewaan Refal kini mulai berubah menjadi kemarahan. Refal tidak menyangka, gadis yang ia cinta lebih memilih karir dibandingkan dengan dirinya. "Ini soal mimpi aku, Refal! Kamu nggak berhak bicara seperti itu!" Refal tersenyum kecut. "Apa Aku nggak ada artinya buat kamu? Apa mimpi kamu lebih penting dari aku?" tanya Refal. "Jangan kekanak-kanakan, Refal! Kesempatan ini nggak akan datang dua kali seumur hidup aku. Aku nggak mau menyia-nyiakan peluang ini. Aku akan menyesal seumur hidup kalau aku sampai melewatkan kesempatan ini!" seru Rania dengan tegas. Tak ada keraguan sedikitpun dalam setiap perkataan Rania. Wanita itu benar-benar mantap memilih untuk pergi ke Paris dan meninggalkan Refal. "Jadi menurut kamu, lebih baik kamu nolak lamaran aku daripada kamu nolak tawaran bodoh itu?" sinis Refal. "Ini soal masa depan aku, Refal! Aku nggak akan berhenti sampai aku bisa jadi desainer terkenal!" ujar Rania. "Kamu benar-benar akan meninggalkan aku? Kamu yakin kamu nggak akan menyesal udah nolak aku?" Rania melengos. Wanita itu tidak menjawab. Nampaknya Rania sama sekali tidak peduli dengan hati Refal yang sudah iya buat hancur berkeping-keping. Rania pergi meninggalkan restoran tanpa mengatakan apa pun lagi. Wanita itu sama sekali tidak merasa bersalah setelah mencampakkan kekasihnya yang berniat membawa dirinya melangkah menuju pelaminan. "Rania!" Suara panggilan Refal tidak dihiraukan sedikitpun oleh Rania. "RANIA!" Refal memekik kencang, kemudian melempar cincin yang ada dalam genggaman tangannya. "Sialan! Apa pentingnya acara fashion konyol itu? Kenapa kamu tega ninggalin aku cuma karena impian bodoh itu?" geram Refal. "Kamu pikir aku nggak bisa mewujudkan impian kamu? Aku punya uang, aku punya segalanya! Aku bisa kasih apa pun yang kamu mau! Kenapa kamu masih ninggalin aku?" Refal mengamuk di dalam restoran tersebut. Pria itu mengacak-acak meja makan dan menendang kursi-kursi yang ada di sana. Refal melampiaskan amarahnya pada benda-benda mati yang ada di sekitarnya. Pria itu meluapkan kekecewaan dan kesedihannya dengan amarah brutal. Sebagai seorang bos muda yang berasal dari keluarga kaya, Refal selalu mendapatkan apa yang ia inginkan. Pria itu tak pernah mendapat penolakan sebelumnya. Namun hari ini, hati Refal dipatahkan dengan mudahnya dan harga dirinya diinjak-injak oleh orang yang paling istimewa di hatinya. "Kamu nggak bisa nolak aku, Rania! Kamu nggak bisa pergi dari aku!" Selesai mengacak-acak restoran, Refal pun bergegas meninggalkan restoran itu. Bukannya pulang ke rumah, Refal justru mengunjungi sebuah bar yang menjual banyak minuman keras. Pria itu meneguk minuman beralkohol, hingga dirinya dibuat mabuk berat. Refal tak mempunyai cara lain untuk mengatasi patah hatinya saat ini kecuali melarikan diri dengan alkohol. Di sisi lain, di tempat yang tak jauh dari bar, Terlihat seorang gadis dengan pakaian sederhana sedang berteduh di pinggir jalan, menunggu jemputan. Gadis bernama Savira itu terus memandang ke arah jalan, menanti seseorang yang sudah berjanji akan menjemput dirinya di tempat kerja. "Hujannya deras banget," gumam Savira. Gadis berusia 24 tahun itu masih begitu bersemangat, meskipun saat ini ia terjebak hujan dan tubuhnya sudah kelelahan setelah bekerja seharian. Savira melambaikan tangan dengan senyum merekah, begitu ia melihat sebuah motor butut mulai mendekat ke arah tempatnya berteduh saat ini. Sang pengendara motor tua itu tak lain ialah Rahman, ayahnya yang datang menerjang hujan demi dirinya. "Ayah, kenapa pakai jas hujan yang udah bolong? Baju Ayah jadi basah semua, tuh!" omel Savira pada ayahnya yang muncul dengan pakaian yang sudah