Share

Bab 4

Author: Isna Arini
last update Last Updated: 2023-04-17 10:58:34

"Uang dari mana? Kamu pikir bayar kuliah pakai daun, hah?! Jangan bikin susah!" Seruku menahan emosi.

Gadis itu semakin menunduk ketakutan mendengar suaraku yang menggelegar. Sejak pindah ke rumah ini, aku bisa meluapkan emosiku padanya. Hal yang tidak bisa aku lakukan saat kami ada di rumah ibu dulu, selama beberapa hari setelah menikah.

"Aku bayar sendiri, Mas. Aku memiliki tabungan pendidikan yang bisa dipakai untuk membayar biaya kuliahku hingga selesai. Bunda dan ayah sudah menyiapkan sebelum mereka meninggal." Husniah berkata dengan suara yang begitu kecil sambil mengusap sudut matanya.

Aku menarik nafas dalam-dalam, ada sedikit rasa bersalah dalam hatiku sudah membentaknya. Harusnya dia ini anak kecil saja, aku akan menjaganya seperti adikku, bukan menjaganya sebagai istriku.

Dengan cepat kuhabiskan makanan yang ada di piring dan berniat segera pergi bekerja. Sepertinya aku akan lebih nyaman tinggal di kantor daripada di rumah.

"Mas, boleh ya," pintanya sambil membuntutiku yang hendak pergi bekerja.

"Besok Minggu kita cari kampus yang cocok denganmu," sahutku dingin.

Biarlah dia melakukan apa yang dia inginkan, aku tidak ingin tahu juga seberapa banyak uang yang dia miliki. Kalau dia sampai tidak sanggup membayar dan harus putus di tengah jalan, aku juga tidak akan peduli.

"Terimakasih, Mas," ucapnya sambil membungkukkan badannya berulang-ulang.

Astaga ... Siapa yang dia ikuti dengan melakukan hal seperti itu.

***

Minggu malam.

Sebelum mencari kampus untuk Husniah, kami browsing terlebih dahulu. Aku sengaja melakukan agar tidak banyak membuang waktu. Mencari di mesin pencari itu beberapa kampus, lihat jurusan dan juga biaya kuliahnya baru survei tempat.

"Mas, aku mau lihat kampus ini, ini dan ini," ucap Husniah sambil menggeser tiga gambar dari smartphonenya padaku. Beberapa website kampus yang sudah di screenshot olehnya.

Setelah menyerahkan ponselnya padaku, gadis itu kembali duduk di sofa yang ada di depanku. Aku memang tidak mengijinkannya duduk di sampingku apalagi di dekatku.

"Mau ambil jurusan apa?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari beda pintar milik Husniah.

Aku sibuk menggeser dan membaca nama kampus juga alamatnya.

"Akuntasi, sekertaris, atau apa saja yang berhubungan dengan perkantoran," sahut Husniah.

"Kenapa mau ambil jurusan itu?"

"Biar aku bisa mandiri, bisa bekerja di kota ini dan tidak menyusahkan Mas Hanan lagi. Aku bisa pergi dari sini setelah cukup mandiri dan mengerti keadaan kota ini, aku bisa menghidupi diriku sendiri saat sudah bekerja. Mas Hanan bisa bebas dariku, saat pulang kampung kita bisa pura-pura jadi suami istri agar Ibu tidak khawatir," tuturnya panjang lebar dengan mata berbinar.

Beberapa saat yang lalu aku tertarik melihatnya saat dia mengungkapkan segala keinginannya. Binar itu tak pernah kulihat selama ini, baru malam ini saja aku melihatnya. Mata kami bertemu, dadaku berdebar. Shit! Perasaan apa ini, itu hanya mata bocah ingusan.

Aku segera menguasai diri. "Kamu pikir semudah itu mendapatkan pekerjaan di kota. Setiap tahun banyak lulusan yang jadi pengangguran. Jangan terlalu tinggi berkhayal!" Seruku dengan suara kembali meninggi.

"Setidaknya aku sudah berusaha," cicitnya sambil menunduk kembali.

Aku geram pada diriku sendiri, kenapa mulutku selalu pedas padanya. Apa aku akan dimurkai Tuhan karena menyakiti hati anak yatim piatu. Ah dia bukan anak-anak lagi, bahkan status dia sudah sebagai istri.

***

Perlahan aku menjalankan kendaraan roda empat milikku keluar gerbang. Lalu menunggu Nia naik ke mobil setelah sebelumnya gadis itu mengunci gerbang dari luar.

Hidup di kompleks sangat membantuku, setidaknya tidak ada yang kepo dengan kehidupanku. Bu Mery yang bertanya siapa gadis di rumahku beberapa waktu yang lalu juga bukan orang yang rajin bergosip. Jadi aman-aman saja, tidak akan ada yang peduli dengan hubunganku dengan Nia.

Aku hanya mengatakan pada ketua RT tentang status Nia yang sebenarnya saat aku melaporkan ada warga baru yang tinggal di rumahku.

"Kita coba kampus paling dekat dulu." Aku berkata tanpa beralih padangan dari jalan.

"Iya, terimakasih ya, Mas. Mau anterin cari kampus," ucapnya dengan tulus.

"Hemmm."

Kami sampai di kampus pertama, setelah memarkirkan kendaraan, kami langsung menuju ke pusat informasi. Bertanya tentang banyak hal di sana. Meminta brosur lalu keluar lagi setelah cukup mendapatkan informasi. Sepertinya Husniah tidak tertarik dengan kampus ini.

Kami kembali ke mobil, berkendara menuju kampus ke dua. Di kampus ke dua, kami melakukan hal yang sama. Dan lagi, Husniah terlihat tidak tertarik. Aku menarik nafas dalam-dalam.

"Kalau kampus ketiga ini kamu tidak suka juga, carilah sendiri. Capek aku!" ucapku mengancamnya.

"Maaf ya, Mas."

"Minta maaf saja terus!" Seruku ketus.

Gadis itu diam, dan lagi-lagi mengigit bibir bawahnya. Bocah cupu seperti ini bagaimana mau kuliah di kota besar. Akan seperti apa dia saat di kampus nanti.

Di kampus ke tiga kami melakukan hal yang sama seperti di kampus pertama dan kedua. Sepertinya di tempat ini, Husniah tertarik.

"Anaknya mau mengambil jurusan apa, Pak?" tanya wanita yang sejak tadi memberi penjelasan kepada kami.

Mataku membulat mendengar perkataan wanita itu, dia bilang Husniah anakku dan aku bapaknya.

"Beliau bukan Bapak saya, Mbak. Saya saudara jauhnya," terang Husniah sambil tersenyum.

"Maaf, Pak," ucap wanita itu sambil menatapku tak enak.

"Apa aku setua itu?"

"Bukan bapak yang terlihat tua, tapi Mbak ini terlalu imut," tutur wanita berseragam itu sambi tersenyum.

Apa kubilang, Husniah memang bocil. Bisa-bisanya dikira anakku.

Karena tertarik dengan tempat ini, gadis itu meminta formulir lalu memintaku untuk menunggunya berkeliling kampus dulu. Baru hendak berjalan tiba-tiba ponselku berdering, panggilan dari Lita, wanita idamanku.

"Mas, aku lagi ada di mall. Bisa ke sini gak? Jalan-jalan sambil nonton yuk." Lita berbicara dari ujung telepon.

Aku menatap ke arah Husniah yang begitu antusias untuk melihat calon tempat belajarnya. Ingin menemaninya tapi aku juga lebih ingin pergi menemui Lita.

"Gimana, Mas? Mau gak? Kalau gak mau juga gak apalah, aku mendadak juga ngajakinnya." Lagi, terdengar suara dari Lita karena tidak segera mendengar jawaban dariku.

"Mau, tunggu," jawabku tanpa berpikir lagi.

Lita mematikan sambungan telepon kemudian tak lama setelahnya mengirim lokasi dimana dia berada.

"Nia, kamu pulang sendiri ya. Nanti aku kasih tahu kudu naik apa lewat pesan singkat. Atau kalau enggak kamu naik ojek aja, nanti kukirim alamat lengkap rumah."