basah. "Ayah memang sengaja pakai jas hujan yang udah bolong supaya Ayah bisa hujan-hujanan," celetuk Rahman diiringi tawa kecil. "Ayah udah tua masih aja suka hujan-hujanan! Nanti kalau Ayah masuk angin, siapa yang repot?" Rahman tak berhenti tertawa mendengar omelan putri kesayangannya. "Anak Ayah galak banget sih! Cowok-cowok bisa takut sama kamu kalau kamu segalak ini," ledek Rahman. "Ih, apaan sih, Ayah!" Ayah dan anak itu masih sempat bercanda tawa di bawah guyuran hujan. Savira segera naik ke motor sang ayah, kemudian memeluk pinggang ayahnya dengan erat. "Pegangan yang kuat, ya!" Perlahan Rahman mulai melajukan kendaraannya dengan penuh hati-hati. Ayah dan anak itu terlihat begitu harmonis dan bahagia, meskipun mereka hanya menaiki motor tua dan memakai jas hujan yang sudah berlubang. "Gara-gara harus jemput aku, Ayah jadi kehujanan begini. Besok Ayah nggak perlu jemput aku kalau hujan," ujar Savira. "Mana bisa begitu? Mau hujan badai sekalipun, Ayah akan tetap jemput kamu! Ayah masih sanggup jemput kamu tiap hari. Ayah nggak akan biarin anak Ayah pulang sendiri ...." Rahman tidak melanjutkan kalimatnya. Tiba-tiba dari arah berlawanan, ada sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi menuju ke arah motor tua yang dinaiki oleh Savira dan Rahman. BRUAK!! Hanya dalam hitungan detik, motor butut yang dikendarai oleh Rahman ringsek, setelah bertabrakan dengan sebuah mobil mewah. Ayah dan anak yang tadinya bercanda ria di atas motor itu kini sudah tergeletak di aspal dengan darah yang sudah bercucuran ke mana-mana. "A-ayah ...." ***"Kamu baik-baik aja selama di sini?" tanya Refal, berusaha mencari topik pembicaraan selama di perjalanan."Alhamdulillah, semuanya baik-baik saja," jawab Savira singkat. Tanpa mengalihkan pandangannya dari kaca jendela mobil.Refal tersenyum simpul mendengar jawaban itu, ia sedikit sedih mendapati Savira yang hanya diam bahkan berusaha menghindari kontak mata dengannya. Wanita itu hanya memusatkan pandangannya ke luar jendela bahkan saat Refal mengajaknya berbicara.Refal tetap bersabar karena dengan begitu pun ia merasa senang karena akhirnya bisa berada satu mobil dengan Savira, lelaki itu pun sengaja memelankan mobil dengan alasan jalan kecil dan berkerikil.Hingga dengan helaan napas panjang, Refal kembali berkata. "Maafkan aku ....""Untuk?" tanya Savira."Karena selama ini udah banyak menyulitkanmu," lanjut Refal.Savira kembali terdiam, memilah perkataan apa yang ingin ia ucapkan. Meski banyak sekali hal yang ing
Setelah pertemuan tak terduga di kota kecil itu, Refal kini bertekad untuk memperbaiki segalanya. Kali ini, ia tidak hanya ingin meminta maaf tetapi juga ingin menunjukkan rasa cintanya yang baru ia sadari begitu mendalam terhadap Savira.Hari-hari Refal di kota itu berubah drastis. Ia mencari cara untuk terus bertemu Savira tanpa mengganggu ruang pribadinya. Mulai dari alasan-alasan kecil, seperti memberikan dokumen terkait bisnis, hingga sengaja muncul di tempat-tempat yang biasa Savira kunjungi. Namun, semua dilakukan Refal dengan penuh kehati-hatian agar tidak membuat Savira merasa terganggu dengan kehadirannya."Aku tahu aku terlambat, tapi aku akan menunggu," gumam Refal.Lelaki itu duduk sendiri di apartemennya, memandangi foto Savira yang diam-diam ia simpan selama ini. Setiap kali bertemu, Refal berusaha menunjukkan sikapnya yang hangat. Ia tidak lagi menyembunyikan rasa cintanya, meski Savira seringkali memilih untuk menjauh. Namun, Ref