Husniah baru beberapa hari tinggal bersamaku dan dia memang tidak tahu alamat rumah yang kami tinggali dengan lengkap.

Tanpa menunggu jawaban dari gadis itu, aku meninggalkannya begitu saja. Memilih menemani pujaan hatiku. Tidak peduli kalau gadis itu kecewa daripada aku mengecewakan hati Lita.

🍁 🍁 🍁

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (32)
goodnovel comment avatar
Ratna Wati
semangat ya Niah semua perlu proses
goodnovel comment avatar
ORTYA POI
Sabar Husniah semua harus susah dulu siapkan hadapi tantangan
goodnovel comment avatar
Ai Siti Rahmayati
semangat nia
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pesona Istri Yang Kuabaikan    End

    Pesona Istri Season 3 POV Hanan "Selamat ulang tahun Sayang ucapku sambil memberikan sebuket bunga mawar untuknya." Meskipun di rumah ini ada taman bunga mawar, tapi tetap saja memberi bunga padanya selalu membuatnya bahagia. Namun, dia akan berkata tak suka pada bunga yang sudah dipetik. "Terima kasih, Mas," jawabnya tanpa terlihat sedikit pun senyum di wajahnya. Sudah beberapa hari ini Husniah tampak bersedih hati. Aku tahu penyebabnya tak bahagia beberapa hari ini. Sudah hampir dua bulan tak ada dari anak-anaknya yang datang mengunjungi kami baik Hulya yang belum memiliki anak maupun Atma dan Nata yang sudah sibuk dengan keluarga kecilnya ditambah dengan keberadaan anaknya."Kamu rindu pada anak-anak?" tanyaku.Pertanyaanku hanya dijawab Husniah dengan anggukan, seakan dia enggan berbicara. Aku tahu jika dia mengungkapkan isi hatinya, dia akan menangis begitu saja. Entah kenapa di usianya yang tak lagi muda, Husniah semakin melankolis. Kurasa ini terjadi setelah anak-anak perg

  • Pesona Istri Yang Kuabaikan    Dua Ratus Tujuh

    Pesona Istri Season 3 "Sayang, Abang minta maaf," ucapku, sembari mencoba mendekat padanya lagi. Dia marah tapi tak mau didekati, bagaimana bisa aku menenangkannya. Lebih baik dia memukuliku daripada menjauh dengan tampang seperti itu. "Kenapa minta maaf," ketus Queena. "Udah bikin kamu kesal," balasku. "Sini, kita bicarakan dengan tenang. Kamu mau apa?" Wajah itu masih cemberut, tapi tak lagi menjauhiku hingga jarak kami semakin dekat. "Maaf ya." Lagi aku mengatakan permintaan maaf, entah untuk kesalahan yang mana. Yang penting aku minta maaf saja, mungkin dengan seperti ini dia kan lebih baik. Tanpa dikomando, air mata Queena meluncur melewati pipinya yang terlihat berisi, lalu kemudian berlanjut dengan isakan kecil terdengar di telingaku. "Abang minta maaf," ucapku, lagi, entah untuk yang berapa kali. Aku merengkuh tubuh Queena dalam pelukan. Istriku itu tak menolak dan melawan, dia terisak dalam dekapanku. Biarlah, dia puas menangis setelah puas memukuliku. Biar dia mel

  • Pesona Istri Yang Kuabaikan    Dua Ratus Enam

    Pesona Istri Season 3"Nata, Queena pergi meninggalkan Rafka sejak tadi pagi," ucap Tante Syifa dari ujung telepon, ketika aku mengangkat panggilan dari mertuaku tersebut.Mendengar penuturan Tante Syifa, tentu saja membuatku sedikit terkejut. Tadi pagi memang Queena masih marah saat kutinggal pergi kerja. Kali ini bukan masalah postur tubuhnya yang gemuk namun kami bertengkar lagi karena Queena kembali mencurigaiku memiliki kedekatan dengan Yuanita pada hal dia jelas-jelas tahu kalau wanita itu sudah memiliki tunangan. Meskipun sampai sekarang mereka belum berniat untuk menikah. Entah kenapa beberapa hari ini, tidur kami selalu diwarnai dengan pertengkaran. "Quina pergi ke mana, Ma. Dia tak pamit dan meninggalkan Rafka begitu saja. Lalu gimana sekarang keadaan anak itu apakah dia rewel karena tak ada mamanya?" Bertubi-tubi aku bertanya pada mertuaku. Jika di lihat sekarang sudah mulai sore, artinya istriku itu sudah pergi dari rumah cukup lama. Tapi kenapa Tante Syifa baru mengat

  • Pesona Istri Yang Kuabaikan    Dua Ratus Lima

    Pesona Istri Season 3 "Nggak gitu juga kali konsepnya Kak Yuan," ucap Queena dengan nada sebal.Sepertinya dia tak suka dengan perkataan yang dilontarkan oleh Yuanita barusan, siapa yang suka dengan perkataan seperti itu. Aku pun tak suka, Queena adalah istriku tak ada yang boleh memilikinya selain diriku. "Aku cuma bercanda mengimbangi perkataan Liam barusan," sahut Yuanita, membela diri.Dua wanita ini nampaknya sulit akur sekarang, Queena yang cemburu pada Yuanita karena dulu kami pernah dekat, dan Yuanita yang cemburu pada Queena karena Liam begitu perhatian pada istriku. Kami berbasa-basi beberapa saat, kurang lebih hanya empat puluh lima menit. Karena kami harus segera pergi ke restoran. William pergi sendiri mengendarai mobilnya, sedangkan aku dan Yuanita akan berkendara di mobil yang sama seperti yang kami katakan tadi. "Aku pergi dulu ya, Sayang," pamitku pada Queena. "Kok Kak Yuanita ikut dengan Abang?" tanya Queena, seperti tak suka. "Liam akan langsung ke kantornya,

  • Pesona Istri Yang Kuabaikan    Dua Ratus Empat

    Pesona Istri Season 3Aku sudah mulai aktif kembali bekerja di restoran bersama dengan Yuanita. Sampai sekarang aku tak pernah tahu lagi, bagaimana hubungan dia dengan William. Kulihat mereka baik-baik saja namun hingga detik ini sepertinya tak ada kemajuan dalam hubungan mereka entah kapan mereka akan memutuskan untuk menikah. Biarlah itu bukan urusanku, mereka adalah dua orang dewasa yang sudah tahu mana yang baik dan mana yang benar. "Bagaimana keadaan Queena?" Tanya William saat aku hendak pulang. "Alhamdulillah sehat dan baik," jawabku. Sejak kejadian Yuanita melihatnya memeluk Queena dan dia marah-marah tidak jelas itu, William lebih banyak menahan diri. Dia tak lagi ingin dekat dengan Queena. Ditambah lagi aku dan istriku pergi ke luar kota, pindah ke rumah Mama dan Papa dalam beberapa bulan. Kupikir, membuat kedekatan Queena dan William tak lagi seperti dulu. "Mau ke sana, kita tengok Mama dan bayinya." Yuanita datang menghampiri kami dengan sebuah usulan. "Kamu mau?" Wil

  • Pesona Istri Yang Kuabaikan    Dua Ratus Tiga

    Pesona Istri Season 3 Aku terbangun saat terdengar suara azan dari ponselku. Malam tadi kami masih tidur dengan nyenyak, Queena juga tidak membangunkanku. Bayi kami pun tidak di bawa ke sini. Perawat bilang, bayi yang baru lahir tidak langsung lapar dan ingin menyusu dari mamanya saat kutanya apa bayi kami tak kelaparan. Aku segera bangun, membersihkan diri dan sholat subuh, setelah itu membangunkan Queena. "Sayang, mau mandi gak?" Tanyaku sambil mengecup keningnya. "Sudah jam berapa?" Queena bertanya. "Jam lima lewat." Queena terlihat susah payah saat ingin bangun dari posisinya. Tentu saja, pasti dia masih kesakitan di bagian intimnya. "Ayo abang bopong," kataku sembari mengambil posisi hendak mengangkat tubuhnya. Queena menatap padaku. "Iya deh," sahutnya sambil memamerkan barisan giginya. Kenapa tak minta tolong saja dari tadi. Dengan hati-hati, kuangkat tubuhnya dan kubawa ke kamar mandi. "Mau dimandiin?" tanyaku. "Apaan sih Abang, aku bisa mandi sendiri." Dia menolak