Sudah berbulan-bulan berlalu sejak Savira meninggalkan hidupnya. Refal terus mencari dengan segala cara. Ia menyewa tim profesional, membayar orang bayaran, bahkan mencoba menghubungi orang-orang yang mungkin memiliki koneksi dengan Savira. Namun, semua usahanya sia-sia. “Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin tapi tidak ada yang bisa ditemukan, Tuan Muda,” ucap salah satu orang bayaran yang ia sewa, dengan nada pasrah. “Mungkin nyonya Savira memang berusaha menyembunyikan identitasnya sehingga siapa pun tidak akan bisa menemukannya.""Mungkin? Kalian cuma bisa mendasari semua itu dengan kata mungkin, hah?!" Kata-kata itu membuat Refal murka. “Bagaimana bisa kalian mudah sekali menyerah? Bukankah saya membayar kalian cukup mahal untuk menyelesaikan ini?!” “Kami sudah mencoba sesuai kemampuan kami, Tuan. Semua kemungkinan telah kami periksa, tetapi nyonya benar-benar hilang tanpa jejak.” Refal hanya bisa menggeram kesal sambil menggengg
Di tengah situasi yang sedang genting, Rosnita dan Luna tampak lebih sering berbicara tentang rencana besar mereka. Di meja makan, suara tawa Luna bergema. “Akhirnya kak Rania pulang juga ke Indonesia. Aku udah nggak sabar kalo kak Refal nikahin kak Rania,” seru Luna penuh semangat. Rosnita mengangguk setuju. “Pasti, dong. Mama juga udah nggak sabar punya menantu secantik dan terkenal kayak Rania. Dia jauh lebih cocok daripada gadis kampungan itu. Kita harus segera berbicara dengan Papa tentang ini," ucapnya tanpa peduli apakah Savira akan mendengar ucapan menusuknya itu atau tidak. Namun, mereka tidak tahu bahwa Rania telah diusir bahkan dijauhi oleh Refal beberapa hari lalu. Refal yang murka setelah mengetahui kebohongan Rania kini sedang mencoba merapikan pikirannya di tempat lain, menjauh dari semua orang, termasuk keluarganya sendiri. Sedangkan Savira kini tetap menjalani rutinitasnya dengan tenang. Setiap pagi, ia berangkat ke butik u
Setelah keputusan Savira tentang keinginannya mengakhiri pernikahan dengan Refal bulat, Adrian bergerak cepat. Ia segera menghubungi pengacara keluarga dan memulai proses perceraian Savira dan Refal. Semua dokumen sudah disiapkan dengan rapi tanpa sepengetahuan Refal. Savira hanya menunggu waktu untuk menandatangani surat-surat itu."Maaf, Tuan. Apa sebaiknya kita beri tahu dulu pada tuan muda? Bagaimanapun juga perjanjian ini melibatkannya juga," ucap Rendra, seorang pengacara yang sudah lama bekerja sama dengan keluarga Adrian.Adrian pun mengangguk. "Aku sudah berusaha, tapi dia sulit dihubungi. Sekretarisnya juga bilang kalau Refal sedang sibuk. Jadi, kupikir kita akan beri tahu dia nanti. Aku juga tidak mau kalau hal ini akan mengganggu urusannya di kantor. Dia juga pasti akan mendukung keputusan ini, jadi harusnya tidak akan ada masalah di lain waktu.""Baiklah, Tuan." Rendra pun mengangguk paham.Sementara itu di butik, Savira mencoba menja
"Ayo ke dokter! Aku akan mengantarmu." Refal sigap menawarkan bantuan dan mendekati Rania."Nggak!" Rania sontak berkata dengan lantang, "a-aku baik-baik aja, nggak perlu ke dokter."Rania duduk gelisah di sofa ruang kerja Refal, memegangi perutnya yang terasa mual. Pandangan Refal menatap tajam ke arah wanita yang selama ini menjadi pusat pikirannya, meski hatinya mulai meragukan semua hal tentang Rania. "Sungguh? Kamu beneran baik-baik aja?" tanya Refal dengan nada tegas. Rania tersentak. Mulutnya hendak menjawab, tetapi gelombang mual yang tak tertahankan tiba-tiba menyerangnya. "Maaf, tapi aku harus ke toilet!" katanya terburu-buru sambil berlari keluar ruangan. Refal hanya bisa menghela napas, bingung dengan perilaku Rania yang tampak tidak biasa. Ketika Rania berjalan tergesa-gesa, tasnya jatuh ke lantai dengan keras, isinya hampir berserakan. Refal menatap tas yang terbuka itu, awalnya enggan untuk menyentuhnya. Na