  • Pesona Istri Yang Kuabaikan    Dua Ratus Dua

    Pesona Istri Season 3 POV Nata Wajah lelah namun tampak bahagia itu tersenyum bahagia saat menatapku. Aku baru saja mengazani bayi kami yang ada di ruang bayi. Sedangkan Queena masih berada di ruang bersalin tadi saat aku tinggalkan untuk melihat bayi kami. Queena melahirkan tanpa persiapan, kami sedang asyik jalan-jalan di mall tapi tiba-tiba dia pecah ketuban. Lalu saat di bawa ke rumah sakit ternyata sudah pembukaan 4 dan semua berjalan dengan cepat. "Bukannya anak pertama katanya perlu lama kontraksi untuk pembukaan." Itu yang aku tanyakan pada dokter saat dikatakan Queena sudah siap melahirkan. "Aku udah mulas dari kemarin, Abang. Tapi aku tahan, makanya tadi sengaja aku ajak Abang jalan-jalan biar rasa sakitnya teralihkan." Ah, Queena, ada-ada saja. Kuat juga dia menahan rasa sakit itu. Tapi mungkin aku dan kedua mertuaku akan jauh lebih khawatir jika tahi sejak kemarin dia mulas tapi bayi baru lahir hari ini. Kembali kukecup kening Queena yang sudah berada di atas kursi

  • Pesona Istri Yang Kuabaikan    Dua Ratus Satu

    Pesona Istri Season 3POV Hulya Pengantin baru, rumah baru. Begitu pulang dari hotel, aku hanya menginap di rumah Papa dan Mama dua malam. Lalu hanya semalam berada di rumah mertuaku, kemudian suamiku langsung membawaku pergi ke rumah yang dia inginkan untuk menjadi tempat tinggal kami. Sejauh ini, keluarga mertuaku semuanya baik dan sayang padaku. Termasuk adik iparku yang merupakan adik Mas Aslam. Mereka hanya dua bersaudara. Pantas saja kalau suamiku itu begitu memanjakan adik perempuannya. Aku hanya bisa menurut saat Mas Aslam mengajakku tinggal berdua saja, dia memilih rumah minimalis modern untuk menjadi tempat tinggal kami. "Aku hanya ingin menghabiskan waktu berdua saja denganmu, di rumah yang tak terlalu luas sehingga aku bisa selalu melihat keberadaanmu setiap saat. Selain itu, agar kamu tak kesepian jika sendiri karena rumah tak terlalu besar." Itu yang dikatakan Mas Asalm saat pertama kali kami menginjakkan kaki di rumah ini. Terhitung sudah satu minggu kami tinggal

  • Pesona Istri Yang Kuabaikan    Dua Ratus

    Pesona Istri Season 3 Suasana pagi terasa mulai ramai oleh orang-orang yang hendak pergi bekerja. Dengan senyum lebar, aku menanti kedatangan moda transportasi umum yang sangat ingin aku coba, kereta listrik. Aku dan Mas Aslam akan naik kendaraan umum itu berbarengan dengan orang-orang yang berangkat ke kantor. "Senangnya akhirnya kita bisa naik kereta ini bareng," ucapku seraya menatap ke arah lintasan kereta. Menunggu alat transportasi tersebut datang. "Kenapa harus di jam segini sih, lihat ramai sekali. Kita ini baru menikah, harusnya bersantai di hotel menikmati kebersamaan bukannya malah ikutan berdesakan dengan para karyawan," omel Mas Aslam.Sebenarnya dia tak setuju aku melakukan ini saat ini, khawatir masih lelah setelah kemarin kami sibuk di acara pernikahan. "Ini letak serunya, ikutan berdesakan dengan penumpang lainnya. Kalau sepi mana seru, biar tahu bagaimana hidup sulit," jawabku sekenanya. Mas Aslam hanya geleng-geleng kepala mendengar perkataanku. "Memangnya gak

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status